sekottkAvatar border
TS
sekottk
Sebuah Paradox #CerpenReligi


21:52

Carilah Kebenaran di dalam diri, bukan Pembenaran di luar diri

Semua jawaban sudah tertulis dalam diri, untuk apa lagi mencari jawaban di luar diri?

Temuilah dirimu yang sejati, buanglah egomu, dan dapatkanlah apa yang engkau cari


Tanpa terasa aku telah membaca buku ini hingga hampir setengahnya, hingga ketukan di kaca pintu mobilku membuyarkan keasikanku terhadap buku ini.

“Sayang, kamu ngapain?? Kok masih disini bukannya pulang? Tanya Emma yang keheranan kenapa aku masih berada di depan rumahnya.

“Iya aku malah asik baca buku tadi, ini aku mau pulang. Kamu masuk lagi kedalam ya” jawabku kepada Emma sembari menyalakan mesin mobilku dan bergegas pulang. Kutelusuri jalanan yang sudah mulai lengang sambil sesekali memaknai kata-kata yang terdapat pada buku ini.

17:01

Kuhentikan laju mobilku secara tiba-tiba. Aku sendiri juga tidak mengerti mengapa aku ingin berhenti disini. Seakan ada bisikan dari dalam diriku yang menyuruhku untuk menepikan mobilku.

“Kenapa sayang?” Tanya Emma kepadaku. Emma agak sedikit kaget kenapa aku berhenti mendadak.

“Mungkin kita berbuka puasa disitu saja ya.” Jawabku sekenanya saja, sambil menunjuk sebuah cafe di pinggir jalan tersebut.

Memang ada sebuah cafe di pinggir jalan itu. Cafe itu nampak tidak terlalu besar, namun tampilannya yang cukup bagus seolah kelihatan mencolok jika dibandingkan dengan bangunan di sekitarnya yang berupa kios-kios buku bekas.

“Yaudah deh gapapa sayang, yuk kita turun” Ajak Emma sembari mengusap pelan tanganku.

10:39

Kuputar alunan musik untuk mengusir rasa jenuhku akan kemacetan ini. Memang sebuah pemandangan yang biasa untukku, namun tetap saja membuatku kesal setiap kali harus mengalaminya. Ingin rasanya suatu hari nanti aku pergi meninggalkan semua kejenuhan ini.

Tiba-tiba datang bocah laki-laki mengetuk kaca pintu mobilku, menawarkan tisu yang tentunya tidak terlalu aku butuhkan. Tanpa berpikir panjang segera kuambil selembar uang dan kuberikan kepadanya.

“Ambil saja kembaliannya.” Kataku sambil tersenyum kepadanya.

Wajahnya nampak sangat sumringah saat menerima uang pemberianku. Berkali-kali dia mengucapkan terimakasih. Dia juga sempat mengucapkan kata-kata yang tidak sempat kudengar secara jelas karena aku buru-buru menutup kembali kaca mobilku. Ya, lebih baik aku tidak perlu mendengarkannya daripada aku harus tambah bersedih melihat keadaan bocah kecil yang memprihatinkan itu.

Kuambil smartphone yang tergeletak pada dashboard untuk segera mengalihkan pikiranku. Kukirimkan sebuah pesan kepada Emma.

“Sebentar lagi aku sampai, ini masih macet. Tunggu ya Sayang.”


18.11

“Tumben kamu mau liat-liat buku sayang. Kamu kan ga suka baca?” Emma menggodaku dengan suaranya yang manja.

Aku hanya terdiam. Akupun tak mengerti kenapa tiba-tiba aku ingin mengunjungi kios buku-buku yang terletak disebelah tempat makan kami tadi. Rasanya ingin saja sejenak melangkahkan kaki disini sebelum kami beranjak pergi untuk mencari masjid terdekat.

Tak berapa lama kemudian pandanganku tertuju pada sebuah sudut rak buku, dimana ada sebuah buku yang menarik perhatianku. Sebuah buku dengan cover berwarna ungu yang berjudul “Bertemu Kesadaran Sejati”.

14:21

Tangan Emma masih terus saja menggenggam erat tanganku. Sesekali aku mencuri pandang melihat kearah wajahnya, yang tentunya tidak dia sadari. Emma terlalu asik dan menikmati jalinan cerita yang ada. Sementara aku, sibuk sendiri dengan alur cerita di pikiranku yang entah ingin berkata apa. Namun tidak mengapa, memang bukan niatku untuk menonton film ini. Aku hanya ingin bersama Emma seharian ini, yang kuharap bisa sedikit meredakan stres di pikiranku.

Emma adalah sosok yang memang kubutuhkan dalam hidupku. Namun di sisi lain aku juga merasa bahwa Emma terlalu manja. Sifatnya yang kekanakan dan juga posesif seringkali menyulitkanku. Berulangkali sifat kekanakannya membuatku muak, dan ingin mengakhiri hubungan ini. Hanya saja, entah kenapa aku tidak pernah bisa yakin untuk menyuruhnya pergi dari hidupku.

23:04

Aku terbangun dalam tidurku. Di hadapanku sudah berdiri sosok yang sangat mirip sekali dengan diriku. Aku memang sangat terkejut, tapi anehnya aku tidak merasa takut sedikitpun saat ini.

“Siapakah kamu” tanyaku dengan lirih.
“Aku adalah dirimu. Dan dirimu adalah diriku” jawabnya dengan lugas.



Belum selesai diriku dengan kebingungan ini, dia langsung menarik tangannku dan membawa diriku menuju sebuah tempat. Sebuah rumah kecil, sempit, namun terlihat cukup bersih. Nampak seorang anak laki-laki yang sedang menyiapkan barang2 dagangannya.
Tak perlu waktu lama bagiku untuk bisa mengenalinya. Dia adalah bocah penjual tisu yang kutemui tadi pagi. Dia nampak sangat ceria dan gembira dalam menyongsong harinya, meskipun kutau keadaan keluarganya pastilah jauh dari kata mencukupi.

Belum selesai pikiranku mencerna pemandangan yang baru saja kulihat, aku sudah dibawa pergi lagi menuju tempat lain. Kini dihadapanku sudah ada sosok Emma, yang nampak sedang kebingungan memilih baju yang akan dia kenakan untuk pergi bersamaku. Emma kelihatan sangat bersemangat sekali, nampak sekali raut keceriaan dan juga kegembiraan dari wajahnya. Sudah cukup sering aku melihat Emma dengan keceriaannya, namun baru kali ini kulihat dia menunjukkan ekpresi seriang ini.

Lama-kelamaan sosok Emma dan juga suasana kamarnya yang bernuansa pink pastel mulai memudar, berganti menjadi ruangan kamarku. Aku masih berdiri di tempat yang sama dengan saat aku terbangun tadi. Dan dihadapanku masih ada sosok diriku yang lain, entah bagaimana aku harus menyebutnya.

“Kenapa seringkali kita merasa berada di atas, jauh lebih tinggi dari yang lainnya?” Dia mulai membuka suara.

“Kamu merasa kasian terhadap anak kecil tadi, seolah kamu berada di posisi yang lebih tinggi darinya.”

“Sedangkan anak kecil tadi sudah bisa bersyukur dan menjadikan kekurangannya sebagai sebuah kebahagiaan”

Aku mulai tersentak mendengarkan kata-katanya.

“Bukankah dirimu yang tidak bisa menikmati hidup diatas kemewahanmu, jauh lebih pantas dikasihani?” tanyanya kepadaku, yang membuatku semakin tersadar.

“Kenapa kita selalu melihat satu hal keburukan orang lain, padahal ada berjuta kebaikannya yang bisa kita lihat?”

“Pernahkah kamu mau sejenak saja melihat seberapa besar cinta yang telah Emma berikan kepadamu selama ini?”

“Apakah hanya keburukannya saja yang selama ini terbersit di hadapanmu?” lanjutnya dengan suara yang makin lantang.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku bingung. Aku merasa ditelanjangi atas semua hal buruk yang tanpa sadar telah menjadi rutinitas dalam pikiranku. Saat ini aku hanya bisa berpikir, bahwa inilah saat yang tepat untuk berubah, momen yang pas untuk kembali menjadi manusia yang lebih berarti.

“Kenapa kamu mau membantuku?” Kuberanikan diriku untuk bertanya kepadanya.

Dia hanya tersenyum simpul. Senyum yang seakan memberikan penuh makna. Lalu dia menarik lenganku seraya berkata “Aku tidak membantumu, namun kamu sendiri yang membantu dirimu.”

Aku kini berada dalam mobilku. Di hadapanku ada diriku sendiri yang sedang menyetir dan juga Emma yang berada di sebelahnya. Ingin rasanya aku menasehati diriku sendiri, atas segala hal yang selama ini merisaukan pikiranku.

Namun belum sempat aku berucap, tiba-tiba aku melihat sebuah sinar berwarna ungu yang cukup terang dan berkilauan dari kejauhan. Meski jauh, namun aku bisa melihat sinar tersebut muncul dari buku yang berada pada sebuah kios sederhana. Hingga akhirnya laju mobil ini telah sampai pada depan kios buku tersebut, dan spontan tanpa sadar akupun berkata:

“STOP!”


*TAMAT*



Diubah oleh sekottk 17-05-2018 18:10
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.1K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan