Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Kobaran semangat membara di dada para pejuang yang terdiri dari laskar pemuda Bandung dan Tentara Republik Indonesia (TRI) setelah mengetahui Belanda terlibat dalam kedatangan tentara Sekutu di Bandung. Para pejuang pun bertekad mempertahankan Bandung dengan segala cara.
Dengan persenjataan tak sekuat pasukan Sekutu, para pejuang menyerang markas-markas Tentara Sekutu tanpa takut. Serangan ini semakin menggelora ketika Komandan TKR Aruji Kartawinata memberikan komando untuk menyerang melalui radio Banteng Hitam pada 24 November 1945.
Pertempuran terjadi di seluruh Kota Bandung hingga wilayah-wilayah di sekitarnya. Pola serangan para pejuang beragam, mulai dari penyerangan markas-markas dan asrama-asrama, hingga penyerangan konvoi-konvoi pengiriman pasukan, amunisi, serta logistik mereka.
Dari penyerangan konvoi pengiriman amunisi ini, tak jarang pemuda mampu menjarah persenjataan tentara Inggris. Penyerangan di Jalan Fokkerweg dan jalan sepanjang Sukabumi-Cianjur-Bandung paling membuat Inggris geram. Berbagai taktik pengeluaran ultimatum dilakukan, namun tak meruntuhkan tekad pejuang mempertahankan Bandung.
Lambat laun situasi semakin genting dan tak berimbang. Taktik bumi hangus pun diambil oleh para pejuang yang secara resmi diperintahkan oleh Kolonel Nasution pada 24 Maret 1946. Suasana pilu terasa ketika para pemuda dan tentara membakar posko-posko dan asrama-asrama mereka sendiri. Namun pengorbanan itu terbayar, Sekutu urung mengambil alih Bandung.
Pasukan NICA.
Belanda Membonceng Sekutu
Spoiler for Isi:
September 1945
Ketegangan menyelimuti laskar-laskar perjuangan rakyat di Bandung setelah kedatangan Tentara Sekutu yang diboncengi NICA, KNIL, dan RAPWI yang berniat membatalkan kemerdekaan Indonesia.
10 Oktober 1945
Laskar pemuda menyerbu markas Kempetai di Heetjansweg (sekarang Jalan Sultan Agung). Serangan ini membangkitkan Amarah tentara Jepang. Mereka mengadakan serangan balasan yang menyebabkan Moh. Rafiq dan Sumodijono dari Angkatan Pemuda PTT gugur.
11 Oktober 1945
Laskar Pemuda kembali menyerbu Heetjansweg tanpa ada korban dari pihak laskar pemuda. Mereka berhasil menjarah gudang senjata.
12 Oktober 1945
Divisi ke-23 Inggris India yang dipimpin Brigadir Jenderal Mac Donald tiba di Bandung dan langsung menyusun markasnya di Gedung Sate dan memasang barikade serta pos-pos penjagaan di sekitarnya.
15 Oktober 1945
Pada pukul 10:00 WIB Jenderal Mac Donald mengajak pejabat pemerintah Indonesia untuk membentuk Badan Perhubungan dengan tujuan untuk mengatur pemecahan persoalan Sekutu dan Republik Indonesia dengan cara damai. Dalam kenyataannya, Badan ini tidak berfungsi.
24 November 1945
Komandan TKR Aruji Kartawinata memberikan komando untuk menyerang melalui radio Banteng Hitam pada pukul 00:00 WIB. Sudut-sudut Bandung bergetar serentak. Serangan malam itu dipimpin oleh Pemuda Sutoko.
Meluapnya Sungai Cikapundung
Spoiler for Isi:
25 November 1945
Menjelang dini hari, sungai Cikapundung meluap. Banjir menggenangi Jalan Lengkong Besar, Sasak Gantung, dan sekitarnya. Tentara Gurkha yang hanya ingin melihat banjir, dikira ingin menyerbu laskar pemuda. Pemuda menyambutnya dengan peluru. Insiden tembak menembak tak terhindarkan. Keesokan harinya ketika banjir reda, didapati banyak mayat korban banjir yang sebagian besar terdapat bekas peluru di tubuhnya.
27 November 1945
Insiden meluapnya Sungai Cikapundung membuat geram Jenderal Mac Donald. Pada pukul 10:00 WIB, Ia memberikan ultimatum ke Gubernur Jawa Barat, Sutardjo Kartohadikusumo. Isi ultimatum tersebut adalah agar orang-orang Indonesia yang berada di Bandung Utara dipindahkan ke Bandung bagian selatan rel kereta. Tenggang waktu diberikan sampai tanggal 29 November pukul 12:00 WIB. Jika tidak ditepati, orang yang masih di Bandung Utara akan ditangkap, dan yang bersenjata akan ditembak mati. Ultimatum tak dihiraukan. Para pemuda tetap bertahan, pertempuran tak terelakkan.
Desas-Desus Sabotase Banjir
Pada 25 November 1945, banjir besar yang dicurigai karena upaya sabotase juga pernah melanda Bandung. Salah satu saksi mata dari kejadian itu adalah Itjeu Suhartina (89). Menurutnya, semula masyarakat Bandung meyakini luapan air yang datang dari Sungai Cikapundung tersebut merupakan akibat hujan yang terus menerus turun dari siang hari.
“Tapi dipikir-pikir oleh kami, masa sih hujan gerimis bisa membuat Cikapundung meluap? Terlebih peristiwa seperti itu seingat saya baru terjadi pertama kali di Bandung,” ungkap perempuan sepuh yang saat itu tinggal di sekitar wilayah Balubur.
Akibat air bah yang melanda kota, korban pun berjatuhan. Dalam buku Bandung Awal Revolusi 1945-1946, John R.W. Smail malah berani menyebut angka yang jelas: “Banjir itu menghancurkan paling tidak 500 rumah dan memakan lebih dari 200 korban jiwa…,” tulis Smail.
Selain anak-anak dan perempuan yang hanyut, sebagian korban merupakan kaum lelaki yang tertembak. Bagaimana bisa? Rupanya, saat para pemuda, tentara dan laskar turun memberikan pertolongan kepada para penduduk, sekelompok pasukan Gurkha dan Belanda yang sedang berpatroli justru menembaki mereka secara membabibuta.
Asikin Racman (92) adalah salah seorang pemuda laskar yang ikut ditembaki pasukan Gurkha itu. Menurutnya, di tengah kepanikan akibat air bah, sekitar pukul 20.00 sebanyak satu kompi pasukan Inggris dalam gerakan militer yang provokatif mendekati perkampungan rakyat di pinggir Sungai Cikapundung sekitar Hotel Savoy Homan, Hotel Preanger dan Jalan Braga.
“Tanpa belas kasihan, mereka menembaki kami dan rakyat yang tengah kami tolong hingga beberapa meregang nyawa dan sebagian lain dalam kondisi panik bertebaran ke sana- kemari…” kenang mantan anggota Lasykar Hisbullah Bandung tersebut.
Bandung praktis lumpuh saat itu. R.J. Rusady Wirahaditenaya melukiskan wilayah Lengkong, Banceuy, Sasak Gantung dan Balubur berubah menjadi telaga. “Lalu lintas mengalami kemacetan total karena jalan-jalan penuh kotoran dan pohon-pohon besar yang terbawa air bah,” tulis salah satu tokoh pejuang Bandung itu dalam bukunya, Tiada Berita dari Bandung Timur 1945-1947.
Pihak polisi dan tentara Indonesia tentu saja tak hanya tinggal diam. Mereka lantas melakukan penyelidikan dan menemukan fakta bahwa bencana banjir besar itu merupakan akibat sabotase kaki tangan Belanda dan Inggris. Menurut Mohamad Rivai dalam Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, keterangan tersebut didasarkan pada kesaksian sejumlah penduduk Bandung.
“Saat menjelang malam pas akan terjadinya banjir, para saksi melihat lima orang berpenampilan mirip pejuang mendatangi viaduct dan menutup pintu-pintu air sungai Cikapundung lalu mereka menghilang secara cepat,” ungkap mantan komandan di Divisi Siliwangi itu.
Bahkan lebih lanjut, Rivai meyakini bahwa perintah penutupan pintu-pintu air di bawah viaduct tersebut datangnya langsung dari Panglima Tentara Inggris di Bandung, Brigadir Jenderal Mac Donald. Tujuannya tak lain untuk mengagalkan rencana serangan umum ke Bandung, yang akan dilancarkan oleh tentara Indonesia pada malam 25 November itu.
Dari sumber-sumber Belanda sendiri, mereka menganggap banjir tersebut merupakan gejala alam biasa. Bahkan secara historis, menurut situs Java Post, curah hujan yang tinggi berbanding lurus dengan terjadinya bencana banir yang kerap melanda Bandung di masa lalu.
“Setidaknya pada 1921 dan 1931, Bandung pun pernah dilanda banjir…” demikian menurut tulisan situs itu dalam sebuah artikel berjudul Misere in Bandoeng.
Koran yang terbit di Batavia, De Niewsgier dalam pemberitaannya tentang peristiwa banjir di Bandung pada keesokan harinya (26 November 1945), malah menuduh bencana itu merupakan upaya sabotase yang dilakukan pihak republik. “Menurut keterangan yang kami lansir dari para pengungsi, itu merupakan akibat dari sabotase yang dilakukan para ekstrimis…”
Bandung Dibagi Dua
Spoiler for Isi:
29 November 1945
Pengabaian ultimatum yang diberikan oleh Sekutu menyebabkan perundingan antara Menteri Pertahanan Indonesia, Amir Syarifuddin, dengan Panglima Sekutu di Jawa Barat, Mayjen Hawthron, dan menyepakati bahwa pasukan bersenjata saja yang harus keluar dari Bandung Utara. Namun kenyataannya berbalik dari hasil perundingan ini. Semua dipaksa keluar dari Bandung Utara, serta Sekutu justru menambah pasukannya di Bandung.
3 Desember 1945
Pemuda Suhono, Didi, Muchtarudin, Rana, Sebengat, Surjono, dan Susilo gugur dalam mempertahankan Gedung Sate dari Tentara Gurkha. Pemuda DKA juga akhirnya menghancurkan sendiri gedung DKA yang dipertahankannya supaya tidak direbut musuh dalam keadaan utuh.
Tentara Sekutu dari 12th Yorkshire Battalion 5th Parachute Brigade, memeriksa para pemuda untuk mencari pejuang Republik Indonesia, pada 1945. Foto: Imperial War Museums/en.wikipedia.org.
Pertempuran Lengkong Besar
Spoiler for Isi:
6 Desember 1945
Tentara Sekutu melakukan operasi pembebasan orang-orang Belanda dan Indo Belanda yang berada di Ciateul dan Lengkong Tengah. Operasi ini dimulai pukul 05:30 pagi. Serangan ini menggunakan 3 buah tank dan beberapa buah panser serta2 pesawat bomber B-25 dan 3 pesawat F-15 Mustang. Dari Hotel Homan dan Preanger, Sekutu juga menembakkan mortirnya. Serangan dilawan oleh pemuda API, BMP, Hizbullah, serta BBRI. Serangan berakhir ketika operasi pembebasan berhasil, dan Sekutu mundur ke Hotel Homan.
DRAMA KOLOSAL BLA - Sejumlah pemuda menampilkan drama kolosal peristiwa heroik Bandung lautan api memperjuangkan kemerdekaan pada acara memperingati 70 tahun peristiwa Bandung Lautan Api di Lapangan Tegallega, Kota Bandung, Kamis (24/3/2016). Pementasan yang dilakukan sejumlah komunitas di Kota Bandung itu bertujuan untuk mengajak generasi penerus bangsa mengenang perjuangan para pendahulu dan meneruskan perjuangan membangun bangsa sesuai dengan profesi dan bidang pekerjaan masing-masing.
Pertempuran Cicadas
Spoiler for Isi:
14 Desember 1945
Cicadas, yang dianggap pusat laskar pejuang serta jalur penghubung mobilitas pejuang dari Bandung Selatan ke Bandung Utara diserang dari udara. Rumah, toko, dan pasar hancur menjadi puing. Setelah serangan dari udara berhenti, kendaraan lapis baja Sekutu bergerak menerjang pertahanan laskar pejuang menuju Bojongkoneng-Cikutra untuk membebaskan tawanan Jepang.
21 Desember 1945
Pukul 05:00 WIB, pasukan Gurkha tiba tiba melakukan serangan ke markas pejuang di Cicadas. Penyerbuan ini mendapat perlawanan yang hebat dari para pejuang sampai pasukan Gurkha kewalahan dan meminta bantuan. Sehingga pada pukul 09:00 WIB, Cicadas diserang dari udara. Kurang lebih 15 bom dijatuhkan oleh pesawat terbang Inggris.
Tugu peringatan perang konvoi Cianjur (Ismet Selamet/detikcom)
Pertempuran Sukabumi-Cianjur-Bandung
Spoiler for Isi:
10 Maret 1946
Terjadi pertempuran antara pasukan Inggris dan TRI di Sukabumi. Pada pertempuran ini, tentara Sekutu hendak membebaskan pasukan Jepang yang ada di Sukabumi. Pasukan Letkol Edy Sukardi dari Resimen 3 TRI menembaki mereka hingga jatuh korban 2 perwira dan 6 tamtama, serta direbutnya 9 truk dan 2 jip. Penembakan yang dilakukan TRI ini tak hanya di Sukabumi, namun di sepanjang Sukabumi-Cianjur-Bandung, dengan tujuan memutus konvoi logistik mereka. Akibat serangan-serangan dari TRI ini, Inggris melancarkan serangan udara di sepanjang Cibadak-Sukabumi.
Monumen pertempuran Fokkerweg di Jalan Garuda Kota Bandung. (dok. balebandung).
Pertempuran Fokkerweg
Spoiler for Isi:
15 Maret 1946
Bantuan pasukan maupun amunisi bagi tentara Inggris dari Jakarta dialirkan melalui Jalan Raya Barat, Fokkerweg (kini jalan Garuda). Komandan Kompi I dari Batalyon II TRI Soemarsono, Salkon Wigona mengomando untuk menghadang aliran bantuan ini. Kurang lebih 1000 pemuda menembaki konvoi Sekutu yang terdiri dari power wagon, truk, jip, dan kendaraan pengangkut pasukan lainnya. Pertempuran meledak hebat hingga lebih dari 12 jam baku tembak. Pertempuran Fokkerweg ini punya arti penting dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Banyak perbekalan musuh dapat direbut, termasuk pemancar radio.
Peristiwa Bandung Lautan Api, rumah dan gedung di Kota Bandung dibakar rakyat
Bandung Dibumihanguskan
Spoiler for Isi:
20 Maret 1946
Radio Republik Indonesia Bandung sebagai alat revolusi berhasil membangkitkan semangat juang rakyat dan memberikan perlawanan cukup tangguh dalam perang urat syaraf. Oleh karena itu, Sekutu meluncurkan serangan udara untuk menghancurkan RRI Bandung yang studionya terletak di Tegallega. Gedung-gedung di sekitar Tegallega hancur terkena peluru dan bom, namun studio RRI tidak mengalami kehancuran. Selain untuk menghancurkan radio perjuangan, serangan ini juga wujud kekesalan Inggris terhadap pencegatan konvoi-konvoi inggris oleh para pejuang Indonesia.
21 Maret 1946
Pada pukul 07:20 WIB terdengar dentuman-dentuman Meriam hebat yang mengagetkan penduduk kota Bandung khususnya daerah Tegallega. Serangan ditujukan ke markas TRI, asrama para pejuang yang ada di Tegallega.
22 Maret 1946
Tentara Inggris di Jakarta mengultimatum Pemerintah Indonesia. Bandung Selatan harus segera dikosongkan, TRI harus keluar dari kota dan hanya boleh berada di luar garis batas 11 kilometer, selambat-lambatnya dalam waktu 48 jam setelah ultimatum dikeluarkan. PM Syahrir meminta agar ultimatum dapat dipenuhi supaya TRI dapat diselamatkan, karena bukan tandingan Divisi ke-23 Inggris. PM Syahrir juga menginstruksikan agar polisi dan masyarakat sipil untuk tetap tinggal di kota dan tidak melakukan bumi hangus, karena Inggris berjanji menjamin kekuasaan de facto RI di Bandung.
23 Maret 1946
Ultimatum Inggris ditolak karena mengungsikan belasan ribu tentara dan laskar dalam waktu singkat dianggap tidak memungkinkan. Oleh karena itu, Kolonel Nasution menemui Panglima Hawthorn di Bandung Utara. Panglima Hawthorn bersikeras bahwa ultimatum tidak dapat diganggu gugat. Hari itu juga Kolonel Nasution terbang ke Jakarta dan mendapati bahwa PM Syahrir tetap meminta untuk memenuhi ultimatum Inggris.
24 Maret 1946
Kolonel Nasution kembali ke Bandung, menemui Panglima Hawthorn dan ditawari 100 truk untuk evakuasi, namun ditolak. Kolonel Nasution kembali ke posko dan pada pukul 14:00 memutuskan untuk menyimpang dari perintah Pemerintah RI. Kolonel Nasution mengomando untuk mengungsi, bumi hangus, infiltrasi ke Bandung Utara, dan tetap serang Bandung Selatan. Pada malam harinya, dimulailah bumi hangus tersebut. Tentara membakar sendiri markasnya, asrama-asrama, serta bangunan penting.