wariar17Avatar border
TS
wariar17
Cibatok Dua; Cerita Lama Selepas KKN

Pagi hari. Bilur embun basahi pemukiman penduduk dan pertokoan yang amat padat pinggiran Jakarta ini. Matahari bersinar amat bulat, jingga, mengingatkanku akan indahnya sunrise di Desa Cibatok Dua, seminggu yang lalu, saat aku masih tinggal disana.

Ini adalah hari ke-7, pasca Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang aku lakukan selesai. Bayang-bayang hangatnya desa itu masih terus tertanam disanubari, meskipun aku sudah seminggu kembali ke Ciputat.

Dering handphone seketika membuyarkan lamunanku. Segera aku membuka pesan yang nampaknya tak biasa. Tertulis nama kontak pesan itu; Pak Asep, dia adalah Sekretaris Desa Cibatok Dua. Dengan hangatnya dia menyapa, “Assalamu’alaikum. Sehat bang? Selamat Idul Adha yah. Salam buat teman-teman yang lain.” Pak Asep, Sekdes muda dengan banyak talenta itu masih saja menunjukan sikap hangatnya. Tak ku sangka dia masih sempat menanyakan kabar dan memberi ucapan Hari Raya Idul Adha ditengah kesibukannya.

Sobat, entah mengapa, setelah membaca pesan itu, memoriku semakin melayang ke saat-saat sebulan paling berharga dalam hidupku. Saat-saat paling dramatis saat sebulan di posko. Suasana pagi yang persis sama mengantarku pada memori-memori itu. Aku seakan tak sabar ingin mengisahkan kembali kepadamu tentang kisahku; tentang anak kota yang dipaksa tinggal di desa, tentang bersatunya mahasiswa dengan berbagai karakter yang belum saling mengenal lalu disatukan dalam satu rumah, tentang berbagai konflik internal yang semakin mendewasakan, tentang masyarakat yang begitu ramah, dan berbagai kisah-kisah yang tak lekang oleh waktu.

Quote:


Quote:


Quote:

***


Kata orang bijak, permasalahan bersama akan menjadi semen dari pertemanan yang lekat. Dan disaat ditimpa permasalahan, maka kamu akan tahu sifat teman kamu yang sebenarnya.

Sistem KKN yang mengumpulkan banyak mahasiswa dengan berbagai fakultas, jurusan, latar belakang dan kepribadian yang berbeda kedalam satu kelompok menjadikan dinamika didalam kelompok semakin berwarna. Umumnya anggota kelompok samasekali belum mengenal rekan-rekannya. Selain harus mengenal lingkungan masyarakat, akupun harus memahami kepribadian anggota kelompok yang belum ku kenal lebih jauh. Adaptasi budaya dan rasa toleransi benar-benar diuji disini. Terlebih aku bukan anak yang aktif bersosialisasi. Disini aku benar-benar dipaksa keluar dari “zona nyaman”.

Cultural shock tidak bisa dihindari. Banyak mahasiswa yang biasa hidup di perkotaan kini dipaksa hidup di pedesaan. Desa Cibatok Dua masih kental adat dan budayanya. Pengajian disana masih menggunakan bahasa Sunda. Percakapan sehari-hari pun menggunakan bahasa Sunda. Ritual ibadah pun ada yang berbeda dengan yang aku lakukan di perkotaan, sehingga menimbulkan cultural shock diantara aku dan teman-temanku.

Dalam internal kelompok sendiri, rasa toleransi menjadi amat penting. Latar belakang kami berbeda-beda. Aku yang seorang pendiam kurang pandai bersosialisasi dan senang menyendiri harus membiasakan diri dengan keramaian dan karakter orang yang berbeda-beda.

Begitu pun yang lain. Anak rumahan yang jarang keluar rumah atau bersosialisasi harus mau turun langsung ke tetangga untuk bersosialisasi. Anak ‘komplek’ yang biasa hidup individual dan serba mewah dipaksa untuk hidup didesa yang guyub dan sederhana.

Dalam hal makanan pun demikian. Anak yang tidak suka sayuran harus mencari sendiri alternatif makanan jika menu yang disajikan adalah sayur-sayuran. Anak yang tidak suka ikan harus mencari alternatif makanan sendiri jika menu yang disajikan adalah ikan.

Menyatukan 14 orang mahasiswa dengan watak yang berbeda bukan hal yang mudah. Bahkan seringkali kepribadian masing-masing anggota saling berlawanan. Ketua kelompok kami, Ardi Seftiansyah, adalah orang yang penuh perhitungan, demokratis, sekaligus amat bertanggung jawab terhadap tugasnya sebagai ketua. Namun ia adalah seorang yang juga memiliki kekurangan, kurang pandai dalam bergaul ke beberapa kelompok masyarakat di pedesaan. Sekretaris kami, Bakrie Ahmad Fa’ada, adalah sosok aktifis kampus yang pemikirannya cemerlang, kami menjulukinya ‘konseptor’. Ia pandai bergaul dengan siapa saja, maka ia menjadi ‘juru bicara’ Kelapa Muda. Namun ia juga memiliki kekurangan, kurang pandai dalam mengaplikasikan apa yang sudah ia konsepkan. Sifat yang berlawanan itu bukan menjadi penghambat, namun justru menjadi pelengkap, agar kekurangan setiap anggota ditutupi oleh kelebihan anggota yang lain. Sungguh, permasalahan yang muncul karena perbedaan sifat, justru makin melekatkan pertemanan kami sebagai sebuah tim, Kelompok KKN 094, Kelapa Muda.

Perang dingin kerap terjadi antar mereka, maupun antar sesama anggota lain. Namun konflik itu tak pernah muncul dipermukaan. Setiap anggota pandai menyembunyikan rasa tidak suka itu. Rasa tidak suka itu baru mengemuka saat evaluasi anggota yang kami lakukan setiap pekan. Disana setiap anggota bebas mengkritik anggota lain dan anggota yang diberi kritik itu dapat menjelaskan atau melakukan pembelaan. Setelah evaluasi itu, semua perang dingin dan rasa tidak suka langsung mencair, semua saling memahami, saling mengisi kekurangan satusamalain. Permasalahan telah membuat kami mengetahui sifat asli teman kami yang sebenarnya. Namun bukan untuk dijatuhkan, tapi untuk saling mengingatkan dan saling melengkapi.

Benar kata Gus Mus, “perbedaan adalah hal yang fitri. Maka upaya penyeragaman merupakan upaya sia-sia,”
Diubah oleh wariar17 17-05-2019 08:50
0
857
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan