- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Hai Anak 90-an, Ingat Tas Alpina? Masih Ada Lho


TS
oncom.onair
Hai Anak 90-an, Ingat Tas Alpina? Masih Ada Lho

Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Quote:


Hallo gan & sist, ketemu lagi dengan ts disini..

Sorry nih ts baru update lagi bikin thread, maklum lagi sibuk dikantor..

Pas ts lagi ngaso dikantor sambil baca2 berita, ts nemu artikel yang bikin ts balik ingatan dimana dulu ts suka banget ni barang, yupz tas alpina, iyalah di judulnya aja udah dikasih tau, hehehe.
Pasti generasi 90an udah kagak asing lagi nih sama alpina, tapi pada tau gak gimana sejarah alpina itu sendiri?

Penasaran kan? Kalo gitu yuk simak cerita dari pendirinya langsung..

Jakarta - Masih ingat dengan tas gemblokbermerek Alpina? Ya tas ini booming pada tahun 90an. Ransel ini memiliki desain simpel tapi bahannya kuat dan anti air.
Banyak yang mengira, Alpina sudah tiada. Padahal, Alpina masih ada hingga sekarang. Penjualannya lewat media sosial seperti Facebook dan Instagram. Ada beberapa akun Instagram resmi seperti Alpina Indonesia, Alpina_bandung, Alpina_1985 dan alpinaperlengkapancamping. Facebook Alpina Outdoorsport.

Foto: Tim Infografis: Kiagoos Auliansyah
Alpina memang tas legendaris untuk generasi 90an. Banyak cerita yang menemani perjalanan Alpina di dunia pakaian outdoor atau mendaki gunung. Berikut ulasannya:
Quote:
1.Dibuat Pada 1985

Kamis tepatnya 1 Agustus 1985, Paidjan Adriyanto mendirikan Alpina, yakni sebuah merek dagang perlengkapan dan pakaian outdoor asal kota kembang, Bandung. Alpina terkenal akan tasnya yang banyak digunakan anak-anak era 90an.
Dalam mendirikan Alpina, awalnya Yanto melihat peluang dari perlengkapan dan pakaian outdoor tersebut. Ia pun lantas membuka workshop di kawasan Cisitu, Dago.
Sebelum membuat Alpina, Yanto adalah seorang pegawai sebuah pelopor penyedia perlengkapan mendaki gunung bernama Jayagiri.
Namun karena Jayagiri saat itu sibuk dan fokus mengerjakan proyek dari Kementerian Pertahanan, ide-ide yang dimiliki Yanto tak bisa terserap dengan baik. Akhirnya, Yanto mengundurkan diri dan membuat merek Alpina.
"Ada kesempatan di situ, saya keluar dari Jayagiri dan membuat Alpina, tepatnya 1 Agustus (1985) saya dirikan," kata Yanto kepada detikFinance pekan lalu.
Nama Alpina bukanlah hasil contekan dari brand mobil luar negeri, tapi adalah sebuah singkatan yakni Alam Pegunungan Indonesia (Alpina). Ini karena Yanto sejak dulu adalah pecinta alam dan terlahir di keluarga yang dekat dengan alam.
"Ya sebenarnya Alpina singkatan dari Alam Pegunungan Indonesia, lihat saja dari logonya ada gambar gunung dan bendera merah putih. Kalau gelombang-gelombang itu menggambarkan alam di Indonesia. Kebetulan ayah saya kerja di Perhutani dan saya juga gabung Wanadri," tambah dia.
Berbekal 'uang pisah' dari Jayagiri sebesar Rp 1,5 juta. Yanto mulai membuat dan mengerjakan pesanan tas. Modal awal yang ia gunakan untuk membuat tas sebesar Rp 800.000.
Saat itu ia mendapat pesanan mengerjakan tas untuk penyimpanan bola golf sebanyak 500 buah. "Awalnya justru pesanan untuk tas golf itu, sisanya baru saya gunakan untuk beli bahan 3 roll, barulah saya bikin produk seperti tas," tambah dia.
Setelah memproduksi tas, Yanto melakukan pemasaran seorang diri. Ia berkeliling dari toko ke toko untuk menawarkan tas hasil buatannya.
Ia bahkan memasarkan ke wilayah Jawa Tengah seperti Semarang, kemudian Yogyakarta, Malang dan Surabaya, kemudian Jakarta dan sekitarnya. Hal ini dilakukan agar Alpina bisa terkenal di pasaran.
Produk Alpina kemudian booming di era 90an hingga sempat tergilas krisis moneter tahun 1997-1998. Memang, saat itu periode 1990an Alpina tak memiliki pesaing berat dan Alpina juga memiliki jaringan pemasaran yang luas di seluruh Indonesia.
Namun saat krisis melanda pada era 1997-1998, produksi Alpina turun. Toko-tokonya berguguran, agar lebih efisien Alpina memang mengurangi produksi barang. Dan kini tersisa satu showroom di Bandung. Kini, Alpina mulai kembali ke peredaran pakaian untuk pecinta alam untuk para pelanggan setianya.

Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Kamis tepatnya 1 Agustus 1985, Paidjan Adriyanto mendirikan Alpina, yakni sebuah merek dagang perlengkapan dan pakaian outdoor asal kota kembang, Bandung. Alpina terkenal akan tasnya yang banyak digunakan anak-anak era 90an.
Dalam mendirikan Alpina, awalnya Yanto melihat peluang dari perlengkapan dan pakaian outdoor tersebut. Ia pun lantas membuka workshop di kawasan Cisitu, Dago.
Sebelum membuat Alpina, Yanto adalah seorang pegawai sebuah pelopor penyedia perlengkapan mendaki gunung bernama Jayagiri.
Namun karena Jayagiri saat itu sibuk dan fokus mengerjakan proyek dari Kementerian Pertahanan, ide-ide yang dimiliki Yanto tak bisa terserap dengan baik. Akhirnya, Yanto mengundurkan diri dan membuat merek Alpina.
"Ada kesempatan di situ, saya keluar dari Jayagiri dan membuat Alpina, tepatnya 1 Agustus (1985) saya dirikan," kata Yanto kepada detikFinance pekan lalu.
Nama Alpina bukanlah hasil contekan dari brand mobil luar negeri, tapi adalah sebuah singkatan yakni Alam Pegunungan Indonesia (Alpina). Ini karena Yanto sejak dulu adalah pecinta alam dan terlahir di keluarga yang dekat dengan alam.
"Ya sebenarnya Alpina singkatan dari Alam Pegunungan Indonesia, lihat saja dari logonya ada gambar gunung dan bendera merah putih. Kalau gelombang-gelombang itu menggambarkan alam di Indonesia. Kebetulan ayah saya kerja di Perhutani dan saya juga gabung Wanadri," tambah dia.
Berbekal 'uang pisah' dari Jayagiri sebesar Rp 1,5 juta. Yanto mulai membuat dan mengerjakan pesanan tas. Modal awal yang ia gunakan untuk membuat tas sebesar Rp 800.000.
Saat itu ia mendapat pesanan mengerjakan tas untuk penyimpanan bola golf sebanyak 500 buah. "Awalnya justru pesanan untuk tas golf itu, sisanya baru saya gunakan untuk beli bahan 3 roll, barulah saya bikin produk seperti tas," tambah dia.
Setelah memproduksi tas, Yanto melakukan pemasaran seorang diri. Ia berkeliling dari toko ke toko untuk menawarkan tas hasil buatannya.
Ia bahkan memasarkan ke wilayah Jawa Tengah seperti Semarang, kemudian Yogyakarta, Malang dan Surabaya, kemudian Jakarta dan sekitarnya. Hal ini dilakukan agar Alpina bisa terkenal di pasaran.
Produk Alpina kemudian booming di era 90an hingga sempat tergilas krisis moneter tahun 1997-1998. Memang, saat itu periode 1990an Alpina tak memiliki pesaing berat dan Alpina juga memiliki jaringan pemasaran yang luas di seluruh Indonesia.
Namun saat krisis melanda pada era 1997-1998, produksi Alpina turun. Toko-tokonya berguguran, agar lebih efisien Alpina memang mengurangi produksi barang. Dan kini tersisa satu showroom di Bandung. Kini, Alpina mulai kembali ke peredaran pakaian untuk pecinta alam untuk para pelanggan setianya.
Quote:
2.Kenangan Anak 90an

Tas Alpina memang memiliki model yang simpel dan sederhana. Hanya bentuk kotak dengan dua resleting bagian atas dan bagian depan yang ditempeli logo Alpina dengan dasar warna hitam.
Numan Areban pengguna tas Alpina dulu kala, semringah saat ditanya mengenai tas asal Bandung tersebut. Sambil memeras ingatan ia bercerita, betapa keren dirinya ketika menggunakan tas berlogo gunung dengan bendera merah putih itu.
Ia masih ingat ketika menggendong tas ransel itu saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Tas itu pun ia gunakan hingga masuk sekolah menengah pertama (SMP).
"Iya Alpina itu tas gue zaman SD, waktu itu ngehits banget. Semua teman-teman pakai tas itu. Pokoknya lo baru keren kalau sudah pakai Alpina," kenang Numan saat ngobrol dengan detikFinance beberapa waktu lalu.
Wiraswasta ini pertama kali menggunakan ransel Alpina warna merah tua saat Kurt Cobain meninggal dunia atau tepatnya 24 tahun lalu. Desainnya yang simpel, bahan tebal dan kuat, serta harga yang terjangkau menjadi alasan Numan untuk menjadikan tas Alpina sebagai 'teman sekolah' nya.
Numan menceritakan, ada hal yang sangat menyenangkan ketika menggunakan tas Alpina. Kepala resleting tas diambil, kemudian dipasang pada seutas tali tebal berwarna hitam dan dijadikan gelang.
"Kepala resletingnya diambilin buat gelang, makin banyak kepala resleting di gelang lo makin keren deh. Biasanya kepala resleting punya anak-anak cewek yang kita ambilin, ha ha ha," canda dia.
Kenangan tentang Alpina tak hanya dimiliki Numan, Penggemar tas Alpina lainnya, Yudi Apriadi juga punya cerita tentang tas ransel berdesain simpel itu itu. Yudi pernah menggunakan tas ransel yang bisa dilipat menjadi tas pinggang.
Menurut Yudi, Alpina kala itu adalah tas yang memiliki kualitas yahud karena menggunakan bahan untuk perlengkapan outdoor. "Tasnya memang lagi ngetren, booming dan bahannya juga kuat, jadi awet. Bahkan bisa gue pakai sampai kuliah," kata Yudi.
Yudi menceritakan, ia turut menjadi korban 'keganasan' teman-temannya yang mengincar kepala resleting tasnya. "Iya tas punya gue udah gak ada kepala resletingnya, diambilin temen-temen gue. Karena lagi booming aja pake gelang yang gantungannya resleting Alpina dan tas Exports dulu," imbuh dia.
Akbar Kurniawan, juga menggunakan ransel Alpina yang merupakan warisan dari sang kakak. Menurut Akbar, Alpina adalah salah satu tas merek lokal yang awet jika dibandingkan dengan merek lokal lainnya.
Ia mendapatkan tas itu saat SD dan masih bisa digunakan sampai duduk di bangku SMP. Akbar mengaku, saat itu Alpina adalah merek yang sangat terkenal, hingga ada banyak produsen tas yang memalsukan Alpina.
"Dari kualitas bahan emang beda dari bahan tas zaman sekarang, Alpina itu awet banget dan populer sebelum ada merek lokal lain. Tapi tiba-tiba dia hilang dari pasaran," ujarnya.
Ransel Alpina memang pernah memasuki kejayaan pada era 90an. Anak sekolah mulai dari SD hingga SMA bahkan mahasiswa pernah menggunakan tas ini. Hal itu pun diamini oleh Paidjan Adriyanto (66) yang merupakan pendiri Alpina.
"Nah Alpina booming pada tahun 90an, karena kami sudah mulai masuk untuk segmen anak sekolah. Bukan hanya untuk pecinta alam saja yang waktu itu pasarnya masih kecil," kata Adriyanto saat berbincang dengan detikFinance, akhir pekan lalu.
Dia menceritakan saat booming Alpina, pria yang akrab disapa Yanto ini mampu memproduksi puluhan ribu tas setiap bulannya.
"Waktu itu saat top-top nya, saya punya 400 karyawan dan bisa produksi puluhan ribu tas setiap bulan. Saya bisa supply ke seluruh Indonesia. Permintaannya luar biasa waktu itu," tambah Yanto.
Memang, saat itu periode 1990an Alpina tak memiliki pesaing berat dan Alpina juga memiliki jaringan pemasaran yang luas di seluruh Indonesia. Namun saat krisis melanda pada era 1997-1998, produksi Alpina turun. Toko-tokonya berguguran, agar lebih efisien Alpina memang mengurangi produksi barang. Dan kini tersisa satu showroom di Bandung.
Yanto ingat, ketika anak-anak sekolah menggunakan kepala resleting tas Alpina untuk dijadikan gantungan di gelang tali pursik atau tali tenda. Menurut dia, inilah yang membuat Alpina makin tenar dibandingkan tas merek lain.
"Banyak laporan ke saya, kalau di toko-toko kepala resletingnya hilang. Dicongkelin anak-anak itu ha..ha..ha. Tapi tidak apa-apa kami ganti kepala resletingnya dengan yang baru, karena dari situ Alpina berkembang sangat luar biasa," kenang ayah 4 anak ini.
Hingga saat ini, Alpina masih seperti yang dulu. Tak banyak yang berubah, mulai dari bahan tas, bahan resleting hingga desain simpel yang menjadi ciri khas Alpina. Jadi, rasanya masih tetap sama seperti era 90an.
Menurut Yanto hal tersebut dia lakukan karena banyak pembeli yang komplain jika Alpina mengeluarkan tas dengan model baru. "Penggemar Alpina memang maunya yang simpel aja, tapi warnanya banyak. Ada yang bilang ke saya 'Pak Yanto kalau Alpina mirip yang lain saya beli di tempat lain aja, Alpina harus ada ciri khas'," tambah Yanto.
Menurut Yanto, saat ini kebanyakan pengguna Alpina adalah orang yang rindu dengan kualitas dan orang yang mendapatkan informasi turun temurun dari orang tua atau kakaknya.
"Jadi model pelanggan Alpina sampai sekarang itu ya yang sudah tahu kualitasnya, turun temurun dari kakaknya, dari orang tuanya. Makanya sampai sekarang alhamdulillah masih eksis saja Alpina," ujar Yanto.

Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Tas Alpina memang memiliki model yang simpel dan sederhana. Hanya bentuk kotak dengan dua resleting bagian atas dan bagian depan yang ditempeli logo Alpina dengan dasar warna hitam.
Numan Areban pengguna tas Alpina dulu kala, semringah saat ditanya mengenai tas asal Bandung tersebut. Sambil memeras ingatan ia bercerita, betapa keren dirinya ketika menggunakan tas berlogo gunung dengan bendera merah putih itu.
Ia masih ingat ketika menggendong tas ransel itu saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Tas itu pun ia gunakan hingga masuk sekolah menengah pertama (SMP).
"Iya Alpina itu tas gue zaman SD, waktu itu ngehits banget. Semua teman-teman pakai tas itu. Pokoknya lo baru keren kalau sudah pakai Alpina," kenang Numan saat ngobrol dengan detikFinance beberapa waktu lalu.
Wiraswasta ini pertama kali menggunakan ransel Alpina warna merah tua saat Kurt Cobain meninggal dunia atau tepatnya 24 tahun lalu. Desainnya yang simpel, bahan tebal dan kuat, serta harga yang terjangkau menjadi alasan Numan untuk menjadikan tas Alpina sebagai 'teman sekolah' nya.
Numan menceritakan, ada hal yang sangat menyenangkan ketika menggunakan tas Alpina. Kepala resleting tas diambil, kemudian dipasang pada seutas tali tebal berwarna hitam dan dijadikan gelang.
"Kepala resletingnya diambilin buat gelang, makin banyak kepala resleting di gelang lo makin keren deh. Biasanya kepala resleting punya anak-anak cewek yang kita ambilin, ha ha ha," canda dia.
Kenangan tentang Alpina tak hanya dimiliki Numan, Penggemar tas Alpina lainnya, Yudi Apriadi juga punya cerita tentang tas ransel berdesain simpel itu itu. Yudi pernah menggunakan tas ransel yang bisa dilipat menjadi tas pinggang.
Menurut Yudi, Alpina kala itu adalah tas yang memiliki kualitas yahud karena menggunakan bahan untuk perlengkapan outdoor. "Tasnya memang lagi ngetren, booming dan bahannya juga kuat, jadi awet. Bahkan bisa gue pakai sampai kuliah," kata Yudi.
Yudi menceritakan, ia turut menjadi korban 'keganasan' teman-temannya yang mengincar kepala resleting tasnya. "Iya tas punya gue udah gak ada kepala resletingnya, diambilin temen-temen gue. Karena lagi booming aja pake gelang yang gantungannya resleting Alpina dan tas Exports dulu," imbuh dia.
Akbar Kurniawan, juga menggunakan ransel Alpina yang merupakan warisan dari sang kakak. Menurut Akbar, Alpina adalah salah satu tas merek lokal yang awet jika dibandingkan dengan merek lokal lainnya.
Ia mendapatkan tas itu saat SD dan masih bisa digunakan sampai duduk di bangku SMP. Akbar mengaku, saat itu Alpina adalah merek yang sangat terkenal, hingga ada banyak produsen tas yang memalsukan Alpina.
"Dari kualitas bahan emang beda dari bahan tas zaman sekarang, Alpina itu awet banget dan populer sebelum ada merek lokal lain. Tapi tiba-tiba dia hilang dari pasaran," ujarnya.
Ransel Alpina memang pernah memasuki kejayaan pada era 90an. Anak sekolah mulai dari SD hingga SMA bahkan mahasiswa pernah menggunakan tas ini. Hal itu pun diamini oleh Paidjan Adriyanto (66) yang merupakan pendiri Alpina.
"Nah Alpina booming pada tahun 90an, karena kami sudah mulai masuk untuk segmen anak sekolah. Bukan hanya untuk pecinta alam saja yang waktu itu pasarnya masih kecil," kata Adriyanto saat berbincang dengan detikFinance, akhir pekan lalu.
Dia menceritakan saat booming Alpina, pria yang akrab disapa Yanto ini mampu memproduksi puluhan ribu tas setiap bulannya.
"Waktu itu saat top-top nya, saya punya 400 karyawan dan bisa produksi puluhan ribu tas setiap bulan. Saya bisa supply ke seluruh Indonesia. Permintaannya luar biasa waktu itu," tambah Yanto.
Memang, saat itu periode 1990an Alpina tak memiliki pesaing berat dan Alpina juga memiliki jaringan pemasaran yang luas di seluruh Indonesia. Namun saat krisis melanda pada era 1997-1998, produksi Alpina turun. Toko-tokonya berguguran, agar lebih efisien Alpina memang mengurangi produksi barang. Dan kini tersisa satu showroom di Bandung.
Yanto ingat, ketika anak-anak sekolah menggunakan kepala resleting tas Alpina untuk dijadikan gantungan di gelang tali pursik atau tali tenda. Menurut dia, inilah yang membuat Alpina makin tenar dibandingkan tas merek lain.
"Banyak laporan ke saya, kalau di toko-toko kepala resletingnya hilang. Dicongkelin anak-anak itu ha..ha..ha. Tapi tidak apa-apa kami ganti kepala resletingnya dengan yang baru, karena dari situ Alpina berkembang sangat luar biasa," kenang ayah 4 anak ini.
Hingga saat ini, Alpina masih seperti yang dulu. Tak banyak yang berubah, mulai dari bahan tas, bahan resleting hingga desain simpel yang menjadi ciri khas Alpina. Jadi, rasanya masih tetap sama seperti era 90an.
Menurut Yanto hal tersebut dia lakukan karena banyak pembeli yang komplain jika Alpina mengeluarkan tas dengan model baru. "Penggemar Alpina memang maunya yang simpel aja, tapi warnanya banyak. Ada yang bilang ke saya 'Pak Yanto kalau Alpina mirip yang lain saya beli di tempat lain aja, Alpina harus ada ciri khas'," tambah Yanto.
Menurut Yanto, saat ini kebanyakan pengguna Alpina adalah orang yang rindu dengan kualitas dan orang yang mendapatkan informasi turun temurun dari orang tua atau kakaknya.
"Jadi model pelanggan Alpina sampai sekarang itu ya yang sudah tahu kualitasnya, turun temurun dari kakaknya, dari orang tuanya. Makanya sampai sekarang alhamdulillah masih eksis saja Alpina," ujar Yanto.
Quote:
3.Jatuh Bangun

Yanto sempat takut tak ada perkembangan. Namun dengan pembenahan yang baik dengan metode online ini dalam waktu tiga tahun penjualan produk Alpina berkembang sangat baik.
"Penjualan melalui online sangat pesat dan sangat baik, dan persaingan memang masih ketat. Memang, saya dan Alpina bukan yang pertama tapi kami masuk dalam pelopor perlengkapan mendaki gunung. Banyak merek lain, tapi kami upayakan kualitas yang terbaik," ujar dia.
Dengan penjualan online ini, Yanto mengatakan Alpina bisa dikirim ke seluruh Indonesia dalam waktu yang cepat.
"Karena sekarang kan zamannya online yah, dengan online ini mulai terasa penjualan ada peningkatan. Alpina juga bisa sampai ke seluruh Indonesia," jelas dia.
Yanto mengungkapkan, untuk jaringan penjualan, saat ini Alpina sudah memiliki reseller yang menggunakan media sosial dan lapak e-commerce untuk menjual produk. "Saya juga welcome ke orang yang mau jadi rekanan reseller, karena itu salah satu cara saya untuk berbagi rezeki ke orang lain," ujar Yanto.
Menurut Yanto, penjualan secara online ini turut mengerek pendapatan Alpina. Karena orang di seluruh Indonesia bisa mendapatkan produk Alpina dengan mudah. Biasanya para pembeli menggunakan jasa ekspedisi atau pengiriman-pengiriman yang memiliki banyak agen dan harganya bersaing.
Dia menyebutkan, pembeli secara online biasanya memiliki kesenangan tersendiri dalam bertransaksi. "Kalau beli lewat toko online pembeli itu mau yang cepat pengirimannya, mereka bilang saya mau dikirim pakai JNE ya pak, ya saya turuti mereka maunya lewat mana, masa saya paksa pengiriman pakai yang lain," imbuh dia.
Yanto menjelaskan, pengiriman melalui JNE memang paling banyak digunakan oleh pembelinya. Karena JNE memiliki jaringan yang luas sehingga pengiriman barang bisa tepat waktu.
Untuk reseller, Yanto mengatakan memberikan diskon atau potongan harga beberapa persen. Nantinya reseller dipersilakan datang ke outlet dan memotret barang yang baru diproduksi oleh Yanto.
Dia menyebut, ada reseller yang bahkan sudah bisa membiayai keluarganya dengan hanya berjualan produk Alpina. "Ada yang sudah bisa biayai keluarga dengan jualan Alpina ini," ujar dia.
"Nah mereka, yang jadi reseller caranya foto-foto barang baru Alpina, ini terus bergulir, mereka menjual dan ini tren penjualan kami juga naik lagi karena perdagangan online ini," jelas dia.

Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Yanto sempat takut tak ada perkembangan. Namun dengan pembenahan yang baik dengan metode online ini dalam waktu tiga tahun penjualan produk Alpina berkembang sangat baik.
"Penjualan melalui online sangat pesat dan sangat baik, dan persaingan memang masih ketat. Memang, saya dan Alpina bukan yang pertama tapi kami masuk dalam pelopor perlengkapan mendaki gunung. Banyak merek lain, tapi kami upayakan kualitas yang terbaik," ujar dia.
Dengan penjualan online ini, Yanto mengatakan Alpina bisa dikirim ke seluruh Indonesia dalam waktu yang cepat.
"Karena sekarang kan zamannya online yah, dengan online ini mulai terasa penjualan ada peningkatan. Alpina juga bisa sampai ke seluruh Indonesia," jelas dia.
Yanto mengungkapkan, untuk jaringan penjualan, saat ini Alpina sudah memiliki reseller yang menggunakan media sosial dan lapak e-commerce untuk menjual produk. "Saya juga welcome ke orang yang mau jadi rekanan reseller, karena itu salah satu cara saya untuk berbagi rezeki ke orang lain," ujar Yanto.
Menurut Yanto, penjualan secara online ini turut mengerek pendapatan Alpina. Karena orang di seluruh Indonesia bisa mendapatkan produk Alpina dengan mudah. Biasanya para pembeli menggunakan jasa ekspedisi atau pengiriman-pengiriman yang memiliki banyak agen dan harganya bersaing.
Dia menyebutkan, pembeli secara online biasanya memiliki kesenangan tersendiri dalam bertransaksi. "Kalau beli lewat toko online pembeli itu mau yang cepat pengirimannya, mereka bilang saya mau dikirim pakai JNE ya pak, ya saya turuti mereka maunya lewat mana, masa saya paksa pengiriman pakai yang lain," imbuh dia.
Yanto menjelaskan, pengiriman melalui JNE memang paling banyak digunakan oleh pembelinya. Karena JNE memiliki jaringan yang luas sehingga pengiriman barang bisa tepat waktu.
Untuk reseller, Yanto mengatakan memberikan diskon atau potongan harga beberapa persen. Nantinya reseller dipersilakan datang ke outlet dan memotret barang yang baru diproduksi oleh Yanto.
Dia menyebut, ada reseller yang bahkan sudah bisa membiayai keluarganya dengan hanya berjualan produk Alpina. "Ada yang sudah bisa biayai keluarga dengan jualan Alpina ini," ujar dia.
"Nah mereka, yang jadi reseller caranya foto-foto barang baru Alpina, ini terus bergulir, mereka menjual dan ini tren penjualan kami juga naik lagi karena perdagangan online ini," jelas dia.
Quote:
4.Pernah Diisukan Bangkrut

Karena toko tutup, Alpina sempat diisukan bangkrut. Padahal tidak, walaupun memang size produksi mengecil. Menurut Yanto, salah satu pihak yang mengembuskan kabar bangkrut tersebut adalah pesaing Alpina.
"Ada juga yang bilang kami bangkrut, tidak bangkrut. Sampai sekarang masih ada, memang size produksinya dikecilkan. Di toko-toko pesaing juga bilang, Alpina sudah tidak ada," ujarnya.
Selain bangkrut, Alpina juga sempat diisukan menjadi barang bajakan. Padahal, produksi dulu dan sekarang tetap sama. Tetap di tangan Yanto dan para pegawainya.
Gudang Alpina pada 2016 lalu sempat terbakar. Meski tidak besar, namun stok barang yang disimpan di sana hangus dan menelan kerugian puluhan juta.
Saat itu, tengah malam Yanto dihubungi oleh tetangganya. Dia diberi tahu jika gudang kebakaran. Bersama sang istri, Yanto langsung menuju ke tempat kejadian.
Sesampainya di sana, sudah ada mobil pemadam kebakaran. Itu hasil pertolongan tetangga sekitarnya. "Saya sampai di sana udah ramai, mobil pemadam sudah ada. Jadi kebakaran tidak menjalar terlalu besar. Tapi yang namanya informasi kebakaran kan saya panik, takutnya besar sekali. Alhamdulillah cepat teratasi," jelas dia.
Yanto menjelaskan saat itu memang ada korsleting listrik sehingga menyebabkan percikan api yang langsung membakar tas-tas yang ada di sana. "Tapi saya juga pernah diisukan kebakaran, waktu zaman booming tahun 90an, memang persaingan ada-ada saja ya," ujarnya.

Foto: Tim Infografis: Mindra Purnomo
Karena toko tutup, Alpina sempat diisukan bangkrut. Padahal tidak, walaupun memang size produksi mengecil. Menurut Yanto, salah satu pihak yang mengembuskan kabar bangkrut tersebut adalah pesaing Alpina.
"Ada juga yang bilang kami bangkrut, tidak bangkrut. Sampai sekarang masih ada, memang size produksinya dikecilkan. Di toko-toko pesaing juga bilang, Alpina sudah tidak ada," ujarnya.
Selain bangkrut, Alpina juga sempat diisukan menjadi barang bajakan. Padahal, produksi dulu dan sekarang tetap sama. Tetap di tangan Yanto dan para pegawainya.
Gudang Alpina pada 2016 lalu sempat terbakar. Meski tidak besar, namun stok barang yang disimpan di sana hangus dan menelan kerugian puluhan juta.
Saat itu, tengah malam Yanto dihubungi oleh tetangganya. Dia diberi tahu jika gudang kebakaran. Bersama sang istri, Yanto langsung menuju ke tempat kejadian.
Sesampainya di sana, sudah ada mobil pemadam kebakaran. Itu hasil pertolongan tetangga sekitarnya. "Saya sampai di sana udah ramai, mobil pemadam sudah ada. Jadi kebakaran tidak menjalar terlalu besar. Tapi yang namanya informasi kebakaran kan saya panik, takutnya besar sekali. Alhamdulillah cepat teratasi," jelas dia.
Yanto menjelaskan saat itu memang ada korsleting listrik sehingga menyebabkan percikan api yang langsung membakar tas-tas yang ada di sana. "Tapi saya juga pernah diisukan kebakaran, waktu zaman booming tahun 90an, memang persaingan ada-ada saja ya," ujarnya.
Quote:
5.Bisnis Outwear Masih Menjanjikan

Mendaki gunung menjadi aktivitas yang cukup diminati saat ini. Mulai dari gunung yang tingginya ratusan meter di atas permukaan laut hingga ribuan meter di atas permukaan laut.
Memang, Indonesia adalah negara yang memiliki banyak destinasi wisata pendakian gunung. Dalam mendaki, dibutuhkan peralatan yang lengkap mulai dari ransel, tenda, kompor, tali, matras hingga sleeping bag.
Selain perlengkapan itu, juga dibutuhkan pakaian yang nyaman dan aman. Pendiri Alpina Paidjan Adriyanto mengungkapkan saat ini prospek untuk bisnis pakaian mendaki masih besar.
"Anak zaman sekarang kan suka naik-naik gunung. Pasti mereka butuh pakaian yang menunjang kenyamanan. Mereka pasti butuh jaket supaya tidak kedinginan di gunung sana," kata Yanto saat berbincang dengan detikFinance, akhir pekan lalu.
Saat ini untuk pakaian, Alpina memiliki sejumlah produk, mulai dari T-shirt, flanell, celana kargo dan kemeja. Dia menjelaskan, celana kargo yang ada di Alpina tersedia dalam bentuk pendek dan panjang, serta celana yang bisa disambung. Hal ini agar pengguna celana bisa dengan mudah menyesuaikan pemakaian saat cuaca panas maupun dingin.
Kemeja dan celana yang dijual Alpina memiliki ciri khas kantong yang bisa menggembung dan bahan yang digunakan nyaman serta menyerap keringat.
Sedangkan untuk jaket, Alpina menggunakan bahan goretex yang biasa digunakan oleh jaket-jaket merek luar negeri. "Saya pakai goretex untuk jaket, karena bahan ini sangat bagus dan tahan dingin. Kami juga menyediakan jaket yang bisa tahan di suhu 0 derajat," imbuh dia.
Untuk menjaga kualitas, Yanto secara berkala selalu mendatangi workshop dan memperhatikan produksinya. Dia selalu memastikan jika tukang jahitnya membuat tas dengan kualitas yang terbaik.
Yanto mengatakan, ia memaksimalkan pemakaian bahan celana kargo dan kemeja. Jadi sisa bahan ia gunakan untuk membuat topi rimba dan dompet. Ini dilakukan agar tak ada bahan yang terbuang percuma. Harga perlengkapan yang ditawarkan bervariasi, mulai dari Rp 80.000 hingga Rp 800.000.
Yanto menjelaskan, saat ini setiap bulannya ia bisa memproduksi 3.000 jenis item untuk dijual. Jumlah ini memang jauh sekali jika dibandingkan dengan saat era 90an. Namun ia tetap optimis bisa terus melanjutkan bisnis ini.
Untuk menjalankan bisnis, Alpina mendapatkan pendanaan dari PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dalam bentuk kredit modal kerja. Kredit ini diambil sejak tahun 1986 hingga saat ini.
Untuk memanjakan pelanggan, Yanto memberikan garansi seumur hidup untuk tas Alpina. Jadi, jika ada kerusakan pada tas maka pembeli bisa membawa ke showroom di Jalan Alpina dan akan dibantu untuk perbaikan.
"Meskipun produknya sudah 20 tahun, lalu rusak kalau dibawa kemari pasti kita perbaiki. Garansinya seumur hidup, misalnya ada jahitan yang rusak dibawa saja ke sini, tinggal tunjukkan ke penjaga toko dan kami terima," jelas dia.
Sylke Febrina Laucereno - Detik Finance

Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Mendaki gunung menjadi aktivitas yang cukup diminati saat ini. Mulai dari gunung yang tingginya ratusan meter di atas permukaan laut hingga ribuan meter di atas permukaan laut.
Memang, Indonesia adalah negara yang memiliki banyak destinasi wisata pendakian gunung. Dalam mendaki, dibutuhkan peralatan yang lengkap mulai dari ransel, tenda, kompor, tali, matras hingga sleeping bag.
Selain perlengkapan itu, juga dibutuhkan pakaian yang nyaman dan aman. Pendiri Alpina Paidjan Adriyanto mengungkapkan saat ini prospek untuk bisnis pakaian mendaki masih besar.
"Anak zaman sekarang kan suka naik-naik gunung. Pasti mereka butuh pakaian yang menunjang kenyamanan. Mereka pasti butuh jaket supaya tidak kedinginan di gunung sana," kata Yanto saat berbincang dengan detikFinance, akhir pekan lalu.
Saat ini untuk pakaian, Alpina memiliki sejumlah produk, mulai dari T-shirt, flanell, celana kargo dan kemeja. Dia menjelaskan, celana kargo yang ada di Alpina tersedia dalam bentuk pendek dan panjang, serta celana yang bisa disambung. Hal ini agar pengguna celana bisa dengan mudah menyesuaikan pemakaian saat cuaca panas maupun dingin.
Kemeja dan celana yang dijual Alpina memiliki ciri khas kantong yang bisa menggembung dan bahan yang digunakan nyaman serta menyerap keringat.
Sedangkan untuk jaket, Alpina menggunakan bahan goretex yang biasa digunakan oleh jaket-jaket merek luar negeri. "Saya pakai goretex untuk jaket, karena bahan ini sangat bagus dan tahan dingin. Kami juga menyediakan jaket yang bisa tahan di suhu 0 derajat," imbuh dia.
Untuk menjaga kualitas, Yanto secara berkala selalu mendatangi workshop dan memperhatikan produksinya. Dia selalu memastikan jika tukang jahitnya membuat tas dengan kualitas yang terbaik.
Yanto mengatakan, ia memaksimalkan pemakaian bahan celana kargo dan kemeja. Jadi sisa bahan ia gunakan untuk membuat topi rimba dan dompet. Ini dilakukan agar tak ada bahan yang terbuang percuma. Harga perlengkapan yang ditawarkan bervariasi, mulai dari Rp 80.000 hingga Rp 800.000.
Yanto menjelaskan, saat ini setiap bulannya ia bisa memproduksi 3.000 jenis item untuk dijual. Jumlah ini memang jauh sekali jika dibandingkan dengan saat era 90an. Namun ia tetap optimis bisa terus melanjutkan bisnis ini.
Untuk menjalankan bisnis, Alpina mendapatkan pendanaan dari PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dalam bentuk kredit modal kerja. Kredit ini diambil sejak tahun 1986 hingga saat ini.
Untuk memanjakan pelanggan, Yanto memberikan garansi seumur hidup untuk tas Alpina. Jadi, jika ada kerusakan pada tas maka pembeli bisa membawa ke showroom di Jalan Alpina dan akan dibantu untuk perbaikan.
"Meskipun produknya sudah 20 tahun, lalu rusak kalau dibawa kemari pasti kita perbaiki. Garansinya seumur hidup, misalnya ada jahitan yang rusak dibawa saja ke sini, tinggal tunjukkan ke penjaga toko dan kami terima," jelas dia.
Sylke Febrina Laucereno - Detik Finance
Nah, sekarang udah pada tau kan pendirinya siapa, sejarahnya gimana..
Ada yang minat mau koleksi tas ini lagi? Kalo ts sih pengen nyoba beli tas ini lagi buat sehari2, ya itung itung nostalgia lah..
Sekian dulu dari ts, semoga bisa bikin kalian generasi 90an nostalgia sambil mesem mesem..
Ada yang minat mau koleksi tas ini lagi? Kalo ts sih pengen nyoba beli tas ini lagi buat sehari2, ya itung itung nostalgia lah..

Sekian dulu dari ts, semoga bisa bikin kalian generasi 90an nostalgia sambil mesem mesem..



Quote:
Sumber:DETIK FINANCE
Diubah oleh oncom.onair 17-09-2018 17:15






akang.ojay dan 4 lainnya memberi reputasi
5
22.9K
Kutip
164
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan