hellochynAvatar border
TS
hellochyn
Siwabessy
Siwabessy, aku lebih senang memanggilnya begitu. Karena tidak ada nama lain yang kusuka selain Siwabessy. Kami bertemu pada suatu pagi di minimarket kecil di ujung jalan. Aku rasa Lawson akan menjadi saksi bagaimana konyolnya aku saat dengan tidak sengaja menabrak bahu Siwabessy. Aku menebak, dia akan marah. Apalagi sepasang mata tajamnya, menghunusku. Tapi tidak. Pagi itu, aku dihadiahi sebuah senyuman manis. Mata kami beradu. Sempat kurasakan dunia berhenti kurang lebih 5 menit. Lalu pada detik berikutnya, aku tenggelam ke dalam mata miliknya.


Siapa yang tak jatuh cinta pada Siwabessy? Parasnya tampan, gayanya oke, dengan rambut belah pinggir klimis serta jambul mohawk. Tubuhnya berisi, berkulit putih khas pria manado dengan mata kecoklatan, jenggot tipis-tipis juga terlihat penuh dari jambang hingga ke dagu. Cocoklah jika aku membandingkannya dengan Brad Pitt. Tapi sayang, Siwabessyku lebih menarik daripada itu.


Aku tak pernah menyesal mengenal Siwabessy. Setelah insiden 'Lawson', kami menjadi akrab. Meskipun pertemuan kami selanjutnya hanya sebentar. Tapi cukup meninggalkan kesan bagiku. Ia juga meminta nomer ponselku. Berkirim pesan menjadi hal yang rutin kami lakukan, begitu juga telepon-telepon tengah malam yang tidak penting hanya untuk bertukar sapa.


Bahkan di sela kesibukan, kadang kami mencuri-curi waktu untuk sekedar bertemu, mengobrol apa saja, lalu tertawa terbahak-bahak hingga malam menjelang. Biasanya, Siwabessy akan mengantarku pulang jika sudah sangat larut. Sepanjang jalan, ia akan menggenggam tanganku lalu memasukannya ke dalam saku jaket.


Ada yang kusuka ketika aku sedang memandangi Siwabessy, yaitu bibirnya. Tentang bagaimana ia menarik kedua sudutnya ketika tersenyum kemudian matanya menjadi sipit. Begitu juga saat bibirnya menyentuh bibirku pada malam natal tahun lalu. Rasanya lembut dan manis. Setelah itu, berpuluh-puluh malam kuhabiskan bersamanya.






Selasa dini hari, Siwabessy menghubungiku di pagi buta. Ia menangis, ayahnya sekarat. Tak dapat kubayangkan bagaimana rasanya saat itu. Kubilang bahwa aku akan menyusulnya, tapi Siwabessy menolak. Katanya, ia malu jika aku harus melihatnya dalam keadaan seperti ini. Apa peduliku? Namun ia tetap menolak. Akhirnya.. Kuhabiskan pagi itu dengan perasaan yang tak menentu.


Setelah kepergian ayahnya. Hidup kami berubah. Lebih tepatnya, hidup Siwabessy yang berubah, dan itu mempengaruhi hubunganku dengan Siwabessy. Seakan ada sekat yang membentang menghalangi kami berdua. Aku merasa semakin jauh dengannya. Dalam satu bulan, intensitas pertemuan kamipun mulai berkurang. Sejujurnya, aku merindukan Siwabessy. Tingkah konyolnya, harum tubuhnya, kecupannya.


Aku mencintai Siwabessy. Aku mencintai seluruh hidupnya. Kuserahkan semua yang kupunya, termasuk harga diriku. Sayangnya, harga diriku tak bernilai bagi Siwabessy. Ia melengang pergi setelah kuberikan satu-satunya yang tersisa dari diriku. Beratus-ratus pesan tak terbalas. Berpuluh-puluh panggilan, terabaikan. Saat itu, yang kutahu, duniaku berhenti.


Satu temu, Siwabessypun enggan. Kucoba menyambangi kediamannya, yang kutemui hanya pak tua yang tak tahu kemana perginya Siwabessy. Setiap sore, kutunggu ia di tepi danau favorite kami, berharap Siwabessy akan datang menghampiri. Hasilnya nihil. Malamnya, aku tak pernah beranjak dari Lawson di ujung jalan, siapa tahu, aku bisa menemuinya lagi di sini. Realitanya, tidak satupun. Aku hampir frustasi. Hanya ada satu asumsi yang menguasai pikiranku... Dia memang seorang bajingan yang sedang beruntung. Karena mendapati kenyataan bahwa sebenarnya aku hanya wanita murahan yang begitu mudah jatuh cinta.


Di tahun ketiga pada penghujung bulan Juni, aku bertemu lagi dengan Siwabessy. Kali ini di Rumah Kopi. Ketika melihatku, ia agak sedikit terkejut. Sungguh berbeda seperti saat pertama kali kami bertemu. Matanya dingin. Tak ada senyum apalagi sapa. Tubuhnya kurus, seperti tak terurus. Ia sedikit lusuh.


"Kemana saja? Tanyaku spontan saat aku berada di depannya.


Hening. Tak ada satupun jawaban meluncur dari bibir Siwabessy. Masih kutunggu. Satu detik... Dua detik... Tiga detik...


Aku sudah bersiap pergi saat tahu, semua ini akan sia-sia. Pada detik berikutnya, akhirnya ia bersuara.


"Saya mengagumi kamu, dan tak butuh waktu lama untuk mengatakan bahwa saya mencintai kamu."


Ia berhenti beberapa saat untuk menarik napas.


"Sampai akhirnya saya tahu, bahwa hati kamu untuk orang lain, bukan saya."


"Kamu pantas mendapatkan itu, setelah saya pergi mengabaikan kamu di saat kamu sedang butuh-butuhnya. Dan saya tetap nekad mencintai kamu. Saya masih berani berharap. Bahwa suatu ketika hati kamu akan untuk saya." Siwabessy berhenti lagi, ia mengambil rokok dan membakarnya di depanku.


"Lalu kemudian saya sadar. Saya salah. Saya terlalu egois mencintai kamu. Saya pergi meninggalkan kamu tanpa pernah memberikan alasan apapun. Jika saja alasan saya mudah diterima, kamu nggak perlu merasakan hal ini. Kita sama sakitnya. Saya mencintai kamu jauh sebelum saya menyadari bahwa kita berbeda."


"Kamu tahu? Saya pernah punya mimpi. Saya ingin membahagiakan kamu dengan sesederhana mungkin. Kita saling cinta, saling memiliki, lalu kita hidup bahagia."


"Tapi nyali saya terlalu ciut untuk mewujudkan hal itu. Kamu cantik, kamu pintar, kamu menyenangkan, semua orang juga tahu itu. Kamu punya segalanya."


"Mungkin benar kata orang-orang. Ada hal yang tidak bisa dipaksakan, kita salah satunya." Siwabessy bangkit. Ia berdiri beberapa inchi di depanku.


"Saya minta maaf, saya terlalu pecundang untuk mengatakan hal ini jauh sebelum saya pergi. Kamu berhak tahu satu hal, saya selalu mencintai kamu."


Siwabessy berlalu. Mungkin hatiku patah. Pada saat bersamaan, aku sadar, ada pembeda di antara kami. Pembeda yang membuat segala yang mungkin, menjadi tidak mungkin. Keyakinan.


Tiga tahun yang lalu, aku pernah begitu mencintai Siwabessy. Sepenuhnya. Tanpa cacat. Hari ini Siwabessy kembali. Menjelaskan tentang perasaannya yang tak pernah kutahu.


Namun sayang, sudah ada cincin yang melingkar di jari manisku.


Cause every time you hurt me, the less that I cry

And every time you leave me, the quicker these tears dry

And every time you walk out, the less I love you

Baby, we don't stand a chance, it's sad but it's true

I'm way too good at goodbyes...


anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
556
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan