wariar17Avatar border
TS
wariar17
Orang itu Bernama Ayah


Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pramoedya Ananta Noer

Sebagian orang mungkin kenal dengan kalimat ini. Ringan saja, karena tidak ada konflik di dalamnya. Hanya sebuah ajakan kecil untuk menulis, namun akan ada hasil yang besar dari tawaran tersebut, yaitu keabadian. Kalimat ini dibuat dengan rasa sedemikian rupa oleh Pramoedya Ananta Noer. Seorang Sastrawan yang pernah hidup di tiga zaman, maestro pengatur aksara dan begitu lihai dalam menuliskan tatanan bahasa.

Akan butuh lama untuk menjelaskan riwayat sang tokoh. Tapi dalam tulisan ini aku tidak akan menuliskan riwayat tentang beliau. Tidak juga tentang siapa pun, melainkan diriku sendiri sebagai seorang penulis amatir, tapi akan terus belajar untuk menjadi seorang penulis.

Marilah berselancar pada lahirnya mimpi seorang anak desa yang tinggal di Sumatera bagian tengah sana. Kau tahu, sebagai perantau kami sering memanggil daerah itu dengan sebutan Minangkabau. Daerah yang diberikan lebih oleh Allah karena setiap orang yang singgah bisa melihat dua keindahan alam sekaligus, Samudera Hindia dan barisan pegunungan sumatera.

Entah sejak kapan membaca menjadi salah satu hobi yang paling menarik untuk dilayani. Buku-buku selalu terlihat menarik bagiku bahkan ketika masih di jenjang sekolah dasar kelas satu. Berawal dari Majalah Bobo, sampai Muslimah hingga novel, semua ku lahap dengan sempurna. Mungkin dari hobi membaca selain memunculkan hobi baru yaitu menulis, bisa jadi membaca juga menjadi salah satu motivasiku untuk menimba ilmu setinggi mungkin.

Terlahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Belum lagi ekonomi keluarga yang bisa dikatakan kurang dari kata berlebih, namun allhamdulillah masih tercukupi untuk kehidupan sehari-hari, tak langsung begitu saja meredupkan tujuan untuk meraih mimpi.

Ketika teman-teman yang berusia sepantaran denganku tengah memikirkan baju seperti apa yang pantas dipakai ketika lebaran tiba, aku justru sudah mulai menyusun rencana kasar untuk mengambil kuliah di luar Sumatera. Waktu itu aku masih mengenakan rok biru pekat, yang dibeli dari hasil keringat ayah berjualan ikan dari pagi hingga petang. Beberapa teman sempat tertawa lucu karena aku pernah bercerita padanya ingin menjadi seorang penulis. Tak jarang ada yang menganggap penulis bukanlah pekerjaan dan menyarankanku untuk tidak terlalu serius memikirkan masa depan. Kita masih di MTsN, Syah. Begitu yang teman-teman katakan kepadaku.

Tadinya aku ingin melanjutkan ke sekolah menengah atas yang berbasis umum. Tapi Allah ternyata punya rencana lain. Jadilah aku di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Padusunan Pariaman. Berawal dari beratnya hati melanjutkan pendidikan berlandaskan agama, perlahan waktu mulai mengikis rasa ketidak ikhlasan tadi dengan banyaknya kemudahan yang selalu diberikan oleh Allah selama aku berada di sana. Salah satunya adalah, aku tak pernah membiayai sekolah karena selalu mendapatkan beasiswa. Sekali lagi, kau harus percaya jika memang Allah tidak akan selalu memberikan apa yang kita inginkan, tapi Allah selalu tahu apa yang terbaik untuk hambanya.

Aku ingin kuliah, begitulah kalimat pendek yang sering aku lontarkan kepada setiap orang yang bertanya, lulus sekolah ingin melakukan apa? Banyak tetangga yang mencibir dengan nada mengejek, anak seorang pencari pasir di kali ingin berkuliah? Bisa makan apa kalian sekeluarga Beberapa di antaranya bahkan ada yang menakar jika ayah hanya mampu membiayaiku satu tahun saja.

Tapi ayah bukanlah orang biasa dan mudah pantang menyerah. Di bilang seperti itu oleh orang-orang di sekitar kami, Ayah malah tertawa ringan dan semakin giat bekerja. Ayahku memang tak pernah kehabisan akal dan selalu mendorongku untuk tidak takut mengambil resiko. Tak banyak hal yang sering kami perbincangkan bersama ketika bertatap wajah, watak tegas, selalu tergambar dari raut wajah ayah yang telah terpahat bertahun-tahun oleh kerasnya kehidupan.

Tapi dari sikap tegasnya aku tahu ayah selalu tersenyum lembut ketika kami semua tertidur lelap. Kasak kusuk memikirkan cara agar bagaimana kami keluarganya bisa hidup dengan layak. Mengasah imajinasi agar putra dan putrinya bisa mengenyam pendidikan hingga sarjana dan menjadi orang yang berguna. Sering terlihat keras, namun kami tahu betapa lembutnya laki-laki berumur paruh baya ini.

Lalu bagaimana dengan Ibu? Ibu adalah wanita hebat yang selalu tersenyum menyambutku ketika pulang. Ketika ku katakan ingin berkuliah sehabis lulus di Madrasah Aliyah ini, beliau tersenyum lembut sambil berkata “Jadilah pengganti Umi dan Buya yang tak pernah mencicipi bangku perkuliahan ini.” Dan ke depan, aku mulai menyadari jika dari silsilah keluarga ini, akulah yang pertama mencicipi bangku perkuliahan baik itu dari keluarga pihak ibu maupun ayah.
Aku mencoba pelbagai jalur untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri. Gagal di SNMPTN tidak langsung membuatku menyerah menunggu hasil pengumuman dari jalur lain, SNMPT-KAIN. Allhamdulillah, aku berhasil menjadi mahasiswa undangan di Universitas Islam negeri (UIN) Jakarta, tak terbilang rasa senangnya. Tapi ketika akan mempersiapkan semuanya, kami ditimpa musibah. Usaha ayah dan kawan-kawannya para pencari pasir di sungai diblokir Pemerintah Pariaman, mesin-mesin pun dibawa oleh SATPOL-PP. Mereka beralasan jika kegiatan yang dilakukan oleh ayah menyebabkan pencemaran sungai.

Padahal itu tidak benar, aku tahu betul jika ayah tidak menggunakan bahan-bahan berbahaya yang menyebabkan terjadinya pencemaran. Bahkan semenjak adanya usaha pengambilan pasir di sungai, desa kami jarang terkena banjir. Karena pengerukkan pasir, membuat sungai yang awalnya dangkal, menjadi dalam kembali.

Kegembiraan yang sempat membuncah mulai terkikis karena hilangnya mata pencarian Ayah. Aku sempat terpuruk memikirkan biaya kuliah. Tapi seperti yang pernahku bilang, ayah tak pernah menyerah. Ayah membongkar semua tabungan yang beliau punya hingga meminjam uang pada sanak saudara untuk biaya keberangkatan ke Jakarta untuk mendaftar ulang. Suatu hari, ayah membawa polibek, berkantong-kantong biji pepaya, dan segerobak tanah. Tanpa banyak bicara, Ayah menyuruh kami mengisi polibek itu dengan tanah dan menanam bibit pepaya. Katanya, ini adalah usaha baru kita.

Berkat kemudahan yang Allah berikan, juga dorongan dari kedua orang tua, aku berhasil berangkat ke Jakarta dan melanjutkan kuliah. Setibanya di sana, aku langsung mencari-cari informasi tentang beasiswa. Awalnya aku mengincar Bidikmisi namuntidak memiliki kesempatan karena pendaftaran yang sudah tutup. Aku sempat menceritakan kekecewaan karena terlambat mencari informasi beasiswa. Pada Ayah dan Ibu aku berbicara dari balik telepon sembari menangis.

Aku belum bisa membantu mengurangi biaya kuliah dan jelas, ada empat orang adik yang tengah bersekolah, Ayah harus banting tulang untuk kami semua. Namun Ayah dengan lembut berkata kepadaku “ Alun razaki nak,, jan lo manangih anak buya. Beko manihnyo ilang. Barusaho taruih, jan manyarah, sholat jan pernah tingga. Doakan Buya di kampuan supayo razakinyo lancar. (Belum rezeki, nak. Jangan menangis, nanti manisnya hilang lo. Berusaha terus, dan jangan pernah menyerah, doakan saja buya di kampung agar rezekinya tetap jalan).”

Hingga ketika aku mulai menutup harapan akan mendapatkan beasiswa di tahun pertama, ada seorang teman yang mengenalkan Beastudi Etos kepadaku. Awalnya aku tidak begitu memperhitungkan hasil karena dalam pengumuman yang tertulis, hanya sepuluh orang yang terpilih. Namun Allah berkata lain, aku lulus setelah melewati seleksi berkas dan wawancara.
Mungkin dari segi ekonomi, kami belum dapat dikatakan berlebih. Usaha ayah yang masih sebagai pencari pasir sungai, dan ibu yang tetap menjadi seorang ibu rumah tangga dari lima anak, masih mengajak kami untuk membangun cita-cita. Mereka tetap mengajarkan kepada kami untuk selalu bermimpi, tak peduli seberapa berat beban yang mereka pegang, Allah selalu membersamai kita. Begitu yang Ayah dan Ibu selalu katakan.

“ Aisyah, kalau ingin jadi wartawan, penulis, atau apalah, buya selalu mendukung. Yang terpenting jangan terlalu mencari hasil yang sempurna, proseslah yang terpenting. Semua orang sukses awalnya hidup dalam keterbatasan, tapi mereka tidak menggerutu. Dari keterbatasan lah mereka ditempa menjadi orang-orang yang hebat.”
Aku mengangguk pelan. “ Berdoa, usaha terus jangan menyerah, setelah itu ikhlas dengan hasil apa yang diberikan Allah. Dan satu lagi, shalat jangan ditinggalkan,” Begitulah pesan yang selalu Ayah katakan padaku dimana pun dan kapan pun itu ketika rasa malas dan kecewa sering melanda dalam setiap usaha.

Maka ketika ada orang yang bertanya kepadaku siapa orang yang teramat berharga dan kau cintai, aku akan menjawab “Orang itu bernama Ayah dan Ibu.”
Diubah oleh wariar17 27-12-2019 06:01
0
386
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan