“Tetiba pusing, gegara liat berita kriminal di
televisi.”
Tetiba dan gegara adalah dua kata yang
belakangan ini sering terlihat dipakai oleh para
pengguna bahasa. Coba saja intip linimasa, untuk
lihat bukti konkretnya.
Dalam ilmu pembentukan bahasa (morfologi)
Indonesia, ada proses pembentukan kata yang
bernama reduplikasi dwipurwa. Proses ini
mengulang bagian depan atau suku kata awal
dari sebuah kata dasar. Pengulangan ini biasanya
diikuti dengan pelemahan vokal pertama.
Contohnya, lelaki dari laki-laki dan beberapa dari
berapa-berapa. Atau, contoh dari reduplikasi
dwipurwa yang mendapat kombinasi akhiran -an,
seperti pepohonan, rerumputan, dan bebatuan.
Menurut Totok Suhardijanto, pengajar Program
Studi Indonesia FIB UI, “Pemakaian bentuk gegara
dan tetiba tidak menyalahi kaidah pembentukan
kata dalam bahasa Indonesia.”
Salah satu fungsi pengulangan dwipurwa adalah
menciptakan kata baru yang dapat mewakili
konsep tertentu. Misalnya, jejaring dari jaring dan
tetikus dari tikus. Atau, fungsi lainnya adalah
memendekkan bentuk ulang. Misalnya, laki-laki
menjadi lelaki atau pohon-pohonan menjadi
pepohonan.
“Nah, kelihatannya gegara dan tetiba mengadopsi
fungsi kedua (pemendekan) sehingga diperoleh
tetiba dari tiba-tiba dan gegara dari gara-gara,”
tukas Totok.
Jadi, tidak ada salahnya ketika kini mulai muncul
bentuk tetiba atau gegara di mana-mana. Bentuk
tetiba dan gegara merupakan bentuk yang benar
jika dilihat dari kacamata morfologi.