wanimatihhAvatar border
TS
wanimatihh
Peraturan Kost Yang Tidak Boleh Dilanggar - KUNCEN

Don't judge a book by i'ts cover pengalaman yang mau aku ceritakan terjadi sekitar 2 tahunan yang lalu, saat aku mau ngekost di daerah sekitaran Jakarta, cerita aku mulai dari…

"Saya berminat mau ngekost disini, Buk."

"Oh, silahkan duduk dulu," Buk Niken mempersilahkanku duduk di bangku yang ada depan rumahnya. " Sebentar, ya."

Bu Niken pun kembali masuk ke dalam rumahnya. Tidak lama kemudian, dia kembali muncul membawa nampan yang berisi secangkir teh dan sepiring camilan.

"Silahkan diminum..." Buk Niken meletakkan cangkir itu depanku. "Oh, iya, nama kamu siapa?"

"Saya Tasya, Buk."

"Baiklah Tasya. Sebelum ngekost disini, ada baiknya kamu baca dulu peraturan di kost ini." Buk Niken memberikan sebuah kertas seukuran HVS yang sudah dilaminating.

Aku menerimanya dan membaca semua peraturan yang tertera di sana. Aku mengangguk-angguk ketika membacanya.

Tapi, ada beberapa poin yang aneh menurutku. Pada poin kedelapan tertulis, dilarang bicara berbisik-bisik lewat jam sebelas malam. Di poin kesebelas, dilarang menoleh ke belakang saat maghrib dan di poin keempat belas, dilarang menginjak kawasan di belakang bangunan kost.

Refleks aku menoleh ke arah kawasan belakang kost.

Siapa juga yang bakal pergi ke tempat menyeramkan itu.

Kawasan belakang kost ditumbuhi oleh rumput liar yang sudah sangat rimbun. Ada beberapa pohon besar disana sehingga menambah seram kawasan itu. Aku bergidik ketika rumput itu bergoyang ditiup angin.

Saat akan berpaling, aku seperti melihat sesuatu disana.

Apa itu? Aku berusaha menajamkan pandangan mata.

"Gimana? Kamu setuju dengan peraturan di kost ini?" tanya Buk Niken mengalihkan perhatianku.

"Oh, iya, Buk. Tidak masalah. Saya setuju."

"Baiklah kalau begitu. Uang kost dibayar di muka setiap tanggal sepuluh, itu sudah termasuk uang listrik dan air. Nah, kalau ingin pesan catering juga bisa. Harga tiga puluh ribu sudah termasuk sarapan, makan siang dan makan malam." jelas Buk Niken sambil membuka buku catatannya.

"Untuk catering, saya pikirkan dulu, Buk. Saya mau konfirmasikan dulu kepada orang tua saya. Sekarang, saya bayar dulu uang kost untuk satu bulan."

Buk Niken mengangguk dan mulai menuliskan namaku di catatan itu.

Aku menyerahkan uang kost untuk satu bulan ke depan. Setelahnya, Buk Niken mengantarkanku menuju kamar yang akan aku tempati.

Kami menaiki sebuah tangga untuk sampai ke kamar yang aku sewa. Awalnya aku meminta kamar yang ada di lantai satu saja. Tapi ternyata, semua kamar di lantai satu sudah penuh, sehingga terpaksa aku harus mengisi kamar yang ada di lantai dua.

"Bulan depan ada yang pindah. Nanti kamu bisa pindah kesana," ucap Buk Niken saat kami sampai di tangga paling atas.

"Iya, Buk."

Kami pun tiba di depan sebuah pintu kamar bertuliskan "Flaminggo", sepertinya setiap kamar diberi nama-nama, bukannya nomor.

Buk Niken memutar anak kunci dan membuka pintunya.

Wanita berbadan gempal itu masuk dan aku pun mengikutinya. Di bagian depan ada sedikit ruangan untuk menyambut tamu. Di sebelah kanannya ada sebuah lorong memanjang hingga ke dapur dan kamar mandi. Di tengah-tengah lorong, ada dua pintu kamar. Jadi, masing-masing kamar diisi oleh satu orang.

Buk Niken membuka kamar yang kedua. Di dalamnya sudah ada ranjang kecil dan sebuah lemari. Di sudutnya ada sebuah jendela kecil.

"Kamar kamu disini Tasya, disebelah sudah ada orang. Namanya Amira. Nanti kalian bisa berkenalan kalau dia sudah pulang kuliah."

Sebenarnya aku memang ingin meminta kamar yang di depan saja karna aku pikir belum ada penghuninya. Tapi, kenapa Buk Niken bisa tau ya, apa yang aku pikirkan?

Setelah melihat isi kamar. Buk Niken membawaku menuju ke ujung lorong. Ternyata ada pintu kecil menuju ke teras belakang. Di sebelah kirinya, ada kamar mandi dan dapur mini.

Bu Niken kemudian membuka pintu kecil menuju teras itu.

"Nah, disini wastafel dan sekalian tempat jemurannya."

Ternyata tempat ini tidak seburuk yang aku kira. Semuanya lengkap dalam satu ruangan. Aku tidak perlu berbagi dapur, kamar mandi dan jemuran dengan penghuni kost lain seperti di kostan lamaku.

"Baiklah, ini kuncinya. Kamu bisa beres-beres kamar atau istirahat," ucap Buk Niken seraya menyerahkan kunci kamar kepadaku.

"Terima kasih, Buk."

"Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya."

Aku mengangguk dan mengantarkan Buk Niken sampai ke depan kamar.

Aku menutup pintu dan langsung menuju ke kamar.

Aku duduk diatas ranjang dan merebahkan badan. Tiba-tiba aku merasa mengantuk dan tertidur.

***

Tap. Tap. Tap.

Aku terbangun ketika mendengarkan suara langkah kaki di depan kamar.

Aku melirik jam tangan.

Ya ampun, ternyata sudah sore, bahkan sudah masuk waktu Maghrib. Aku tidak sadar ternyata tertidur selama beberapa jam.

Tap. Tap. Tap.

Langkah itu kembali terdengar.

Apa itu Amira ya?

Aku membuka pintu kamar perlahan dan melongokkan kepala.

Tidak ada siapa-siapa disana.

Aku kemudian keluar kamar dan menuju ke depan. Kosong.

Kali ini langkahku membawa menuju ke belakang. Aku melihat pintu belakang dalam keadaan sedikit terbuka. Padahal, aku yakin kalau tadi sudah ditutup.

Refleks aku menggosok tengkuk yang tiba-tiba dingin. Seperti ada yang meniupnya.

Saat akan berbalik, aku teringat dengan peraturan di kost, jangan menoleh pas Maghrib.

Dan sekarang adalah waktu Maghrib.

Merasakan ada sesuatu di belakangku, perlahan aku pun mulai menoleh.

Tiba-tiba...

BERSAMBUNG


Wuuush.

Hembusan angin dingin menerpa kulit wajahku.

Arrrgh.

Refleks memegang pipi karena rasa perih. Aku sangat terkejut melihat telapak tangan yang berdarah.

Kenapa pipiku bisa berdarah?

Brak.

Pintu menuju teras belakang tertutup dengan sangat keras. Jantungku serasa mau copot karena terkejut.

Tok. Tok. Tok.

Terdengar ketukan keras dari pintu depan.

Sambil terus memegang pipi yang terluka, aku berjalan menuju pintu.

Bug. Bug. Bug.

Kali ini pintu di pukul dengan sangat kuat sehingga menghasilkan gema di lorong ruangan kamar.

Siapa sih yang gedor-gedor? Gak sopan amat!

Baru saja akan memasukkan kunci, tanganku ditarik oleh seseorang.

Hampir saja aku berteriak karena tanganku tiba-tiba di pegang oleh seorang gadis dengan rambut sedikit berantakan. Tatapan matanya terlihat sayu dengan kulit wajah yang sedikit pucat.

"S-siapa kamu?" tanyaku seraya melepaskan tanganku yang tadi dipegangnya.

"Jangan dibuka. Ini waktu Maghrib," bisiknya.

Apa gadis ini yang bernama Amira? Penghuni kamar sebelah?

Bug. Bug. Bug.

Aku kembali menoleh ke arah pintu dan mendapati pintu bergetar karena pukulan dari luar.

"Tapi bagaimana dengan orang yang di luar sana? Mungkin ada yang butuh bantuan," ucapku kembali memandang gadis aneh itu.

"Biarkan saja," ucapnya sambil berlalu dari hadapanku, "kita tidak pernah tau, siapa yang sedang berdiri di depan pintu itu. Sekarang waktu Maghrib."

Gadis itu kembali menoleh dan akhirnya berjalan melewati lorong menuju ke kamarnya.

Lagi-lagi masalah waktu Maghrib. Ada apa sih sebenarnya?

Menunggu beberapa saat, tidak ada lagi yang menggedor pintu itu.

Karena penasaran, aku berjalan menuju jendela dan menyibak tirainya.

"Aaaaaaa...." Seraut wajah juga ikut mengintip dari luar jendela. Membuatku terkejut setengah mati. Dan aku pun menutup tirai jendela itu dengan kuat.

"Astaghfirullah..." Aku mengucapkan istighfar berkali-kali. Jantungku terasa mau copot, debaran di dada juga tidak terkendali.

"Ngapain sih sore-sore gini tu anak datang kesini?!" Aku memutar anak kunci dan langsung membukakan pintu.

"Tasya!" Irene menyerbu masuk dan memelukku.

"Kamu ngapain sih nggak ngasih kabar kalau mau kesini?!" ucapku seraya menutup pintu. Aku sangat kesal kepadanya karena tiba-tiba datang dan membuatku ketakutan.

"Eh, Nona manis! Aku tuh udah kirim pesan berkali-kali, nelpon berkali-kali, bahkan video call. Tapi apa?! Nggak ada respon sama sekali!! Aku pikir kamu kenapa-napa makanya aku menyisihkan waktuku yang sangat berharga untuk melihat keadaanmu! Tapi apa?! Ternyata reaksimu sungguh di luar ekspetasiku!" ucapnya panjang lebar dengan mata mendelik marah kepadaku.

Eh, kenapa dia yang marah? Harusnya kan aku!

"Tadi ngapain ngintip?"

"Yah, aku cuma mau lihat, ada kamu apa nggak! Tapi gelap, gak kelihatan apapun dari luar sana."

Pantesan si Irene ini tidak terkejut melihat wajahku yang mengintip dari jendela, ternyata gelap.

"Satu lagi! Kamu kalau bertamu, jangan gedor-gedor pintu dong!" protesku kepada gadis dengan hidung mancung dan berkulit putih itu.

Kening Irene berlipat, seakan heran dengan apa yang baru saja aku katakan.

"Jangan ngaco deh kamu! Orang cuma ngintip, belum sempat ketuk pintu." Jawabannya berhasil membuatku terbungkam.

Kalau bukan Irene, lalu siapa yang menggedor pintu itu? Kalaupun ada, pasti Irene melihatnya.

"Kamu lihat seseorang di depan pintu?"

"Enggak! Kenapa sih?"

Deg. Kok jadi merinding ya?

"Mau sampai kapan sih berdiri disini? Nggak ada sopan santunnya sama tamu!" ketusnya sembari nyelonong masuk.

Irene masuk ke dalam kamarku yang terbuka lebar dan langsung duduk di pinggir ranjang.

"Ngapain sih pake indekos segala? Aku udah baik loh nawarin kamu tinggal di rumahku." Irene terlihat memperhatikan sekeliling ruang kamar yang tidak terlalu besar ini.

"Aku nggak mau ngerepotin." Aku duduk di samping Irene dan membuka kantong kresek yang tadi dibawanya. Ternyata martabak manis.

"Ngerepotin gimana? Kan aku yang minta!"

Aku hanya tidak mau hubungan kami menjadi rusak kalau terus bersama setiap saat. Bukankah kalau kita bertemu hampir setiap hari apalagi tinggal bersama maka akan muncul konflik yang akan menyebabkan renggangnya hubungan persahabatan?

Sama saudara kandung saja sering cekcok kalau terlalu sering bertemu, apalagi dengan sahabat.

"Eh, bengong aja!" Irene menyenggol lenganku. "Kamu langsung nginap disini?"

"Ya enggaklah, barang-barangku masih di kosan lama. Besok kayaknya pindah kesini."

"Terus, sekarang mau balik?"

"Iya."

"Bareng aku aja, biar diantar."

Irene benar-benar sahabat yang sangat baik dan perhatian. Itulah sebabnya aku sangat senang berteman dengannya. Semuanya ikhlas tanpa pamrih.

"Kosan ini agak serem, ya. Kamu nggak takut?" Irene kembali mengedarkan pandangannya.

"Nggak sih, biasa aja."

Tiba-tiba aku teringat dengan pipiku yang terasa perih dan mengeluarkan darah. Aku segera bangkit dari duduk dan berjalan menuju lemari yang ada kaca di depannya.

Aku sangat terkejut melihat pipiku baik-baik saja. Tidak ada darah disana. Padahal, tadi aku merasa sesuatu seperti menggores pipi ini.

Apa karena aku tidur sampai sore hari makanya pikiranku menjadi kacau? Pantas saja mama sering melarangku tidur sampai sore hari.

"Kamu kenapa?" tanya Irene yang heran melihat tingkahku.

"Oh, ini. Ada jerawat," jawabku asal.

Kami mengobrol cukup lama hingga menghabiskan seluruh martabak manis yang dibawa Irene.

"Kamu bawa martabak tapi nggak bawa air minum? Keterlaluan nggak, sih," omelku. Bagaimana tidak, kerongkonganku rasanya tersendat setelah menghabiskan beberapa potong martabat itu.

"Hehehe, lupa."

"Ya, udah. Kita cabut sekarang. Nanti mampir di warung depan, ya. Haus nih!"

"Sip!"

Aku mematikan lampu dan mengunci pintu kamar.

Saat melintas di depan kamar Amira, pintu kamarnya sedikit terbuka. Tapi anehnya, lampu kamar itu dalam keadaan mati.

"Amira..." Aku berdiri di depan kamarnya. Bermaksud untuk pamit sebelum pergi.

"Amira..."

Cukup lama menunggu, tidak ada sahutan sama sekali.

"Mungkin lagi keluar. Yuk, keburu malam, takutnya hujan."

Aku mengangguk tapi tatapan mataku masih melihat ke dalam kamar yang gelap itu. Seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam kegelapan.

Seketika tubuhku merinding dan akhirnya mengikuti Irene yang sudah sampai di depan pintu.

Aku segera memutar anak kunci dan membuka pintu.

Saat sampai di luar kamar, beberapa orang gadis lewat dan tersenyum ramah. Aku mengenali dua orang diantaranya, mereka teman-teman satu jurusan denganku dan Irene. Mereka ada Jeni dan Wulan. Sahabat karib yang tidak terpisahkan, seperti aku dan Irene. Tapi, bedanya, mereka seperti pinang dibelah-belah, serba sama. Mulai dari warna rambut, pakaian, tas, sepatu. Aku bahkan curiga kalau pakaian dalam mereka juga sama.

"Hai, Sya."

"Hai Iren."

"Kamu indekos disini juga, Sya?" tanya Jeni.

"Iya, Jen. Baru mau pindah," jawabku.

"Kamar disini?" Jeni menunjuk pintu di belakangku. "Berarti barengan sama Amira, ya?"

Aku hanya mengangguk karena merasa heran dengan pertanyaan Jeni.

"Kenapa, Jen?"

Jeni mendekat dan berbicara pelan.

"Hati-hati, Sya. Amira itu aneh!"

BERSAMBUNG
DI APLIKASI KBM SUDAH ADA BAB 3 YA.

L i n k KBM ada di a k u n utama penulis.

Judul : Penghuni Rumah Kost
Penulis : silviaputri27


Akhirnya, semua barang di kost lama telah berpindah ke tempat baru. Tidak terlalu banyak, aku terpaksa melelang beberapa barang yang hanya akan membuat kamarku menjadi sempit, seperti kasur lipat, lemari plastik dan kipas angin, karena sudah disediakan di tempat ini.

Aku pun mulai membereskan semuanya, seperti merapikan baju-baju, menyusun buku-buku, mengganti sprei dan menyapu seluruh ruangan kamar.

Beberapa pakaian kotor, dibawa ke belakang dan langsung direndam. Rencananya, mau dicuci saat aku mandi sore nanti.

Saat kembali ke dalam kamar, terdengar nada pesan masuk dari ponselku.

Aku meraih ponsel dan duduk di tepi ranjang.

[Bukain pintu, Non]

Aku tersenyum dan langsung ke depan untuk membukakan pintu.

"Buat kamu..." Irene menyerahkan sebuah bungkusan dengan kantong kresek bewarna hitam.

"Apa, nih?" tanyaku sembari mengamati kantong kresek itu.

"Makan siang. Mama sengaja bikinin bekal buat kamu. Kata mama, kamu pasti bakal kerepotan karena pindahan."

Ya Allah... Gak anaknya, gak mamanya, dua-duanya sama-sama baik banget. Semoga keduanya diberikan balasan dengan yang lebih baik.

Aku pun mengaminkan di dalam hati.

Irene mendahuluiku pergi ke kamar. Saat akan menutup pintu, Amira muncul dengan wajah pucatnya. Ditangannya juga ada kantong kresek bewarna hitam tapi terlihat lebih besar dan berat.

"Hai Amira..." sapaku dengan ramah.

"Oh, hai... Salam kenal," jawabnya dengan tersenyum. Sikapnya terlihat berbeda dengan yang kemarin.

Salam kenal? Ah, iya benar. Kemarin kami memang belum sempat berkenalan karena Amira pergi begitu saja.

"Apa kita sudah pernah bertemu?" tanya Amira setelah menutup pintu.

Eh?

"Aku baru saja datang dari kampung. Harusnya kemaren sore sudah disini. Tapi, aku ketinggalan bis terakhir, jadi terpaksa aku balik lagi ke rumah." Amira terkekeh.

Degh. Kalau itu bukan Amira, lalu siapa yang bersamaku waktu itu?

"Oh, iya. Nama kamu siapa ?"

"Tasya."

"Sya... Kok lama amat sih?" Irene keluar lagi dari kamar dan menyusulku ke depan. "Oh, hai..."

Irene melihat kearah Amira yang sedang berada bersamaku, mereka berdua kemudian juga saling berkenalan. Setelahnya, kami pun masuk ke dalam kamar masing-masing.

Aneh. Ini benar-benar aneh. Aku sangat yakin kalau kemarin Amira itu ada disini, dia bahkan memegang tanganku walaupun...

Tangan itu terasa sangat dingin.

"Sya! Kok bengong aja sih dari tadi?"

"Apa? Oh, gak papa, Ren. Aku cuma lagi capek aja."

"Hm, Iren..."

"Ya?"

"Kemarin waktu kita mau pergi, kamu lihat kamar Amira terbuka gak?"

"Kanyaknya tertutup deh." jawab Irene.

Tuh kan? Aku yang salah atau ada sesuatu yang aneh terjadi di kost ini?

***

Setelah melaksanakan salat dzuhur. Aku dan sahabat baikku ini, langsung menikmati makan siang yang tadi dibuatkan oleh mamanya.

Rasa masakan mama Irene memang tidak ada duanya. Selalu terasa enak dan pas di lidah. Pantas saja mamanya sering mendapatkan orderan nasi kotak untuk berbagai acara. Bahkan, saat ada acara di kampus, mama Irene juga yang diminta untuk mengurus bagian konsumsinya.

Saat menikmati makan siang itu, Amira muncul dari kamarnya dengan membawa sebuah piring di tangannya.

"Sya, Iren, ini buat kalian berdua," ucap Amira sambil menyerahkan piring itu kepadaku.

Ternyata itu goreng ikan balado.

"Aku bawa bekal banyak. Dimakan ya..."

"Gabung makan disini aja. Kita makan bareng-bareng," ajakku.

Awalnya Amira menolak tapi dengan sedikit memaksa, akhirnya Amira mau ikut makan bersama kami.

Setelah selesai makan dan membereskannya. Kami pun mengobrol banyak hingga sampai ke pembahasan seputar kampus.

Ternyata Amira kuliah di jurusan ekonomi. Dari pengakuannya, Amira tidak memiliki teman baik, sehingga setiap harinya, perjalanan Amira hanya dari kost ke kampus ataupun sebaliknya.

Pantas saja aku tidak pernah bertemu dengannya di kampus.

***

Sehabis ashar, Irene pamit pulang karena harus membantu mamanya untuk membuat pesanan nasi kotak untuk besok pagi.

Aku pun mengantarkannya sampai ke pintu depan.

"Ren, titip salam sama mama kamu, ya. Terima kasih banyak-banyak dari aku."

"Ih, udah kayak sama orang lain aja kamu. Ya udah, aku pulang dulu ya?"

Aku mengangguk dan berdiri di depan pintu sampai punggung Irene menghilang di belokan menuju tangga.

"Sya..." Aku menoleh dan melihat Jeni berjalan menghampiriku.

"Nanti habis Maghrib, anak-anak mau jenguk Diana di rumah sakit. Kamu mau ikut gak?"

Diana? Siapa Diana?

Oh, mungkin maksudnya Diana yang terjatuh dari tangga waktu itu.

"Baiklah, aku ikut..."

"Oke, kita kumpul di bawah pukul tujuh ya."

Tidak ada salahnya aku ikut menjenguk. Walau bagaimanapun, aku sudah menjadi penghuni baru di kost ini dan aku harus bisa berbaur dengan baik.

Aku menutup pintu dan hampir saja menjerit ketika melihat Amira berdiri di belakangku.

"Astaghfirullah, Amira. Kamu bikin kaget aja!" ucapku seraya memegang dada.

Amira terkekeh, "maaf, Sya. Aku nggak bermaksud ngagetin kamu."

Aku menarik napas untuk menstabilkan debaran di dada. Sementara, Amira masih memandangku dengan seulas senyum.

"Oh, iya, nanti malam kamu ikut, gak?"

"Kemana?" tanya Amira dengan kening berlipat.

"Jenguk Diana ke rumah sakit," jawabku.

Amira terdiam sejenak, "kayaknya aku gak bisa ikut, Sya. Udah ada janji sama Bu Niken."

"Janji sama Bu Niken?"

"Iya, Sya. Aku kerja di rumahnya Bu Niken."

"Kerja apa?"

"Bersih-bersih rumah, nyuci, sama nyetrika, Sya. Nanti uangnya bisa untuk biaya hidup selama disini. Kasihan kalau harus minta sama Ibu," jawabnya dengan kembali tersenyum.

Ya Allah, aku jadi terharu. Ternyata Amira harus mencari uang tambahan untuk biaya hidup selama kuliah di kota. Sedangkan aku? Tinggal minta dan semuanya akan terpenuhi.

"Aku pamit ke rumah Bu Niken dulu, ya, Sya." Amira pun berlalu dari hadapanku.

Ternyata Amira itu anak yang baik dan sopan.

Apanya yang aneh? Justru apa yang dilakukan Amira itu sangat keren sekali. Dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa harus menyusahkan orang tuanya. Kenapa semalam si Jeni malah bilang kalau Amira itu aneh?

***

Tepat pukul tujuh malam, kami semua sudah berkumpul di halaman kost. Sebelum berangkat, kami mengumpulkan uang sosial terlebih dahulu untuk membeli buah tangan sebelum menjenguk Diana di rumah sakit.

"Nanti aku sama Viona mau mampir dulu di kios buah. Nah, yang lainnya bisa ikuti Sandra, ya. Kita ketemu di parkiran rumah sakit," ucap Wanda yang merupakan teman satu kamar Viona.

Kami semua kompak mengucapkan "oke" dan segera bersiap-siap untuk berangkat.

Aku mengikuti Karin menuju motornya yang terparkir paling ujung. Beberapa motor sudah mulai melaju dan meninggalkan halaman kost.

"Ini helmnya, Sya." Karin menyerahkan helm. Dia langsung naik ke atas motor dan menghidupkan mesinnya.

Setelah helm terpasang, aku pun segera naik di jok belakang.

Motor akhirnya melaju meninggalkan halaman kost.

Tanpa sengaja, aku melihat Amira yang memandang kepergian kami dari teras lantai dua.

Terbesit rasa kasihan melihatnya sendirian seperti itu. Amira tersenyum kepadaku dan aku pun membalas senyumannya.

Aku menatapnya cukup lama. Ternyata Amira bukan sedang tersenyum, tapi dia sedang menyeringai.

Sekian.
itkgidAvatar border
harrywjyyAvatar border
rinandyaAvatar border
rinandya dan 4 lainnya memberi reputasi
5
485
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan