Kaskus

Story

naimatunn5260Avatar border
TS
naimatunn5260
Kau Rujuk Aku Merajuk (Bab 6)
KAU RUJUK AKU MERAJUK
BAB 6

"Ayaaaaaah." Rindu berteriak riang saat melihat Dimas turun dari mobil. Berlari kencang menyongsong kedatangan ayahnya.


Dimas tertawa. Lelaki itu segera berjongkok dan merentangkan tangan. Menyambut putrinya ke dalam pelukan.


"Tante Hanin." Rindu tersenyum menyadari ada Hanin di dekat mereka. Gadis manis berbando merah itu melepaskan pelukan Dimas, bergegas meraih tangan Hanin. Salim.


Hanin tertawa kecil melihat Rindu menggerak-gerakkan kepalanya. Gadis kecil itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan.


Hanin dekat dengan Rindu, malah pernah mereka sangat dekat, melebihi kedekatan Rindu dan Sita. Beberapa kali Sita sempat menitipkan Rindu pada Hanin saat dia bekerja. Namun semenjak Sita merasa kedekatan mereka semakin intens, Sita membatasinya.


Sebagai sesama wanita Hanin menyadari Sita merasa sedikit tidak nyaman  Sejak saat itu Hanin sedikit menjaga jarak. Berinteraksi seadanya dengan anak sambungnya itu. Padahal bagi Hanin, anak Dimas adalah anaknya juga. Tetapi karena Sita kurang berkenan, Hanin menghormati perasaan wanita itu.


"Rindu sama siapa ke sini?" Dimas menggandeng anaknya berjalan masuk ke dalam rumah.


"Ibu." Gadis kecil itu tersenyum menampakkan gigi kelincinya. Dimas tertawa melihat ekspresi Rindu. Mencubit pipi gembul dan menggemaskan itu.


Sementara Hanin yang berjalan di belakang mereka mengernyitkan kening. Sita ada di sini? Kenapa?


Wanita berjilbab kuning gading itu berusaha mengingat-ingat percakapannya dengan Mama Desi di telepon tadi malam.


"Besok pagi ke rumah ya, Nin. Ajak Dimas juga. Sudah lama kita tidak kumpul-kumpul makan bersama." Suara Mama Desi terdengar riang di ujung telepon sana.


"Siap, Ma. Dalam rangka apa, nih?"


"Ah, cuma kumpul-kumpul biasa. Memangnya kamu tidak kangen masakan enak Mama?" Mertua Hanin terkekeh.


"Kangen doooong. Ini si dedek juga kangen katanya." Hanin ikut tertawa.


"Ya sudah, besok ke sini sama Dimas ya. Kamu istirahat yang cukup, Nin. Jangan terlalu kecapekan. Kalau tidak kuat masak, minta Dimas beli saja." Hanin mengangguk, padahal dia tahu mertuanya itu tidak akan bisa melihat anggukannya.


Hanin menggeleng. Tidak ada yang aneh dengan percakapannya dan Mama Desi di telepon tadi malam. Lalu, kenapa ada Sita di sini?


Perasaan Hanin mendadak basah. Mata bening itu berkabut. Bukankah dulu Sita menantu kebanggaan keluarga ini? Mbok Ti, ibunya, sering bercerita betapa serasi anak majikan dan istrinya itu. Yang satu tampan, sementara yang satu cantik. Karir keduanya bagus. Mereka juga baik. Pasangan ideal, andai keduanya tidak terpaksa berpisah.


Wanita yang menggunakan gamis panjang senada dengan warna jilbabnya itu menarik napas panjang. Tidak. Dia tidak boleh menangis lagi.


"Assalamualaikum." Dimas dan Hanin mengucap salam bersamaan.


"Waalaikumussalam, ayo ayo masuk." Papa Roy tersenyum lebar menyambut anak dan menantunya itu.


"Sehat, Nin?" Papa Roy bertanya saat Hanin salim.


"Alhamdulillah sehat, Pa." Hanin mengangguk.


"Itu Mama lagi di dapur menyiapkan makanan, kalau kamu capek, istirahat saja. Kasihan itu calon cucu Papa di perut." Lelaki yang rambutnya mulai sedikit beruban itu tertawa lebar.


Hanin ikut tertawa. Dia sangat bersyukur keluarga ini menerimanya dengan tangan terbuka walau status sosial mereka sangat jauh.


Wanita yang tengah berbadan dua itu segera berjalan ke dapur setelah sedikit berbasa-basi.


"Haniiiiin," seru Mama Desi begitu melihat menantunya itu memasuki dapur.


"Ma." Hanin tersenyum, menyambut pelukan Mama Desi.


"Bawa apa ini?" Mama Desi melihat kantong yang dibawa Hanin.


"Ayam masak rica-rica, Ma."


"Waaah, enak tuh. Tata di atas meja, ya. Mama ada perlu sebentar keluar." Mama Desi berlalu setelah sebelumnya mengelus perut Hanin yang membuncit.


"Ta," sapa Hanin pada perempuan yang tengah sibuk menata sesuatu di meja makan.


"Buat apa bawa-bawa lauk segala, Nin? Mau pamer kamu pintar masak?" Sita melihat tidak suka pada kantong yang dibawa Hanin.


Hanin tersenyum. Mengambil wadah dan segera memindahkan lauk ayam yang dibawanya.


"Ya wajar sih, kalau kamu pintar masak. Ibumu dulu kan pembantu di sini, pasti bakatnya menurun. Ups." Sita pura-pura menutup mulutnya.


Hanin tidak menanggapi omongan Sita. Malas saja dia berdebat dengan mantan istri suaminya itu.


"Hanin, cobain. Ini kue Sita bawa tadi waktu ke sini." Mama Desi masuk lagi ke dapur sambil mencomot kue di piring.


"Iya, Ma. Sita tidak pandai masak seperti Hanin. Jadi tadi di jalan beli." Nada suara Sita dibuat sedemikian rupa. Terdengar manja dan renyah di telinga.


Mama Desi tertawa. Bergegas pergi lagi, tadi ada barang yang hendak diambilnya.


"Setiap wanita itu istimewa, Ta. Allah itu Maha Adil. Kau cantik dan mempunyai karir yang sukses, tapi tidak bisa memasak. Aku yang bisa memasak tapi biasa-biasa saja." Cepat Hanin menanggapi perkataan Sita.


"Kita sudah diberikan oleh Allah kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tergantung bagaimana cara kita mensyukuri apa yang kita punya," sambungnya.


"Bersyukur untuk setiap hal yang kita miliki, tanpa iri dengan milik orang lain, itulah yang membuat kita istimewa." Hanin mengelus perutnya. Janin di dalam sana mulai bergerak pelan.


"Tetap saja tidak bisa disamakan, Nin. Aku wanita bermartabat, sementara kau hanya anak seorang pembantu yang kebetulan mendapat kesempat …."


"Martabat seorang wanita tidak dilihat dari apakah dia pintar memasak, seberapa cantik wajahnya atau pun sebagus apa karirnya. Tidak, tidak dilihat dari semua itu. Martabat seorang wanita dilihat dari seberapa pandai dia menjaga kehormatannya." Cepat saja Hanin memotong ucapan Sita.


"Sayangnya. Dengan segala kesempurnaan yang kau miliki. Kau bukan perempuan terhormat, Ta. Kau tidak pantas mendapat sebutan wanita bermartabat." Merah padam wajah Sita mendengar setiap kalimat Hanin.


"Apakah pantas seorang wanita yang katanya bermartabat menginginkan suami orang?" Hanin maju mendekati Sita.


"Kau tidak lebih dari seorang pencuri, Ta. Pencuri hina yang penuh dosa, karena menginginkan yang bukan haknya!"


"HANIN! Jaga ucapanmu!" Suara bentakan Dimas terdengar. Mengejutkan Hanin dan Sita.


Sita tersenyum tipis menatap Hanin.


"Apa yang salah dari ucapanku, Mas?" Mata Hanin berkaca.


"Wanita yang kau katakan pencuri itu ibu dari anakku!" Dimas menekan suaranya agar tidak terdengar sampai ke ruang tamu.


"Lalu aku? Apa aku bukan ibu dari anakmu?" Hanin menggigit bibir. Susah payah dia menahan air matanya agar tidak terjatuh.


Dimas mengusap wajahnya kasar.


"Nin, tolong, mengertilah. Jangan buat aku mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin kukatakan." Dimas memegang pundak Hanin.


"Apa yang harus kumengerti, Mas? Seharusnya wanita itu yang kau beri pengertian! Apakah sesuatu hal yang dapat dibanggakan bisa menghancurkan rumah tangga orang lain? Dia tidak lebih dari seorang wanita Mu-ra-han!"


"HANIN!"


"Dimas!" Mama Desi berteriak. Tadi dia bergegas kembali saat mendengar ada keributan.


"Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!"


"Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang tamu. Berbicara empat mata.


Sementara Hanin terpaku menatap Sita yang tersenyum lebar. Wanita itu, sungguh bukan tandingannya. Bahkan dengan tanpa bersuara pun, dia bisa memenangkan hati Dimas.


Hanin menunduk. Berusaha menata perasaannya. Menyesapi kekalahannya.


Inilah batasnya. Inilah akhirnya. Lelah itu bermuara. Hanin memutuskan menyerah.


DAPAT DIBACA DI KBM APP, KARYA KARSA, JOYLADA dan GOODNOVEL (SUDAH TAMAT)
Penulis : Asda Witah Busrin

Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/2e52...e-292d28ea128b
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
264
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan