Third.ReichAvatar border
TS
Third.Reich 
Cinta Terhalang Kasta


Halo agan-agan kaskuser penghuni sistem tata surya di alam semesta ini. Bagaimana kabarnya gan ? semoga agan-agan sekeluarga senantiasa diberikan kesehatan, kelancaran rejeki dan kebahagiaan hati.

Indonesia, negara kita ini terkenal dengan beragam kebudayaan dan adat istiadatnya. Beragam etnis dan suku serta mudahnya akses transportasi dan komunikasi menjadikan kisah percintaan dalam negeri ini tidak lagi terpusat pada lingkup daerah yang sempit atau sesama suku dan golongan saja. Tentu sudah banyak kita saksikan kisah percintaan beda pulau, beda suku, beda agama dan bahkan beda alam emoticon-Ngakak (S).



Indonesia juga terkenal akan keindahan alamnya, salah satu yang paling terkenal adalah Pulau Dewata, Bali. Saking populernya Bali, bahkan sebagian wisatawan mancanegara yang sempat TS ajak ngobrol di sebuah bar di Gili Trawangan, di Lombok, selalu mengira bahwa TS berasal dari Bali, padahal TS arek Suroboyo emoticon-Ngakak (S). Yah singkatnya mereka taunya Indonesia itu cuman Bali doank. emoticon-Big Grin





Meski ada lebih banyak hasil pencarian yang ditemukan di Google untuk kata “Cinta” daripada kata “Perang”. Namun kenyataannya kisah percintaan diantara muda-mudi di Bali dan Lombok yang memeluk agama Hindu mungkin tidak sesederhana kita mengetikkan kata Cinta di Google dan mendapatkan hasilnya.



Meskipun Bali dan Lombok sudah banyak berubah menjadi daerah majemuk, namun sampai saat ini masyarakat Hindu Bali dan Lombok masih mengalami polemik ketidaksetaraan status sosial. Ada satu faktor penentu yang mempengaruhi serta mengendalikan hubungan asmara diantara muda-mudi di Bali. Yakni, sistem Kasta atau Catur Warna.

Banyak orang membuat anekdot bahwa cinta beda kasta itu jauh lebih rumit daripada cinta beda agama. Tapi apakah benar demikian ?

Seperti yang sudah banyak kita ketahui, sistem perkastaan atau catur warna yang diterapkan ini membagi masyarakat Bali menjadi 4 kelompok berdasarkan kelahiran dan status keluarga, dan ini diwariskan secara turun temurun, diurutkan mulai dari yang teratas : Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra.

Adapun definisi pembagian catur warna tersebut adalah sebagai berikut :

Spoiler for :


Salah satu bentuk tata krama yang harus dilaksanakan terkait perbedaan tingkat kasta ini yang TS lihat dengan mata kepala sendiri, misalnya, seseorang yang berkasta Sudra jika ia berbicara dengan orang yang kastanya lebih tinggi, maka ia diwajibkan melakukan 'Sor Singgih' (menggunakan Bahasa halus) untuk menghormati lawan bicara yang kastanya lebih tinggi.

Lantas bagaimana pengaruh catur warna ini dalam kehidupan percintaan masyarakat Hindu di Bali dan Lombok ? Seiring berjalannya waktu, sistem perkastaan ini seolah-oleh mendikte posisi seseorang dalam hierarki kemasyarakatan di kalangan masyarakat Bali. Hal ini bisa dilihat dari pemakaian nama yang disematkan kepada anak-anak mereka.



Contoh, pada kasta Brahmana, biasanya menggunakan nama Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk perempuan. Pada Kesatrya biasanya menggunakan Anak Agung, Cokorda, Gusti, serta Dewa. Pada Wesya, biasanya menggunakan nama Kompyang, Ngakan (tapi nama ini sudah jarang sekali dipakai). Sedangkan pada Sudra tidak ada penamaan khusus karena Sudra dianggap berfungsi sebagai pekerja yang melayani ketiga kasta diatasnya.





Karena TS berdomisili di Lombok dan berteman dengan banyak orang-orang Bali dari berbagai kalangan, TS banyak mendapatkan cerita dan pengalaman mereka terkait akan hal ini. Karena di Lombok juga banyak terdapat populasi orang Bali. Banyak dari pemuda-pemudi Bali ini yang sudah tidak memegang teguh sistem perkastaan ini. Banyak dari mereka bahkan tidak setuju dengan sistem kasta ini, terutama dalam konteks hubungan asmara dan pernikahan.

Bagi mereka, urusan percintaan atau pernikahan itu masalah hati, tidak ada kaitannya dengan sistem kasta. Dan bagi mereka kebahagiaan seseorang itu tidak ditentukan dari kastanya, melainkan dari hati orang itu sendiri.



Lantas bagaimana jika terjadi seseorang jatuh cinta terhadap yang berbeda kasta atau yang tidak berkasta ? apa yang akan mereka lakukan ?. Berdasarkan beberapa pengakuan temen TS di Lombok, kehidupan percintaan mereka itu seringkali diintervensi oleh tidak hanya keluarga inti (ayah dan ibu) tapi juga adanya intervesi dari keluarga besar.

Pada waktu mereka diketahui memiliki pacar yang tidak berkasta atau dari kasta yang biasa (kasta bawah) maka akan terjadi tekanan sosial dari seluruh keluarga besar. Hal ini terjadi khususnya pada perempuan, (karena budaya patriarki masih sangat kental) sedangkan jika yang berkasta adalah laki-laki, maka ia cenderung lebih bebas memilih pasangannya tanpa harus mengkhawatirkan masalah kastanya.



Banyak dari perempuan yang berkasta ini pada akhirnya seperti “dijodohkan”. Hanya saja ungkapan dijodohkannya ini mungkin bisa dikatakan lebih halus, seperti diperkenalkan sama si A, si B (tentunya dengan kasta yang sama). Bahasanya mereka dalam menggiring untuk “menjodohkan” juga halus.

Misal, eh ini lho ada si A, dia itu baik, cakep, kerjaannya bagus, dari latar belakang keluarga yang baik juga. Jadi bukan seperti menjodohkan ala-ala di shitnetron :
“kamu harus nikah sama si Anu !
supaya keluarga kita bisa menjadi elit global dan menguasai dunia !”
.
Tidak demikian, tapi lebih ke digiring sedikit demi sedikit.

Pada beberapa kasus juga ada yang ekstrim. Misal ada seorang perempuan berkasta tinggi lantas ia jatuh cinta dan menjalin hubungan sampai menikah dengan laki-laki yang berkasta di bawahnya, maka si perempuan tidak dianggap lagi sebagai anggota keluarga oleh keluarga intinya.



Jadi keluarga si perempuan akan “mengusir” anak perempuannya. Ia tidak lagi boleh berkunjung, bertemu, sembahyang atau menginjakkan kaki ke rumah keluarganya. Bahkan sampai pada titik ketika orang tuanya sudah meninggal pun, si perempuan tidak boleh melihat jasad orang tuanya dan mengikuti upacara ngaben.

Jadi, apa benar cinta beda kasta itu lebih rumit daripada cinta beda agama ?
hmm..tidak juga.

Tidak dalam artian bahwa tidak semua masyarakat Bali sangat fanatik dengan perbedaan kasta. Masih banyak masyarakat Bali yang tidak mempermasalahkan perbedaan kasta ini. Bagi Sebagian orang yang fanatik terhadap kasta, cinta antara dua manusia akan terasa seperti berada di antara jurang pemisah yang sangat dalam dan sulit untuk diseberangi.



Masyarakat Bali sejak dahulu dikenal sebagai penganut sistem patriarki yang kental. Ini adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam kepemimpinan, otoritas moral, hak sosial dan kepemilikan properti. Dalam lingkungan keluarga yang menganut patriarki, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Inilah mengapa bagi lelaki yang berkasta tinggi tidak akan terlalu bingung mencari pasangan.

Konten Sensitif


Beda cerita jika seorang perempuan dari kasta tinggi. Keluarga biasanya akan berharap jika sang anak mendapatkan jodoh yang sama kastanya. Mengapa ini penting ? agar sang anak tidak melakukan apa yang disebut dengan “Nyerod”. Nyerod dalam istilah masyarakat Bali artinya kondisi perempuan turun kasta dan menjadi sederajat dengan suaminya.

Seperti yang sudah TS tuliskan di atas. Pada awalnya, masyarakat Hindu Bali hanya mengenal warna sesuai dengan ajaran Weda. Warna adalah sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi yang ditekuni, bakat dan keahlian yang dikuasai. Namun lambat laun, penerapannya mulai bergeser menjadi Wangsa atau kasta yang substansinya sangat jauh dan berbeda dengan ajaran Weda.

Dalam agama Hindu sendiri tidak ada yang namanya kasta. Istilah yang dimuat dalam Kitab Suci Weda adalah Warna yang jika mengacu pada Bhagavad Gita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang.

Konten Sensitif


Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang dirumuskan menurut garis keturunan. Wangsa sama sekali tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal. Namun meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi derajatnya daripada Wangsa yang lain.

Sebenarnya telah terjadi kesalahpahaman diantara masyarakat Bali terkait soal kasta, sekaligus pemahaman dan pemaknaan warna, kasta dan wangsa yang telah terjadi berkepanjangan sejak zaman pemerintahan Majapahit.

Menurut berbagai sumber, pergeseran penerapan dan makna dari catur warna ini dimulai saat datangnya penjajah ke tanah Bali. Tentu saja tujuannya untuk memecah belah masyarakat Bali. Tapi celakanya, setelah merdeka pun, pergeseran sistem warna menjadi kasta ini seolah-olah masih dipertahankan.



Nah, yang berkembang sekarang di masyarakat Bali adalah ketika kasta diperkenalkan dengan nama Catur Warna yaitu Brahmana, Kesatrya, Wesya, dan Sudra. Gelar-gelar kasta inilah yang diwariskan secara turun-menurun. Contoh, jika seseorang terlahir di lingkungan keluarga Sudra, maka ia auto berkasta Sudra.

Pandai mengendalikan diri sendiri, berpengetahuan suci, dan tulus hati, teguh iman kepada Tuhan, jujur adalah gambaran seorang yang berwarna Brahmana. Sementara orang yang gagah berani, termasyur, suka memberi pengampunan dan perlindungan maka mereka itulah yang disebut dengan Kesatrya dan seterusnya.



Salah satu sumber dalam Wiracarita Mahabarata menyebutkan sifat Brahmana jika dimiliki oleh anak yang dilahirkan dari Sudra maka mereka bukanlah Sudra tetapi Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat-sifat tersebut, maka ia sesungguhnya Sudra dan seterusnya.

Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi pada kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan untuk kesempurnaan hidup. Sedangkan kasta merupakan golongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep Catur Warna yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya.

Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pemuka agama atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya terdahulu. Sangat tidak masuk akal memang bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki sifat Brahmana digolongkan sebagai Brahmana ?.

Konten Sensitif


Terlebih lagi, nama dan gelar yang diwariskan ini memiliki posisi tersendiri di masyarakat Bali yang diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan digolongan kasta yang ada. Padahal sesungguhnya Warna tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya.

Pada akhirnya, walaupun banyak dari cinta mereka yang terpaksa harus kandas dan menghadapi banyak resistensi dari pihak keluarga besar terkait kasta, tapi banyak dari mereka juga yang tetap bersikukuh memperjuangkan cintanya. Meski mereka mendapatkan banyak perlawanan, tapi tidak sedikit yang berhasil dan mendapatkan kebahagiaan. Di lain pihak, sudah banyak juga orang tua yang memilih untuk tidak mengorbankan cinta anak-anaknya demi kasta.



Menurut TS pribadi sih, meski cinta itu terkadang membuat orang tidak bisa membedakan antara keberanian dan kenekatan, tapi pada saat yang sama, cinta membuat orang jujur terhadap dirinya sendiri.

Cinta itu murni, unconditional, tanpa syarat. Dan cinta itu jauh lebih agung, lebih mulia daripada agama dan kasta.

Sekian trit dari ane gan, mohon maaf apabila ada banyak kekurangan. Jika agan-agan ada yang ingin menambahkan atau mungkin punya pengalaman serupa terkait hal ini, boleh donk di share di kolom komentar.



Terima kasih sudah membaca


BONUS


Spoiler for bonus:



Sumur : Pengalaman Pribadi TS, Bhagavad Gita
Foto : Google, Pixabay, Pexels dan dokumentasi punya TS
Diubah oleh Third.Reich 18-02-2022 03:32
apawaalAvatar border
emineminnaAvatar border
screamo37Avatar border
screamo37 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
3.7K
112
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan