- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Selera Nusantara (Indonesian Food)
MAKNA DIBALIK NAMA KULINER BAKSO, BAKWAN, BAKMI, BAKCANG, BAKPAO, DAN BAKPIA


TS
rocket2019
MAKNA DIBALIK NAMA KULINER BAKSO, BAKWAN, BAKMI, BAKCANG, BAKPAO, DAN BAKPIA

(Sumber Gambar:www.fimela.com)
Bakso, bakwan, bakmi, bakpao, bakcang dan bakpia tentunya sudah tidak asing lagi ditelinga dan lidah rekan-rekan di Nusantara ini. Menariknya semua kuliner yang berasal dari negeri tirai bambu itu, kata depannya berawalan “bak”, kira-kira apa maknanya, ya? Yuk simak ulaan berikut ini … Checkidot … !!!
Konten Sensitif

“Bak” (Hokkien) atau “Ròu” (Mandarin)
(Sumber Gambar:www.youtube.com)
Kata “bak” adalah bahasa Hokkien dari kata bahasa Mandarin yakni “ròu” (肉), yang maknanya “daging”. Aksara “ròu” (肉) saat ini adalah hasil evolusi dari aksara kuno dataran Tiongkok yang bentuknya menyerupai potongan daging dan guratan lemak (lihat gambar diatas) [1]. Kemudian kata “bak” itu disambungkan dengan beberapa kata, sehingga munculah beberapa identitas suatu makanan. Contohnya dibawah ini.
1. BAKSO

“Bakso” (Hokkien) atau “Ròusū” (Mandarin)
(Sumber Gambar:www.quanxiang.com.tw)
Bakso berasal dari bahasa Hokkien, “bak” yang tadi diatas telah kita bahas, dan kata “so” bahasa Hokkien untuk kata “sū” (酥), yang maknanya “campuran dari tepung, bumbu dan minyak”, dapat juga berarti “makanan remah dan tidak padat”. Pada zaman dahulu daging (bak/ròu) yang digunakan ialah daging babi/B-2, (Mandarin: zhūròu(猪肉)/Hokkien: tibak). Namun seiring berjalannya waktu dan perbedaan tempat ketika makanan ini menyebar ke Nusantara, maka bahan daging babi itu diganti dengan daging lain yang lebih halal, berdasarkan agama dan budaya masyarakat yang bersangkutan [2] [3].
Menurut sejarah kuliner ini, muncul pada abad ke-17 Masehi pada masa akhir Dinasti Ming tepatnya di Kota Fúzhōu, Cina. Diceritakan bahwa seorang anak bernama “Meng Bo” ingin memasak daging untuk ibunya yang sudah renta. Karena gigi ibunya sudah tidak mampu lagi mengunyah daging yang alot. Maka Meng Bo berinisiatif menghaluskan daging itu dengan lembut karena terinspirasi dari pengolahan kue mochi(kue dari ketan yang ditumbuk halus). Daging yang sudah ditumbuk halus itu oleh Meng Bo dibentuk bulat kecil-kecil. Agar ibunya lebih mudah memakannya, Meng Bo menyajikannya dengan kuah kaldu hangat. Sejak saat itulah lahir kuliner “bakso” ini. Resep bakso dari Meng Bo pun tersebar ke seluruh penjuru negeri Cina. Hingga akhirnya para imigran dari Cina inilah yang menyebarkan resep ini ke Nusantara [4].
Demikianlah, penjelasan terkait “bakso”, akan tetapi jika kita lebih kritis dan lebih jeli lagi, sebenarnya kuliner bernama “bakso” (Hokkien) atau “ròusū” (Mandarin) ini lebih cocok jika disematkan kepada “abon” (suwrian daging berbentuk halus) daripada makanan bulat berbentuk bola daging. Coba googlesaja kalau tidak percaya. Rupanya terjadi pergeseran makna dari “abon” kepada “bakso” ini dikemudian hari. Simak kuliner berikutnya ini untuk mendapatkan titik terang terkait masalah ini.
2. BAKWAN
Setelah di atas menjelaskan “bakso”, kita beralih ke saudaranya yakni “bakwan”. Bakwan (bak+ wan) adalah bahasa Hokkien dari “ròuwán” (肉丸) dalam Bahasa Mandarin. “wán” (丸) bermakna “bulat kecil/pil/bola” (Bahasa Jepang: maru). Jadi, “bakwan” bermakna “bola daging berukuran kecil” [3]. Jika kita googling dengan menulis aksara “(肉丸)” maka yang keluar di gambar ialah penampakan “bulatan daging kecil”. Jadi awalnya boleh dikatakan bahwa “bakwan” adalah sebutan yang sebenarnya “pas” untuk kuliner yang kita sebut “bakso” pada masa kini.
Menurut teman kami, antropolog sekaligus pakar sejarah kuliner FIB UB, Mas Ary Budianto, S.S., M.A. [wawancara, 18 April 2022], awalnya “bakso” di Kota Malang (sebuah kota dengan identitas ‘bakso’ sebagai pop culture culinaryyang kuat) disebut “Bakwan Kawi” (sebab juragan yang awal memperkenalkan kuliner ini berdomisili di Jl. Kawi) pada tahun kisaran 1960-1970-an. Karena banyaknya orang luar yang datang ke Malang untuk berekreasi, belajar dan bekerja (dan juga media massa). Orang-orang tersebut kemudian menamakan kuliner ini dengan sebutan “bakso” seperti ucapan di daerah asal mereka. Akhirnya, nama terakhir ini yang terkenal hingga saat ini. Perbedaan ‘bakso’ (baca: bakwan) malang dengan daerah lain (Solo dan Periangan misalnya) adalah mie su’un dan juga mie kuningnya dibuat seperti lilitan benang yang diikat serta menggunakan siomay basah dan goreng.

“Bakwan” (Hokkien) atau “Ròuwán” (Mandarin)
(Sumber Gambar:www.food.ltn.com.tw)
Pada masa kini, bakwan telah terdegradasi pengertiannya menjadi kuliner berbentuk adonan lingkaran yang terbuat dari tepung terigu, telur, dan air, kemudian berisi sayuran parutan kol/kubis, wortel, tauge, jagung dan daun bawang. Walau disebut “bakwan”, tetapi beberapa daerah memiliki sebutannya sendiri, misal “bala-bala” (Jawa Barat), “pia-pia” (Sekitaran Pati, Jawa Tengah), “badak” (Kota Semarang, Jawa Tengah), “weci/heci” (Malang Raya, Jawa Timur, bahkan dadar jagung di daerah ini juga dinamakan “bakwan”), “ote-ote” (Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya, Jawa Timur), kalau di Jepang jenis ini disebut “yasai tempura(tempura sayur)”. Dari sini terlihat jelas, jika bakso (ròusū) yang seharusnya lebih cocok disematkan pada “abon”, justru disematkan pada bakwan (ròuwán), sementara kata bakwan (ròuwán) justru disematkan pada adonan berisi sayur yang digoreng.

Pengertian BakwanMasa Kini
(Sumber Gambar:www.endeus.tv)
3. BAKMI
Di urutan nomor tiga ada kuliner “bakmi”. Bakmi(bak + mi) adalah bahasa Hokkien dari bahasa Mandarin “ròumiàn” (肉面), maknanya ialah “hidangan mi (miàn/面) dengan tambahan topping berupa daging” [2] [3]. Bakmi bisa disajikan dengan cara direbus atau digoreng. Mi sendiri memiliki sejarah panjang, menurut data hasil eskavasi arkeologi di Situs Lǎjiā (Cina Barat, perbatasan antara Provinsi Gansu dan Provinsi Qinha) dekat Daerah Alisan Sungai (DAS), ditemukan artefak mi berwarna kuning (terbuat dari tepung biji milet) di dalam panci tanah liat yang terbalik. Panjang mi sekitar setengah meter dengan diameter 3 milimeter. Usia artefak ini diperkirakan berasal dari 2.000 SM yang lalu [5].
Di Indonesia mi jenis bihun atau sohun boleh dikatakan adalah jenis mi tertua yang telah dibawah orang-orang negeri tirai bambu, dan telah dikenal dalam sumber tertulis, yakni Prasasti Biluluk II tahun 1391 Masehi pada masa Majapahit. Dalam prasasti itu tertulis “hang laksa” maknanya “miatau bihun”. Saat ini pun laksa masih menjadi salah satu masakan yang eksis dan cukup terkenal tidak hanya di Indonesia tetapi di Asia Tenggara [6]. Kata laksa sendiri berasal dari Persia dan India yakni ‘lakhshah’, sejenis mi tipis. Istilah tersebut sudah ada di Nusantara sejak abad ke-14 Masehi, berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna ‘seratus ribu’, kemungkinan karena jumlah mi tipis yang sangat banyak (bagaikan ribuan) dalam satu porsi mangkuk hidangan laksa [7].

“Bakmi” (Hokkien) atau “Ròumiàn” (Mandarin)
(Sumber Gambar:www.food.detik.com)
4. BAKCANG
Oke, kita menuju kuliner ketiga yakni “bakcang”. Bakcang(bak+ cang) merupakan bahasa Hokkien dari bahasa Mandarin “ròuzòng” (肉粽) (daging bungkus). Kata “cang” merujuk juga kepada “ketan bungkus dari daun bambu yang dibentuk menyerupai kerucut, yang memasaknya dengan cara direbus”. Jadi, bakcang adalah “kuliner ketan berisi daging yang dibungkus daun bambu” [2] [3]. Kuliner satu ini biasanya dipersembahkan dalam acara “duānwǔ jié” (端午节) atau di Indonesia dikenal sebagai perayaan “peh cun”, yakni sebuah perayaan perahu naga yang dirayakan pada “tanggal 5-bulan 5” penanggalan Imlek atau sekitar bulan Juni dalam Kalender Masehi [8].
Secara etimologis, peh cunterdiri atas dua kata: peh yang artinya “dayung atau mendayung” dan cun yang artinya “perahu”. Jadi secara harfiah peh cun artinya “mendayung perahu”. Dalam pelaksanaannya, memang puncak acara dari tradisi peh cun ini adalah adanya lomba perahu berhias setelah kegiatan persembahyangan. Awalnya peh cun Adalah perayaan suku Kung Wu dan Yue (sekarang Jiang Su dan Zhe Jiang) untuk dipersembahkan kepada desa mereka. Simbol naga yang menjadi ikon perayaan ini ditatokan ditubuh suku-suku tersebut. Tetapi dikemudian hari, symbol-simbol naga itu tidak dituangkan dalam bentuk tato melainkan perahu-perahu berbentuk naga [9].

“Bakcang” (Hokkien) atau “Ròuzòng” (Mandarin)
(Sumber Gambar:www.surabaya.liputan6.com)
Dikemudian hari orientasi acara ini diubah untuk memperingati kematian tokoh bernama “Wu Zixu” (伍子胥/Wǔ Zixū, 526-484 SM) pada zaman Musim Semi-Musim Gugur (春秋时代/Chūnqiū Shídài, 770-476 SM) dan tokoh bernama “Qu Yuan” (屈原/Qū Yuán, 340-278 SM) di zaman Negara Berperang (战国时代/Zhànguó Shídài, 475-221 SM). Kedua tokoh beda era ini memiliki satu persamaan, yakni keduanya adalah tokoh penuh jasa kepada negara, tetapi nasibnya menyedihkan sebab meninggal akibat dipecat karena dituduh rekannya sebagai pengkhianat negara. Sehingga keduanya akhirnya meninggal secara menyedihkan dengan penuh kekecewaan (Jawa: loro ngěněs) [8].
Apapun itu, bakcangadalah penganan wajib yang tidak pernah absen dihadirkan dalam festival peh cun. Menurut hemat kami, boleh jadi dari penganan bakcang inilah yang menginspirasi lahirnya penganan yang serupa seperti “arem-arem” (terbuat dari beras putih yang diberi isian berupa potongan wortel, kentang, tumisan ayam, sambal goreng tempe atau ayam suwir yang diikat dalam daun pisang kemudian di kukus) dan juga “lemper” (terbuat dari ketan yang diisi abon atau ayam cincang dan dibungkus dengan daun pisang) yang cukup populer sebagai salah-satu jajanan pasar orang-orang Jawa.
5. BAKPAO

“Bakpao” (Hokkien) atau “Ròubāo” (Mandarin)
(Sumber Gambar:www.food.detik.com)
Kita menuju kuliner nomor lima yakni “bakpao”. Bakpao(bak + pao) adalah Bahasa Hokkien dari Bahasa Mandarin “ròubāo” (肉包). Kata “bāo (包)” bermakna “bungkusan”, jadi bakpao (ròubāo) bermakna “daging yang dibungkus (adonan tepung)” [2] [3]. Data tertulis menyebutkan bahwa bakpao ditemukan oleh tokoh ahli strategis legendaris bernama Zhuge Liang (Zhūgě Liàng/诸葛亮, Lahir: Yinan, 181 Masehi-Meninggal: Qishan, 23 Agustus 234 Masehi) [10]. Ia hidup di masa “Sānguó Yǎnyì (三国時代)/The Three Kingdoms Era/Zaman Tiga Kerajaan” (ingat game Play Station Dinasty Warriors), di abad ke-3 Masehi, pada masa akhir Dinasti Han.
Kisah Zughe Liang tersebut diabadikan dalam salah satu bab di karya roman berjudul “Kisah Tiga Kerajaan/Romance of the Three Kingdoms”, yang ditulis oleh seorang bernama “Luo Guanzhong” (羅貫中), seorang sastrawan Dinasti Ming pada tahun 1522 Masehi. Lou Guanzhong menulis kisah tersebut berdasarkan tradisi lisan turun temurun di Cina Daratan. Dikisahkan ketika Zhuge Liang hendak melewati sebuah sungai besar, ia dihadang derasnya arus dan badai besar di sungai itu. Ia bertanya kepada Meng Huo, yang mendampinginya, apakah ada saran supaya bisa melewati sungai itu. Meng Huo menceritakan bahwa leluhurnya turun-temurun selalu mempersembahkan tumbal dengan melemparkan 50 kepala manusia sebagai persembahan kepada roh sungai di tempat itu.
Zughe Liang yang tidak ingin ada kegiatan berdarah yang barbar seperti itu lagi, ia mengakali ritual itu dengan melempar kue buatannya. Kue itu dibuat dari adonan tepung yang dibentuk bulat menyerupa kepala manusia yang disebut “bāozi” (包子) atau “mántou” (饅頭) yang akar katanya bermakna “kepala orang-orang bar-bar”. Setelah melempar kue-kue itu, ajaibnya Zhuge Liang dan rombongannya berhasil menyebrang sungai itu. Dikemudian hari karena pengaruh dialek dan bahasa suku lain maka “bāozi” atau “mántou” dikenal pula dengan istilah “bakpao”. Kini bakpao tidak hanya hadir berisi daging, tetapi ada varian isi seperti kacang hijau, kacang tanah, kacang merah, coklat, dan selai buah-buahan.
6. BAKPIA
Baiklah, sampailah kita pada kuliner terakhir yakni “bakpia”. Bakpia(bak + pia/piang) adalah Bahasa Hokkien dari Bahasa Mandarin “ròupíng” (肉瓶). Kata “píng (瓶)” bermakna “kue yang terbuat tepung yang berbentuk pipih bulat, yang dipanggang atau dikukus”. Jadi, bakpia (ròupíng) bermakna “kue pipih bulat yang berisi daging” [3]. Awalnya bakpia berisi daging “babi”, teapi saat ini bakpia telah berevolusi isinya tidak lagi berisi daging babi karena disesuaikan dengan selera masyarakat sekitar (muslim) yang butuh konsumsi bahan kuliner yang halal [11]. Akibatnya munculah varian isi bakpia berupa kacang hijau, kacang merah, bahkan sampai ada rasa keju, coklat, durian, nanas, atau pandan. Bahkan menariknya, kue yang satu ini juga telah menjadi salah satu kue khas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Contoh, produk bakpia yang terkenal dari DIY adalah “Bakpia Patuk 75”, yang diproduksi oleh “Liem Bok Sing” pada tahun 1948 di kediamannya di Jalan Pathuk nomor 75 (sekarang Jalan KS. Tubun), tepatnya di Kampung Ngampilan, Kelurahan Gedongtengen, Kemantrèn Ngampilan, Kota Yogyakarta, Provinsi DIY.

“Bakpia” (Hokkien) atau “Ròupíng” (Mandarin)
(Sumber Gambar:www.alif.id)
Demikian sejarah dan asal-usul kuliner-kuliner diatas ya gaess … Tunggu artikel-artikel menarik lainnya dari kami …
CATATAN LITERATUR

0
1.8K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan