- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Rayuan Genit Bioskop di Perempatan Senen


TS
namini
Rayuan Genit Bioskop di Perempatan Senen
Quote:

Jakarta, CNN Indonesia -- "Mas, belikan tiket nonton dong, nanti di dalam saya pijat," rayu perempuan berdandan menor. Lipstik merah, pipi dipulas, mata dirias. Busana mencolok. Tubuhnya montok tapi tak seksi.
Usianya di atas 35 tahun. Wajahnya terlihat tak sesegar remaja lagi.
Namun tanpa segan tangannya menyentuh para pria yang sedang mengantre tiket di Bioskop Mulia Agung dan Grand Theatre, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta. Terkadang tubuhnya menggelayut manja.
Senyum ia tebar. Godaan demi godaan ia pancar. Jika pijat tak mempan, terkadang ia mengajak ke kamar indekos. Lebih bebas dan enak, katanya mengiming-iming.
Membayari tiket bioskop di teater tua itu paling Rp5 ribu sampai Rp8 ribu. Jika plus pijat mungkin ada kesepakatan lebih lanjut. Kalau ikut ke kamar indekosnya, tarif bisa lebih mahal.
Tapi itu tetap terbilang "terjangkau" untuk layanan jasa seksual. Bukan cuma perempuan, di bioskop itu juga tersedia pria yang menjajakan jasanya. Bisa untuk sesama pria maupun lawan jenisnya.
Mereka "mangkal" di bioskop tua yang berada di perempatan seberang Pasar Senen itu. Sekilas, bioskop itu seperti tak terpakai lagi. Namun poster-poster besar membuat lokasi itu amat mencolok.
Dahulu, sekitar tahun 1970-an saat kawasan Pasar Senen masih menjadi salah satu pusat ekonomi di Jakarta, bioskop itu punya pamor. Ia dibangun untuk memenuhi kebutuhan hiburan masyaraat.
Pekan lalu, Kamis (21/1) saat CNNIndonesia.com mengunjunginya, bioskop itu tengah memajang poster film Indonesia terbaru, seperti Single dan Ngenest. Namun semua sekadar pajangan.
Pilihan film di dalamnya bisa sangat lawas. Kualitas gambarnya seperti tayangan seusia Warkop. Kebanyakan film semiporno. Entah pemain dan judulnya, yang penting ada adegan ranjang.
Menurut keterangan penonton langganan, film diganti tiga kali seminggu.
Sehari-hari bioskop itu masih beroperasi. Sekitar pukul 12 siang, sudah banyak orang mengantre di depan loketnya. Ada pria tua yang usianya sudah cukup untuk pensiun, serta beberapa pekerja usia 40-an.
Di antara mereka adalah pekerja konveksi, penjual koran, serta pedagang asongan di perempatan jalan.
"Di sini murah sih, cuma Rp5 ribu. Kalau di mal malas. Mahal, enggak seru juga," salah satu dari mereka berkomentar.
Sebagian memang mencari hiburan tontonan. Jika semua film sudah habis ia tonton, batal pula ia mengeluarkan Rp5 ribu dari kantong. Sebagian lagi mencari tontonan plus "hiburan" tambahan.
Mereka mulai mengantre loket berbatas kelambu merah, sekitar pukul satu siang. Muncul petugas loket berkemeja hitam rapi. Film sudah akan dimainkan. Ada dua pilihan bioskop dengan harga berbeda.
"Ada dua lantai. Lantai pertama harganya Rp5 ribu. Lantai dua Rp8 ribu tapi kursinya lebih enak," ujar salah satu pengunjung. Namun saat itu bioskop yang katanya lebih nyaman sedang tutup.
Teater yang harga tiketnya Rp5 ribu, kursinya dari kayu. Ada bantalan busa tipis berlapis kulit palsu yang sudah robek di sana-sini. Tak ada nomor kursi.

Begitu masuk, tercium aroma pesing bercampur rokok, persis seperti bau yang menguar dari toilet umum terminal. Puntung rokok memang tersebar di lantai.
Kondisinya gelap gulita. Hanya ada adegan mesum di layar yang terpampang sangat jelas. Pergumulan ranjang di layar membuat beberapa penonton resah.
Mereka yang sudah membawa masuk "teman," langsung asyik masyuk di tempatnya. Sesekali terdengar suara cekikikan perempuan dan lelaki. "Aah Mas," terkadang terdengar jeritan tertahan.
"Aktivitas" itu tak ayal membuat berkeringat. Apalagi ruangan tidak berpendingin. Hanya ada kipas angin yang membuat asap rokok terus berputar.
Di hari biasa udara bisa lebih lega. Jumlah penonton bioskop tidak sebanyak di akhir pekan. Dari kapasitas 100 orang, mungkin hanya 40 kursi terisi.
Pernah juga studio itu kosong melompong.
Namun jika sudah menginjak Sabtu dan Minggu, suasana lebih pengap. Seluruh teater bioskop, baik yang Rp5 ribu maupun Rp8 ribu, nyaris penuh penonton.
Para penonton menganggap Bioskop Mulia Agung dan Grand Theatre lebih unggul ketimbang XXI, Cinemaxx, atau yang sudah dimodali asing CGV Blitzmegaplex. Mereka bukan para pencari teknologi canggih.

Minimnya fasilitas kenyamanan seperti pendingin ruangan justru dianggap nilai plus. Penonton jadi bisa merokok seenaknya. Fasilitas lain, kursi empuk dan gambar tiga dimensi, tak berarti.
Bioskop itu juga bebas, minim peraturan. Boleh teriak, mendesah, berkegiatan tak senonoh, mondar-mandir di tengah film, sampai ikut memotret atau merekam.
Soal pilihan film, terkadang memang membosankan. Tapi justru itu yang menjadi daya tarik tersendiri. Film dewasa hanya sebagian dari setok film lawas yang dimiliki bioskop di Senen.
Tapi karena penontonnya laris, itu yang terus diputar. Prinsip bisnisnya sama seperti bioskop besar. Kalau masih banyak penonton, masih dipertahankan.
Bioskop Mulia Agung dan Grand Theatre masih menjalani fungsinya seperti dahulu: menghibur masyarakat. Hanya saja, sekarang hanya kalangan menengah ke bawah yang masih menikmatinya.
Entah, apakah bioskop di Senen, dengan segala daya tariknya itu masih akan menarik saat bioskop asing masuk ke Indonesia. Karena sesuai keputusan pemerintah, investasi bioskop termasuk yang dibuka 100 persen untuk asing.
Yang jelas, para penonton bioskop di Senen itu saja sudah tidak bisa merogoh kocek Rp15 ribu atau Rp30 ribu, harga normal tiket bioskop modern sekarang. (rsa/rsa)
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/...empatan-senen/
hasil FR agan d belakang
Quote:
Original Posted By jua1.special.k►ane pernah tuh ke sana
tapi udah lama sekali
cuma sekedar pengen tau aja sekalian killing time, maklum waktu itu ane masih pengangguran
kursi nya banyak kutu busuk nya
siap siap aja paha kaki bentol bentol
film nya juga asal puter aja, loncat loncat gitu gak jelas alur cerita nya
tapi waktu itu ane gak tau kalo tuh bioskop tempat mesum gitu
lagian apa enaknya mesum gelap gelapan gitu di kursi yg banyak kutu nya gitu
kalo dipikir2x dari sekarang, dulu ane trmasuk gila juga ya, hampir semua daerah hitam pernah ane jelajahi
tapi udah lama sekali
cuma sekedar pengen tau aja sekalian killing time, maklum waktu itu ane masih pengangguran
kursi nya banyak kutu busuk nya
siap siap aja paha kaki bentol bentol
film nya juga asal puter aja, loncat loncat gitu gak jelas alur cerita nya
tapi waktu itu ane gak tau kalo tuh bioskop tempat mesum gitu
lagian apa enaknya mesum gelap gelapan gitu di kursi yg banyak kutu nya gitu
kalo dipikir2x dari sekarang, dulu ane trmasuk gila juga ya, hampir semua daerah hitam pernah ane jelajahi
Diubah oleh namini 30-01-2016 13:40
0
24.1K
Kutip
108
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan