Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
Cerpen: Tragedi Imam Masjid



Tak seperti biasa, siang itu jamaah shalat Jumat terlihat tegang.

Setelah mengajak jamaah meningkatkan iman dan takwa, sang Khatib yang faqih itu berkhutbah:

“Sesungguhnya setiap perbuatan yang menentang syariat adalah murtad,” ucapnya dengan intonasi tinggi.

Semua jamaah dan seluruh warga yang mendengarkan melalui pengeras suara yang menghadap ke empat arah mata angin, terpaku bak terhipnotis.

“Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat Jumat 3 kali berturut-turut, maka dia adalah seorang munafik yang nyata,” lanjutnya.

“Andaikan dia berdalih bahwa Rasulullah saw membolehkan tidak shalat Jumat, melalui alam mimpi atau alam nyata, aku tetap tidak percaya. Bukan mendustakan Rasulullah, tapi mengingkari pengakuannya bermimpi bertemu Nabi, sebab beliau tidak mungkin berbuat seperti itu. Seorang tokoh para wali yaitu Abdul Qadir Jailani ketika mendengar suara yang mengaku dari Allah swt dan mengizinkannya meninggalkan shalat, maka dengan tegas ia menepisnya, karena Allah swt mustahil menyuruh demikian.

Bahkan jika dia bersumpah, maka aku pun berani bersumpah dengan taruhan iman, “Demi Allah, jika pengakuannya benar, maka biarlah aku mati dalam keadaan Su-ul Khatimah,” khutbah sang khatib di hadapan jamaahnya.

Sebenarnya kalimat-kalimat di atas tidak tercantum dalam teks khutbah yang dipegangnya.

Spontan ia mengucapkan itu setelah matanya memandang seluruh jamaah, dan ternyata Kai Mastur yang tinggal hanya beberapa meter dari masjid itu sudah empat Jumat berturut turut tidak hadir, padahal fisiknya segar bugar, dan tinggal di gubuk itu sudah puluhan tahun sebelum masjid itu dibangun.
***
Imam baru saja mengucapkan salam kedua, namun jamaah yang tersisa cuma dua, yaitu bilal dan modin. Jamaah segera pulang membawa sebuah beban berat yang menyesakkan dada.

Selama ini mereka sangat menghormati pria berjanggut putih, berumur setengah baya, pengangguran, hidup sebatang kara, dan tinggal di gubuk itu.

Walaupun selama ini ia jarang shalat berjamaah, namun ia selalu tiba-tiba muncul dan menjadi imam, ketika jamaah saling tunjuk, karena sang Khatib yang menjadi imam tetap, berhalangan hadir.

Karena itulah, sebagian besar masyarakat menganggapnya sebagai waliullah. Hal ini membuat panas telinga sang khatib yang menganggap hal itu sebagai kemusyrikan.
***
Isi khutbah itu menggemparkan warga desa. Perbincangan bukan hanya terjadi di setiap pojok warung, tapi juga di sela-sela kerja para petani di sawah. Mereka mulai terpengaruh dengan kata-kata khatib itu.

Bagaikan air raja, khutbah itu perlahan melebur logam dogmatis kewalian penghuni gubuk itu. Mulai saat itu, warga desa yang biasanya rutin mengantarkan makanan setiap waktu kepada pemilik gubuk itu, mulai kehilangan simpati, seolah-olah telah lahir wali baru yang berpikir kritis dan logis, berdalil dengan nash yang shahih dan qath’i, serta beribadah sesuai ajaran Nabi.


“Benar kata Imam, Kai Mastur itu bukan waliullah, tapi walius syaitan. Buktinya sampai kini ia tidak pernah lagi shalat berjamaah.”

“Iya benar. Jadi, sikapnya yang aneh-aneh selama ini hanya untuk menarik perhatian.”


“Kita lihat saja sampai bulan depan. Jika dia masih bisa bertahan tanpa mengemis, berarti mungkin benar dia seorang wali.”


“Tapi hal itu tidak bisa jadi patokan. Sebab mungkin saja setan memberinya makanan. Bukankah hal seperti itu tidak mustahil terjadi, seperti yang sering diceritakan oleh Imam kita”?

“Betul juga.”

Demikian terdengar sebuah percakapan di teras masjid sesudah shalat Ashar, tiga hari sesudah khutbah itu.

Bilal dan modin tak tahan mendengar pembicaraan itu. Keduanya segera beranjak pulang.

Dalam perjalanan, mereka sepakat untuk menjadi mediator antara sang Khatib dan sang Wali.
***
“Rencananya besok setelah shalat Zuhur kita bersama-sama menjenguk Kai Mastur, sekaligus berupaya menyadarkannya. Saya telah menyiapkan berbagai dalil untuk menyanggah setiap argumen yang mungkin akan dilontarkannya, sekaligus menyiapkan berbagai pertanyaan yang Saya yakin dia tidak akan mampu menjawabnya,” jelas Imam setelah menerima saran dari Bilal dan Kaum.
***
“Assalamu’alaikum,” ucap sang Imam agak keras, sebab tidak ada daun pintu yang bisa diketuk.

Modin telah menghabiskan setengah batang rokok, namun tak terdengar jawaban. Sang Faqih kembali mengucapkan salam yang kedua sambil melonggokkan kepala ke dalam gubuk yang pintunya seperempat terbuka.

Tetap tak terdengar jawaban. Salam yang ketiga diucapkan lebih keras, karena menduga pemilik rumah sedang tertidur.

Modin sudah berbalik arah, ketika sang Khatib menarik lengan bajunya agar mengikutinya masuk.

“Kita masuk saja. Mungkin Kai Mastur sedang sekarat, atau sudah wafat,” ucapnya pelan sambil melangkah masuk diiringi 11 orang jamaahnya.

Mereka mendapati Kai Mastur berbaring telentang. Tubuhnya kaku, dan matanya melotot tajam ke atas. Hanya jari-jari tangan dan bibirnya yang bergerak-gerak.

Mereka duduk mengelilinginya. Sang Imam duduk di samping kanan kepalanya. Jamaah mengambil surah Yasin dari saku baju, karena menduga Kai Mastur benar-benar sedang sekarat.

Sang Imam mulai mengucapkan Talkin: “Laa…,” ketika Kai Mastur mengarahkan pandangan kepadanya. Lelaki tua itu kemudian berkata dengan lirih tapi tegas:

“Tahukah dosa yang telah kamu perbuat hari ini, wahai Imam yang sangat faqih”?

“Tidak. Kalau ada, coba tunjukkan!” jawabnya semangat.

“Pertama, kamu masuk rumah orang lain tanpa diberi izin terlebih dahulu.”

“Bukankah Saya telah mengucap salam tiga kali, namun tidak dijawab, padahal menjawab salam itu hukumnya wajib?”

“Saya telah menjawab, bahkan dengan salam yang lebih panjang. Namun Saya mengucapkannya dengan pelan. Adakah kitab fiqih yang mewajibkan membalas salam dengan suara yang sama? Ingat, jawaban salam itu tidak sama dengan izin masuk.”

Ahli Fiqih tidak menjawab.

“Terus apa lagi dosa Saya?”

“Kedua, Kamu mengintip ke dalam rumahku tanpa izin. Andaikan Aku menusuk matamu, adakah hakim agama yang akan mempidanakan hal itu?”

Ahli Fiqih tak berkutik. “Terus apa lagi dosa Saya”?

“Ketiga, Kamu tidak pulang setelah tiga kali mengucap salam. Kitab fiqih mana yang mengajarkan hal itu?”

“Tidak ada. Tapi Saya anggap hal ini karena darurat, sebab Saya kira Bapak sedang sekarat atau sudah wafat.”

“Bolehkah menetapkan hukum berdasarkan dugaan tanpa keyakinan? Bukankah selama ini kamu selalu menggunakan dalil yang qath’i dan meninggalkan yang zhanni? Kalaupun boleh pakai dugaan, seharusnya Kau masuk atas izin Kepala Desa sebagai aparat yang berwenang.”

“Terus apalagi dosa Saya?”

“Cukuplah tiga hal itu sebagai renungan. Selama ini Kau selalu memperhatikan hal-hal yang besar dan rumit, namun lupa hal-hal kecil dan remeh. Sedangkan Aku tidak bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi, kalau tangga di bawahnya belum dikuasai. Aku tidak membahas masalah shalat, sebelum tuntas pelajaran tentang wudhu dan cara-cara bersuci.”

Sang Imam termenung. Hati nuraninya menerima alasan yang dikemukakan Kai Mastur, namun keegoan mendorongnya untuk berdebat tentang hukum meninggalkan Shalat Jumat. Belum sempat ia berucap, Kai Mastur mendahuluinya:

“Jika kau ingin bermujadalah masalah shalat, Insya Allah kita akan mendiskusikannya besok sore setelah shalat Ashar.”

“Baiklah! Kami pulang dulu,” pamit sang Imam tanpa mengucap salam.
***
Keesokan harinya. Azan pertama shalat Jumat telah dikumandangkan, namun sang Khatib belum kunjung tiba.

Tiba-tiba, Kai Mastur muncul sebagai penyelamat. Ia menggantikan Khatib sekaligus Imam shalat Jumat.

Ketika membaca ayat-ayat Alquran, suaranya terdengar lirih dan pelan. Ia hanya membaca surah Al-Falaq dan An-Nas mengiringi Al-Fatihah.

Beberapa saat setelah salam kedua, tiba-tiba tubuhnya lunglai dan terjatuh ke belakang. Jamaah segera membopong ke gubuknya.

Dari hasil pemeriksaan dokter, penyebab kematiannya adalah pendarahan hebat dari ambien yang dideritanya selama ini.

Saat hadir di masjid itu, ia mengenakan pembalut seperti seorang wanita yang sedang menstruasi. Masyarakat kaget bukan kepalang.

Tak henti-hentinya mulut mereka mengucapkan istighfar, karena belakangan ini telah berprasangka buruk terhadap Kai Mastur.

Sementara masyarakat sibuk mengurus janazah Kai Mastur, seorang warga mengumandangkan Innaa Lillaah atas wafatnya sang Khatib melalui menara masjid.

Menurut kabar, ia terkena serangan jantung ketika mandi untuk berangkat ke masjid. Ia wafat dalam keadaan tanpa busana tanpa sehelai benang, dan sekujur tubuhnya menghitam.
***
Sore itu, setelah shalat Ashar, keduanya dimakamkan.

Mungkin sore itu pula keduanya telah berdebat di hadapan Tuhan tentang shalat Jumat yang 'tidak sempat' dan 'tidak dapat' dilaksanakan.(*)
Writen by Aboeyy.
Diubah oleh Aboeyy 08-09-2019 12:53
saya.kiraAvatar border
aminulyoutubersAvatar border
aminulyoutubers dan saya.kira memberi reputasi
2
1.1K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan