rulfhiAvatar border
TS
rulfhi
Adakah Ruang Kreatif dan Kritis di Pendidikan Indonesia?


Adakah Ruang Kreatif dan Kritis di Pendidikan Indonesia?
   
 
Ilustrasi Gambar oleh mantias.es
 

Beberapa pekan lalu timeline twitter saya dipenuhi oleh bahasan pendidikan. Tepatnya soal kecepatan dalam menyelesaikan kuliah selama 3,5 tahun. Tentu perkara waktu seseorang untuk menyelesaikan masa study berbeda-beda, tergantung dari hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Mulai dari aspek ekonomi, kecerdasan dan lain-lainnya.     

Pendidikan salah satu landasan penting untuk menapaki persaingan di era global ini. Namun pendidikan seperti apa yang cocok? Mari kita bahas di sini!

Selama menghabiskan waktu di bangku sekolah selama 12 tahun. Persepsi yang saya dapat adalah adalah bagaimana kita terbentuk sesuai dengan apa yang guru inginkan. Tak percaya? Lihat saja ketika kita terus dicekokin oleh pelajaran matematika, padahal kita lebih menyukai pelajaran Bahasa Indonesia.

Kita seakan tidak diberi ruang untuk memilih apa yang kita suka untuk dikembangkan. Atau kita tidak dibimbing menuju arah yang sesuai pasion kita kalau kata orang kekinian mah. Namun untuk kasus kedua perlu kejelian seorang pengajar untuk mengarahkan siswanya. Dan di kita untuk hal ini masih terbilang sedikit.

Saya tentu tidak menyelahkan guru karena ia akan berpaku pada sistem pendidikan yang berlaku saat itu. Dan ihwal pendidikan bukan perkara tentang guru dan sekolah saja tapi juga melibatkan peran orang tua di sana. Jadi masalahnya ada di dalam sistem pendidikan kita kah? Tunggu dulu

Mengutip dari laman kemendikbud.go.id, Indonesia telah melakukan 11 kali ganti kurikulum terhitung sejak Indonesia merdeka. Pertama pada tahun 1947, 1952,1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015.  

Jika melihat 11 kurikulum tadi saya sedikit menaruh harapan pada kurikulum 2013. Sebab terdapat tiga aspek penilaian, yakni aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap dan perilaku. Namun di kurikulum ini matematika tetap menjadi nomor satu.

Untuk kurikulum 2013 ini, saya turut merasakan. Dan saya merasa ada perbedaan cara mengajar menjadi dialog. Ini cukup ampuh untuk melatih pemikiran dan kritis pelajar. Sebab kita disuruh untuk merespon setiap dialog yang berlangsung di kelas.  

Menurut saya, hilangnya daya kritis dari para pelajar Indonesia lantaran sistem pendidikan kita yang jalan di tempat. Ini bisa dilihat dari daftar pertanyaan untuk siswa di setiap ujian. Mayoritas dari pertanyaan berisi jawaban hafalan.

Hal ini juga yang menurut saya turut mempengaruhi bagaimana rendahnya literasinya kita. Sebab kita terbiasa dengan membaca hapalan tanpa mencerna kata demi kata.

Jadi menurut kalian masih adakah ruang kreatif dan kritis di Pendidikan Indonesia?

Mari kita diskusikan!!

 

Tulisan opini TS
Sumber gambar terlampir


Diubah oleh rulfhi 26-08-2019 07:20
0
229
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan