rendyprasetyyoAvatar border
TS
rendyprasetyyo
[CERPEN RELIGI] PARIS, 2014.


#CERITAKITAUNTUKSELAMANYAemoticon-Malu




"Nak, sekarang dirumah ibu dan ayahmu sudah mulai sahur, bagaimana keadaan-mu disana? kapan mulai bisa berpuasa?"

Kubaca pesan singkat yang baru saja masuk ke smartphone dengan logo gigitan apple yang aku beli setahun yang lalu sambil menunggu kereta mencapai stasiun selanjutnya dengan duduk disalah satu kursi kosong sambil menatap keluar jendela. Sekarang sudah menunjukkan pukul 21.00 malam dan sinar matahari mulai terlihat samar menyisakan sedikit siluet berwarna orange dilangit. Iya, mungkin saja, matahari mulai merasa lelah setelah menjalani tugas seharian, sama seperti diriku.

Kubaca ulang pesan ibuku sambil menerka-nerka kalau sekarang dirumah pastilah sudah larut malam dan ibu sedang bersiap sahur bersama ayah. Ibuku, seorang wanita berumur 52 tahun, adalah seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan waktu sehari-hari hari menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga sejak pernikahannya 25 tahun yang lalu. Menurut kabar yang beredar, ibuku dulu adalah seorang wanita dengan potensi karir yang menjanjikan. Ibu, yang berkerja sebagai seorang akuntan, adalah wanita yang paling dipercaya dalam hal menyusun anggaran apapun untuk keperluan perusahaan.

Dan setelah menikah dengan ayah, ibu dengan rela melepas karir cemerlang-nya dan memilih untuk membesarkanku dengan waktu penuh. Ibu pernah bilang kalau membesarkan ku lebih penting daripada mencapai karir yang cemerlang. "Kepribadianmu setelah dewasa nanti lebih penting, nak" ibu-ku berkata sewaktu aku menanyakan hal ini sebelum berangkat ke negara ini.

Sedangkan ayah, ayahku hanya seorang laki-laki biasa. Seorang laki-laki yang karir-nya tidak selalu berjalan mulus seperti karir ibu. Beberapa kali ku-lihat kalau ayah harus pulang malam karena deadline pekerjaan yang menumpuk dikantor. Kadang dalam satu minggu, aku hanya bisa bertemu ayah dirumah dalam beberapa jam karena ayah harus berangkat jauh sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tertidur. Tapi walaupun ayah menjalani perjalanan yang sulit, tidak pernah sekalipun terlihat ekspersi letih ayah ketika bertemu dengan-ku.

Ayah selalu memanjakanku, anak perempuan semata wayang-nya, disaat-saat senggang dari rutinitas pekerjaan. Iya, ayah adalah lelaki paling bertanggung jawab yang pernah aku temui, mungkin ini alasan kenapa ibu memilih hidup bersama ayah dan rela melepas karir cemerlangnya demi membesarkanku.

"un train arrivera à la gare Metro Porte de la Chapelle"

ku dengar samar-samar suara seorang wanita mengumumkan kalau kereta sebentar lagi akan tiba di stasiunMetro Porte de la Chapelle. Paris, kota dimana saat ini aku berada, memiliki sarana transportasi yang lengkap. Stasiun Metro Porte de la Chapelle dimana aku transit adalah stasiun dengan 14 linie, yang dibedakan dengan nomer dan warna kereta berbeda tiap jalur line kereta, sebagai sarana transportasi warga paris. Setelah ini aku masih harus melanjutkan perjalanan dengan kereta line M-12 menuju stasiun Place de Clichy sebelum bisa sampai ke penginapanku.

Sesaat setelah aku membuka pintu kamar penginapanku, aku segera membaringkan tubuhku dikasur tanpa membuka alas kakiku. Sekarang waktu sudah hampir menunjukkan pukul 22.00 WIB dan baru saja azan maghrib berkumandang. Perbedaan waktu antara Indonesia dan Perancis membuatku membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri di bulan pertama kedatangan-ku ke negara ini.

Aku Shara, seorang wanita yang mencintai dunia sejarah dan arkeologi, yang sekarang sedang mendapat tugas untuk mempelajari beberapa tempat di prancis dalam rangka mengumpulkan keping-keping sejarah untuk keperluan disertasiku. Ibu awalnya tidak setuju dengan perjalanan ku selama 2 bulan disini. Tapi setelah aku berikan penjelasan tentang betapa pentingnya arti perjalanan ini buatku, akhirnya ibu-ku mengalah. Banyak alasan mungkin kenapa ibu seperti tidak rela melepas kepergianku. Perjalanan 2 bulan ini membuatku harus menjalani puasa di negara ini yang katanya rentang waktu siang dan malamnya berbeda dengan negara asalku. Di paris, Jarak antara matahari terbit dan tenggelam bisa berlangsung selama 18 jam. yang artinya aku harus menjalani puasa 6 jam lebih lama daripada waktu puasa di negara asalku. belum lagi cuaca musim dingin yang sedang menimpa paris sekarang ini. Menjalani puasa di paris jelas lebih berat dibandingkan menjalani puasa di negara asalku, mungkin ini yang membuat ibu berat melepas, melihat putrinya harus berjuang berpuasa lebih lama dari biasanya hanya untuk keperluan disertasi.

"hufft"

Kutarik hembusan nafas panjang sambil bangun dan mulai membuka lapis demi lapis jaket yang melindungi-ku hari ini dari udara musim dingin paris. Hari ini adalah hari terakhir aku bebas menikmati makanan-makanan penghangat tubuh sebelum besok aku harus mulai berpuasa. Awalnya kupikir berpuasa dimusim dingin akan terasa lebih ringan. Tapi setelah dalam sebulan terakhir tuntutan tubuhku akan asupan makanan, terutama kentang dan makanan tinggi kalori lain, semakin meningkat mengingat dinginnya suhu dan tubuhku butuh asupan lebih banyak kalori untuk dibakar. Dalam perjalanan pulang tadi, aku membeli beberapa kentang untuk ku masak setelah shalat Isya nanti. Kata orang, memakan kentang akan lebih menghasilkan efek hangat dibandingkan mengkonsumsi nasi yang merupakan makanan pokokku sebelumnya.

Setelah selesai membersihkan tubuhku, ku biarkan otot-ototku melemas sebentar sambil menatap keluar jendela. Besok saatnya aku mengunjungi menara Eifel, salah satu ikon kota Paris, dan mempelajari seluk beluk sejarahnya. dan besok mungkin aku akan berbuka puasa disana.

----------------------------------------------------------


Aku terbangun tepat dipukul 01.30. Disini memang jarang terdengar azan. Awalnya kupikir karena letak mesjid yang belakang ku tahu ternyata berjarak cukup jauh dari penginapan ku, sekitar 20 menit berjalan kaki. Tapi ternyata ada alasan lain dibalik jarang terdengarnya azan di kota paris ini. Jadi menurut desas desus yang beredar, azan gak pernah terdengar karena memang suara azan tidak boleh terdengar sampai ke luar mesjid. Karena alasan ini lah belakangan aku mulai sadar kalau hidup di negara yang minoritas muslim itu memang berat.

Mataku terasa berat. Jam-jam sekarang harusnya ku pakai untuk beristirahat untuk memulihkan tenagaku, hal ini juga lah yang dilakukan oleh sebagian besar warga paris. Tapi yang terjadi sekarang aku harus bangun untuk mempersiapkan masakan sahurku karena memang tidak ada tempat yang menyediakan makanan halal di jam jam sekarang. Aku memang sudah terbiasa hidup sendiri sebelumnya, tapi hidup sendiri di negara lain yang berbeda culture seperti ini ternyata tidak bisa dipersepsikan sama dengan hidup sendiri waktu aku menjalani masa perkuliahan dulu.

Setelah shalat isya selesai ku tunaikan, segera aku menuju ke dapur untuk mempersiapkan makanan sahurku berbekal dengan beberapa kentang yang ku beli sebelumnya. Perlu waktu sekitar satu jam sampai akhirnya aku menyelesaikan ritual sahurku dan membersihkan peralatan dapur yang sudah digunakan. Ku lemaskan kembali otot ototku yang mulai berontak karena tidak mendapatkan jatah istirahat yang cukup. Bau masakan ibu yang selalu menemani masamasa puasaku sebelumnya merasuk kedalam fikiranku sekarang. Ibu, aku rindu.

Setelahnya aku tertidur dan baru terjaga sekitar pukul 07.00 pagi. Udara dingin paris mulai menusuk nusuk tulangku ketika aku sadar kalau aku tertidur tanpa ditutupi selembar selimut ditubuh. Aku segera bersiap untuk memulai perjalanan hari ini karena hari ini ada tempat lain yang harus aku kunjungi selain menara Eifel dan tempat itu adalah Palais de Challiot.

Palais De Challiotadalah sebuah tempat yang tidak terlalu jauh dari menara Eifel dimana sering dijadikan panggung pertunjukan bergengsi di kota paris. 2 bangunan kembar ini katanya sudah ada sejak abad ke 18 dan sudah mengalami beberapa renovasi sampai saat sekarang. Aku berencana menghabiskan banyak waktu ditempat itu nanti untuk mengambil beberapa dokumentasi foto sambil menonton 3 pertunjukan seni tentang sejarah revolusi prancis.

Setelah semua selesai dipersiapkan, aku segera berangkat menuju stasiun terdekat penginapanku, Palace De Chlichy. Dari stasiun tersebut aku akan mengambil rute M-13 untuk turun di stasiun terdekat menuju menara Eifel. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh akhirnya aku sampai di menara Eifel pukul 09.30. Di sepanjang perjalanan, banyak ku lihat warga prancis melilitkan syal dengan jumlah diluar dugaanku di leher mereka. Cuaca memang sedang tidak bersahabat, walaupun sebenernya jarang turun salju saat winter di kota Paris.

Tapi cuaca yang tidak bersahabat tidak mengurungkan niat para turis untuk bisa naik ke puncak menara Eifel. Ketika aku baru sampai disana, ku lihat antrian pengunjung sudah mulai mengular. Ada beberapa pintu masuk disediakan sebenernya untuk bisa membeli tiket naik ke puncak menara setinggi 300 meter ini. Tapi ku lihat disemua pintu tetap saja sudah penuh dengan antrian.

Aku tidak ingin berlama lama di menara Eifel karena ada jadwal pementasan pertama di Palais De Challiot yang menunggu ku untuk disaksikan. Sepanjang menuju tempat pertunjukkan ku lihat jalanan sepi tidak seperti biasanya dimana jalanan dipenuhi pengamen yang menyanyikan lagu lagu gembira khas perancis untuk menghibur warga yang lewat.

Aku bahagia karena aku tidak melewatkan pertunjukkan pertama ku untuk disaksikan. Tapi dampak dari aktifitas berjalan kaki ini perutku mulai terasa melilit. Tubuhku mulai menggigil lantara tak kuat menahan dinginnya cuaca diluar. Segera aku masuk kedalam gedung pertunjukkan dan mengambil tempat duduk sejauh mungkin dari pintu keluar agar tubuhku terhindar dari dinginnya cuaca paris hari ini.

Beberapa pertunjukkan ku lalui. Menonton pertunjukkan ini setidaknya bisa menghemat energiku. Tanpa terasa waktu mulai menunjukkan pukul 18.00. Di negara asalku mungkin sekarang adalah waktunya berbuka, tapi diparis berbeda, jam 18.00 matahari masih dengan gagah bersinar dan berhasil menyurutkan langkahku untuk kembali ke Eifel.

Hufft...

Dengan berat hati ku langkahkan kembali kaki ku ketempat paling ikonik di perancis tersebut. Di kejauhan ku lihat kalau pengunjung di menara Eifel semakin ramai. Berat langkahku diiringi semakin meredupnya cahaya surya menyinari kota mode ini. Jalanan semakin ramai padahal cuaca semakin menusuk ke kulit.

Matahari hampir sepenuhnya terbenam ketika aku menginjakkan kaki ku kembali dibawah menara tersebut dan benar kalau banyak pasangan muda mudi yang menghabiskan waktu disini sekarang. Ku dudukkan tubuhku disalah satu bangku kosong disebelah sepasang kekasih dengan balutan jaket dan syal yang senada. Jam jam sekarang, kalau aku sedang berada dirumah, akan selalu diisi dengan kegiatan bercengkrama bersama ayah dan ibu di meja makan menunggu waktu berbuka tiba. Ayah dan ibu kadang mengingatkanku untuk segera berpikir untuk mencari pasangan, hal yang sengaja ku lupakan karena aku masih punya tanggung jawab akan disertasi ku. Seperti nya ibu pun mengerti dengan posisi ku sekarang. Setelah beberapa tarikan nafas aku teringat kalau aku belum membalas pesan ibuku semalam.

Jariku mengetik beberapa kata dengan cepat menggunakan smartphone ku. Setelah pesan berhasil terkirim, ku ambil air mineral yang ada ditasku sambil mengucap doa untuk berbuka.

“Bu, aku rindu. Selamat berbuka ya disana”



Quote:
Diubah oleh rendyprasetyyo 31-05-2018 07:42
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
30
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan