Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

adnanamiAvatar border
TS
adnanami
Mbah Wiro, Arwah Penasaran Penghuni Alas Jati


Kisah ini merupakan kisah nyata yang dialami oleh Ibuku sendiri. Saat itu aku masih duduk di bangku TK, kita baru saja pindah ke suatu perumahan yang terletak di pelosok desa di bagian Selatan Jawa Timur yakni Desa Poncokusumo di pedalaman Kabupaten Malang. Belum banyak orang yang menghuni daerah ini. Rumah warga yang berpenghuni masih bisa dihitung dengan jari. Hampir semua hunian di perumahan ini belum ditempati oleh pemiliknya.

Waktu telah berjalan 3 bulan. Keluarga kami mulai mengenal beberapa orang yang berada di kawasan ini, seperti tukang sayur, tukang pijat, tetangga dan ojek. Saat itu kami sedang dalam keadaan genting, badanku mengalami demam hingga gemetaran. Rumah sakit amat jauh, kita harus menempuh jalan menuju kota jika ingin berangkat ke sana. Sehingga hal itu tidak mungkin dilakukan karena terlalu jauh dan repot.

Lokasi di sekitar area perumahan masih sawah - sawah, semak belukar, ladang dan hutan pohon jati. Transportasi kala itu hanya ada ojek yang biasanya mangkal di pos ojekan. Biasanya ojek - ojek disini hanya narik mulai pagi sampai jam 3 sore saja, di atas jam itu mereka sudah kembali ke kediaman masing - masing. Zaman tahun 1999 belum banyak orang yang memakai handphone, paling - paling komunikasi hanya lewat WARTEL (Warung Telekomunikasi) dan telepon rumah saja. Tapi kita belum punya telepon kabel apalagi HP.

Ibuku bermaksud menelpon taksi namun hanya bisa lewat WARTEL yang bukanya jam 7 malam saja. Jam kala itu menunjukkan pukul 5 sore, para ojek yang mangkal di pangkalan sudah pulang dan saat itu juga Ibuku berpikir "Daripada kelamaan, lebih baik aku cari tukang pijat saja". Ibu pun berjalan menuju rumah tukang pijat yang jaraknya cukup jauh dari rumah.


gambar 1:
suasana hutan pohon jati saat maghrib


Jalan menuju rumah si tukang pijat tidaklah mudah, Ibu harus melewati hutan pohon jati yang menjadi jalan pintas tercepat yang menghubungkan perumahan dengan desa tempat si tukang pijat tinggal. Karena Beliau hanya jalan kaki, waktu yang ditempuh pun tidak sebentar. Berbekal payung, dia berjalan seorang diri.

Di tengah perjalanan, hujan gerimis datang. Beliau mengembangkan payungnya. Saat melewati hutan pohon jati dan hampir sampai ke perkampungan desa sebelah, Beliau mendengar suara kakek kakek memanggilnya.

"Naaak ... nak ... tolong mbah!"

Ibu melihat ke sekelilingnya tak ada orang. Dia kembali berjalan, di langkah ketujuh Ibu berjumpa dengan seorang lelaki tua yang mengenakan topi caping dari anyaman bambu, membawa cangkul di pundaknya, kakinya penuh dengan tanah. Pria tua itu berpapasan dengan Ibuku. Ibu mencoba menyapanya, "Apakah bapak yang memanggil saya barusan?"

Lelaki itu tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Gelagat pria itu tampak aneh. Tatapan Ibuku tak bisa lepas dari Pria tua itu.

"Ada yang bisa saya bantu, kek?" tanya Ibu sambil memayunginya juga

"Tulung terno aku mulih" (Tolong antarkan aku pulang)

Ibu seolah lupa dengan apa tujuannya kesana. Bagai terhipnotis, Beliau mengikuti arah berjalan si kakek yang semakin lama berjalan semakin jauh dari tempat Ibuku berpijak tadi. Bulu kuduk Ibu berdiri ketika mendekati kakek itu. Bau kakek ini bagaikan bangkai tikus yang telah membusuk berhari - hari. Amat sangat menyengat. Ketika Ibu memandang kakek ini dari ujung kaki ke ujung kepala, benda di pundak lelaki yang semula dikira cangkul oleh Ibuku itu berangsur - angsur berubah warna menjadi memanjang seperti karung dari kain putih. Yang begitu mengagetkan adalah ada wajah di antara karung putih menjuntai yang diikat tersebut. Ibuku segera menyadari apa yang dia lihat, yakni pocong yang sedang dibawa oleh si mbah. Pria tua itu memandang wajah ibuku, wajahnya sangat menyeramkan, matanya penuh dengan belatung, rona mukanya pucat dan memar membiru di separuh bagian wajahnya. Si kakek tersenyum lebar diiringi suaranya yang sendu. Badan ibu lemas seketika, terkulai lemah tak berdaya di bawah pohon jati.

Tenggorokan ibu serasa tercekat tanpa bisa mengeluarkan suara, badannya bergetar, keringat bercucuran, berharap apa yang dilihatnya hanyalah mimpi. Tapi sayangnya apa yang dia saksikan benar benar nyata. Petani itu menyanyikan tembang jawa yang suaranya sangat kencang, membuat orang yang mendengarnya seolah terpaksa ditarik menuju alamnya.



Beruntung, suara adzan Maghrib berkumandang, lelaki tua itu menghilang beserta dengan benda misterius yang dia panggul di pundaknya. Dia pulang ke alamnya. Ibuku tak sanggup berdiri, beliau akhirnya bisa berteriak minta tolong. Untungnya ada warga yang akan pergi ke masjid yang mendengarnya. Beliau pun digotong menuju perkampungan warga yang sudah terlihat di ujung jalan.

Ibu ditanyai oleh warga dan bilang mau ke rumah si tukang pijat. Warga pun mengantarnya kesana. Sesampainya di rumah si tukang pijat, Beliau menceritakan semuanya beserta maksud kedatangannya kesana. Akhirnya Ibu diantar pulang naik sepeda motor oleh si tukang pijat, sambil diberi nasehat untuk tidak lewat tempat itu lagi. Sebab hutan pohon jati itu memang sudah tak diragukan kemistisannya. Penampakan sosok petani itu telah banyak diketahui warga.

"Untung saja Ibu segera menyadari bahwa yang dilihat itu bukan manusia, banyak warga yang hilang beberapa hari dan mengaku diajak mbah Wiro "main" ke tempatnya begitu kembali." ucap si tukang pijat

Konon katanya, sosok petani tua itu dulunya bernama mbah Wiro. Dia dulu manusia biasa, hidup di kawasan perkampungan yang sama dengan si tukang pijat. Mbah Wiro tinggal hanya bersama cucu semata wayangnya. Namun cucunya meninggal di usianya yang masih anak - anak. Di hari pemakaman cucunya, Mbah Wiro tidak rela jika cucu kesayangannya tersebut meninggal. Dia kembali membongkar makam sang cucu untuk dibawanya pulang. Saat itu penduduk sudah melarang keras perbuatan Mbah Wiro, tapi dia tetap ngotot. Beberapa hari kemudian dia menyusul cucunya dengan jalan mengakhiri hidupnya sendiri. Beliau dimakamkan di pemakaman yang letaknya tidak jauh dengan hutan pohon jati. Penduduk setempat sangat menghindari lewat jalan itu kecuali di siang hari.

Cerita ini baru Beliau sampaikan ketika aku dirasa cukup matang, yaitu saat sudah masuk SMP karena Ibu khawatir jika saat itu langsung diceritakan padaku saat itu juga maka aku akan tumbuh menjadi seorang penakut.

Sumber : kisah nyata
Diubah oleh adnanami 22-03-2020 13:38
dwikusumadAvatar border
iwakendogAvatar border
robin.finckAvatar border
robin.finck dan 23 lainnya memberi reputasi
24
4.7K
79
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan