firdausikalAvatar border
TS
firdausikal
GOEDEMORGEN [Kepada Mantan]

Spoiler for Utrecht:

/1/
Aku sadar aku sedang bermimpi.

Jalanan di kota Utrecht demikian sepi, padahal di waktu-waktu seperti ini biasanya aku menemukanmu berdiri di sini memandang langit dalam hening yang panjang. Air kanal di kanan jalan nampak tenang, hanya riak-riak kecil air yang menyentuh dinding kanal. Tak ada perahu yang simpang siur di sana, yang pemiliknya terkadang memberikan lambaian tangan sambil tersenyum bahagia. Toko-toko dan cafe-cafe kukira masih menerima pelanggan tetapi di dalamnya tak ada seorangpun yang kutemui—bahkan di sepanjang jalan menuju tempat ini.

“Waar is iedereen?”1* ucapku seraya memandang ke segala penjuru, mungkin saja kalau beruntung aku bisa menemukanmu. Tapi tetap saja tak ada siapapun, seolah hanya aku yang tersisa dan bertahan hidup di kota ini. Aku berjalan sedikit menjauh ke sudut kota, berjalan lama sekali. Di atas sana, langit tak pernah berganti rupa, masih saja senja. Kulihat jam di pergelangan tanganku berhenti berputar, udara diam. Waktu tertahan sedemikian rupa, meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Wat gebeurde er met deze stad?2*

Aku melewati Dom Tower of Utrecht yang terkenal itu, kupikir tak ada salahnya jika aku naik ke puncaknya. Awan mendung mengambang di atas rumah-rumah yang kelihatan kecil dari sini. Aku menyesap dalam-dalam udara, merasakan kehidupan dari ketinggian, mencari yang tak mungkin kudapatkan. Tembok-tembok batu bata yang disebagiannya terdapat lumut-lumut hijau, dihiasi goresan-goresan huruf tangan-tangan usil, warna-warna pudar, retakan-retakan kecil, aku tahu umurku bertambah tua. Keluasan langit di atas sana, kadang membuatku ingin terbang saja. Kubayangkan dipunggungku tumbuh sayap-sayap halus serupa angsa—menjelma malaikat. Bukankah mengasyikan bila aku bisa terbang dan mengajakmu pergi mengunjungi tempat-tempat impianmu sambil merasakan lembut hembus angin dan hangat matahari di musim dingin? Aku tersenyum membayangkannya.

Setelahnya kulewati katedral-katedral, museum-museum, kanal tua Oudegracht, sempat tersesat di beberapa jalan kecil menuju kediamanmu, tetapi masih saja aku tak menemukan siapapun. Lelah berjalan, aku singgah di sebuah cafe kesukaanmu. Aku memesan kopi pada diriku sendiri, sebab aku yang meracik dan menyuguhkan kopi itu di mejaku, aku tertawa. Sungguh lucu sekali. Dalam keheningan yang absurd, aku memandang cermin kaca di sampingku yang memantulkan wajahku sendiri, wat doe je meestal als je alleen voelen?3*

/2/
Aku sadar aku sedang bermimpi.

Tak ada yang tahu keberadaanku selain diriku sendiri. Tapi bukankah memang hanya aku yang tersisa dari kota ini? Utrecht senja hari memang berbeda, apalagi ketika tak ada sesiapa di dalamnya. Teman-temanku yang sedang berada di kota lain tak bisa kuhubungi. Ponselku, entah bagaimana bisa, menjadi tak berfungsi sama sekali. Aku sudah mencoba menelepon lewat telepon-telepon di penginapanku dan beberapa penginapan lain, tapi tak ada yang berhasil. Pada satu kesempatan aku berpikir ini sungguh menyeramkan.

“Wat moet ik doen?”4* kataku sambil meneguk kopi panas ini, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang harus kulakukan untuk bisa menemukanmu lagi, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang membuatku harus mengurungkan niatku ini. Aku menyetel ulang kamera yang menggantung di leherku, melihat hasil foto-fotoku. Memilih beberapa yang bagus dan yang pantas dihapus. Bangunan-bangunan tua, kanal-kanal yang sepi, gugur-gugur daun di pinggir-pinggir jalan, gradasi warna dan cahaya yang melewati celah pepohonan, keramaian redup lampu-lampu di etalase toko roti, kincir angin yang tak berputar, aku menemukan ada yang membuat keindahan-keindahan itu tak sempurna. Ketidakhadiranmu.

Belum sempat aku menghabiskan kopiku ini, aku melihat sekilas bayanganmu berjalan di luar cafe melewatiku. Aku bergegas keluar untuk memastikan bahwa itu sungguh-sungguh kamu. Tapi tak ada siapa-siapa di sana, hanya jalanan kosong yang sama. Barangkali aku salah lihat, aku memandang langit senja sebelum berlalu pergi. Kupilih beberapa lagu pada ponselku dan kudengarkan seksama, meski tak muncul suara apa-apa. Sungguh, sejak aku tiba di kota ini, tak sekalipun aku bisa mendengar suara bahkan suaraku sendiri. Benar-benar tak dapat dimengerti. Aku berpura-pura menikmati lagu dengan menyanyikan lirik-liriknya di dalam hati. Setidaknya aku bisa mendengar jelas suara hatiku sendiri. Liefde is één grote illusie, Ik moet proberen te vergeten. Maar er is iets achtergelaten in mijn hoofd.5*

/3/
Aku sadar aku sedang bermimpi.

Sebelum pulang ke penginapanku yang berada di ujung jalan, aku memutuskan untuk menikmati senja sekali lagi. Jam masih menunjukkan waktu yang sama, padahal barangkali sudah berjam-jam lamanya aku berjalan ke sana ke mari. Bila waktu tak berjalan, semacam diberi jeda, segalanya berhenti seketika, aku dengan senang hati akan membaca buku sepuasnya di toko buku tanpa takut ditegur pemilik toko, menikmati eskrim beraneka rasa tanpa takut eskrimnya mencair, menonton film-film di bioskop tanpa perlu melihat jam di pergelangan tangan karena khawatir pulang terlalu malam, atau mencintaimu dalam keabadian. Benarkah waktu memang sudah berhenti, atau mungkin hanya jam tanganku saja yang memang sudah rusak, aku tak begitu peduli. Aku bersandar pada tembok jembatan yang dibawahnya mengalir sungai kecil, memantulkan bayanganku samar-samar. Sebentar lagi mungkin hujan, aku mulai bosan.

Kuambil beberapa gambar, dan kupikir semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku kaget ketika aku mulai kehilangan warna-warna. Semua hasil fotoku berubah menjadi hitam putih, tak ada merah muda, biru langit, hijau daun, atau kuning jagung. Aku lihat satu persatu foto-fotoku, tak ada satupun yang memiliki warna. Entah mengapa aku cemas pada diriku sendiri. Ketika aku melihat sekelilingku, aku terpana. Gedung-gedung, jalanan, pepohonan, segala yang kulihat, segala yang kukenal kehilangan warnanya. Aku melihat bajuku, sepatuku, topiku, seketika aku berlari mencari cermin untuk melihat diriku sendiri—semuanya berubah menjadi hitam putih, termasuk tubuhku. Aku terkesiap dan bergumam sendiri, “Waar gaat dit allemaal over?”6*

Aku berlari, mencari. Mungkin masih ada warna-warna yang tersisa. Mungkin ada seseorang yang bisa menjelaskan semuanya. Mungkin aku bisa mendengar kembali suara-suara. Mungkin waktu bisa kembali berputar bila aku berlari sekuat-kuatnya. Hujan turun perlahan-lahan. Hujan hitam putih.

/4/
Aku sadar aku sedang bermimpi.

Dokter pribadiku pernah bertanya, “Weet je over Lucid Dream?”7* Tangannya sibuk mencatat daftar obat yang harus kuminum untuk satu bulan ke depan. Sial, aku benci obat-obatan. Mungkin setelah nanti pulang, obat-obat itu aku simpan saja di dalam pojok lemari yang luput dari jangkauan pandanganku supaya aku mudah melupakannya, pikirku.

“Wat is dat? Ik weet het niet.”8* tanyaku kebingungan. Tapi dokter pribadiku ini tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya memberiku resep obat sambil tersenyum. Aku melihat sekilas resep obat ini, lalu berlalu keluar setelah mengucapkan terima kasih. Sejak setahun lalu, perutku bermasalah. Mungkin terlalu banyak makan makanan yang pedas, atau bisa saja karena aku terlalu banyak memikirkanmu. Aku tertawa memikirkan kemungkinan itu.

Hujan tak lekas berhenti. Keadaanku basah kuyup ketika sampai di depan pintu penginapanku—pintu hitam putih, dinding hitam putih, lampu hitam putih, kasur, lemari, meja kerja, tubuhku masih hitam putih. Ada yang salah dengan seluruh inderaku hari ini. Aku bergegas mandi, mencari makanan, menyalakan televisi. Aku melihat jam dinding berhenti pada waktu yang sama dengan jam tanganku. Langit di seberang jendela gelap, tapi masih senja hari. Matahari belum mau tenggelam, aku masih melihatnya di sana meskipun tertutup mendung. Televisi tidak menampilkan apa-apa, hanya layar biru dengan suara bising yang mendengung.

Sebentar. Mendengung? Aku berteriak kegirangan, seperti orang gila. Hei, aku kembali bisa mendengar suara-suara! Aku mencoba memainkan sedikit lagu dengan piano tuaku, dan nada-nadanya terdengar nyata. Perlahan-lahan, bunyi hujan terdengar dari luar. Kecil, tak berapa lama kemudian terdengar deras, terdengar keras, terdengar jelas. Pandanganku beralih pada tubuhku, bajuku, topiku, semuanya kembali memiliki warna. Seluruh ruangan kembali memiliki warna. Aku segera mengecek hasil fotoku, memindahkannya ke dalam laptopku, memastikan bahwa semuanya memiliki warna. Aku memburu jendela penginapanku, melihat warna-warna yang biasa kujumpai setiap hari—langit, pepohonan, tembok-tembok bangunan, dan kehadiranmu.

Aku melihatmu di luar sana, di bawah payung berwarna merah muda. Berdiri di pinggir lampu jalan yang sudah menyala, sementara orang-orang di sekitarmu sibuk berlarian menemukan tempat berteduh. Kurasakan jarum-jarum jam mulai mengelilingiku, waktu kembali berjalan normal. Aku tersenyum menemukanmu baik-baik saja. Kuhampiri dirimu yang kedinginan, lantas membisik pelan, “Ik heb eindelijk je gevonden.”9* Lalu tubuhku berubah perlahan menjadi transparan, semacam tembus pandang. Kota dan seluruh isinya menjelma sekumpulan debu yang beterbangan di udara sebelum pada akhirnya menghilang.

/5/
Cahaya matahari pagi menelusup celah jendela, menyentuh mataku dan memaksanya membuka. Segalanya tampak sama, kehidupan yang kulalui seperti biasa. Segelas kopi panas sebelum berangkat kerja, cuplikan-cuplikan berita, suara kecil detak-detak jarum jam di pergelangan tangan, dan kegembiraan yang sama yang kutemui di jalan raya. Aku tak pernah melewatkan satu haripun tanpa menyapamu—meski hanya sekadar mengucapkan selamat pagi. Aku senang, kadang tersenyum sendiri ketika kau membalas singkat ucapanku itu. Langit masih biru, dan warna-warna yang kulihat hari ini tampak sempurna. Sepertinya, aku hanya harus membiasakan diri menerima ketidakhadiranmu dan menggantinya dengan warna yang berbeda.

Kumainkan lagu-lagu kesukaanmu. Jalanan di kota Utrecht demikian sepi, aku jadi teringat mimpiku semalam. Aku senang menemukanmu baik-baik saja. Tapi kukira, sekarang aku harus bangun dari mimpi itu dan melanjutkan kehidupanku. Aku menyadari benar ada yang tak bisa kugapai meski aku memiliki sayap malaikat sekalipun. Kaca mobil di sampingku berembun. Dengan jari telunjuk kutulis kata-kata yang biasa kukirimkan kepadamu di saat-saat seperti ini, Goedemorgen. Bedankt voor alles.10*


Spoiler for Terjemahan:
anasabilaAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan anasabila memberi reputasi
2
2.6K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan