

TS
naimatunn5260
MEMBALAS TAJAMNYA MULUT IPAR DAN IBU MERTUAKU
MEMBALAS TAJAMNYA MULUT IPAR DAN IBU MERTUAKU.
"Makanya, punya badan itu dikecilkan sedikit, dasar lembu! Minggir sana! Aku mau lewat!" ketus Mbak Seena. Aku yang sedang memilih sendal di depan pintupun menepi.
"Kalau aku jadi Arlan, sudah kucerai istri modelan kamu ini, makin hari makin gemuk dan kusam!" tambahnya menghina, sambil memasang sendal.
Tak ku perdulikan ucapan hinaan dari mulut tajamnya itu. Suamiku memintaku untuk tidak menanggapi ucapan keluarganya. Bila aku menanggapinya, maka pertengkaran pun akan terjadi.
Aku menuju ke arah Ibu mertua dan kedua Kakak Iparku. Mereka tampak sedang memilih sayur ke pedagang sayur keliling.
"Kita sudah naik kapal, dia masih saja ketinggalan jauh!" ucap Mbak Yara, menyindirku pastinya.
"Lihat saja jalannya, ngangkat kaki saja seperti kesusahan! Kegemukan sih, amit-amit banget, kalau aku sudah menikah nanti, aku pastikan bentuk tubuhku tidak akan berubah, walau sudah punya anak sekalipun!" tukas Mbak Seena. Suaranya sengaja di keraskan, supaya aku mendengarnya.
"Buruk sekali nasib anakku, Arlan, mendapatkan istri yang tidak bisa menjaga badan!" Bahkan, Ibu mertuaku ikut menghina dan mengejekku.
Kuakui memang, badan Ibu mertuaku masih terlihat bagus walau umurnya sudah lima puluh tahun. Tapi, apa pantas Ibu mertua mengeluarkan ucapan yang menyakiti hati menantu?
Aku berusaha tidak mengindahkan ucapan mereka. Aku lebih memilih diam. Dan ikut memilih sayuran.
"Hai! Bu, kenalkan, nama saya Gia, Ibu pasti ibunya Arlan, kan?" Wanita yang tak kukenali itu berbicara sambil melihat ke arahku.
"Mbak, bicara sama saya?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri. Wanita itu mengangguk sambil mengulas senyum.
"Kih-kih-kih..." Ibu mertua dan kedua Kakak Iparku, terkikik geli mendengarnya.
Seperti biasanya, mereka pasti sangat senang saat orang lain mengolok-olok atau menyebutku, ibunya Mas Arlan, suamiku.
"Maaf! Saya salah, ya? Saya pikir, Ibunya Arlan," ucap wanita itu lagi. Dia terlihat tidak enak hati saat mengucapkan kata maaf.
"Alaahhh! Tidak perlu minta maaf segala. Bukan hanya kamu yang menyebut Hafiyah ini ibunya Arlan. Banyak kok yang mengira kalau dia ini ibunya Arlan. Ha-ha-ha!" celetuk Mbak Seena, diiringi suara tawanya yang melengking.
"Makanya, kamu harus diet Hafiyah! Badanmu itu sudah seperti Lembu bunting! Kasihan sekali Arlan, kalau jalan sama istrinya seperti jalan sama ibunya, ibunya saja tidak seperti kamu!" sambung Mbak Yara. Kakak tertua, suamiku.
Sebutan lembu bunting atau sapi bunting, sering sekali keluar dari mulutnya mereka. Tanpa memperdulikan perasaanku yang sakit. Ketika mendengar ejekkannya itu.
"Oh, jadi, ini istrinya Arlan? Saya pikir Ibunya, lho! Soalnya, kemarin siang saya lihat Arlan membonceng ibu... Maaf, maksud saya Mbak, jadi saya pikir kalau Mbak ini ibunya," ucapnya lagi. Wanita yang bernama Gia ini cantik, secantik namanya, namanya seperti pemeran film Hindustan. Perutnya ramping sekali. Sangat jauh berbeda denganku. Yang buncit dan sedikit menggelambir.
Setelah melahirkan anak pertamaku. Badan dan perutku sangat susah untuk dikecilkan kembali. Seperti, sewaktu aku masih gadis dulu.
"Sudah, jangan dipikirkan. Ngomong-ngomong, Nak Gia ini yang baru menghuni di rumah itu, ya?" tanya Ibu mertua dengan sangat lembut. Wanita itupun mengangguk dan tersenyum.
Pantasan saja aku baru melihatnya. Ternyata, tetangga baru.
"Wah! Kalau begitu, nanti malam mampir ke rumah kami, ya? Makan malam di rumah kami, biar saling mengenal satu sama lain, masa kita tetanggaan tidak saling mengenal," ucap Mbak Seena. Tampaknya dia sangat girang bisa berkenalan dengan wanita yang bernama Gia itu.
Aku membayar barang belanjaanku ke tukang sayur keliling langganan. Pagi-pagi aku sudah sarapan dengan ejekan. Aku berlalu meninggalkan mereka yang sedang asik berbincang. Kehadiranku pasti tidak akan dianggap, kalau aku masih tetap berada di sana.
Huh! Sesak sekali mendengar ucapan mereka tadi. Tapi, apa yang mereka katakan benar adanya. Bukan hanya satu atau dua orang yang menyebutku ibunya, Mas Arlan. Bisa dikatakan, setiap kami bertemu dengan teman-temannya Mas Arlan atau kami pergi ke kondangan. Mereka pasti menyebutku seperti itu, mereka mengatakan hanya bercanda. Tapi, aku merasa sakit hati bila mendengar candaan mereka.
Kadang, sering aku bertanya kepada Mas Arlan. Apa dia malu ketika berjalan denganku? Jawabannya selalu saja tidak. Dan suamiku juga selalu memintaku untuk tidak mendengar perkataan mereka.
Pernah sekali, saat menghadiri pesta pernikahan anak dari adiknya, Ibu mertua. Mereka terang-terangan meminta Arlan untuk menceraikanku, dan menyuruh Mas Arlan untuk mencari istri yang cocok dan sepadan dengan Mas Arlan.
Reaksi Mas Arlan sangat marah saat itu. Karena kondisiku pada saat itu sedang hamil besar. Dengan berat badanku yang hampir mencapai 130 kilo. Sangat tidak cocok bila berjalan berdampingan dengan Mas Arlan. Yang mempunyai tubuh tinggi 175 cm dengan berat badannya yang hanya 70 kilo. Berbeda denganku, yang tingginya hanya 155 cm. Pendek sekali bukan?
Setelah melahirkan, berat badanku turun hanya sedikit. Ketika aku ingin diet, maka Mas Arlan akan melarangnya. Dia memintaku untuk fokus menyusui saja, tanpa harus memikirkan berat badanku.
Di satu sisi, aku bahagia mempunyai suami seperti Mas Arlan. Di sisi yang lain, aku sangat terluka ketika mendengar ucapan dari keluarganya.
_____
"Banyak sekali masaknya hari ini, ada acara apa?" tanya Bapak mertuaku. Matanya menatap satu persatu hidangan yang sudah tersusun rapih di atas meja makan.
"Ini spesial untuk tamu kita, Pak." jawab Ibu dengan senyum semringah.
"Tamu? Tamu siapa?" tanya Bapak sambil memandang ke arahku.
"Itu, lho, tetangga kita yang baru pindah di depan sana, namanya Gia, nanti Bapak juga tau," jawab Ibu mertua.
Aku mencari mangkok yang berisi lauk dan sayur yang sudah kumasak tadi. Namun, tak terlihat berada di meja makan. Hanya masakan Ibu mertuaku yang terlihat.
Di rumah ini, kami masih tinggal menumpang. Makan dan minum dibedakan. Setiap hari bergiliran untuk memasak di dapur. Walau makan dan minum dibedakan, keperluan rumah tetap saja suamiku yang memenuhinya. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Selagi nafkah dan kebutuhan anakku tercukupi.
"Lauk dan sayur kamu, sudah Ibu letakkan di dapur, kamu makan di dapur saja! Soalnya, Gia akan datang makan malam bersama kami," ucap Ibu mertua tanpa memandangku.
Aku tersenyum kecut saat mendengar ucapan Ibu mertua. Apa mungkin, wanita paruh baya ini akan menjodohkan Mas Arlan dengan wanita itu. Seperti, waktu sebelum-sebelumnya. Aku ingin melihat reaksi Mas Arlan, apa dia akan menolak seperti sebelumnya? Semoga saja, iya.
"Ngapain kamu berdiri di situ? Pergi sana! Gia sudah ada di depan, keberadaan kamu disini hanya membuat nafsu makanku hilang!" bentak Mbak Seena. Wajah cantiknya itu tidak pernah menampakkan senyum manis saat melihatku.
"Ayo, duduk, duduk Nak Gia, jangan sungkan," ucap Ibu mertua, menyambut kedatangan Gia dengan ramah. Hanya Bapak mertua yang terlihat tidak suka.
Aku masuk ke dalam kamar. Mas Arlan baru keluar dari dalam kamar mandi. Wajahnya tampak lebih segar setelah mandi.
"Ada apa, Dek?" tanya Mas Arlan. Ketika aku hanya diam sambil menatapnya lekat.
"Tidak, tidak ada apa-apa, Mas." jawabku.
Lima tahun sudah kami berumah tangga. Tak pernah sekalipun Mas Arlan mengomentari tentang bentuk badanku. Aku bersyukur memiliki suami seperti, Mas Arlan.
"Lan, ayo makan, Ibu tunggu di meja makan," Suara Ibu mertua dari luar pintu kamar kami.
"Ayo kita makan," ajak Mas Arlan.
"Aku masih kenyang, Mas. Nanti saja aku makan, Mas duluan saja, Ibu sudah menunggu," kataku dengan suara pelan. Sebab, anak kami yang baru berumur 11 bulan sedang tertidur pulas.
"Kalau gitu, temani Mas makan, ya? Mumpung Adel lagi tidur," Aku menatapnya ragu. Kalau menolak, pasti Mas Arlan akan tetap memaksa. Kalau aku menurut, pasti Ibu mertua akan marah.
"Yuk," ajak Mas Arlan sambil memegang tanganku. Terpaksa aku menurut dan mengekor di belakang Mas Arlan.
"Ngapain Lembu betina itu ikut? Ck! Bikin oksigen berkurang saja!" decak Mbak Yara.
"Mbak, jangan ngomong seperti itu, Hafiyah itu istriku, tolong hargai dia," tegur Mas Arlan. Aku masih bisa mendengarnya dari arah dapur. Pura-pura mencuci tangan untuk mendengar pembicaraan mereka.
"Iya, tapi memang benar 'kan? Semakin hari Istrimu itu hampir mirip dengan Lembu!" tukas Mbak Seena.
"Sudah! Jangan bahas tentang itu," Suara Ibu mertua menengahi," Arlan, ini Gia, tetangga baru kita," Ibu mulai memperkenalkan wanita itu kepada Mas Arlan. Aku menajamkan pendengaranku.
"Arlan sudah kenal, Bu. Gia ini pegawai Bank juga di tempat Arlan bekerja." sahut Mas Arlan.
Oh, ternyata wanita itu pegawai Bank. Pantasan saja Mas Arlan kenal. Karena Mas Arlan juga bekerja di sana, dan pastinya mereka sering bertemu.
Setelah itu, mereka larut dalam pembicaraan sambil menyantap makan malam. Sesekali terdengar tawa renyah dari Ibu mertua dan Mas Arlan. Luar biasa sekali Mas Arlan. Dia melupakanku, aku yang masih berada di dapur memilih untuk masuk kembali ke dalam kamar.
______
"Lan, gimana? Sudah kamu pikirkan belum? Gia itu cantik lho, pegawai Bank juga sama sepertimu, Sayang sekali kalau kamu menolaknya, sedangkan Gia mau menjadi istri ke-duamu,"
Deg!
Jantungku berdegup kencang. Penuturan Ibu mertua, berhasil membuatku menghentikan langkah. Padahal, ini bukan yang pertama kalinya Ibu mertua ingin menjodohkan Mas Arlan dengan wanita lain. Tetap saja, aku tidak bisa terima kalau Mas Arlan menikah lagi.
Bisa-bisanya wanita itu menawarkan diri untuk menjadi istri ke-dua.
"Tidak, Bu. Arlan tidak mau menyakiti Hafiyah, tidak ada yang kurang darinya. Apa alasan Ibu menjodohkan Arlan dengan Gia?"
"Ya jelas tidak ada kurangnya! Istrimu itu kelebihan lemaknya, Ibu malu Arlan. Masa menantu Ibu mirip Ibu-ibu seperti, Hafiyah. Buka sedikit matamu itu, Arlan! Tidak ada yang bisa kamu banggakan darinya. Yang hanya bisa makan dan menghabiskan uangmu saja! Kalau Gia, dia wanita sukses dan cantik. Sama sepertimu, kalian sangat serasi sekali. Kamu akan bangga ketika orang-orang mengagumi sosok Gia," terang Ibu mertua panjang lebar.
"Betul kata Ibu, apa yang kamu banggakan dari Hafiyah? Tidak ada sama sekali!" imbuh Mbak Yara.
"Hanya badannya saja yang punya kelebihan, kelebihan lemak dan kelebihan kusam, sangat mirip dengan lembunya Bapak yang lagi bunting! Ha-ha-ha..." Mbak Seena kembali mengolok. Tawanya terdengar puas setelah menghinaku.
Tak terdengar suara Mas Arlan menegur perkataan Mbak Seena yang menyakiti hati.
"Hafiyah menjadi seperti sekarang, karena melahirkan Adel, Bu. Setelah Adel besar, badannya juga akan cantik seperti semula." ucap Mas Arlan setelah lama terdiam.
"Ibu sudah melahirkan empat anak, lihat badan Ibu, apa seperti istrimu itu? Dia baru melahirkan satu anak saja, sudah tidak bisa menjaga badan!" kata Ibu mertua setengah bersungut.
Aku keluar dari tempat persembunyian. Mereka serentak menatap ke arahku.
"Turuti saja keinginan Ibumu, Mas." ucapku membuat bola mata Mas Arlan membulat sempurna. Seketika, senyum manis menghiasi bibir Mas Arlan. Apa maksud dari senyumannya itu?
MEMBALAS TAJAMNYA MULUT IPAR DAN IBU MERTUAKU
anisah1797
https://read.kbm.id/book/detail/f8bf...4-7f8f7ffea56e
Cerita ini bisa dibaca di KBM App dan Joylada
"Makanya, punya badan itu dikecilkan sedikit, dasar lembu! Minggir sana! Aku mau lewat!" ketus Mbak Seena. Aku yang sedang memilih sendal di depan pintupun menepi.
"Kalau aku jadi Arlan, sudah kucerai istri modelan kamu ini, makin hari makin gemuk dan kusam!" tambahnya menghina, sambil memasang sendal.
Tak ku perdulikan ucapan hinaan dari mulut tajamnya itu. Suamiku memintaku untuk tidak menanggapi ucapan keluarganya. Bila aku menanggapinya, maka pertengkaran pun akan terjadi.
Aku menuju ke arah Ibu mertua dan kedua Kakak Iparku. Mereka tampak sedang memilih sayur ke pedagang sayur keliling.
"Kita sudah naik kapal, dia masih saja ketinggalan jauh!" ucap Mbak Yara, menyindirku pastinya.
"Lihat saja jalannya, ngangkat kaki saja seperti kesusahan! Kegemukan sih, amit-amit banget, kalau aku sudah menikah nanti, aku pastikan bentuk tubuhku tidak akan berubah, walau sudah punya anak sekalipun!" tukas Mbak Seena. Suaranya sengaja di keraskan, supaya aku mendengarnya.
"Buruk sekali nasib anakku, Arlan, mendapatkan istri yang tidak bisa menjaga badan!" Bahkan, Ibu mertuaku ikut menghina dan mengejekku.
Kuakui memang, badan Ibu mertuaku masih terlihat bagus walau umurnya sudah lima puluh tahun. Tapi, apa pantas Ibu mertua mengeluarkan ucapan yang menyakiti hati menantu?
Aku berusaha tidak mengindahkan ucapan mereka. Aku lebih memilih diam. Dan ikut memilih sayuran.
"Hai! Bu, kenalkan, nama saya Gia, Ibu pasti ibunya Arlan, kan?" Wanita yang tak kukenali itu berbicara sambil melihat ke arahku.
"Mbak, bicara sama saya?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri. Wanita itu mengangguk sambil mengulas senyum.
"Kih-kih-kih..." Ibu mertua dan kedua Kakak Iparku, terkikik geli mendengarnya.
Seperti biasanya, mereka pasti sangat senang saat orang lain mengolok-olok atau menyebutku, ibunya Mas Arlan, suamiku.
"Maaf! Saya salah, ya? Saya pikir, Ibunya Arlan," ucap wanita itu lagi. Dia terlihat tidak enak hati saat mengucapkan kata maaf.
"Alaahhh! Tidak perlu minta maaf segala. Bukan hanya kamu yang menyebut Hafiyah ini ibunya Arlan. Banyak kok yang mengira kalau dia ini ibunya Arlan. Ha-ha-ha!" celetuk Mbak Seena, diiringi suara tawanya yang melengking.
"Makanya, kamu harus diet Hafiyah! Badanmu itu sudah seperti Lembu bunting! Kasihan sekali Arlan, kalau jalan sama istrinya seperti jalan sama ibunya, ibunya saja tidak seperti kamu!" sambung Mbak Yara. Kakak tertua, suamiku.
Sebutan lembu bunting atau sapi bunting, sering sekali keluar dari mulutnya mereka. Tanpa memperdulikan perasaanku yang sakit. Ketika mendengar ejekkannya itu.
"Oh, jadi, ini istrinya Arlan? Saya pikir Ibunya, lho! Soalnya, kemarin siang saya lihat Arlan membonceng ibu... Maaf, maksud saya Mbak, jadi saya pikir kalau Mbak ini ibunya," ucapnya lagi. Wanita yang bernama Gia ini cantik, secantik namanya, namanya seperti pemeran film Hindustan. Perutnya ramping sekali. Sangat jauh berbeda denganku. Yang buncit dan sedikit menggelambir.
Setelah melahirkan anak pertamaku. Badan dan perutku sangat susah untuk dikecilkan kembali. Seperti, sewaktu aku masih gadis dulu.
"Sudah, jangan dipikirkan. Ngomong-ngomong, Nak Gia ini yang baru menghuni di rumah itu, ya?" tanya Ibu mertua dengan sangat lembut. Wanita itupun mengangguk dan tersenyum.
Pantasan saja aku baru melihatnya. Ternyata, tetangga baru.
"Wah! Kalau begitu, nanti malam mampir ke rumah kami, ya? Makan malam di rumah kami, biar saling mengenal satu sama lain, masa kita tetanggaan tidak saling mengenal," ucap Mbak Seena. Tampaknya dia sangat girang bisa berkenalan dengan wanita yang bernama Gia itu.
Aku membayar barang belanjaanku ke tukang sayur keliling langganan. Pagi-pagi aku sudah sarapan dengan ejekan. Aku berlalu meninggalkan mereka yang sedang asik berbincang. Kehadiranku pasti tidak akan dianggap, kalau aku masih tetap berada di sana.
Huh! Sesak sekali mendengar ucapan mereka tadi. Tapi, apa yang mereka katakan benar adanya. Bukan hanya satu atau dua orang yang menyebutku ibunya, Mas Arlan. Bisa dikatakan, setiap kami bertemu dengan teman-temannya Mas Arlan atau kami pergi ke kondangan. Mereka pasti menyebutku seperti itu, mereka mengatakan hanya bercanda. Tapi, aku merasa sakit hati bila mendengar candaan mereka.
Kadang, sering aku bertanya kepada Mas Arlan. Apa dia malu ketika berjalan denganku? Jawabannya selalu saja tidak. Dan suamiku juga selalu memintaku untuk tidak mendengar perkataan mereka.
Pernah sekali, saat menghadiri pesta pernikahan anak dari adiknya, Ibu mertua. Mereka terang-terangan meminta Arlan untuk menceraikanku, dan menyuruh Mas Arlan untuk mencari istri yang cocok dan sepadan dengan Mas Arlan.
Reaksi Mas Arlan sangat marah saat itu. Karena kondisiku pada saat itu sedang hamil besar. Dengan berat badanku yang hampir mencapai 130 kilo. Sangat tidak cocok bila berjalan berdampingan dengan Mas Arlan. Yang mempunyai tubuh tinggi 175 cm dengan berat badannya yang hanya 70 kilo. Berbeda denganku, yang tingginya hanya 155 cm. Pendek sekali bukan?
Setelah melahirkan, berat badanku turun hanya sedikit. Ketika aku ingin diet, maka Mas Arlan akan melarangnya. Dia memintaku untuk fokus menyusui saja, tanpa harus memikirkan berat badanku.
Di satu sisi, aku bahagia mempunyai suami seperti Mas Arlan. Di sisi yang lain, aku sangat terluka ketika mendengar ucapan dari keluarganya.
_____
"Banyak sekali masaknya hari ini, ada acara apa?" tanya Bapak mertuaku. Matanya menatap satu persatu hidangan yang sudah tersusun rapih di atas meja makan.
"Ini spesial untuk tamu kita, Pak." jawab Ibu dengan senyum semringah.
"Tamu? Tamu siapa?" tanya Bapak sambil memandang ke arahku.
"Itu, lho, tetangga kita yang baru pindah di depan sana, namanya Gia, nanti Bapak juga tau," jawab Ibu mertua.
Aku mencari mangkok yang berisi lauk dan sayur yang sudah kumasak tadi. Namun, tak terlihat berada di meja makan. Hanya masakan Ibu mertuaku yang terlihat.
Di rumah ini, kami masih tinggal menumpang. Makan dan minum dibedakan. Setiap hari bergiliran untuk memasak di dapur. Walau makan dan minum dibedakan, keperluan rumah tetap saja suamiku yang memenuhinya. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Selagi nafkah dan kebutuhan anakku tercukupi.
"Lauk dan sayur kamu, sudah Ibu letakkan di dapur, kamu makan di dapur saja! Soalnya, Gia akan datang makan malam bersama kami," ucap Ibu mertua tanpa memandangku.
Aku tersenyum kecut saat mendengar ucapan Ibu mertua. Apa mungkin, wanita paruh baya ini akan menjodohkan Mas Arlan dengan wanita itu. Seperti, waktu sebelum-sebelumnya. Aku ingin melihat reaksi Mas Arlan, apa dia akan menolak seperti sebelumnya? Semoga saja, iya.
"Ngapain kamu berdiri di situ? Pergi sana! Gia sudah ada di depan, keberadaan kamu disini hanya membuat nafsu makanku hilang!" bentak Mbak Seena. Wajah cantiknya itu tidak pernah menampakkan senyum manis saat melihatku.
"Ayo, duduk, duduk Nak Gia, jangan sungkan," ucap Ibu mertua, menyambut kedatangan Gia dengan ramah. Hanya Bapak mertua yang terlihat tidak suka.
Aku masuk ke dalam kamar. Mas Arlan baru keluar dari dalam kamar mandi. Wajahnya tampak lebih segar setelah mandi.
"Ada apa, Dek?" tanya Mas Arlan. Ketika aku hanya diam sambil menatapnya lekat.
"Tidak, tidak ada apa-apa, Mas." jawabku.
Lima tahun sudah kami berumah tangga. Tak pernah sekalipun Mas Arlan mengomentari tentang bentuk badanku. Aku bersyukur memiliki suami seperti, Mas Arlan.
"Lan, ayo makan, Ibu tunggu di meja makan," Suara Ibu mertua dari luar pintu kamar kami.
"Ayo kita makan," ajak Mas Arlan.
"Aku masih kenyang, Mas. Nanti saja aku makan, Mas duluan saja, Ibu sudah menunggu," kataku dengan suara pelan. Sebab, anak kami yang baru berumur 11 bulan sedang tertidur pulas.
"Kalau gitu, temani Mas makan, ya? Mumpung Adel lagi tidur," Aku menatapnya ragu. Kalau menolak, pasti Mas Arlan akan tetap memaksa. Kalau aku menurut, pasti Ibu mertua akan marah.
"Yuk," ajak Mas Arlan sambil memegang tanganku. Terpaksa aku menurut dan mengekor di belakang Mas Arlan.
"Ngapain Lembu betina itu ikut? Ck! Bikin oksigen berkurang saja!" decak Mbak Yara.
"Mbak, jangan ngomong seperti itu, Hafiyah itu istriku, tolong hargai dia," tegur Mas Arlan. Aku masih bisa mendengarnya dari arah dapur. Pura-pura mencuci tangan untuk mendengar pembicaraan mereka.
"Iya, tapi memang benar 'kan? Semakin hari Istrimu itu hampir mirip dengan Lembu!" tukas Mbak Seena.
"Sudah! Jangan bahas tentang itu," Suara Ibu mertua menengahi," Arlan, ini Gia, tetangga baru kita," Ibu mulai memperkenalkan wanita itu kepada Mas Arlan. Aku menajamkan pendengaranku.
"Arlan sudah kenal, Bu. Gia ini pegawai Bank juga di tempat Arlan bekerja." sahut Mas Arlan.
Oh, ternyata wanita itu pegawai Bank. Pantasan saja Mas Arlan kenal. Karena Mas Arlan juga bekerja di sana, dan pastinya mereka sering bertemu.
Setelah itu, mereka larut dalam pembicaraan sambil menyantap makan malam. Sesekali terdengar tawa renyah dari Ibu mertua dan Mas Arlan. Luar biasa sekali Mas Arlan. Dia melupakanku, aku yang masih berada di dapur memilih untuk masuk kembali ke dalam kamar.
______
"Lan, gimana? Sudah kamu pikirkan belum? Gia itu cantik lho, pegawai Bank juga sama sepertimu, Sayang sekali kalau kamu menolaknya, sedangkan Gia mau menjadi istri ke-duamu,"
Deg!
Jantungku berdegup kencang. Penuturan Ibu mertua, berhasil membuatku menghentikan langkah. Padahal, ini bukan yang pertama kalinya Ibu mertua ingin menjodohkan Mas Arlan dengan wanita lain. Tetap saja, aku tidak bisa terima kalau Mas Arlan menikah lagi.
Bisa-bisanya wanita itu menawarkan diri untuk menjadi istri ke-dua.
"Tidak, Bu. Arlan tidak mau menyakiti Hafiyah, tidak ada yang kurang darinya. Apa alasan Ibu menjodohkan Arlan dengan Gia?"
"Ya jelas tidak ada kurangnya! Istrimu itu kelebihan lemaknya, Ibu malu Arlan. Masa menantu Ibu mirip Ibu-ibu seperti, Hafiyah. Buka sedikit matamu itu, Arlan! Tidak ada yang bisa kamu banggakan darinya. Yang hanya bisa makan dan menghabiskan uangmu saja! Kalau Gia, dia wanita sukses dan cantik. Sama sepertimu, kalian sangat serasi sekali. Kamu akan bangga ketika orang-orang mengagumi sosok Gia," terang Ibu mertua panjang lebar.
"Betul kata Ibu, apa yang kamu banggakan dari Hafiyah? Tidak ada sama sekali!" imbuh Mbak Yara.
"Hanya badannya saja yang punya kelebihan, kelebihan lemak dan kelebihan kusam, sangat mirip dengan lembunya Bapak yang lagi bunting! Ha-ha-ha..." Mbak Seena kembali mengolok. Tawanya terdengar puas setelah menghinaku.
Tak terdengar suara Mas Arlan menegur perkataan Mbak Seena yang menyakiti hati.
"Hafiyah menjadi seperti sekarang, karena melahirkan Adel, Bu. Setelah Adel besar, badannya juga akan cantik seperti semula." ucap Mas Arlan setelah lama terdiam.
"Ibu sudah melahirkan empat anak, lihat badan Ibu, apa seperti istrimu itu? Dia baru melahirkan satu anak saja, sudah tidak bisa menjaga badan!" kata Ibu mertua setengah bersungut.
Aku keluar dari tempat persembunyian. Mereka serentak menatap ke arahku.
"Turuti saja keinginan Ibumu, Mas." ucapku membuat bola mata Mas Arlan membulat sempurna. Seketika, senyum manis menghiasi bibir Mas Arlan. Apa maksud dari senyumannya itu?
MEMBALAS TAJAMNYA MULUT IPAR DAN IBU MERTUAKU
anisah1797
https://read.kbm.id/book/detail/f8bf...4-7f8f7ffea56e
Cerita ini bisa dibaca di KBM App dan Joylada
0
2K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan