nitadanieAvatar border
TS
nitadanie
Khitbah Ramadhan




Wanita mana sih yang tidak ingin menikah? Tentunya setiap wanita ingin menikah. Dalam agama ku pernikahan dianggap sebagai bagian dari kesepurnaan ibadah. Tentunya setiap hal yang dilakukan dalam pernikahan banyak dihujani pahala. Saat berpegangan tangan dengan pasangan maka saat itu dosa-dosa berjatuhan, saat mengurus rumah pahala yang berlipat akan didapatkan, saat melayani suami sama dengan pahala dua belas tahun shalat. Banyak hal yang membuat pahala kita berlipat ganda saat kita sudah menikah.


Lalu aku sendiri? jangan ditanya. Tentu saja aku ingin sekali segera menikah. Usiaku sudah dua puluh empat tahun. Usia yang rawan dihujani pertanyaan “kapan nikah”. Diusia ini juga orang tuaku sudah mendesakku untuk segera mengajak calonku kerumah beserta keluarganya. Mereka khawatir takut anaknya tidak laku mengingat di kampungku wanita seusiaku susah laku karena tentunya anak-anak baru lahir kemarin sore tumbuh dewasa dengan cepat. Sehingga aku kalah saing dengan anak bau kencur yang masih berusia belasan namun sudah dinikahkan.


Sejak tamat sekolah aku merantau dikota tetangga yang pastinya disini tidak ada orang yang akan menanyakan pertanyaan horor “kapan nikah?”. Tidak akan ada juga kolot-kolot yang menyebutku perawan tua seperti kolot-kolot yang ada di kampungku. Bukan apa-apa, di sana wanita yang sudah dua puluhan namun belum menikah sudah disebut hina. Padahal bukankah lebih hina mereka yang menikah di usia muda karena hamil duluan.


Di kota inilah aku bertemu dengannya. Adit kekasihku. Kami sama-sama bukan warga asli Bandung. Kami warga perantau yang sama-sama mencari peruntungan di Kota. Banyak perbedaan diantara kami yang membuat itu menjadi sebuah kecocokan. Jika aku orang yang tak banyak bicara, maka dia adalah orang yang penuh dengan kata-kata. Jika aku adalah orang yang sulit mengambil keputusan, maka dia adalah orang yang tegas dengan segala keputusan. Jika aku bingung maka dialah yang memiliki pendirian tetap. Jika aku orang yang serba kekurangan. Maka adit adalah orang yang mempunyai banyak hal. Dia begitu menyayangiku.


Jika biasanya perempuan sangat suka disanjung maka Adit bukanlah orang yang suka menyanjung wanita. Meski sesekali aku terang-terangan bilang bahwa aku ingin sekali ia puji atau ia sanjung. Namu ia selalu saja mengeluarkan candaan yang mungkin menyebalkan tapi bagiku hal itu romantis


Seperti pagi hari dibulan syawal tahun lalu. Ketika matahari hampir sempurna menyinari bumi. Sesekali hanya ada suara angin di sela jendela kecil yang cukup menyejukkan kamar kost ku yang hanya sepetak. Bulan dimana banyak pasangan yang melaksanakan pernikahan. Sayangnya aku bukanlah salah satu dari mereka. Aku hanya seorang teman yang sudah menandai tanggal-tanggal dimana aku akan cuti kerja untuk menghadiri pernikahan temanku. Tentunya aku juga meminta Adit untuk mengajukan libur di hari yang sama agar aku bisa mengajaknya. Setidaknya jika mengajak Adit teman-teman tidak akan betanya mana calonku. Meski tetap saja pertanyaan kapan nyusul pasti selalu ada.


“aku udah cantik belum?” sambil sedikit mengotak atik model hijabku di depan cermin.

“Nggak. Kamu itu jelek. Gigi kamu berantakan, kamu jerawatan, pendek, item, pokoknya kamu itu jelek”. Pria sedikit gemuk itu mengolokku.

“udah tau jelek. Masih aja mau. huh” Kataku.

“yaa. Kan aku suka yang jelek-jelek. Yang cantik udah terlalu mainstream.”

“ih kamu fikir kamu ganteng? Ngaca dong.” Umpatku.

“ya iyalah, buktinya kamu mau sama aku kan?”

“orang pas kemaren aku nerima kamu aku lagi hilaf. yee”

Candaan seperti itu sudah menjadi perbincangan sehari-hari kami. Jika orang lain yang mengata-ngataiku mungkin aku akan marah. Lain lagi jika itu Adit. Sekilas membuatku kesal tapi juga membuatku melayang kegeeran.

Aku tidak pernah meragukan kasih sayangnya kepadaku. Aku sungguh yakin bahwa dia memang mencintaiku disamping segala pengorbanan yang pernah dia berikan kepadaku.

Satu hal yang saat ini mengganjal difikiranku. Sampai kemana perjalanan cinta ini akan kita bawa? tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk hanya saling mengenal. Aku dan dia sudah merasa cocok. Aku sudah sangat mengenal keluarganya, diapun demikian. Hanya saja dia selalu beralasan ketika aku bertanya mengenai jalan yang akan kita tempuh selanjutnya. Tidakkah dia lelah ketika banyak orang bertanya “kapan nikah?”

Jujur aku sendiri merasa terbebani. Apalagi disamping usiaku yang terus bertambah rasa iri selalu ada misalnya ketika adik sepupuku menikah dan kini sedang hamil. Ketika satu persatu temanku mulai menempuh hidup baru dan merasakan kebahagiaan tiada tara. Atau ketika teman sepekerjaanku yang setiap hari membicarakan perencanaanya menuju pernikahan. Entahlah akupun sulit menjelaskan betapa kacaunya perasaanku jika mengingat semua itu.

Rasa yang sungguh tak tau disebut apa. Ketika aku harus merasakan kekecewaan kesekian kalinya dengan janji yang tak kunjung tuntas. Dan kini hal itu terjadi lagi.

“Maaf Lu” Dia bilang

“jadi nunggu lagi? sampai kapan?” mataku mulai berkaca-kaca. Mendengar hal itu darinya membuatku tidak bisa menahan air mataku. Bukanya aku tidak bisa menerima keputusannya. Hanya saja aku kecewa. Tahun kemarin dia berjanji akan melamarku tahun ini.
Kemudian beberapa bulan lalu dia bilang akan segera mengkhitbahku. Mengajak keluarganya ke rumahku untuk segera mengikatku. Tapi ternyata lagi-lagi dia minta maaf dengan alasan ini dan itu.

Terdiam diujung ruang. Lirih angin merambat di celah jendela kaca dekat aku bersandar. Tak ku sentuh sedikitpun makanan buka puasa yang tersaji meski adzan sudah berkumandang. Dia tak berkata apapun lagi ketika aku menangis lirih disisinya.

“Aku harus bilang apa ke orang tuaku?” ditengah rintih aku berkata. “apakah kamu nggak berfikir bagaimana hawatirya orang tuaku dengan hubungan kita? Bayangkan jika kamu mempunyai adik perempuan seusiaku yang digantung oleh pacarnya diberi janji-janji yang membuatnya gembira kamudian kamu kecewakan seperti ini? Tidakkah kamu berfikir bagaimana perasaanku yang sudah lama menanti tahun ini dan harus menunggu lagi?. Apa kamu tega? kamu serius nggak sih sama aku? Kamu nggak kasihan sama aku?” nadaku meninggi.

Andai tak ku pedulikan perasaanku tentu aku sudah meninggalkannya dan menerima cinta dari orang-orang yang sudah siap melamarku. Sudah beberapa orang yang aku tolak hanya demi mempertahankan cintaku padanya. Hingga sekarang aku sadari bahwa aku hanya membuang-buang waktu seiring usiaku yang terus bertambah dan malah terus melakukan dosa. Dia hanya terdiam pasrah.
Malam itu berakhir ketika aku menyuruhnya pulang untuk membiarkanku menenangkan diri. Aku tak mau mengambil keputusan ketika perasaanku sedang tidak karuan.

Beberapa hari setelah itu aku dan Adit tidak saling menghubungi. Meski dihati ada rasa rindu karena aku tidak tebiasa saat tak menerima kabar darinya. Namun rasa kecewaku terlalu besar. Aku tidak peduli lagi akan mengalir kemana hubungan kami. Toh jika memang sudah tidak mau mengabariku berarti dia sudah menyerah. Aku tinggal pasrah menerima lamaran siapapun yang lebih dulu datang ke rumah.

***
Malam ini tanggal tujuh belas ramadhan pukul delapan lebih lima belas menit. Ibuku di kampung menelefon dan menyuruh untuk menyalakan skype di laptopku. Panggilan video pun berlangsung.

“halo nak. Gimana kabar kamu? Ko udah lama nggak kabari mama? Kamu sibuk sekali ya?” ku lihat di belakang mama lukisan kaligrafi khat kufi karya adikku. Satu-satunya pajangan yang ada di ruang tamu rumahku.

“iya ma maaf. Akhir-akhir ini sibuk banget. Pulang kerja pasti tidur. Boro-boro pegang hp. Hehe “ padahal hp benda wajib yang selalu aku pegang. Tapi mengabari rumah pun selalu aku lewatkan, maafkan aku ma. Aku terlalu malas.

“Nak. Ada yang mau bicara.”

“siapa ma?”

Kamera laptop mama bergeser, dan muncullah raut wajah seseorang yang aku kenal. Ibunya Adit.

“Halo Lulu. Sehat?”

“halo nak Lulu”. Sahut Ayahnya Adit tiba-tiba muncul di layar laptopku.

“Ya ampun. Alhamdulillah saya sehat bu. Ibu sama bapak sehat?” aku begitu terkejut. Ada angin apa? Kenapa mereka ada di rumahku?.

“Alhamdulillah kami semua sehat. Jadi gini nak, maksud kedatangan kami ingin menanyakan. Apa nak Lulu mau menikah dengan Adit?
Kami sudah bicara sama mama dan papa kamu. Kata mereka jawaban semuanya ada sama nak Lulu.” Ayah Adit berbicara.

Air mataku tidak terasa megalir begitu saja. Entah ini air mata haru, bahagia, sedih, syukur atau apa, yang jelas air mataku mengalir dengan deras. Aku mengangguk dengan tangis. “ya, ya bu saya mau”.

“Alhamdulillah” ku dengar mereka mengucap syukur bersama-sama.

“Aditnya mana bu?” tanyaku karena dari tadi aku tidak melihat maupun mendengar suaranya.

“coba Lulu cek di depan pintu kamar lulu.”

Merasa penasaran aku langsung beranjak dan membuka pintu kamar kostku. Dan ku lihat Adit berdiri dihadapanku sambil menyodorkan cincin.

“jadi kamu bersedia?”

Tangisku semakin menjadi. Kemudian aku sadar bahwa ini adalah tangis bahagia yang belum pernah kurasakan seumur hidupku.

Terimakasih Adit. Aku sadar kamu diam ketika aku menangis karena kamu tidak mau lagi mengumbar janji padaku. Kamu melakukannya dengan aksi yang pasti. Entah bagaimana caramu merencanakan semua ini dengan sempurna. Yang jelas aku benar-benar bersyukur dengan ini semua.

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
2
896
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan