- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kubuat Suami Dan Gundiknya Mati Kutu!


TS
dwindrawati
Kubuat Suami Dan Gundiknya Mati Kutu!
"Assalamualaikum." Ucapan salam dari luar pintu rumah mengagetkanku yang baru saja terlelap di atas sofa ruang tamu.
Aku segera bangun, kemudian melangkah tergesa ke arah pintu untuk membukanya.
"Waalaikumsalam, Mas," ucapku pelan setelah pintu terbuka, dan melihat Mas Aji berdiri di sana. Tanpa suara, Mas Aji terus melangkah masuk. Berhenti sebentar untuk melepas sepatu, lalu kembali berjalan menuju kamar tidur kami.
Sementara aku mengunci pintu rumah, merapikan sepatunya yang tadi ia lepas sembarangan, lalu bergegas menyusulnya ke dalam kamar.
"Kok pulangnya malem banget, Mas?" tanyaku setelah kami telah sama-sama berada di kamar.
"Banyak pekerjaan," sahutnya singkat sambil melepasi seluruh pakaian kerjanya yang ia biarkan tertumpuk begitu saja di atas lantai.
Setelahnya, ia berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian ganti. Aku memungut pakaian bekasnya tadi dan memasukkannya ke dalam keranjang khusus yang kuletakkan di belakang pintu kamar.
"Nggak ngabarin? Aku nunggu sampai ketiduran tadi. Mas ditelepon juga nggak aktif."
Mas Aji selesai berpakaian. Kini ia beralih menatapku. Melihat sorot lelah di matanya, terbit rasa bersalah karena merasa telah menjadi istri yang cerewet dan banyak tanya.
Mas Aji melangkah mendekat, lalu kedua tangannya menangkup kedua pipi ini.
"Maafkan Mas, ya? Tadi baterai HP habis, nggak sempat di charge. Karena itu Mas nggak bisa ngabarin," ujarnya lembut, lalu tersenyum.
Cukup seperti ini saja aku sudah senang dan merasa lega. Cukup sekali Mas Aji menjawab, maka aku akan langsung percaya.
Ya, sebesar itu memang rasa percayaku padanya, setelah belasan tahun mengarungi bahtera rumah tangga.
"Tidur, yuk. Mas ngantuk," ajaknya. Aku mengangguk, lalu kami pun beranjak ke peraduan bersama. Tidur sambil berpelukan seperti biasanya.
***
Suara kokok ayam membuatku terjaga, disusul bunyi alarm dari ponsel yang terletak di samping bantal.
Pukul empat pagi. Sebentar lagi azan subuh akan berkumandang. Segera aku turun dari atas ranjang setelah terlebih dulu membangunkan mas Aji.
"Mas, bangun. Bentar lagi azan." Kuguncang pelan bahunya. Mas Aji menggeliat sebentar, lalu membuka mata.
"He-em," ucapnya, lalu menguap lebar.
Aku pamit untuk membangunkan anak-anak di kamar mereka masing-masing, sementara mas Aji beranjak ke kamar mandi.
Agak sedikit heran ketika melihat mas Aji keluar dari kamar mandi dengan rambut basah.
"Keramas, Mas?" tanyaku padanya yang tengah memasang sarungnya.
"Iya, gerah."
Aku tersenyum mendengar jawabannya, lalu menghampar sajadah dan bersiap memakai mukenah.
"Yah, Giska minta duit dong. Ada tugas prakarya di sekolah, kudu beli beberapa bahan." Giska, putri kami yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP, berkata saat kami semua berkumpul di meja makan untuk sarapan.
"Iya, nanti Ayah kasih." Mas Aji menjawab, sembari mengunyah nasi goreng buatanku yang selalu dipujinya the best itu.
"Asik. Makasih, Ayah!" seru Giska, lalu merangkul pundak ayahnya.
"Adit juga, Yah." Adit, si bungsu yang duduk di kelas satu SMP ikut-ikutan menodong ayahnya.
"Iya, sama. Adit juga." Mas Aji menjawab lagi, yang langsung membuat senyum di bibir Adit merekah.
Terkadang aku protes karena mas Aji cenderung memanjakan anak-anak. Hampir tak pernah ia menolak apapun keinginan Giska dan Adit.
"Nis, Mas kerja keras banting tulang untuk siapa? Untuk kamu dan anak-anak, Sayang. Jika mereka meminta dan Mas sanggup memberikannya, kenapa tidak?"
Begitulah kira-kira jawaban mas Aji ketika suatu kali aku melayangkan protes padanya dulu, agar tak terlalu menuruti kemauan anak-anak kami.
Dan setelah itu, kubiarkan saja Mas Aji dengan caranya menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak kami.
Mas Aji bekerja di sebuah hotel bintang lima ternama dengan jabatan manager. Dengan pekerjaannya itu, praktis gajinya juga lumayan. Ia memang tak memberikan seluruh gajinya padaku, namun jika aku meminta, ia akan langsung memberi tanpa bertanya.
Sebagai ibu rumah tangga yang tak bekerja dan hanya mengharap pada suami, aku sangat menghargai kerja keras Mas Aji. Karena itu aku selalu hati-hati dalam menggunakan uang. Tak mau menghambur-hamburkan hasil jerih payahnya untuk sesuatu yang kurang bermanfaat.
"Mas kerja dulu ya, Nis," pamit Mas Aji setelah selesai sarapan dan menghabiskan kopinya.
Aku mencium tangan suamiku khidmat, seraya mendoakan dalam hati untuk kemudahannya dalam mencari nafkah. Anak-anak juga berpamitan, mencium tanganku satu per satu, untuk kemudian berangkat sekolah dengan diantar oleh ayah mereka.
Setelah tinggal sendiri, aku pun segera mengunci pintu rumah. Mulai dari membereskan meja makan sisa sarapan, mencuci piring, dan membersihkan seluruh lantai, aku pun memeriksa kamar demi kamar untuk mengambil baju kotor.
Seperti biasanya, sebelum memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci, terlebih dulu aku memeriksa di bagian saku. Ini kulakukan demi menghindari adanya barang-barang yang akan ikut termasuk ke dalam mesin. Seperti uang logam, misalnya.
Tiba giliran aku memeriksa saku kemeja mas Aji, aman. Kemudian beralih pada saku celananya. Di sini tanganku meraba sesuatu yang rasanya seperti sebuah plastik.
Sambil mengerutkan kening, tanganku merogoh ke dalam untuk mengeluarkan isinya. Dan aku pun terpana ketika melihat benda apa yang kini berada di tangan.
Plastik yang kuraba tadi ternyata merupakan sebuah bungkusan alat kontrasepsi yang telah kosong isinya, dengan merk yang sering kulihat iklannya di televisi.
Aku tertegun sejenak. Bagaimana bisa benda ini ada di dalam saku celana suamiku?
...
Aku tertegun lama dengan tangan masih memegang bungkus kondom yang kutemukan di saku celana mas Aji barusan.
Sekujur tubuh rasanya lunglai seakan tak bertenaga. Aku bersandar pada dinding dekat pintu dapur, dengan kepala yang tak henti berpikir. Seingatku, kami tak pernah memakai alat kontrasepsi semacam ini ketika sedang bercinta. Lalu, dengan siapa mas Aji menggunakan benda ini?
Pikiran-pikiran buruk yang datang, membuatku tak bisa berpikir jernih. Hampir delapan belas tahun hidup bersama, dengan anak-anak yang sehat sempurna, mungkinkah mas Aji mendua?
Bumi yang kupijak seakan bergoyang ketika memikirkan kemungkinan mas Aji telah berkhianat. Untuk menenangkan diri, kuputuskan istirahat sejenak dari aktifitas.
Melangkahkan kaki ke kamar, aku merebahkan diri di ranjang. Tapi tetap saja sama. Bungkus kondom yang kutemukan tadi terus mengganggu pikiran.
Dengan tangan gemetar, aku meraih ponsel milikku. Kucari kontak mas Aji, lalu meneleponnya. Tapi yang menjawab telepon justru operator provider yang mas Aji gunakan. Menandakan ponsel suamiku itu sedang tak aktif.
"Ya Allah ... janganlah Kau beri hamba cobaan di luar kesanggupan hamba." Kuremas pelan dada yang dihimpit sesak sembari melantunkan sebaris doa. Dengan harapan Dia akan mengijabah.
Menjelang siang, hatiku mulai terasa sedikit tenang. Kulanjutkan pekerjaan rumah yang tadi belum sempat kukerjakan. Hari-hariku memang berjalan monoton. Setiap hari begini-begini saja.
Bukan karena aku tak mau bekerja, tapi mas Aji lah yang melarangku melakukan itu semua.
"Dengar, Nis. Urusan nafkah, kamu tak usah ikut memikirkan. Itu adalah tanggungjawab Mas sebagai suami. Kamu cukup mendoakan, sambil merawat dan mendidik anak-anak kita," ucap mas Aji ketika aku meminta ijin kembali bekerja setelah melahirkan Adit si bungsu.
Sebagai seorang istri, tentunya aku wajib menuruti perintah suami, selagi tidak bertentangan dengan ajaran agama. Praktis, sejak itu aku pun resmi menjadi ibu rumah tangga sejati.
Dan alhamdulillah, mas Aji yang waktu itu masih menjadi pegawai dengan status dan gaji rendah, perlahan-lahan mulai naik karirnya. Kami mulai menabung untuk membangun rumah impian, menabung untuk biaya pendidikan anak-anak, serta menabung untuk simpanan hari tua nanti.
Aku merasa selama ini hidupku nyaris sempurna. Mas Aji suami yang baik dan bertanggungjawab. Tidak pernah ia membentak apalagi berkata kasar. Baik kepadaku maupun anak-anak.
Kalau pun ia marah, ia akan menasehati dengan sedikit keras. Atau paling parah, dia akan mendiamkanku untuk beberapa saat. Tak sampai hitungan jam, kami sudah berbaikan kembali. Seolah tak pernah ada pertengkaran yang terjadi.
Aku sangat mencintai mas Aji. Bukan sekedar karena dia tampan dan mapan, tapi karena kepribadiannya. Caranya mencintai keluarga, mencintai kami, anak dan istrinya. Bagiku, ia suami yang sempurna.
Kedua netraku terasa menghangat. Airmata mulai menggenang di pelupuk mata.
Lalu bagaimana jika aku salah? Mengira rumah tanggaku sempurna, padahal ternyata penuh dusta?
***
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun masih belum ada tanda-tanda mas Aji pulang.
"Ibu nungguin ayah, ya?" Giska muncul dari lorong yang terhubung ke kamarnya.
"Iya, Gis. Kamu belum tidur?" Aku balas bertanya pada Giska.
"Ini udah mau tidur. Ibu nggak nungguin ayah di kamar aja?"
Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan anak gadis beliaku itu.
"Di sini nggak banyak nyamuk, Bu?" Giska mengerutkan kening. Namun hanya kubalas dengan senyuman.
"Kamu mau nemenin Ibu nungguin ayah di sini?"
"Ogah. Giska mau tidur aja, besok mesti bangun pagi karena ada kegiatan ambil nilai mata pelajaran olah raga." Giska menjawab sambil nyengir.
"Ya sudah, tidur gih sana. Jangan lupa baca doa," pesanku.
"Ya ampun Ibu, kayak Giska masih anak TK aja. Segala ngingetin baca doa." Giska menggerutu.
"Sebagai orangtua, Ibu wajib mengingatkan anaknya, Gis," balasku.
"Iya, Bu, iya ... Giska masuk dulu ya, Bu." Aku mengangguk pelan, dan kemudian Giska pun menghilang di balik pintu kamarnya yang kembali ditutup.
Rasa kantuk mulai menyerang, tapi sengaja kutahankan. Aku ingin menyambut suamiku pulang, dan menanyakan tentang bungkus kondom yang kutemukan di saku celana kerjanya.
Beberapa kali kepalaku terkulai ke kanan dan kadang ke kiri karena menahan kantuk. Tapi semua kutahankan demi satu tekad. Malam ini juga, aku ingin semuanya jelas.
Baru saja beranjak hendak ke dapur untuk membuat kopi, tiba-tiba ponsel yang kuletakkan di atas meja kaca berdering nyaring. Terpaksa aku berbalik lagi untuk melihat siapa yang menelepon.
"Mas Aji?" gumamku ketika melihat nama suamiku di layar yang menyala.
"Halo, Mas. Assalamualaikum," sambutku.
"Waalaikumsalam. Nis, malam ini jangan tungguin Mas pulang, ya. Mungkin Mas pulangnya dini hari, bisa jadi pagi." Terdengar suara mas Aji dengan latar suara musik yang menghentak-hentak.
"Lho, ada apa, Mas? Memangnya Mas sekarang di mana?" cecarku.
"Sudah dulu ya, Nis. Mas masih agak repot ini. Kamu tidurnya jangan kemalaman, ya? Bye, love you."
Belum sempat aku menjawab, mas Aji sudah memutuskan sambungan teleponnya.






bukhorigan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
701
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan