Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bijikudeAvatar border
TS
bijikude
[H2H Event] Rumpun Bambu dan Pohon Mangga
Dahulu, ada masa ketika matahari masih bersinar lembut, dedaunan hijau melambai dimainkan angin, dan air yang sejernih kaca mengalir di sungai berbatu.

Di sebuah hutan yang asri, terdapat banyak satwa liar dan pepohonan yang beraneka ragam jenisnya. Diantara banyak penghuni hutan itu, ada sebuah rumpun Bambu yang hidup bertetangga dengan sebatang pohon Manga. Mereka tinggal di tepi hutan, yang bersebelahan dengan jalan setapak yang sering di lalui oleh penduduk desa.

Sejak masih berbentuk tumbuhan muda dan rendah, mereka berdua sudah menjadi sahabat karib. Hingga bertahun-tahun lamanya dan mereka sudah menjadi tumbuhan besar dan lebat, Mereka hidup dengan saling tolong-menolong dengan sesama makhluk hutan yang lain.

Setiap pagi ketika mentari baru terbit di langit timur, pohon Mangga sudah menghibur si rumpun Bambu dengan nyanyian burung-burung yang hinggap di sela dahan, celoteh kera-kera yang singgah, dan juga rusa dan kijang yang berseliweran mencari rumput di sekitarnya.

Siang hari saat matahari bersinar terik, pohon Mangga yang daunnya rimbun itu menaungi si rumpun Bambu dari panas. Pun begitu ketika sore, mereka menari dihembus angin lembut yang menggoyangkan dahan dan batangnya, dan bersenandung lewat gemerisik dedaunannya.

“Hei, pohon Mangga. Hidup ini indah sekali, ya? Setiap hari, kita selalu bersama-sama menikmati berbagai perubahan di sekitar hutan.”

Pohon Mangga itu menanggapi obrolan santai sahabatnya. “Benar sekali, kawanku. Kita hidup berdampingan berdua. Dan setiap hari, kita selalu dikunjungi oleh teman-teman hewan. Sekadar singgah dan bertukar cerita. Bukankah hidup memang harus begitu, kawan?”

Begitulah, hari-hari mereka dijalani dengan berbagai obrolan dan cerita penuh canda tawa. Namun siapa yang sangka, kedua bertetangga ini memiliki satu sifat yang saling berbeda?

Ketika tiba musimnya, sang pohon Mangga mengeluarkan buah yang rimbun, dipenuhi aroma dan rasa yang menggugah selera. Pagi hari, hewan-hewan hutan hinggap di sekelilingnya.

Kera yang ahli memanjat bisa dengan mudah memetik buahnya. sedangkan untuk hewan-hewan yang tidak bisa memanjat, si pohon Mangga memilihkan buah-buah terbaik dan menjatuhkannya ke tanah supaya bisa dinikmati oleh hewan-hewan itu. Sambil mengucapkan terima kasih, para hewan memuji kebaikan hati sang pohon Mangga.

Di waktu lainnya, ada sekelompok petani yang baru pulang dari sawah. Mereka berjalan kembali menuju desa lewat jalan setapak yang ada di dekat pohon Mangga dan rumpun Bambu. Ketika melewati pohon Mangga, salah satu petani menunjuk kesana seraya berujar. “Hei, lihat. Pohon mangga itu berbuah, dan sepertinya sudah banyak yang matang. Marilah kita petik beberapa!”

Seorang petani lainnya menyahut. “Baiklah, mari kita petik. Tapi daripada repot memanjat, aku punya ide bagus!”

Petani itu mengeluarkan sebilah parang yang tersampir di pinggangnya, lalu berjalan mendekat kearah rumpun Bambu. Dipilihnya sebatang panjang, lalu ditebangnya hingga jatuh. Dengan batang bambu itu, si petani meraih buah-buah mangga yang berada di puncak pohon dengan mudah tanpa perlu repot memanjat ke atas pohon.

Setelah memetik beberapa, para petani mulai mengupas kulit buah dan memakannya sambil berteduh dibawah kerindangan si pohon Mangga. “Wah, sudah pohonnya rindang dan sejuk, buahnya pun banyak, dan rasanya enak sekali! Sudah lama sepertinya aku tidak memakan buah seenak ini! Aku ingin memetik lagi beberapa dan membawanya pulang kerumah. Anak-anakku pasti senang!”

Sang pohon Mangga gembira sekali mendengar ujian dari petani. Hatinya bersuka cita, mengetahui dirinya bisa menyenangkan hati manusia. Setelah para petani itu memetik beberapa buah dan pulang kerumah, sang pohon Mangga berseru riang pada sahabatnya, si rumpun Bambu.

“Kau dengar itu kawan? Bahkan manusia pun menyukaiku. Hatiku senang, ternyata buahku memberi manfaat bagi banyak makhluk.”

Tapi si rumpun Bambu tidak sependapat. Ia malah berbalas kata dengan nada marah. “Tak sadarkah engkau. Hei, pohon Mangga? Manusia itu makhluk yang tidak tahu diri! Lihatlah diriku, mereka menebang satu batang bambuku hanya untuk memetik mangga mu! Padahal, mereka hanya perlu memanjat sedikit, kan?! Kenapa sampai aku juga yang dikorbankan!”

Sang rumpun Bambu terisak, menangisi bagian tubuhnya yang ditebang manusia. Suara tangisannya yang pilu, membuat hati sang pohon Mangga tergetar iba. Padahal, si rumpun Bambu hanya berpura-pura. Dia sebenarnya iri dan dengki, melihat pohon Mangga selalu dipuji oleh hewan dan manusia, sedangkan dirinya diabaikan.

“Maafkan aku, kawanku rumpun Bambu. Aku tidak berpikir sampai kesana. Karena aku terlalu dibutakan oleh puji-pujian mereka, aku lupa bahwa kau jadi menderita karena buahku ini. Maukah engkau memaafkanku? Bagaimana caranya aku membuatmu bahagia kembali?”

Si rumpun Bambu memikirkan rencana. Kemudian dia bicarakan rencananya itu pada pohon Mangga. “Begini saja, sahabatku pohon Mangga. Lebih baik engkau berhenti berbuah. dengan begitu, para petani itu tidak akan lagi memotong bambu ku untuk memetik buah mu. Lagipula, berbuah pun sebenarnya juga merugikan dirimu. Nutrisi yang harusnya membuatmu tumbuh tinggi dan besar, malah kau gunakan untuk berbuah.”

Si pohon Mangga merenungi perkataan rumpun Bambu. Sebenarnya, ia masih ingin berbuah sebab itu satu-satunya manfaat yang bisa diberikannya pada makhluk hidup. Tapi di lain sisi, dia tidak ingin sahabatnya menjadi korban lagi.

“Baiklah, sahabatku rumpun Bambu. Aku akan berhenti berbuah selamanya, supaya engkau tidak lagi ditebang manusia yang ingin memetik buahku.” Sang pohon Mangga berjanji.

Beberapa tahun kemudian, kedua sahabat itu sudah tumbuh semakin besar dan tinggi. Mereka tetap menjalin persahabatan seperti sedia kala.

“Hei, pohon mangga. Lihatlah, kini dirimu sudah tumbuh pesat! Batang pohonmu lebar sekali, dahan-dahannya pun menjulang ke atas langit. Kini, engkau adalah pohon tertinggi yang ada di hutan ini!” sang rumpun Bambu memuji. Kemudian dibalas oleh si pohon Mangga.

“Ini semua berkat saranmu, kawan. Aku berhenti berbuah, hingga akhirnya aku kelebihan nutrisi dan tumbuh menjadi raksasa. Kini, akulah pohon yang paling besar dan tinggi di dunia ini! Hehehe…”

Ketika sedang berceloteh seperti itu, seekor kera muncul dan menyahut. “Pantas saja, sudah bertahun-tahun kau tidak berbuah, padahal kami menunggu untuk menikmati buahmu. Ternyata kau adalah pohon Mangga yang pelit!” si Kera langsung berlari pergi sambil berteriak lantang. “POHON MANGGA PELIT! POHON MANGGA SOMBONG! POHON MANGGA PELIT! POHON MANGGA SOMBONG!!!!!”

Hatinya terluka diejek Kera, sang pohon Mangga merenung. Ketika sedang asyik merenung, tiba-tiba hadirlah seekor burung gagak yang bijaksana, hinggap di dahan si pohon Mangga seraya memberikan nasehat.

“Engkau dulu dicintai karena engkau memberikan buah yang lezat pada manusia dan hewan. Sekarang mereka membencimu, karena engkau terlalu pelit mengeluarkan buah. Sebagai makhluk hidup, sudah seharusnya kita saling menolong. Keluarkanlah buahmu, wahai pohon Mangga. Jadilah berguna untuk makhluk lainnya. Hingga akhirnya nanti kau mati, kau akan dikenang sebagai pribadi yang baik budinya.”

Burung gagak kembali terbang. Setelah burung hitam itu terbang jauh, sang rumpun Bambu menimpali perkataan Burung bijak itu. “Jangan kau dengarkan Burung hitam itu, sahabat. Jangan pula kau dengarkan mereka yang mengejekmu barusan. Jadilah dirimu sendiri, toh mereka tidak tahu terima kasih walaupun sudah pernah kau berikan buahmu yang lezat itu.”

Pohon Mangga memikirkan dalam-dalam. Di satu sisi, dia ingin berguna bagi lingkungannya, dan dikenal sebagai pribadi yang baik. Si sisi lain, jika dia mengeluarkan buah lagi, bisa saja para petani itu menebang sahabatnya rumpun Bambu untuk dibuat galah lagi.

Selama berhari-hari, pikirannya tak tenang. Hatinya gundah. Sebab hidupnya yang terbiasa indah kini dirundung masalah. Hingga tanpa sadar, diatas sana, langit mulai pekat menghitam. Gelegar Guntur memenuhi angkasa. Petir sambar-menyambar dari langit. Hingga satu percikan petirnya menyambar puncak dahan si pohon Mangga yang tinggi menjulang.

BLAAAARRRRR…!!!

Si pohon Mangga kesakitan. Dahannya yang disambar petir itu terbakar. Dalam hatinya yang gundah, dia mulai menyadari kesalahannya. Seharusnya dia tidak tumbuh setinggi ini. Seandainya saja dia terus berbuah, dia tidak akan disambar petir karena tumbuh terlalu tinggi.

Ketika itu, hujan badai mulai turun. Angin bertiup kencang, menghembuskan air hujan. Pepohonan lain mulai merunduk, berkumpul menyamakan tingginya supaya tidak tersapu oleh angin badai ini. Tapi malang bagi si pohon Mangga. Karena tubuhnya terlalu tinggi, dia menjadi terhempas oleh angin badai.

Perlahan-lahan, batangnya yang besar itu mulai patah. Ranting-rantingnya berterbangan dibawa angin. Lalu, tubuhnya mulai rubuh, hingga akhirnya dia tergeletak tak berdaya di atas tanah. Sang pohon Mangga yang dahannya menjulang menunjuk langit itu akhirnya mati dengan penuh penyesalan.

Tapi nasib sahabatnya sang rumpun Bambu pun sama malangnya. Begitu badai berakhir, para penduduk desa berduyun-duyun datang sambil membawa parang. Seluruh batang bambunya di tebang tak bersisa. Para penduduk itu akan merubah batang bambu tadi menjadi bilik, untuk memperbaiki rumah mereka yang hancur di terjang badai.

Kisah persahabatan mereka berakhir, tapi nama mereka akan selalu dikenang para penghuni hutan. Si rumpun Bambu yang suka menghasut dan si pohon Mangga yang pelit dan sombong.



***SELESAI***




Spoiler for "extra":
0
3.4K
34
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan