- Beranda
- Komunitas
- News
- Media Indonesia
Laut Bercerita Biru Laut


TS
Media Indonesia
Laut Bercerita Biru Laut

“AKU merasakan arus bawah laut itu berputar-putar memelukku. Begitu erat, begitu hangat, seolah aku adalah bagian dari laut ini. Mungkin itu sebabnya Ibu dan Bapak memberiku nama Biru Laut. Semakin dalam, entah berapa ribu meter aku melayang menuju dasar. Dan akhirnya tubuhku berdebam melekat ke dasar laut, di antara karang dan rumput laut disaksikan serombongan ikan-ikan kecil yang tampaknya iba melihatku,” kata Biru Laut.
Biru Laut merupakan tokoh utama dalam novel kedua Leila S Chudori berjudul Laut Bercerita (2017). Sepenggal cerita di awal paragraf tadi membuka novel baru tersebut yang mengkisahkan sejumlah aktivis dan mahasiswa, yang hilang tak jelas rimbanya hingga sekarang akibat gejolak politik era 1998. “Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan kawan-kawan... dengarkan ceritaku...,” lanjut Laut, bercerita.
Leila menulis novel Laut Bercerita (2017) berdasarkan riset mendalam kepada sejumlah tokoh yang mengalami secara langsung peristiwa 1998. Seperti dalam novel sebelumnya, yaitu Pulang (2012), Leila berupaya memaparkan peristiwa 1998 sedetail mungkin agar pembaca mampu merasakan apa yang pernah terjadi kala itu.
“Meski karakter-karakter utama dalam novel adalah fiktif, namun penggambaran pengalaman mereka terinspirasi oleh kisah yang dipaparkan para aktivis 98 dan kawan-kawannya,” jelas Leila.
Menurut Leila, sebetulnya banyak orang yang sudah membaca atau mendengar testimoni dari para korban, baik melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun sumber lainnya. Namun, Leila kemudian meminta salah satu korban untuk menuliskan testimoninya lebih dalam dan melibatkan perasaan.
“Saya ingin menulis kisah anak-anak yang pada saat itu masih berusia 20 tahunan dan saya ini juga seorang Ibu. Saya melihat hal itu sebagai sesuatu yang sangat berat sekali bagi mereka, dan saya tertarik untuk menceritakan dari sudut pandang keluarga karena mereka adalah pihak yang ditinggalkan,” tutur Leila.
Salah satu representasi pihak keluarga korban diceritakan Leila lewat adik Biru Laut, yaitu Asmara Jati. Seperti dalam sinopsis novel Laut Bercerita (2017) yang diterima redaksi Harian Media Indonesia, dikisahkan Asmara beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang dan merekam serta mempelajari testimoni mereka yang kembali.
Para orang tua, istri, dan kekasih para aktivis yang hilang dengan setia dan tabah terus-menerus menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Namun, sampai presiden berganti beberapa kali, nasib para aktivis yang hilang masih belum jelas.
Sementara itu, tokoh lain yang turut diceritakan Leila dalam novel Laut Bercerita (2017) ialah Bapak dan Ibu Arya Wibisana atau orang tua Biru Laut, pacar dari Biru Laut, yaitu Ratih Anjani, Intel dan Penjaga Penjara, teman Biru Laut yaitu Alex Perazon, Sunu Dyantoro, dan Naratama. Melalui novel tersebut, Leila tidak hanya menceritakan bagaimana kelamnya suasana yang dihadapi mahasiswa kala terjadi peristiwa 1998, tapi juga menceritakan persahabatan para aktivis, roman di antara mereka, serta pengkhianatan di dalam kelompok.
Peluncuran perdana novel Laut Bercerita (2017) berlangsung di Institut Francais Indonesia (IFI), Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (12/12).
Editor Senior Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Christina M Udani yang datang mewakili KPG memberi dukungan atas karya Leila dengan menjadi mitra penerbitnya. “Tujuannya adalah untuk memperkaya dunia sasta Indonesia dengan karya yang berkualitas serta memanjakan para pencinta karya Leila yang sudah tidak sabar menunggu novel berikutnya,” tutur Christina.
Presentasi film pendek
Leila selalu mempresentasikan karya terbarunya secara menarik. Jika pada peluncuran kumpulan cerita pendek 9 Dari Nadira (2009) Leila menampilkan theatrical reading, dan menampilkan pementasan dramatical reading dalam peluncuran Pulang (2012), pada kesempatan ini ia menampilkan film pendek.
Film berdurasi 30 menit yang ceritanya diadaptasi dari Laut Bercerita (2017) itu diproduksi Cinera Films dan Yayasan Dian Sastrowardoyo. Sejumlah aktor papan atas seperti Reza Rahardian (Biru Laut), Ayushita Nugraha (Asmara Jati), Dian Sastrowardoyo (Ratih Anjani), Tio Pakusodewo (Arya Wibisana), dan lain-lain.
Pemutaran film pendek yang diproduksi selama tiga hari itu turut dihadiri Wahyu Susilo. Ia adalah adik kandung aktivis sekaligus penyair asal Solo Wiji Thukul, yang ikut dinyatakan hilang pada peristiwa 1998. Menurut Wahyu, Wiji Thukul dideklarasikan hilang paling terakhir ketimbang sejumlah aktivis lainnya.
Kala itu, Wahyu dan sekeluarga mengasumsikan bahwa setelah rezim Soeharto tumbang maka sejumlah aktivis yang diculik termasuk kakaknya akan dipulangkan. Namun demikian, pada kenyataannya mereka semua belum pulang hingga sekarang.
“Jadi, dengan adanya novel dan film ini, lalu kemarin juga ada inisiatif dari teman-teman membuat film untuk Wiji Thukul berjudul Istirahatlah Kata-Kata (2016), mungkin tidak dapat secara langsung menggerakkan hati para petinggi kita, tetapi melalui hal itu kita juga dapat menjaga ingatan anak muda jaman sekarang bahwa di balik kebebasan mereka membuat status di media sosial saat ini, ada nama-nama mereka yang sampai sekarang belum pulang,” tuturnya.
Salah satu korban peristiwa 1998 yang sempat diculik kemudian berhasil pulang, yaitu Nezar Patria turut diundang untuk menceritakan kesaksiannya. Menurut Nezar, kabar orang hilang saat itu telah menjadi isu nasional.
Bagi Nezar, salah satu hal yang paling menyetuh hatinya ialah cerita soal keluarga korban peristiwa 1998. Sekarang ini, ada banyak orang tua yang sudah berpulang dan belum sempat menemukan anak mereka yang dinyatakan hilang.
“Salah satu contohnya adalah Almarhum Ibunya Yani Afri, saya tahu betul beliau adalah orang yang gigih dan luar biasa perjuangannya. Sayang sekali itu agak luput dalam eksplorasi kita kali ini. Ada juga orang tua Nova. Saya juga ingat adiknya Nova pernah bercerita kepada saya bagaimana ayahnya itu setiap malam menunggu Nova pulang, dan di atas meja makan itu selalu ada kopi dan piring buat Nova,” tutur Nezar, dengan nada bicara yang mulai terdengar lirih.
Nezar yang selamat dari babak kelam itu mengaku tidak pernah menyangka dirinya bisa pulang. Ia tidak tahu bagaimana dirinya bisa selamat dan merasa punya hutang besar dengan kawan-kawan yang sampai sekarang belum ditemukan. Bagi Nezar dan kawan-kawan seperjuangan, peristiwa 1998 adalah mimpi buruk yang hingga saat ini tak pernah berhenti menghantui.
Pemutaran film pendek Laut Bercerita (The Sea Speaks His Name) (2017) ditutup dengan suasana haru. Menit terakhir film tersebut menampilkan lagu karya John Tobing berjudul Darah Juang dan membuat sebagian besar pemirsa meneteskan air mata mengingat kepergian Laut dan kawan-kawannya. (M-2)
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...aut/2017-12-16
---
Kumpulan Berita Terkait :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
2K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan