Orang Ngomong tu Pasti Mikir. Jadi kalau ada yang ber Kata berpikirlah sebelum bicara itu HOAX ..
Pepatah yang mengatakan berpikirlah sebelum berbicara itu hoax gan. Faktanya, otak manusia itu seperti komputer ada input, proses output.. bagaimana bisa manusia ada output tanpa ada proses? Jadi aku yakin setiap orang ngomong itu pasti berpikir kecuali orang gila.. yang ngomong nya asal.. Jadi karena orang ngomong itu pasti berpikir.. maka gak bisa bilang saya khilaf gitu aja.. kamu harus mempertanggung jawabkan omongan mu itu ya gak? Apalagi kalau ada orang yang bilang
bicara kok gak pake otak.. mana mungkin..?
Ni aku ada artikel bagaimana proses berpicara dapat terjadi..
Quote:
Berbahasa adalah cara manusia berkomunikasi antar sesama. Berbahasa meliputi membaca, menulis, dan berbicara. Untuk dapat berkomunikasi manusia terlebih dahulu harus mengerti suatu bahasa. Setelah itu baru ia dapat memproduksi bahasa.
Manusia memahami suatu kata dari pengalamannya atau imanjinasinya. 1 Manusia mendapatkan kosakata dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan sebagainya. 1 Area cerebrum yang mengitegrasikan semua stimulus ini menjadi kemampuan berbahasa adalah area Wernicke. Area Wernicke terletak pada ujung posterosuperior girus temporalis superior. Area Wernick berdekatan dengan area pendengaran primer dan sekunder. Hubungan antara area pendengaran dengan area Wernicke memungkinkan adanya interpretasi bahasa terhadap apa yang didengar. Selain berhubungan dengan area pendengaran, area Wernicke juga berhubungan dengan area asosiasi penglihatan. Oleh karena itu pemahaman bahasa juga dapat terjadi melalui membaca. 2 (Gambar 1)
Gambar 1. Area Wernicke serat hubungannya dengan area lain. Area Wernicke menerima informasi dari area auditorik, visual, serta area interpretasi somatic.
Bagian otak yang berperan dalam produksi suara adalah area Brocca. Area Brocca terletak pada girus frontalis inferior di antara ramus ascendens anterior dan ascendens posterior fisura lateralis(area brodmann 44 dan 45). Area ini berfungsi untuk menimbulkan pola motorik pada laring, sistem respirasi, serta otot untuk berbicara. 2,3Area lainnya yang berperan dalam produksi suara adalah insula, yang berperan dalam pembentukan artikulasi.1
Area Wernicke berhubungan dengan area Brocca melalui fasiculus arcuatus. Pada proses berbicara area Wernicke memahami bahasa dan Area Brocca mengatur produksi suara. Area Brocca selanjutnya mengirimkan informasi ke area motorik untuk menghasilkan gerakan produksi bicara.(Gambar 2)3
Gambar 2. Proses pembentukan bicara setelah stimulus visual. Stimulus penglihatan diterima corpus geniculatorius lateral, selanjutnya dikirim ke area visual primer. Dari area visual primer stimulus disampaikan ke area 18, lalu ke 39 sebelum sampai ke Area Wernicke. Di area Wernick terjadi interpretasi dan proses pemilihan kata. Stimulus ini disampaikan ke area Brocca untuk menciptakan pola motorik sebelum menuju area motor primer.
Jadi istilah yang tepat menurutku berbicara harus TEPA SELIRA.. Ya.. tepa selira itu ada di keseharian bangsa Indonesia ada di PKN dimuat berdasarkan sila ke 2 tentang kemanusiaan.. sebelum bicara pertimbangkan jika diterapkan pada diri sendiri apa menyinggung perkataan kita..
Quote:
Hidup di dunia ini timbal-balik, balas membalas. Alangkah baiknya kalau dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak melakukan hal-hal yang kita sendiri ingin diperlakukan. Bila kita ingin melakukan sesuatu kepada seseorang, apakah berbicara atau bertindak sesuatu, tanyakan lebih dahulu pada diri kita sendiri. Suka apa tidak diperlakukan seperti itu. Bila tidak suka, lebih baik dihentikan saja, omongan atau tindakan yang akan kita lakukan. Bahkan pikiran dalam hati pun sebaiknya tidak kita lakukan. Walaupun tidak terlahir, tetapi getar hati dapat diterima oleh orang yang peka.
“Tepa Selira” adalah langkah baku dalam hidup bermasyarakat. Orang yang punya “tepa selira” dipandang sebagai orang baik, hidupnya akan selamat dan insyaallah tidak mendapat hal-hal tidak baik dari orang lain. Laku “Tepa Selira” luas penjabarannya. Contoh umum yang dapat kita lihat antara lain:
Bila kita berjalan membawa bawaan banyak dan berat, kemudian ada orang membantu dengan membawakan sebagian beban kita, hati kita pasti senang. Kenapa kita tidak memperlakukan yang sama kalau ada orang lain yang kelebihan beban. Mungkin kita gopoh-gopoh merebut tas yang dibawa boss kita. Tapi hati-hati apakah tulus niat kita, atau jangan-jangan kita mau ngathok?
Senang sekali saat bertamu disambut tuan rumah dengan ramah disertai suguhan makanan minuman yang enak. Mengapa kalau kita menerima tamu kita diamkan saja tanpa keramahan dan hidangan? Sementara kalau kita sendiri yang bertamu, aji mumpung kita gunakan. Sudah makannya banyak, masih nucuk ngiberake (membawa pulang makanan) tanpa permisi.
Kalau telinga kita merasa nikmat mendengar ucapan terimakasih, dan menjadi tidak nyaman kalau ada orang mengucapkan terimakasih hanya dalam bahasa yang ringkas tanpa bunga, mengapa mulut kita amat pelit untuk mengucapkan terimakasih atas hal-hal baik yang dilakukan orang kepada kita?
Kalau kita menyapa pimpinan kemudian didiamkan saja, di belakang kita akan mengumpat mengatakan pimpinan sombong, tidak menghargai orang kecil dan lain-lain umpatan yang tidak pantas didengar. Apakah kita juga berlaku sama kalau disapa orang yang kedudukannya lebih rendah dari kita?. Dalam soal sapa-menyapa ini mestinya tidak usah memandang pangkat dan kedudukan. Siapa melihat lebih dahulu, ya sebaiknya menyapa lebih dahulu.
Jadi: Menggunakan ukuran diri sendiri adalah indikator yang paling pas untuk mengukur tingkat tenggang-rasa kita. Belajar “tepa selira” mulailah dari hal-hal yang kelihatannya remeh, menyapa, mengucapkan terimakasih, berbagi, dan lain-lain. Kalau melakukan yang sederhana saja tidak bisa dan tidak biasa, bagaimana melakukan yang lebih besar?
Quote:
TEPA SELIRA
Sebenarnya Tuhan sudah menganugerahi kita semua dengan alat ukur batin yang canggih, yang kita kenal dengan sebutan “tepa selira”. “Tepa” adalah ukuran atau timbangan dan “selira” adalah badan. Jadi pengertian harfiah “tepa selira” adalah mengukur badan manusia dan yang digunakan sebagai alat ukur juga badan manusia sendiri. Adapun definisi operasionalnya adalah “Seandainya kita ingin melakukan sesuatu kepada sesama manusia, untuk tahu enak atau tidak enaknya, ya harus diukur (di”tepa”) dengan alat ukur satu-satunya yang ada, yaitu diri kira sendiri. Pelaksanaan operasional yang paling sederhana adalah: Kalau kita tidak suka diperlakukan seperti itu, ya jangan begitu.
Tepa selira adalah alat ukur yang amat halus, sehingga hanya dimiliki oleh orang yang punya perasaan halus. Orang yang punya rasa kasih sayang dengan sesamanya. Orang yang suka menolong dan tidak tega membuat susah orang lain.
MANUSIA YANG TIDAK TAHU UKURAN
Tepa selira bisa punya dua arti: (1) Tepa selira untuk orang lain, yaitu menerapkan perlakuan untuk orang lain sesuai ukuran diri kita, dan (2) Tepa selira untuk diri sendiri, yaitu melakukan sesuatu untuk diri kita sesuai kapasitas fisik dan mental kita.
Orang yang tidak mampu menerapkan ukuran untuk diri pribadi (2) sudah barang tentu akan memperoleh kesulitan untuk menerapkan sesuatu kepada orang lain (1). Beberapa contoh tepa selira untuk diri sendiri dapat dipirsani di bawah ini:
1. Bekerja keras itu baik. Tetapi bekerja melampaui batas pada akhirnya akan merugikan diri sendiri.
2. Demikian pula makan, tidur dan bersenang-senang yang melampaui batas tidak akan baik bagi diri kita.
3. Hobi itu baik. Tetapi kalau kemudian terlalu kecanduan juga menjadi tidak baik
Orang yang tidak mampu “tepa selira” untuk orang lain akan menjadi sewenang-wenang, lebih-lebih kalau ia seorang pimpinan. Oleh sebab itu Sri Mangkunegara III memberikan wasiyat: Yen parentah wong, sarat kudu nglakoni dhisik. Maksudnya supaya bisa tepa selira, tahu empan papan.
Begitu..
SUMBER
Quote: