Kaskus

Hobby

naimatunn5260Avatar border
TS
naimatunn5260
KUBELI KESOMBONGAN SUAMIKU
KUBELI KESOMBONGAN SUAMIKU

"Enak banget, ya, jadi kamu, Fir. Pagi-pagi begini sudah main ponsel, dah kayak orang kaya aja," ucap Ibu mertua dengan tangan bersedekap. Rumahnya yang tidak jauh dari rumahku membuat ia bisa datang kapan saja ia mau.

Kalau masih pagi aku sudah pegang ponsel itu karena sejak sebelum subuh aku sudah bangun untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sehingga ketika anakku yang sudah duduk di bangku SD dan TK berangkat sekolah, aku sudah tidak punya pekerjaan.

Kuhela napas perlahan dan menatap tajam wanita yang sudah melahirkan suamiku itu. Kuletakkan ponsel dalam genggaman. "Aku kerja, Bu."

Ibu tertawa. "Nggak percaya."

Aku hanya mengendikkan bahu. Ibu tidak pernah percaya dengan pekerjaan baruku yaitu menulis. Ia selalu bilang mana mungkin menulis bisa menghasilkan uang apalagi aku hanya tamatan SMA, bahkan punya ponsel juga belum lama. Iya, aku punya ponsel ini karena terpaksa, anakku yang sudah kelas empat harus belajar daring waktu itu. Ponsel ini pun pemberian adikku karena ia sudah bosan.

Awalnya hanya iseng, tetapi ternyata aku bisa membuktikan kalau menulis ini hasilnya nyata meski penghasilanku tidak sebanyak penulis senior.

***

Mas Zain sudah berangkat ke kantor setelah sarapan. Lelaki itu juga tidak percaya jika aku bisa punya penghasilan dari ponsel yang kupunya karena memang di tempatku belum ada yang menjadi penulis berpenghasilan.

Senyum di bibirku mengembang saat mengetahui pencapaianku dari hasil nulis bulan ini tiga juta. Segera kuhubungi Diva--adikku untuk mengantarku mengambil uang di bank. Iya, hanya keluargaku yang percaya dengan keberhasilanku ini.

Diva memberi saran untuk membeli mesin cuci agar pekerjaanku ringan sehingga waktuku menulis lebih banyak. Iya, punya anak kecil memang membuat cucianku banyak apalagi di bungsu hobi main air yang membuat ia bisa ganti baju lima kali sehari.

"Ya ampun, nggak punya pekerjaan aja sok-sokan beli mesin cuci?" Ibu mertua berkacak pinggang saat sebuah mobil menurunkan barang yang masih dibungkus kardus itu.

"Ini pakai uangku sendiri, Bu."

"Uangmu sendiri? Uang dari mana? Kamu kan nggak kerja?"

Aku mendengkus. Bingung mau menjelaskan seperti apa lagi dengan pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah ini.

"Zain, punya istri itu jangan terlalu dimanja. Masa hanya di rumah kamu belikan mesin cuci? Kalau gitu Ibu juga mau dibelikan mesin cuci seperti Firda. Mana uangnya?" Ibu mengulurkan tangan ketika Mas Zain baru pulang kerja.

"Kamu beli mesin cuci? Kenapa nggak minta izin dulu padaku?" Muka Mas Zain memerah.

Aku menggigit bibir bawah. Tadi terlalu bersemangat sehingga lupa minta izin suami, tetapi aku pikir itu tidak perlu karena aku beli dengan uangku sendiri.

"Istri nggak tahu diri. Beli barang dengan harga jutaan nggak minta izin pada suami padahal yang kamu gunakan itu uangku, kan?"

"Uangmu? Uang yang mana? Kapan kamu memberiku uang?"

Mas Zain mendelik. "Jangan pura-pura lupa, ya? Setiap bulan aku memberimu uang bulanan, kan? Dan mesin cuci itu hasil dari kamu menyisihkan uang bulanan itu kan?"

Hampir saja aku tertawa. Dari mana aku bisa menyisihkan uang jika suamiku hanya memberiku uang nafkah dua juta setiap bulannya dengan dua orang anak. Jangankan menabung, untuk kebutuhan sehari-hari saja kurang. Namun, semua itu bisa kututup dengan penghasilanku dari menulis.

"Ibu mau mesin cuci, ya? Ya udah, ambil saja mesin cuci yang baru dibeli Firda itu. Entar dia keenakan kalau punya mesin cuci, lebih baik buat ibu saja." Mas Zain menunjuk mesin cuci yang masih dibungkus kardus itu.

"Enggak, Mas. Itu milikku dan kamu tidak berhak untuk memberikan begitu saja pada Ibu. Aku nggak terima!" ucapku kesal.

"Dengar, ya, Fir. Ini rumahku. Kalau kamu tidak Terima dengan aturanku, silakan pergi dari rumah ini dan aku tidak akan menahannya," ucap Mas Zain lantang.

Bagai guntur di siang bolong. Tega sekali suamiku mengusirku. "Kamu ngusir aku, Mas?"

"Iya, ini sebagai balasan karena kamu sudah lancang beli barang tanpa izin."

Mataku panas, tapi kutahan agar jangan sampai meneteskan air mata. "Baik. Aku akan pergi jika memang sudah tidak dibutuhkan lagi."

Aku tidak menyangka jika tindakanku beli mesin cuci tanpa izin ini dianggap lancang oleh suami. Baiklah, aku tidak boleh nangis, selama ini ia tidak pernah menghargaiku sebagai seorang istri, tetapi aku bertahan demi anak, tetapi ternyata kesabaranku ada batasnya. Aku tidak akan bersimpuh di kakinya untuk memohon agar tidak mengusirku.

Akan kutunjukkan kalau aku bukan wanita lemah dan pengangguran seperti yang ia katakan selama ini. Aku yakin bisa sukses tanpa dia apalagi aku juga baru dapat kabar kalau naskah cerita yang aku tulis dipinang penerbit dari sebuah platform.

Akan kubuat kamu menyesal karena sudah mengusirku, Mas.

Di KBM App sudah tamat
Username 👉Sitiaisyah9078

https://read.kbm.id/book/detail/6b73...e-292d28ea128b
0
809
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan