Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

marywiguna13Avatar border
TS
marywiguna13 
Proses Pengusutan Kasus Marsinah yang Dipenuhi Rekayasa Aparat (Part 2) #SeninMisteri
Quote:




part sebelumnya...

Dugaan Keterlibatan TNI dan Polri Dalam Pembunuhan Marsinah (Part 1) #SeninMisteri



Setelah BAP resmi dibuat, kemudian dilakukanlah rekonstruksi pembunuhan terhadap Marsinah. Namun, karena BAP tersebut merupakan rekayasa pihak aparat dan kesembilan tersangka bukanlah pelaku yang sebenarnya, maka pihak aparat perlu melakukan "latihan" bersama dengan para tersangka di halaman Polda Jawa Timur, agar bentuk-bentuk kejanggalan tidak akan muncul terlihat oleh media. Tapi tetap saja, bentuk-bentuk kejanggalan yang dimaksud secara tidak disadari muncul ketika rekonstruksi pembunuhan terhadap Marsinah dilakukan pada tanggal 30 Oktober 1993.


Kejanggalan pertama, dalam proses rekonstruksi, para tersangka akan memberitahukan setiap langkah yang mereka lakukan ketika membunuh korbannya. Namun pada kenyataannya, justru para aparatlah yang memberikan instruksi kepada para tersangka setiap langkah yang harus mereka lakukan.

Kejanggalan kedua, dalam proses rekonstruksi yang dilakukan di desa Siring dimana Marsinah dijemput paksa. Yang melakukan proses rekonstruksi seharusnya adalah Kapten Kusaeri dan Suprapto. Namun pada kenyataannya, posisi Kapten Kusaeri dan Suprapto justru digantikan oleh dua orang aparat. Padahal saat itu Kapten Kusaeri dan Suprapto hadir dan mampu melakukan proses rekonstruksi.

Kejanggalan ketiga, dalam proses rekonstruksi yang dilakukan di kediaman Yudi Susanto. Dimana menurut BAP, Bambang Wuryantoyo dan Suwono membawa Marsinah dan menyekapnya di kamar pembantu. Namun pada kenyataannya, Bambang Wuryantoyo dan Suwono sempat dibentak oleh petugas karena mereka berdua salah berbelok yang seharusnya ke arah kiri, bukan ke arah kanan. Karena kamar pembantu berada di sebelah kiri, sedangkan di sebelah kanan adalah kamar mandi.

Dan kejanggalan keempat, dalam proses rekonstruksi pembuangan mayat Marsinah di daerah Nganjuk. Menurut BAP, Suprapto dan AS Prayogi menggotong mayat Marsinah ke dalam sebuah gubuk. Namun pada kenyataannya, keduanya sempat terdiam karena berusaha mengingat langkah yang harus mereka lakukan. Kemudian ketika Suprapto mendudukkan boneka tiruan Marsinah, Kapolres Nganjuk yang bernama Letkol Pol. Drs. Indrajit sempat bertanya tentang kebenaran posisi mayat Marsinah, Suprapto justru memberikan jawaban "tidak tahu". Dan dari situ, Letkol Pol. Drs. Indrajit juga justru mengatakan,

Quote:

Satu bulan kemudian yaitu pada bulan November 1993, persidangan kasus pembunuhan terhadap Marsinah mulai digelar. Kesembilan orang tersangka dari pihak perusahaan PT. CPS yang sebelumnya ditangkap oleh tim Bakorstranasda, disekap di Makodam V Brawijaya, dan sempat mengalami penyiksaan disana, dijadikan terdakwa. Persidangan digelar di dua lokasi, yaitu di Pengadilan Negeri Sidoarjo dimana terdakwa Mutiari dan Judi Astono disidangkan, dan di Pengadilan Negeri Surabaya dimana ketujuh terdakwa lainnya disidangkan karena menurut BAP, Marsinah dibunuh oleh para pelaku di kediaman Yudi Susanto yang berdomisili di Surabaya. Persidangan pertama digelar pada awal bulan November 1993 dengan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang merujuk pada BAP yang sebelumnya sudah dibuat oleh pihak penyidik kepolisian.

Pada persidangan yang digelar pada tanggal 29 November 1993, terdakwa Suwono dan Widayat memberikan kesaksian di depan Majelis Hakim bahwa mereka mengikuti rapat internal PT. CPS yang diadakan pada tanggal 5 Mei 1993 sore. Rapat yang awalnya dipimpin oleh Yudi Susanto tersebut membahas tentang kondisi produksi perusahaan sejak buruh melakukan aksi demo kerja, dan rencana untuk melakukan pembunuhan terhadap Marsinah. Posisi pemimpin rapat kemudian digantikan oleh Mutiari, dan rencana pembunuhan tersebut disepakati oleh seluruh pengikut rapat pada malam itu juga.

Widayat mendapat tugas untuk menjemput Marsinah dan membawanya ke kediaman Yudi Susanto, dengan mengendarai sebuah mobil berjenis Hijet 1000 milik perusahaan. Sesampainya ditempat tujuan, Marsinah kemudian disekap dan diikat oleh Suwono serta Suprapto di kamar pembantu. Dimana Marsinah disiksa dan dipukuli oleh Widayat, Suwono, Suprapto, dan Budi Wuryantoyo dengan menggunakan potongan besi, ketika Marsinah berada dalam keadaan duduk terikat disebuah kursi lipat dan bagian mulutnya tersumpal, hingga Marsinah sekarat. Setelah Marsinah dipastikan sudah meninggal, mayatnya diletakkan di jok belakang mobil yang sama yang digunakan untuk menjemputnya. Widayat dan Budi Wuryantoyo yang bertugas sebagai penunjuk jalan, kemudian membawa mayat Marsinah ke daerah Nganjuk dan membuangnya dengan posisi terduduk agar tidak mencurigakan, disebuah gubuk yang terletak di hutan Wilangan.

---------------------‐--------------------------------------------


berikutnya, kejanggalan demi kejanggalan dalam persidangan mulai terungkap...


---------------------‐--------------------------------------------

Pada persidangan tanggal 20 Desember 1993 yang menghadirkan terdakwa Mutiari. Yudi Susanto dan Karyono Wongso yang dihadirkan sebagai saksi, mengaku bahwa Mutiari tidak mengikuti rapat internal PT. CPS yang diadakan pada tanggal 5 Mei 1993. Bahkan, keduanya mengaku bahwa rapat tersebut tidak pernah ada. Yudi Susanto juga mengatakan bahwa dia tidak pernah memimpin bentuk rapat apapun yang merencanakan tentang pembunuhan terhadap Marsinah, atau memberikan instruksi melalui telepon untuk membunuh Marsinah.

Padahal di awal-awal persidangan, Yudi Astono, Suprapto, Budi Wuryanto, Suwono, Widayat, dan AS Prayogi mengatakan bahwa Yudi Sutanto merupakan pemimpin rapat internal yang diadakan pada tanggal 5 Mei 1993 untuk merencanakan pembunuhan terhadap Marsinah. Dan rapat tersebut juga juga diikuti oleh Mutiari dan Karsono Wongso. Mendengar pengakuan Yudi Susanto dan Karyono Wongso, Jaksa Penuntut Umum yang bernama Buchari menjadi berang dan mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim untuk menyidik kembali mereka berdua karena dianggap memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.

Pada persidangan yang digelar pada tanggal 17 Februari 1994 di Pengadilan Negeri Surabaya, terdakwa Suwono menceritakan berbagai bentuk penyiksaan fisik dan mental yang dialami olehnya beserta oleh kedelapan rekan lainnya. Di depan Majelis Hakim, dia sempat membuka pakaiannya dan menunjukkan beberapa bekas luka di tubuhnya yang dia dapatkan ketika dia diculik, disekap, disiksa, dan dipaksa menandatangani BAP.

Quote:


Namun, Ketua Majelis Hakim yang bernama Sariyanto tidak peduli dengan keterangan yang diungkapkan oleh Suwono, dan tetap bersikeras untuk memeriksanya dengan menggunakan BAP yang sudah disangkal oleh semua terdakwa. Dia juga menolak keinginan Suwono untuk menceritakan proses lahirnya BAP tersebut.

Suwono sempat membantah ketika dia dikatakan sebagai pelaku yang menculik Marsinah, karena saat itu dia sedang berjaga di pabrik hingga jam lima pagi keesokan harinya. Bahkan, dia sempat didatangi oleh aparat Koramil Porong pada jam sepuluh malam dan mengobrol di pos penjagaan pabrik hingga jam 22.30. Selain itu, Suwono juga menyangkal bahwa dia dan AS Prayogi melakukan penyiksaan serta membuang mayat Marsinah. Karena pada tanggal 8 Mei 1993, Suwono tidak masuk kerja, begitupun dengan AS Prayogi yang juga tidak masuk kerja karena sedang sakit. Dan Suwono terus menerus menyanggah dan menyela para Hakim.

---------------------‐--------------------------------------------


Persidangan-persidangan selanjutnya berubah, terasa berbeda, dan keanehan semakin terlihat...


---------------------‐--------------------------------------------

Pengakuan Suwono tentang bentuk penyiksaan yang dia terima, dan pengakuan terdakwa lainnya tentang hal serupa yang bahkan mereka tuliskan kedalam sebuah surat yang ditujukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), diberitakan oleh media secara besar-besaran dan membuat kasus Marsinah menjadi sorotan internasional.

Diawal persidangan, ribuan warga banyak yang mendatangi pengadilan untuk menyaksikan persidangan. Mereka yang geram dengan perbuatan para terdakwa kerap memberikan cercaan dan cemoohan terhadap mereka. Bahkan, demi menjaga amarah warga, di Pengadilan Negeri Sidoarjo, pihak pengadilan dan polisi harus membobol dinding ruang sidang untuk mengevakuasi para terdakwa, saksi, serta Majelis Hakim karena jalan menuju ke luar gedung pengadilan sangat sesak dipenuhi oleh pengunjung persidangan. Para terdakwa pun tidak diangkut dengan mobil tahanan, melainkan dengan mobil biasa agar tidak terlalu mencolok perhatian. Sedangkan di Pengadilan Negeri Surabaya, beberapa ruas jalan terpaksa ditutup. Dan di dalam gerbang, serangkaian pemeriksaan akan dilakukan bagi pengunjung sidang yang ingin masuk.

Namun, setelah pengakuan berbalik para terdakwa, pengamanan persidangan semakin diperketat. Bahkan, persidangan lanjutan yang digelar sejak bulan Februari 1994, hanya dihadiri oleh para tentara dan aparat polisi yang mengenakan pakaian sipil. Dan wartawan pun tidak bisa mendekat untuk melakukan wawancara terhadap para terdakwa dan saksi, karena setiap persidangan selesai digelar, mereka akan langsung dilarikan keluar gedung pengadilan.

---------------------‐--------------------------------------------


keanehan demi keanehan terus berlanjut...


---------------------‐--------------------------------------------

Ketika persidangan pada tanggal 7 Februari 1994 yang menghadirkan Danramil Porong yang bernama Kapten Kusaeri, dan barang bukti sebuah mobil berjenis Hijet 1000 yang digunakan untuk menjemput Marsinah, serta membawa mayatnya untuk dibuang di daerah Nganjuk. Kapten Kusaeri menyangkal bahwa dia pernah melihat mobil tersebut. Namun, setelah kepalanya ditoyor oleh seseorang dari belakang, dia meralat keterangannya dan membenarkan bahwa mobil tersebutlah yang pernah dia lihat untuk membawa Marsinah.

Selain itu, barang bukti berupa pakaian Marsinah yang dikenakan ketika dia dibunuh, masih tersimpan di RSUD Nganjuk setelah proses otopsi selesai dilakukan. Namun, karena tidak ada petunjuk dari Polres Nganjuk, Kepala RSUD Nganjuk yang bernama Dr. Djarwo P. Siswanto menandatangani sebuah surat yang memberitahukan Kapolres Nganjuk bahwa barang bukti pakaian Marsinah tersebut telah dibakar pihak rumah sakit pada tanggal 24 Mei 1993.

Keanehan lainnya, tidak adanya saksi yang pertama kali menemukan mayat Marsinah. Seorang saksi yang bernama Widji bin Asim mengatakan bahwa dia diperintahkan oleh Kepala Dusun Jegong yang bernama Joyo Prawiro, untuk melihat seseorang yang terlihat sedang tertidur disebuah gubuk. Karena mengira orang gila, Widji bin Asim tidak berani mendekat, dan melihat sosok yang dimaksud dalam jarak tiga meter. Namun, setelah dia melihat adanya barisan semut di bagian hidung dan mata sosok tersebut, maka dia berpikir bahwa sosok tersebut sudah meninggal.

Mendengar laporan Widji, Joyo Prawiro langsung pergi menuju ke Polsek Wilangan untuk melaporkan hal tersebut dan diterima oleh seorang aparat yang bernama Tajuwid. Kemudian, bersama dengan Danramil, Wakil Camat, dan seorang petugas Puskesmas Wilangan, Joyo Prawiro mendatangi lokasi tempat mayat Marsinah ditemukan. Namun, Tajuwid memberi kesaksian yang berbeda, bahwa begitu mendengar laporan Joyo Prawiro, dirinya langsung pergi ketempat kejadian. Dan sesampainya disana, dia melihat aparat Muspika juga sudah berada disana.

Dari hal ini akan muncul tiga pertanyaan. Siapakah sebenarnya saksi yang pertama kali menemukan mayat Marsinah? Jika memang Joyo Prawiro adalah saksi yang pertama kali menemukan mayat Marsinah, mengapa dia tidak melihatnya sendiri secara lebih dekat, dan langsung melaporkannya ke Polsek Wilangan? Dan mengapa hanya perihal penemuan mayat saja sampai melibatkan aparat Muspika dan pejabat setingkat wakil camat, padahal aparat kepolisiannya sendiri belum tiba di lokasi kejadian?
Persidangan kasus Marsinah diketahui dipenuhi dengan banyaknya kejanggalan, keanehan, dan hal-hal yang tidak biasa yang ditemukan dalam proses penuntasan sebuah kasus. Mulai dari pencabutan BAP, bentuk kesaksian yang dibantah, minimnya saksi yang mengetahui kejadian, kentalnya keterlibatan aparat militer, ketatnya pengamanan di ruang sidang, hingga aksi terdakwa yang membuka pakaiannya demi menunjukkan bukti kekejaman dari pihak aparat.

Setelah melalui proses persidangan yang panjang, pengadilan memutuskan bahwa para terdakwa dinyatakan bersalah atas pembunuhan yang dilakukan terhadap Marsinah. Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, dan Mutiari divonis 7 bulan penjara karena dianggap hanya mengetahui rencana pembunuhan terhadap Marsinah. Sedangkan ketujuh terdakwa lainnya divonis antara 4-12 tahun penjara.

Merasa tidak puas, para terdakwa kemudian mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya dimana Yudi Susanto berhasil dibebaskan. Selain itu, para terdakwa juga mengajukan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung. Dan pada tanggal 3 Mei 1995, Majelis Hakim Kasasi memutuskan bahwa kesembilan terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Dan mereka juga tidak terbukti merencanakan serta melakukan pembunuhan terhadap Marsinah.

Putusan Majelis Hakim Kasasi tersebut membuat sejumlah pihak yakin bahwa dari sejak awal penyelidikan kasus Marsinah terasa begitu kental dengan aroma rekayasa. Putusan tersebut juga berarti bahwa aparat penegak hukum masih harus terus mencari pelaku pembunuh Marsinah yang sebenarnya, dengan melakukan penyelidikan ulang, dan bahkan dengan menggali makam Marsinah untuk yang ketiga kalinya.


bersambung ke #2...


Sekian, dan terimakasih.

*
*
*
*
*

sumber : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8
fazaaacakepAvatar border
screamo37Avatar border
fachri15Avatar border
fachri15 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.4K
64
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan