Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kaksus10Avatar border
TS
kaksus10
Firasat


“Nathan!!”
Aku berteriak sejadinya-jadinya, melihat tubuh orang yang sangat kusayangi terguling-guling dan tergeletak penuh dengan darah di hadapanku. Darah segar mengalir dari pelipis dan mulutnya. Segera aku bangkit dan menuju tubuh Nathan yang terbujur kaku. Tapi kaki ini seperti tidak bisa bergerak sama sekali. Berat. Sekuat tenaga aku mencoba untuk bangkit, namun aku tidak bisa.
Dan aku hanya bisa berteriak, memanggil “Nathan”.

Spoiler for mimpi buruk ku:


Seberkas cahaya kuning keemasan berpendar di penglihatanku.
Samar-samar, ku coba menatap sesuatu, pendaran cahaya berubah menjadi lingkaran-lingkaran dengan efek bokeh. Silau. Mata ini akhirnya terbuka, kaget dan langsung aku bangkit dari tempat tidurku. Mimpi itu lagi.

Walaupun hanya mimpi, tapi kecelakaan tadi sangat nyata untuk aku. Dan mimpi kecelakaan ini sudah kali ketiga menghantuiku. Mimpi yang sama, alur yang sama dan Nathan yang selalu menjadi korbannya.

Perasaan ini langsung berkecamuk. Aku tidak tenang. Segera ku mengambil HP ku, dan tentu saja ku tekan nomor kontak yang sudah sangat aku hafal.

“Halo?” Terdengar suara yang sudah sangat akrab di telinga ku.
“Nathan, kamu di mana?” “Aku mau ketemu.” Jawabku cepat.
“Sepagi ini, cantik? Kenapa? Kangen banget ya?” Terdengar Nathan sedikit menggoda.
“Nanti saja aku jelasin, aku tunggu kamu di cafe biasa yah, setengah jam dari sekarang.” Dengan segera aku menutup telepon ku dan bergegas mandi.

Memang tidak biasanya aku keluar rumah sepagi ini di hari Sabtu, biasanya aku hanya bermalas-malasan saja di kamar sambil menunggu Nathan datang menjemput. Tapi kali ini berbeda, perasaan ku masih tidak enak sejak mimpi semalam. Nathan harus tahu tentang mimpiku.

Setibanya di cafe tempat kami janjian, aku langsung mengambil tempat di sudut ruangan yang lebih private. Dan tidak lama Nathan pun tiba, dengan wajah yang terlihat baru bangun tidur dan rambut yang masih basah dia meletakan helmnya di meja dan bertanya ; “ada apa sih, cantik? Pagi-pagi gini udah minta ketemu, masih untung nih cafe udah buka..”

“Than, aku mimpi buruk, kamu kecelakaan dan terjatuh. Perasaanku ngga enak, Than.” Aku langsung saja menyampaikan mimpiku dengan tergesa-gesa.
“Mimpi? Trus kenapa? Kan cuma mimpi. Kanapa mesti takut?” Nathan menanggapi dengan acuh.
“Ini tuh bukan mimpi sembarangan, aku udah tiga kali mimpiin ini Than, ini yang ke tiga kalinya. Aku takut. Awalnya aku juga berpikir ini hanya mimpi, makanya aku ngga cerita ke kamu. Tapi ini sudah ke tiga kali. Aku.. aku melihat kamu terjatuh dan penuh darah. Dan aku ngga bisa sama sekali menolong kamu.”
“Cha, itu cuma mimpi, oke.” Nathan berusaha menenangkan aku.
“Kamu ngga ngerti, mimpi ini benar-benar nyata. Aku pernah mengalami ini Than. Kamu tahu kan cerita aku tentang Almarhum Papah dan Abang aku?”
“Ya ampun Cha, kamu masih percaya dengan mimpi? Cha, itu Cuma kebetulan. Dengerin aku, aku baik-baik saja dan aku akan jaga diri aku. Ngga ada satupun yang dapat meramalkan kematian, ingat itu Cha.” Sekali lagi, Nathan terlihat sangat acuh dan tidak memperdulikan perkataanku.

Malamnya aku sama sekali tidak dapat tidur. Mata ini hanya dapat menerawang langit-langit kamar.
Aku takut bila aku tertidur, mimpi itu datang lagi.
Spoiler for full moon:

Ingatanku mundur ke lima tahun yang lalu. Saat Papah masih hidup. Saat itu aku masih SMA, dan Papah terlihat sangat sehat. Tidak ada satupun pertanda yang menyatakan kalau Papah akan dipanggil oleh Allah.

Hingga suatu malam aku bermimpi, Papah terjatuh dan tidak ada satupun orang yang menolong. Mimpi itupun berulang hingga tiga kali. Hingga di mimpi yang ke tiga, ada perasaan tidak enak di dalam diriku. Perasaan tidak tenang, takut dan sedih menjadi satu. Aku tidak dapat menjelaskan perasaan apa itu, perasaan itu terus mengikuti aku hingga seminggu kedepan. Dan siang itu, aku ingat, Abang ku, Bang Robby menjemput aku di sekolah. Bang Robby tidak menjelaskan apa-apa padaku, hingga tiba di rumah, aku melihat seluruh keluarga berkumpul dan menangis. Papah terbaring di tengah, kaku dan menutup mata.

Setelah prosesi pemakaman, Mamah menjelaskan bahwa Papah terjatuh di kamar mandi kantor. Serangan jantung. Keadaan kantor masih sepi karena masih pagi, dan tidak ada satu orang pun yang melihat Papah terjatuh. Di saat itu aku mengerti, bahwa mimpiku mencoba memberitahukan ku sesuatu.

Tidak terasa mata ini mulai basah. “Papah, Cha rindu Papah.”

Memori pun berputar, dan kali ini ingatanku berpindah ke satu tahun yang lalu. Masih segar di ingatan ku, bagaimana mimpi itu datang pertama kali.

Di dalam mimpiku kali itu, aku melihat sekumpulan pria, ramai sekali dan tampak seperti sedang bertengkar. Mereka saling memukul dan ada beberapa orang yang membawa tongkat dan pedang. Entah apa yang mereka ributkan, tapi suasana begitu kacau dan menyeramkan. Ketika pria-pria tersebut makin memuncak amarahnya, di situlah aku melihat Bang Robby melaju dengan motornya. Sekumpulan pria tersebut menghadang laju motor Bang Robby, dan mereka mulai mendorong Abang. Seketika itu juga aku tidak dapat melihat lagi sosok Bang Robby.

Mimpi ini juga datang tiga kali kepadaku, dan selalu diiringi perasaan yang sama seperti pada saat menjelang Papah tidak ada. Perasaan tidak enak, was-was dan sedih. Sebelumnya aku sudah menyampaikan ini ke Bang Robby, aku minta dia untuk pulang cepat dari kantornya dan berhati-hati selama membawa motor.

Namun, hari itu Bang Robby harus lembur dan pulang sangat malam. Sebagai tulang punggung keluarga, memang Bang Robby sangat giat bekerja. Semua dia lakukan hanya untuk mencukupi kebutuhan aku dan Mamah.

Tengah malam itu aku tidak dapat tidur, aku berusaha menelpon Bang Robby, namun tidak diangkat olehnya. Hingga pada saat adzan subuh, ada telepon dari Kepolisian, dan ketika itulah aku tau, mimpiku menjadi nyata.
Spoiler for mimpi menjadi nyata kembali:


“Cha, bangun, serapan dulu yuk!” Suara Mamah dari balik pintu membangunkan ku.
Kulihat jam mejaku, astaga sudah jam 10 pagi. Segera ku mandi dan menuju meja makan untuk sarapan.
Setibanya di sana aku kaget, Nathan sudah duduk dengan santai sambil ngobrol dengan Mamah.

“Cha, nih Nathan sudah dari tadi nungguin kamu bangun, “ kata Mamah sambil tersenyum.
“Nih, sambil makan ya, Nak, Mamah tinggal ke kamar yah,” Mamah pun berlalu ke kamarnya.
“Masih ngambeknya?” Nathan membuka percakapan sambil senyum-senyum.
“Ada apa, pagi-pagi kok udah ke sini?” Sahutku acuh tak acuh.
“Cha, aku fix nih mau naik ke Rinjani. Bos aku udah tanda tangan form cuti ku. Jadi yah, lusa aku berangkat sama Ikhsan dan yang lain.”
“Hah..!! Than, aku pikir setelah aku ceritain soal mimpiku kemarin, kamu urung berangkat. Kamu tetap mau naik ke Rinjani?” Nada suaraku mulai meninggi, karena kaget.
“Ya ampun Icha, ini masih soal mimpi? Bisa ngga sih kamu rasional dikit. Aku naik juga ramai-ramai Cha. Ngga sendirian. Kamu juga tahu aku sudah terbiasa naik gunung. Insya Allah akan aman-aman aja.” Suara Nathan juga sudah terdengar mulai meninggi.
“Nathan, ini mimpi yang sama seperti mimpi tentang Papah dan Bang Robby. Aku ngga berlebihan, aku bisa merasakan itu, kamu yang ngga bisa ngertiin aku Than. Aku itu ngga mau kehilangan kamu.”
“Konyol kamu, Cha. Jadi aku harus berdiam diri terus di kamar? Sampai kapan? Sampai kamu mimpi lagi?” Kali ini aku bisa merasakan amarah dari nada suara Nathan.

Aku hanya bisa menunduk dan menangis. “Aku punya kemampuan itu, aku bisa merasakan kalau orang-orang kusayang akan pergi. Aku ngga mau kamu pergi. Aku mohon”
“Cha, dengerin aku. Aku bersumpah aku akan berhati-hati, aku akan kembali dengan selamat. Untuk kamu.” Jawab Nathan sambil menggenggam tanganku.

Tidak ada yang dapat aku sampaikan, lidah ini kelu. Percuma merengek menahan Nathan. Dia tidak pernah percaya dengan ramalan dan sejenisnya. Aku terpaksa membiarkannya pergi.

Pagi ini terlihat cukup cerah, matahari sudah bersinar dengan terangnya padahal jam baru menunjukan pukul setengah tujuh pagi.
Aku tergesa-gesa menuju pintu rumah, aku tidak mau terlambat tiba di kampus. Dosen pembimbingku memberikan waktunya pagi ini untuk ku. Ya, ini adalah tahun terakhirku, dan skripsi ku sebentar lagi selesai. Wah, ternyata ojek online ku sudah menunggu di depan pagar. “Pas, semoga ngga telat deh,” ujarku dalam hati.

Di dalam perjalanan aku teringat dengan Nathan, ini sudah hari ke lima sejak keberangkatannya ke Lombok. Telepon terakhir darinya yaitu lima hari yang lalu, Nathan menyampaikan kalau dia sudah di Desa Senaru dan akan bermalam di sana. Lalu akan berangkat dari sana pagi-pagi menuju Gunung Rinjani.

Aku masih tidak percaya, Nathan bisa tidak memperdulikan mimpi-mimpiku. Dia tidak perduli sama sekali dengan firasat ini. Entah apa yang terjadi padanya saat ini, dengan perasaan yang masih sangat khawatir, aku hanya bisa berdoa dalam hati untuk keselamatannya. Semoga Nathan baik-baik saja di Rinjani.

Perasaan ini makin bergejolak, perasaan takut kian memuncak. Pikiran ku selalu tertuju pada Nathan. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh, perasaan sedih yang amat sangat. Astaga, aku tidak dapat berkonsentrasi. Entah apa saja yang telah disampaikan oleh Dosen Pembimbingku. Sekelebat aku dapat melihat Nathan, sesaat ketika mataku terpejam. Nathan terjatuh. Gelap. Aku buka lagi mataku. Kini jantungku mulai berdegup kencang. Kucoba menutup kembali mataku, dan berkonsentrasi. Kali ini aku hanya melihat kegelapan, tunggu, aku melihat sesuatu....Aku melihat darah!!

“Icha! Kau mendengarkan saya tidak?” Tersontak aku kaget dengan suara keras berlogat khas daerah Sumatera. Pak Hendrik Siagian, dosen pembimbingku membanting berkas skripsi tepat di depat wajah ku.
“Maafkan saya, Pak. Maaf, saya sedang kurang enak badan. Sekali lagi maaf, Pak.” Buru-buru aku meminta maaf padanya. Bodohnya aku.
“Kalau kau sakit, kau istirahat saja di rumah, jangan malah memaksa bimbingan. Hasilnya kau malah tidak bisa konsentrasi. Kau pulang sajalah, nanti kau atur lagi saja waktu bimbingan dengan saya.” Suara Pak Hendrik terdengar sangat tegas. Aku benar-benar jadi merasa sangat bersalah.
“Baik, Pak. Saya ijin pulang dulu. Saya akan cari lagi jadwal yang tepat dengan Bapak. Sekali lagi mohon maaf, Pak.” Ucapku lirih.

Ada apa ini, harusnya aku bisa konsentrasi. Tapi apa yang sedang terjadi dengan Nathan? Apakah dia benar-benar terjatuh di sana? Ya Allah, tenangkanlah hati hamba Mu ini.

Hari ke delapan setelah kepergian Nathan ke Lombok. HP nya masih tidak dapat dihubungi.
Begitu juga dengan Ikhsan sahabatnya yang sama-sama berangkat k Rinjani. Perasaan ini makin tidak menentu.
Hujan malam ini sangat tidak bersahabat, begitu deras begitu memukul hati. Ada apa dengan kamu Nathan?

“Cha, buka pintu, Cha!” Suara Mamah terdengar dari balik pintu.
“Ada apa, Mah?” Jawab ku sambil membuka pintu.
“Ada tamu di depan, sana temui dulu.”
Tamu? Hujan-hujan begini? Memang belum terlalu malam, tapi hujan deras malam ini pasti membuat siapa saja malas untuk keluar rumah.
Segera aku turun menuju ruang tamu, dan begitu sampai di sana aku langsung melompat kaget.
“Hai cantik, masih sore sudah di dalam kamar aja.” Suara Nathan terdengar sedikit serak, tapi tetap lembut.
“Nathan!!” Hati ini terlampau senang, hingga aku refleks memeluknya erat.

Di Rinjani cuaca sangat bagus, cerah dan tidak ada hujan sama sekali. Tapi karena cuaca yang sangat bersahabat, Nathan dan teman-teman sedikit lupa dengan waktu, mereka terlalu asyik mengeksplor kecantikan Rinjani dengan kamera mereka masing-masing. Sinyal pun tidak ada, itulah yang membuat Nathan tidak dapat dihubungi sama sekali.
Spoiler for Rinjani:

Waktu seakan berhenti untuk mereka. Setibanya mereka di danau Segarra Anak, tanah yang mereka injak masih terasa basah dan licin, sepertinya turun hujan kemarin di daerah danau dan sekitarnya. Di saat mereka menanjak ke arah Plawangan Senaru, Nathan sempat terjatuh, karena tanah benar-benar licin. Tapi tidak ada satupun luka yang serius. Nathan pun menunjukan sedikit luka baret di siku tangan dan lututnya.

Entah mengapa hati ini menjadi tenang mendengar Nathan bercerita. Seperti menghirup udara di pagi hari, semua terasa begitu menyegarkan dan damai. Mungkin Nathan benar, mungkin aku terlalu berlebihan dalam menanggapi mimpi itu. Nyatanya Nathan bisa sampai dengan selamat tanpa kurang satupun. Ditambah lagi hati ini menjadi tenang kembali.

Hujan telah lama reda, tapi kami asyik mengobrol. Hingga tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam lewat.Tak ingin melepas Nathan pulang, karena hati ini masih teramat rindu dengannya. Tapi, malam sudah semakin larut dan tidak elok rasanya kalau Nathan harus berlama-lama sampai selarut ini.
Nathan pun pamit pulang, dan Mamah juga masih terjaga. Setelah berpamitan dan mencium tangan Mamah, Nathan menuju motornya. Aku mengantarkan Nathan dengan hati senang dan damai. Lelaki ini, yang sangat aku sayangi dan banggakan. Kami juga berjanji untuk bertemu esok sore, sepulangnya aku dari kampus.

“Aku pulang ya, cantik. Sampai ketemu besok sore yah.” Pamit Nathan lembut.
“Sampai besok. Kalau sudah sampai rumah, kabari aku yah. Telpon aku, jangan lupa..” Aku menjawabnya dengan sangat lembut.
Nathan pun berlalu dengan motornya, melaju membelakangi aku yang berdiri di depan pagar.
Sekelebat aku melihat bayangan hitam di belakang punggung Nathan, bergerak cepat dari bawah ke atas. Gelap. Teramat gelap. Seketika itu pula aku tahu, apa yang akan terjadi...

“Gadis bodoh, Icha... Icha.. kenapa sih kamu begitu naif percaya mimpi. Di jaman yang serba canggih masih ada aja yang percaya dengan firasat-firasat ngga jelas.”

“Nih buktinya sudah seminggu lebih sejak mimpi-mimpi kamu, aku baik-baik saja. Puncak Rinjani pun sudah aku lewati. Dan nyatanya, aku baik-baik saja. Icha, lain kali kamu harus lebih banyak dengerin Sthepen Hawking ketimbang Nostradamus. Ramalan kok di percaya.”

Nathan masih saja tersenyum mengingat pembicaraannya tadi dengan Icha. Gadis yang sangat dicintainya. Sambil menunggu bergantinya lampu merah di perempatan, Nathan teringat dengan senyum manis Icha saat di pintu tadi. Janjinya untuk bertemu besok sore dan rencananya untuk memberikan kejutan sore nanti. Sebuah cincin. Ya, Nathan berencana untuk melamar Icha besok sore. Dua tahun bersama gadis itu membuatnya yakin, Icha lah sosok yang tepat untuknya.
Spoiler for di motor:

Lampu merah pun berganti dengan hijau, membuyarkan lamunan Nathan akan Icha. Segera ia memacu motornya untuk melaju. Di arah kanan, sebuah motor melaju dengan sangat kencang, tanpa memperdulikan lampu lalu lintas, motor itu tidak sempat menarik remnya ketika berhadapan dengan motor Nathan. Braaakk..., keduanya beradu dengan sangat keras. Jalanan terlalu licin bagi kedua motor tersebut untuk menghentikan motornya. Keduanya pun terjatuh, berguling-guling ke arah yang berlawanan. Darahpun di mana-mana. Sepi. Tidak ada satu orang pun yang menolong. Gelap, hanya ada darah yang mengalir dari pelipis dan mulut Nathan...

“Icha, aku mencintaimu..”

Waktu menunjukan hampir jam 12 malam, sepertinya hujan akan kembali turun. Rintikannya sudah mulai membasahi tanah kembali. Icha hanya terduduk memandangi jendela. Ia terus menggenggam HP nya, menunggunya berbunyi, menanti kabar dari kekasih hatinya.
Spoiler for menanti:

Bayangan hitam itu, hatinya kembali berkecamuk. Ada apakah ini? Kenapa hati ini tidak tenang. Firasat ini datang kembali. Ya Allah...
Tanpa disadari matanyapun mulai basah dengana air mata. Tiba-tiba di saat hatinya kian tidak menentu, HP di gengamannya pun berbunyi. “Nathan?”
Spoiler for nathan:




Spoiler for disclaimer:
Diubah oleh kaksus10 25-01-2018 22:14
0
12.1K
72
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan