Pagi itu seperti biasa, aku menghubungi mamaku yang ada di Sidoarjo melalui pesan Whatsapp. Maklum, kami tinggal beda kota, aku di ibukota mengumpulkan pundi-pundi uang di dunia penuh tipu-tipu ini. Yang berbeda, seminggu ini kami intens berkabar karena bapak sambungku dirawat di rumah sakit karena terkena Covid-19.



Sehari setelah dinyatakan positif, mama dan dua adikku langsung swab PCR (Polymerase Chain Reaction). Alhamdulillah semuanya negatif. Tapi pagi itu aku terusik, karena malam sebelumnya, mama nggak badan jadi aku harus memastikan mama baik-baik aja.

Namun...

Mama langsung menelpon. Sambil menahan tangis, mama bilang bahwa pagi itu nggak bisa mencium aroma apapun. Kuminta tenang dan menghirup nafas dalam-dalam sambil mengoleskan minyak kayu putih di hidungnya namun tidak muncul aroma sama sekali. Aku menduga, mamaku mengalami kehilangan indera penciuman alias anosmia. Sebuah gejala khas dari virus yang menyebabkan pandemi di seluruh dunia saat ini.



Aku langsung menenangkannya, kuminta melakukan beberapa hal berbekal pengalaman sebagai alumni Covid-19. Kupersiapkan mental mamaku, agar nggak panik. Aku langsung mencari penyewaan oksigen dan membelikan inhealer karena mamaku memiliki asma. Banyak ketakutan yang ada dalam pikirannya. Takut dikucilkan tetangga, takut diangkut ke rumah sakit pakai baju astronot seperti yang ada di berita-berita.

Singkat cerita, semuanya di test swab dan benar saja, positif semua. Yang pasti, yang jelas, yang tentunya jadi kepikiran juga sih. Terdengar biasa yah cerita hilang indera ini? Sama seperti cerita-cerita penderita Covid-19 lainnya. Tapi, tapi, tapiiiiii............ Ada beberapa hal yang perlu dicatet, yang mungkin bisa jadi pelajaran buat kalian-kalian yang baca thread ini.







So, segitu dulu cerita ini. Tetap patuhi protokol kesehatan dan jangan kehilangan satu lagi indera yang tak tampak, yaitu empati terhadap sesama. Kalau bukan kita, siapa lagi?

PS: Happy Birthday Ma. Sad sih kado ultahnya sakit gini. Get well soon.