ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
Ayahku, sayang.
Beberapa hari ini, cuaca sedikit lebih dingin dari sebelumnya. Sweeter yang kupakai saja, tidak mampu menahan dinginnya malam. Apalagi saat perjalanan pulang setelah shift malam yang sudah kujalani selama sepekan ini.
.
"Pakai, Nduk. Dingin," kata ayah sambil menyodorkan jaket kulit miliknya.
.
Kuambil dengan ragu, karena melihatnya hanya memakai kaus lengan pendek saja. Melihatku terdiam, ia malah tersenyum.
.
"Ayah nggak apa-apa, lemak ayah kan tebel," ujarnya dengan sesungging senyum.
.
Kupaksakan menarik bibir dan segera memakai jaket.
Sudah pukul 22.15, keadaan jalan raya cukup ramai karena ini malam minggu.
.
"Mau makan lagi nggak? Ayah lapar," tanya ayah sambil menstater motor.
.
"Boleh,"
.
Motor melaju lamban menuju tenda penjual nasi goreng tak jauh dari tempatku bekerja. Tempat ini adalah langganan ayah. Terlihat dari keakraban penjual nasi goreng dengan Cinta pertamaku ini, ya ayahku.
.
"Dua ya, Pak. Yang satu nggak pedes," kata ayah lalu mengikutiku duduk di salah satu meja yang kosong.
.
Tidak banyak obrolan diantara kami, hingga nasi goreng siap, lalu kami melahapnya. Masih sibuk menyantap makan malam keduaku ini, tiba-tiba aroma kurang sedap menyeruak di hidung. Kuhentikan makan, lalu menyapu pandang ke sekitar. Ayah ikut melihat apa yang kutatap. Karena hari sudah larut, aku tidak bisa membedakan apa yang kulihat sekarang. Seorang nenek berjalan pelan dengan membungkukan badannya 90°. Rambutnya putih tak beraturan. Di punggungnya ada sesuatu yang sedang dia bawa memakai kain jarit kumal. Sesuatu yang basah dan lengket, karena menetes sepanjang dia berjalan.
.
"Nggak usah diliat," ujar ayah yang masih meneruskan makan.
.
Seakan tau sedang kami bicarakan, nenek tadi menoleh dengan gerakan pelan. Wajahnya sedikit hancur dengan beberapa luka yang menampilkan tulang tengkoraknya. Salah satu matanya bahkan keluar dari tempatnya dengan darah yang mengalir terus- menerus. Mulutnya robek sepanjang telinga, melihat itu aku menjadi mual. Kupanglingkan wajahku ke arah lain sambil meneguk teh manis hangat sebagai pengobat ketakutan sekaligus mual barusan. Ayah terdengar terkekeh pelan. Di baliknya sendok dan garpu, pertanda makannya telah usai.
.
"Kan tadi ayah udah bilang, jangan diliat. Nggak percaya," ucap ayah sambil mengacak - acak rambutku diiringi senyum yang meneduhkan.
Senyum yang sangat kusukai. Senyum yang ingin selalu kulihat setiap hari, sebagai pengganti sedih dan kecewa yang pernah kulakukan dulu.
.
"Kirain orang gila, Yah," bisikku dengan terus menunduk menghabiskan makanku.
.
Di sulutnya rokok kretek yang selalu ia bawa. Ayah terlihat menunduk sesaat sambil memainkan putung rokok ditangan. Diembuskan asap dari mulutnya, lalu beranjak ke trotoar jalan, duduk bersama penjual nasi goreng. Aku penasaran soal nenek tadi, tapi malas bertanya. Karena ayah sudah pasti tidak akan berkomentar apapun, hanya dijawab dengan senyum seperti yang sudah-sudah.
.
Selesai makan, aku mengajak ayah pulang karena sudah hampir 20 menit kami di sini. Pasti ibu sudah menunggu di rumah. Jarak pulang ke rumah, membutuhkan sekitar 15 menit dengan kecepatan sedang. Setelah belok ke jalan jati, kami mulai melewati kuburan dan pematang sawah yang cukup luas. Ini adalah rute kami setiap hari. Jalanan sudah sunyi. Sebuah motor berjalan melewati kami, dan ada yang aneh. Diboncengan orang itu, ada nenek tadi yang kulihat di tenda nasi goreng. Ku eratkan peganganku di pinggang ayah. Ayah terkekeh sambil memperlambat lajunya.
.
"Kamu jangan mikirin mbah itu mulu ya, Nduk."
.
'Mikirin mbah itu? Ngaco deh ayah ini.' Pikirku sambil bersembunyi dibalik punggung beliau.
.
Ayah membelokan motor ke gang sempit yang akan mengantar kami ke rumah. Setelah melewati gang sempit, jalanan sudah normal seperti tadi. Dengan pemandangan kebun dan sawah di kanan kirinya. Tiba tiba ada yang bersiul sambil menggumam, "Sssttt!" kami berdua menoleh ke sebuah kebun yang kupikir sumber suara tadi. Jantungku makin berdebar, kuperdalam wajahku dipunggung ayah. Sudah pasti bukan manusia yang memanggil tadi bukan? Naasnya, tiba - tiba motor berhenti. Di stater berkali - kali pun, tidak mau menyala. Padahal rumah kami hanya tinggal 20 meter jaraknya. Aku terus menoleh ke belakang, sementara ayah terus berusaha menyalakan motornya kembali. Di semak- semak kebun tadi, kulihat ada sesuatu yang bergerak. Bayangan hitam! Tidak jelas bentuknya, yang jelas itu seperti bayangan tubuh seseorang.
.
"Ayaaah!" pekikku sedikit panik.
.
Ayah menoleh sekilas, lalu menggumam sesuatu diakhiri dengan Bismillah. Motor berhasil dihidupkan lalu kami segera pulang. Sampai di halaman rumah, ayah menyuruhku masuk. Sedangkan beliau berjalan ke pinggir jalan, sambil menatap ke tempat motor kami mogok tadi. Tangannya dilipat di depan dada, sorot matanya tajam. Aku penasaran, apa yang akan ayah lakukan setelah itu. Hingga sebuah tangan menepuk bahu, membuatku berteriak.
.
"Hussst! Apa sih?" omel ibu sambil melihat ke luar mengikuti sikapku barusan.
.
"Ih ... Ngagetin aja loh!" kataku sambil menekan dada lalu masuk ke kamar.
.
Aku duduk di pinggir ranjang sambil menatap jendela yang sudah tertutup korden hijau. Suara jangkrik dan TV di luar sedikit mengusir rasa takutku. Suara dengkuran tertahan membuat tubuhku berbalik. Galang tengah tertidur tak beraturan. Kubelai kepala berlanjut mengecup pucuk kepalanya lembut. Setelah membentenginya dengan bantal dan guling di pinggiran kasur, segera saja aku berganti pakaian dan ke kamar mandi untuk berwudhu.
.
Ayah sudah duduk di depan TV sambil memeluk bantal di pangkuannya, di temani Mas Wanto yang seperti nya mereka asik menonton sinetron.
.
"Jiah, nontonnya sinetron," ejekku lalu duduk di samping ayah.
.
"Udah sholat?"
.
"Udah di Odiva tadi kok, Yah."
.
"Mana filmnya, Si?" tanya Mas wanto kakak sepupunya. Ia sudah setahun ini tinggal bersama kami. Karena sedang mengalami permasalahan rumah tangga dan akhirnya terusir dari rumah. Padahal dia masih mempunyai keluarga dan orang tua, tapi entah kenapa lebih memilih tinggal di sini bersama kami.
.
"Oh iya, bentar," aku kembali ke kamar mengambil kaset film pesanan Mas Wanto kemarin. The expendables. "Nih, bagus. Lakon semua yang main."
.
Ibu sudah terlelap tak lama setelah aku masuk kamar, sedangkan adik laki - lakiku tentu saja sudah tidur sejak pukul 21.00 tadi. Ia masih bersekolah, jadi tidak diperbolehkan begadang.
.
Hiks.
Hiks.
Hiks.
.
Suara tangisan pilu terdengar. Awalnya kupikir, ini adalah mimpi. Tapi karena suara ini makin mengganggu, kupaksakan membuka netra ini.
Benar saja, suara ini bukan ada di mimpi, tapi ada di sekitarku. Kutajamkan pendengaran untuk memastikan suara siapa yang kudengar. Galang, masih terlelap. Sepertinya ini suara Yosi, adikku. Jika ia tidak bisa tidur ditengah malam, ia sering menangis memang. Tubuhku menggeliat. Saat akan beranjak, ranjangku berdecit. Anehnya, tangisan tadi langsung hilang. Aku terdiam saat akan meraih handle pintu. Keraguanku makin menjadi saat mendengar kumandang adzan subuh.
.
'Kalau udah subuh gini, Yosi nggak akan nangis, pasti langsung nyalain TV, terus ... Siapa yang nangis tadi ya?' batinku.
.
Rasa penasaran biasanya lebih besar dari rasa takut, akhirnya kubuka pintu kamarku dan melihat keadaan di ruang TV yang sunyi. Ruang tamu pun masih gelap. Tidak ada siapapun di luar. Semua masih ada di kamar masing - masing. Kututup rapat pintu kamar, lalu segera naik ke ranjang dengan memeluk Galang dengan sedikit menggigil, ketakutan. Sampai kudengar ibu terbangun dan menyalakan lampu, baru aku berani ke luar kamar.
.
"Yosi nangis kenapa, Bu?" tanyaku saat melewati ibu yang sedang merebus air.
.
"Yosi? Kapan? Kan tidur di kamar ibu," tutur ibu sedikit heran.
.
Aku hanya ber-oh ria lalu masuk kamar mandi.
Hari ini aku masih masuk shift malam, jadi pagi ini aku bisa bersantai meminum secangkir kopi yang baru saja dibuat ibu. Duduk di teras, melihat Mas Wanto memetik kelapa yang sudah tua untuk memasak ibu. Sekaligus menemani Galang bermain mobil-mobilan. Ibu menunjuk beberapa kelapa yang harus diambil, sedangkan Mas Wanto menuruti instruksi dari ibu. Beberapa buah kelapa jatuh berdentuman ke tanah. Ayah yang sudah segar, duduk di kursi sampingku.
.
"Ayah,"
.
"Hm?" gumamnya sambil menyeruput kopi yang masih hangat.
.
"Tadi pagi aku denger ada yang nangis. Siapa ya? Kirain Yosi, eh bukan," aku begitu penasaran tentang apa yang kualami tadi.
Ayah menyunggingkan senyum, lalu diletakkannya cangir di meja. Kedua tangannya dikaitkan satu sama lain, dan bertumpu pada kedua lutut.
"Nggak apa-apa,"
.
Hanya kalimat itu yang terucap dari mulut ayah. Sudah kuduga. Belum sempat pertanyaan lain meluncur dari mulutku, ibu mengajakku berbelanja ke pasar.
.
Siang ini hujan mengguyur kota kami dengan cukup deras. Anehnya keadaan justru terasa panas. Aku dan ibu yang sedang membuat kudapan, menjerit saat melihat hidung Galang yang berdarah. Ia mimisan.
.
Ibu begitu panik lalu menggendong Galang ke teras untuk diberikan ke Mbah kakungnya.
"Mas, Galang mimisan!"
.
Ayah menggendong Galang lalu mengamati tiap inchi wajah kecil itu. Aku yang bingung hanya ikut mondar mandir lalu mengambilkan segelas air, sesuai perintah ayah.
.
Gigi geraham ayah beradu, menahan amarah. Terlihat jelas di wajah beliau yang merah padam.
"To!" teriak Ayah memanggil Mas Wanto yang masih ada di halaman.
.
"Ngasi ngganggu putuku, awas bae!"
#(Sampai menganggu cucuku, awas saja!)
.
Aku dan ibu hanya menatap ayah dan Mas Wanto bergantian. Mas Wanto yang terlihat sungkan lalu meminta maaf. Aku tidak mengerti ada masalah apa sebenarnya, melihat ayah semarah tadi dan apa hubungannya dengan Galang.
.
"Nduk!" panggil ibu dari arah dapur. Kutinggalkan mereka di teras sementara aku membantu ibu lagi. Baru aku tau, kalau sudah beberapa hari ini, kami diserang sesuatu yang jahat. Kiriman seseorang yang tidak menyukai salah satu dari kami. Ayah sudah membentengi rumah agak tidak mudah ditembus, hanya saja, karena Galang masih terlalu kecil, ia sangat mudah terkena imbasnya. Pantas saja, sudah beberapa hari ini aku sering merasakan keanehan di sekitarku. Walau aku tidak tau, apakah berhubungan dengan kejadian ini atau tidak.
.
.
Juli 2011.
Musim hujan belum juga tiba, tetapi angin sering bertiup kencang menimbulkan efek dingin sepanjang hari, terutama jika malam hari. Akhir-akhir ini, ayah sedang banyak pekerjaan. Proyeknya sedang berkembang pesat, bahkan sampai ke luar kota. Alhasil, aku sering kebingungan berangkat kerja. Sore ini, aku sedang mondar mandir menunggu ayah datang. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 15.00 tepat.
.
"Aduh, gimana ya, Bu?" desahku karena aku tidak biasa terlambat dalam keadaan apapun. Sejak kecil, ayah selalu mengajariku kedisplinan, bahkan aku selalu datang 30 menit sebelum jatah shift ataupun saat sekolah dulu.
Sebuah motor masuk ke halaman rumah kami. Sepupuku datang dengan penampilan rapi.
.
"Ayok, berangkat. Om Joko tadi sms aku, suruh anterin kamu kerja," tuturnya tanpa mematikan mesin motor.
.
Bergegas aku berlari kecil ke arahnya setelah sebelumnya berpamitan dengan ibu dan Galang.
.
Hujan telah turun sejak setengah jam lalu. Adzan maghrib berkumandang. Gawaiku berdering.
AYAH!
.
'Assalamualaikum, Yah?'
.
'Nduk, ayah nggak bisa jemput ya. Temen ayah nanti mau anter motor ke situ. Jadi, kamu pulang sendiri nggak apa-apa kan, Nduk?'
.
'Oh iya, Yah. Nggak apa-apa. Ayah di mana sih?'
.
'Masih di luar kota.'
.
Begitulah obrolan kami. Sebelum telepon diakhiri, mas Eka melambaikan tangan padaku. Kulihat ia sedang mengobrol dengan seorang pria paruh baya. "Mbak Osi!" teriaknya.
Aku mendekat karena kupikir itu teman ayah. "Ayah, udah dulu ya. Itu temen ayah udah sampai."
.
Rupanya benar, itu Pak Heri, anak buah ayah yang mengantarkan motor untukku. Setelah mengucapkan terima kasih, beliau pergi naik motor temannya yang lain.
.
Pukul 22.00, toko tutup.
"Si, mau pulang bareng?" tanya mas Andi teman satu shiftku.
.
"Nggak usah, Mas. Sendirian juga berani."
.
"Kamu lewat jalan jati? Nggak takut? Di sana kan jalannya sepi. Sawah sama kuburan."
.
"Takut sih, cuma kata ayah, itu jalan paling aman, daripada jalur lain."
.
Aku lebih mempercayai apa yang ayah katakan, karena beliau sudah hafal jalanan di kota ini. Walau menurut orang lain, jalur itu cukup mengerikan, tapi justru kata ayah, jalur itu adalah yang paling aman. Aku sampai pukul 22.30. Entah kenapa, malam ini aku tidak bisa tidur. Akhirnya aku menonton TV terlebih dahulu. Setelah pukul 00.00 , kuputuskan masuk kamar dan tidur. Karena esok hari, jatahku shift pagi. Saat mulai masuk ke alam mimpi, aku merasa terganggu oleh suara ramai di sekitar. Kupikir, aku bermimpi. Ternyata saat kubuka mata, rumahku memang sudah ramai. Dengan diiringi tangisan ibuku yang meraung raung. Firasatku langsung tertuju pada ayah.
'Apa ayah meninggal?' begitu pikirku. Ibu tidak pernah menangis seperti itu, semisal ayah kecelakaan/ sakit, pasti ibu langsung ke rumah sakit, bukannya menangis kencang seperti ini. Kuraih selimut untuk membalut tubuhku. Karena cuaca sangat dingin. Saat kubuka pintu kamar, adikku sudah berdiri di depan pintu sambil melihat ibu.
"Ibu kenapa?" tanyaku.
.
"Nggak tau, Mba. Udah nangis aja tadi pas aku bangun,"tuturnya dengan wajah kebingungan. Aku sedikit kesal padanya, bukannya bertanya pada ibu, malah dia bengong seperti itu. Kudekati ibu.
"Ibu kenapa?" sambil kubelai punggungnya.
.
"Ayah ... Ayah meninggal!" rengeknya dengan makin mengencangkan tangisan. Di luar sudah ramai teman-teman ayah, sedang berdiskusi entah apa. Ku berikan selimutku dan menutupi tubuh ibu. Kudekati Mas Wanto yang sedang berdiskusi dengan teman - teman ayah.
"Ayah kenapa?"
.
"Meninggal, Os." mereka menceritakan kronologi kejadiannya. Aku mendengarkan dengan seksama. Ayah meninggal karena serangan jantung.
"Oh ya udah. Aku kabarin keluarga yang lain," ucapku lalu berjalan kembali ke kamar mengambil ponsel. Kukirimkan pesan dan ku forward ke semua nomer keluarga. Kulirik jam dinding, ternyata baru 10 menit aku tertidur. Pantas kepalaku sakit.
.
Langkahku sedikit kupercepat menuju ruang jenazah rumah sakit. Memang saat di rumah tadi, aku bisa menahan kesedihan, tapi saat ini, setiap langkah kusapu air bening yang mengalir di kedua bola mata. Suaraku terisak tatkala melihat jenazah ayah terbujur kaki berselimut kain putih. Teman ayah membiarkanku sendiri. Kubuka selimut putih ini, lalu banjirlah air mataku. Kupeluk ayah untuk terakhir kalinya.
"Ayah kenapa di sini? Tadi kenapa nggak jemput aku coba? Masa aku pulang sendiri sekarang? Nanti kalau ada yang nggodain aku gimana? Kalau aku ketemu setan lagi gimana? Aku takut loh, Yah. Ayah nggak boleh pergi pokoknya, nggak boleh," rengekanku makin menjadi hingga Om firdaus masuk lalu mengelus pucuk kepalaku. Beliau sudah seperti saudara bagi kami.
"Yang sabar ya, Mba. Ayah udah tenang di sana,"bujuk beliau dengan mata berkaca kaca sedikit sembab. "Ayok kita pulang bawa ayah. Ibu udah nunggu di rumah."
.
Selamat jalan ayah.

Tamat
====

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
3
1.4K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan