Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nanarenAvatar border
TS
nanaren
Berbanggalah Nur di Seluruh Dunia


Setiap langkah yang ku tempuh selalu ditemani dengan teriakan-teriakan namaku. Tapi bukan karena aku artis atau selebritis. Bukan karena aku anak pemilik sekolah ini, anak pengusaha kaya raya, atau bintang di sekolah. Sekali lagi bukan. Aku hanya bagian dari keluarga kecil dengan bapak seorang pekerja bangunan dan ibu seorang pedagang. Tidak ada karir khusus yang tengah aku tekuni, karena aku hanya bersekolah dan membantu ibu. Tentang teriakan itu, karena aku bernama “Nur”. Tidak, aku tidak sepenuhnya menyesal diberi nama “Nur” oleh orang tuaku. Dan aku tak mengerti mengapa nama “Nur” harus dijadikan bahan tertawaan mereka.

Opiniku mulai muncul. Aku sekolah dengan bantuan teman bapak dan beasiswa di sekolah ini. Aku menyebutnya beasiswa, ini kejaiban. Ini sekolah kelas tinggi. Tentu saja siswa yang bersekolah disini adalah orang-orang kelas menengah tinggi ke atas. Dan namanya –secara tidak langsung--mengarah kepada nama Eropa, dan negara barat lain. Ya, semacam “Cathrine”, “Laiura”, “Mark”, atau paling tidak “Siska”, “Fira”, “Randy”, dan lainnya. Aku tak perlu sebutkan satu persatu. Dan... tentu saja namaku terlalu kuno di telinga mereka. Bayangkan saja dalam sebuah absensi kelas.

“Camelia Agustina.”
“Hadir.”
“Rizki Ayu.”
“Ada.”
“Andika Saputra.”
“Saya.”
“Nurwati.”

Dan sontak seluruh penghuni kelas akan memandangku. Bagus kalau hanya memandang. Terkadang ada pula yang berteriak, “Nuurr......”, “Enuuuuuuuuur”, atau “Nurrrrrrrrrr”. Apa salahnya aku punya nama “Nur”?
Masih tentang penamaan, kalau memang kenyataannya aku tak diberi nama ala orang barat, mengapa tak dijuruskan ke arah nama Arab. Jika bapak menyukai kata “Nur”, mengapa tak dipanjangkan (mungkin) Nurul Istiqomah Rahmawati, atau (mungkin) lebih nge-trend-nya Nurma. Jadi aku punya panggilan yang lebih bagus. Tidak berbatas pada “Nur” dan “Wati”. Lagi pula apa yang menarik dari nama Nurwati. Hanya sebuah nama yang harus jadi ledekan di sekolah. Ini tidak keren. Akh bapak!

Awalnya aku tak terlalu peduli dengan teriakan mereka, bahkan sesaat aku menganggap itu sebuah panggilan sayang. Tapi lama kelamaan, seakan aku jenuh. Dan terkadang aku meluap-luap, tapi tak di depan mereka. Hanya telinga hatiku yang mampu mendengar teriakan-teriakan yang aku bisikkan.
Dan tepat pada suatu hari aku benar-benar geram. Bagiku mereka kelewatan. Setiap aku di kelas, saat di kantin, saat olahraga, bahkan saat di perpustakaan atau saat upacara, semua anak –tak terkecuali- meledekku. Yang lebih menjijikkan lagi, saat aku baru menapakkan kaki kiri ke kamar mandi, ada sebuah teriakan merdu.
“Nuuuuuuuuuuurrrrrrrrrwati.”, begitulah kiranya dengan nada C minor kemayor-mayoran dan vibra yang terdengar jelas. Ini sebuah penghinaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Ya, ini hak kebebasan mempunyai nama. Dan orang itu harus dihukum. Tapi kalau aku mengajukan hal ini ke pengadilan tentu aku akan ditertawakan atas ajuanku atau....mereka juga akan menertawakan namaku.

Aku mengambil segayung penuh air –untung bukan air dari toilet- dan ku siramkan tepat di wajah penyanyi kamar mandi itu.
“Maaf ya, salah buang.”, alibiku. Aku langsung berlari keluar dan menuju kelas dengan napas tak karuan. Semoga ini bukan dendam kesumat yang ia simpan di benaknya, dan....aku pulang dengan tidak aman. Maka untuk berantisipasi, aku akan langsung berhambur keluar kelas dan cepat-cepat pulang ke rumah setelah bel pulang.

Hujan masih asyik membuang waktuku. Sudah hampir satu jam aku berteduh dan tidak ada kesempatan untuk aku berlari ke rumah.
“Ya Tuhan, aku bosan...”, aku mengeluh sendiri. Handphone-ku tertinggal di rumah dan disini sepi. Warung cukup jauh dan aku tak menemukan orang melintas di depan pandanganku. Sedang langit mulai gelap dan kehilangan penerangnya.
“Hmft!”, untuk kesekian kalinya aku membuang nafas dengan kesal.
“Basah semua....”, keluhan anak kecil ini mengagetkanku.

Mulutku sibuk komat-kamit membaca ayat kursi, dan setelah aku yakin anak yang datang basah kuyup ini bukan tuyul atau semacamnya, aku mulai menyapanya.
“Kamu ngapain disini?”, aku menatapnya. Bajunya lusuh dan basah. Benar-benar basah. Menurutku bisa diperas.
“Berteduh.”, ucapnya dilanjutkan senyum dengan menampakkan giginya yang tidak penuh seperti anak kecil pada umumnya yang suka makan permen.
“Bajunya emang udah basah, tapi biar nggak tambah basah. Lagian, Nur capek abis keliling.”, lanjutnya.
“Nur?”, aku sedikit tersinggung dengan panggilan dirinya. Bagiku anak ini tidak sopan sama sekali. Dia harus tahu sopan santun.
“Iya.”, jawabnya singkat.
Aku menutup nama di kanan bajuku.
“Apa kamu nggak bisa memanggil saya dengan Mbak atau Kakak? Kenapa harus Nur?”, kali ini aku memberanikan diri menegur. Dibenakku dia anak kecil dan aku tidak mengenalnya.

“Aku Nur, nama aku Nur. Aku memanggil aku Nur.”, tangannnya menunjuk ke arah mukanya.
“Nama kamu Nur juga?”, aku sedikit canggung dan merasa bersalah.
“Iya, kakak juga Nur?”, jari telunjuknya mengarah kepdaku.
“Iya,...”, aku tersenyum dan tertawa. Ia pun ikut tertawa.
Ini aneh dan lucu!
“Kita adalah dua Nur yang bertemu.”, ucapku mantap.
“Bertemu di suasana yang tidak terang.”, timpalnya.
Aku terdiam sejenak.
“Maksud kamu?”
“Kata Pak Kyai, Nur itu artinya cahaya. Cahay itu kan dibutuhkan dalam gelap.”, ucapnya terbata dan matanya menerawang ke arah ingatan tentang ucapan Pak Kyai-nya.
“Iya, tapi nama Nur tidak keren sama sekali di sekolahku.”, keluhku.
Ia menoleh dan menggembungkan pipinya.
“Nama Nur itu kuno di mata mereka.”
“Nur itu keren kok. Coba nggak ada cahaya, kita nggak bisa melihat.”

Aku hanya terdiam mendengar ucapannya.
“Cahaya itu tampak dan menampakkan. Cahaya itu hebat. Ada lampu dan kita menyebutnya cahaya, maka cahaya itu tampak. Ada orang dalam gelap dan diberi cahaya, maka dia terlihat. Jadi cahaya itu tampak dan menampakkan yang lain.”, tambahnya.
Tepat dan benar sekali! Aku berpikir bahwa Nur bukan anak kecil yang biasanya.
“tapi kak, bukan berarti cahaya itu paling sempurna. Ada cahaya kalau daya penglihatan mata kita lemah, maka kita tidak melihat dengan jelas. Jadi cahaya dan daya penglihatan adalah dua hal pokok yang saling terkait.”

Aku hanya melongo mendengar semua ucapan Nur.
“Nur sekolah?”, aku mulai membuka mulutku yang terkunci rapat. Aku kalah dengan anak sekecil ini.
“Dulu iya, kak. Tapi sampai kelas tiga, dan berhenti. Sekarang Nur bantu-bantu tetangga. Nganterin barang kayak gini.”, ia memperlihatkan banyak tas yang penuh dengan buntalan-buntalan kresek dan aku tak tahu isinya apa. Sehingga aku pun seakan diperlihatkan sesuatu yang tidak boleh aku lihat dengan cara yang tidak menarik.

Tapi aku sangat tertarik dengan pembicaraannya dan pengetahuan Nur. Pengetahuan yang lepas dari buku-buku pelajaran di sekolah. Ini tentang kehidupan. Ia mengerti benar tentang penyelesaian sebuah masalah yang aku hadapi. Meskipun –jika- ini hanya sebuah opini yang keluar dari pikiran seorang Nur, tapi ini masuk akal. Dan aku seharusnya bangga mempunyai nama “Nur”.

“Kakak lagi marah sama temen-temen, karena nama kakak yang Nur ini jadi tertawaan.”, keluhku.
“Tapi kakak nggak nyesel, kan?”, setiap ia melontarkan pertanyaan aku seolah terkaget-kaget.
“Pernah hampir...tapi sekarang tidak.”, aku tersenyum dan memegang telapak tangannya yang dingin.
“Ada bayak sekali keajaiban tentang cahaya. Cahaya yang menerangi dunia, cahaya yang membukakan pandangan kita. Dan Tuhan menjadikan mata kita sedemikian rupa agar penglihatan kita maksimal. Itu tentang cahaya juga.”
“Kakak nggak ngerti?”, aku agak bingung dengan dua kalimat terakhirnya.
“Mata.”, ia melebarkan kelopaknya.
“Pupil warnanya hitam, alis warnanya hitam, bulu mata warnanya hitam.”, ia menunjuk setiap anggota yang ia sebut seperti dalam sebuah perkenalan, bagi yang namanya disebut ia akan berdiri memberi hormat.
“Kalau alis putih udah tua.”, aku mulai tak seirus.
“Nah itu... Karena kita masih muda dan bagian-bagian mata banyak berwarna hitam, maka penglihatan kita masih jelas dan kuat. Warna hitam itu kan menyerap cahaya.”, tanganya melayang-layang mendukung kata-kata yang ia ucapkan.
“Iya...”, aku benar-benar membuka pikiranku lebar-lebar dengan pelajaran dari Nur.

Aku bayangkan aku memakai kaos hitam, celana hitam, kerudung hitam dibawah terik matahari. Dan itu panas. Gerah dan tidak keren sama sekali.aku kaitkan warna hitam yang memang menyerap cahaya. Bagian mata berwarna hitam agar dapat menyerap cahaya secara penuh, dan kita mampu melihat dengan maksimal. Ini perkiraan dan ilmu yang tepat. Lalu warna putih yang tidak dapat menyerap cahaya dengan baik, bahasa fisiknya adalah emisifitasnya nol. Buktinya baju putih yang menyilaukan mata. Dan Tuhan benar-benar sempurna! Tuhan Maha Segalanya! Mata sebagai indera penglihatan ini diatur sedemikian rupa. Subhanallah.
“Darimana Nur tahu begitu banyak hal tentang cahaya? Dia tidak sekolah, dia tidak tahu banyak teori tentang cahaya.”, aku mulai memutar otak dengan rasa penasaranku yang sangat tinggi.

Hujan mulai reda dan perjumpaanku dengan Nur harus ku akhiri. Aku akan menemui Nur jika aku masih membutuhkan pelajaran tentang cahaya atau mungkin hal lain. Aku mengangumi sosok Nur, sosok yang bisa membuatku tenang dan....bangga, aku bangga. Berkat Nur, berkat cahaya yang Tuhan kirimkan untuk membuka pandanganku.
Esok aku akan datang ke sekolah dan berbangga diri dengan namaku. Lalu aku tuliskan perjalanan dan pelajaran tentang cahaya, tentang Nur, di mading sekolah. Agar tidak hanya aku yang bisa bahagia. Karena Nur adalah cahaya, maka berbanggalah Nur di seluruh dunia.
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.2K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan