- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
[sblm di edit pihak tdk bertanggung jawab] PERISTIWA TALANGSARI 1998


TS
nuclearkids
[sblm di edit pihak tdk bertanggung jawab] PERISTIWA TALANGSARI 1998
ini cuma buat catatan ane, berhubung kaskus belum ada notepad nya.
Pak Hendro Benar Atau Salah ?????
Tanya ? Berdirinya 'Tentara Islam Indonesia' Buat Apa ? kan udah ada TNI ?
Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah J I
Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah
Sumur Bor
Tambahan.
Buku Saku
Sumur Bor
sedia payung sebelum Hujan. Antisipasi Sebelum Bencana
Pak Hendro Benar Atau Salah ?????
Spoiler for Intro:
Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.
Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Nurhidayat, dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia)Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari,Lampung .
Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan dikuburkan di Talangsari.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai ke pengadilan 23 orang.
Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Nurhidayat, dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia)Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari,Lampung .
Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan dikuburkan di Talangsari.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai ke pengadilan 23 orang.
Tanya ? Berdirinya 'Tentara Islam Indonesia' Buat Apa ? kan udah ada TNI ?

Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah J I
Spoiler for :
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, bila kasus Talangsari ini dipandang dalam perspektif kekinian, nampak ada hubungan ‘genetis’ dengan gerakan JI (Jamaah Islamiyah). Dikatakan demikian, karena keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar. (http://riyantolampung.blog.com/2011/...5/hello-world/)
Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian pada tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.
Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.
Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.
Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).
Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.
Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi semacam tempat singgah. Nur Hidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta. Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari bersama-sama dengan Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (6-7 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.
Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu Nur Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin oleh empat orang. Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah kemiliteran). Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan) Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah). Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).
Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.
Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984). Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan radikal yang disandingkan dengan doktrin agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekedar bercita-cita mendirikan negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-darah sekalipun.
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.
Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian pada tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.
Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.
Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.
Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).
Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.
Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi semacam tempat singgah. Nur Hidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta. Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari bersama-sama dengan Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (6-7 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.
Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu Nur Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin oleh empat orang. Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah kemiliteran). Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan) Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah). Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).
Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.
Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984). Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan radikal yang disandingkan dengan doktrin agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekedar bercita-cita mendirikan negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-darah sekalipun.
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.
Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah
Spoiler for :
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, dari sejumlah nama yang terlibat kasus Talangsari atau setidaknya ada keterkaitan dengan kasus Talangsari, beberapa di antaranya layak digolongkan sebagai orang-orang yang bingung. Mereka antara lain Azwar Kaili dan Jayus alias Dayat bin Karmo serta Fauzi Isman. Sedangkan saksi-saksi palsu, antara lain Suroso dan Purwoko. (http://riyantolampung.blog.com/2011/...komnas-ham-04/)
Sumur Bor
Tambahan.
Buku Saku
Spoiler for :
BUKU saku yang diberi judul “Tragedi Lampung: Peperangan Yang Direncanakan” ini ditulis oleh Riyanto bin Suryadi, pelaku dan sekaligus korban pada sebuah kasus radikal yang kemudian lebih dikenal dengan nama Peristiwa Talangsari 1989.
Riyanto bin Suryadi adalah mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi yang tergerak hatinya menerbitkan buku saku ini dalam rangka memberikan fakta yang jernih dan jelas kepada masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam di Indonesia. Selain itu, ia juga merasa prihatin atas ulah sebagian pelaku (tokoh) kasus Talangsari (Lampung) yang punya motif komersial.
Peristiwa Talangsari 1989 adalah sebuah peperangan (qital) sepenuh hati, antara komunitas Warsidi melawan pasukan TNI-Polri yang mendapat dukungan penduduk setempat yang tidak bersimpati kepada komunitas Warsidi. Peperangan ini sudah dirancang “para aktivis dari Jakarta” setidaknya sejak September 1988, ketika empat aktivis dari Jakarta yaitu Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Fauzi Isman dan Wahidin, mengadakan pertemuan di rumah kontrakan Sudarsono di jalan Remaja 1, Prumpung, Jakarta Timur.
Rancangan itu menjadi aktual setelah jatuh korban dari pihak aparat, yaitu Kapten Inf. Soetiman (Danramil Way Jepara), sehari sebelumnya akibat dibantai mbah Marsudi (kakak kandung Warsidi). Sebuah peperangan yang konyol. Ibarat sebuah bis yang penuh sesak dengan penumpang, kemudian dibenturkan ke rangkaian kereta api yang sedang berjalan kencang di atas relnya. Yang pasti, benturan itu menimbulkan korban cukup banyak di kedua belah pihak.
Di Talangsari, Warsidi dijadikan Imam antara lain dengan pertimbangan senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh jiwa. Karena tercium adanya upaya membentuk “negara” di dalam negara, maka Komandan Koramil setempat merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Kedatangan Danramil Kapten Inf. Soetiman disambut dengan hujan panah dan golok, sehingga Kapten Soetiman tewas dan dikuburkan di wilayah Talangsari.
Dengan tewasnya Kapten Inf. Soetiman, maka aparat keamanan (Danrem) mengambil tindakan tegas kepada komunitas Warsidi. Di negara mana pun, apabila aparatnya dibunuh oleh sekelompok orang yang diidentifikasi berpotensi memisahkan diri dari negara yang sah, atau baru ingin memisahkan diri dari negara yang sah, pasti akan ditindak dengan tegas oleh aparat pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut.
Sebagai contoh di Malaysia, pernah dilakukan tindakan tegas oleh aparat pemerintah Malaysia pada akhir tahun 1970-an, berupa penyerbuan terhadap kelompok Ibrahim Libya dengan pasukan yang dipersenjatai tank dan panser. Begitu juga terhadap kelompok David Koresh di AS. Tetapi di kedua negara tersebut tidak menimbulkan korban banyak karena tidak ada perlawanan. Berbeda dengan kelompok Warsidi yang memberikan perlawanan sengit dan brutal terhadap aparat pemerintah yang sah.
Oleh karena itu merupakan konsekuensi logis bila kelompok Warsidi dikenai tindakan tegas dan dari situ kemudian jatuh sejumlah korban, akibat bentrok dengan aparat yang dibantu penduduk setempat. Jadi, istilah “pembantaian” pada Peristiwa Talangsari 1989 sama sekali tidak benar, karena sejak dari Jakarta “para aktivis dari Jakarta” sudah merancang sebuah pemberontakan bersenjata dalam rangka mendirikan sebuah daulah di tengah-tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jakarta, 16 Oktober 2012.
Riyanto bin Suryadi adalah mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi yang tergerak hatinya menerbitkan buku saku ini dalam rangka memberikan fakta yang jernih dan jelas kepada masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam di Indonesia. Selain itu, ia juga merasa prihatin atas ulah sebagian pelaku (tokoh) kasus Talangsari (Lampung) yang punya motif komersial.
Peristiwa Talangsari 1989 adalah sebuah peperangan (qital) sepenuh hati, antara komunitas Warsidi melawan pasukan TNI-Polri yang mendapat dukungan penduduk setempat yang tidak bersimpati kepada komunitas Warsidi. Peperangan ini sudah dirancang “para aktivis dari Jakarta” setidaknya sejak September 1988, ketika empat aktivis dari Jakarta yaitu Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Fauzi Isman dan Wahidin, mengadakan pertemuan di rumah kontrakan Sudarsono di jalan Remaja 1, Prumpung, Jakarta Timur.
Rancangan itu menjadi aktual setelah jatuh korban dari pihak aparat, yaitu Kapten Inf. Soetiman (Danramil Way Jepara), sehari sebelumnya akibat dibantai mbah Marsudi (kakak kandung Warsidi). Sebuah peperangan yang konyol. Ibarat sebuah bis yang penuh sesak dengan penumpang, kemudian dibenturkan ke rangkaian kereta api yang sedang berjalan kencang di atas relnya. Yang pasti, benturan itu menimbulkan korban cukup banyak di kedua belah pihak.
Di Talangsari, Warsidi dijadikan Imam antara lain dengan pertimbangan senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh jiwa. Karena tercium adanya upaya membentuk “negara” di dalam negara, maka Komandan Koramil setempat merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Kedatangan Danramil Kapten Inf. Soetiman disambut dengan hujan panah dan golok, sehingga Kapten Soetiman tewas dan dikuburkan di wilayah Talangsari.
Dengan tewasnya Kapten Inf. Soetiman, maka aparat keamanan (Danrem) mengambil tindakan tegas kepada komunitas Warsidi. Di negara mana pun, apabila aparatnya dibunuh oleh sekelompok orang yang diidentifikasi berpotensi memisahkan diri dari negara yang sah, atau baru ingin memisahkan diri dari negara yang sah, pasti akan ditindak dengan tegas oleh aparat pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut.
Sebagai contoh di Malaysia, pernah dilakukan tindakan tegas oleh aparat pemerintah Malaysia pada akhir tahun 1970-an, berupa penyerbuan terhadap kelompok Ibrahim Libya dengan pasukan yang dipersenjatai tank dan panser. Begitu juga terhadap kelompok David Koresh di AS. Tetapi di kedua negara tersebut tidak menimbulkan korban banyak karena tidak ada perlawanan. Berbeda dengan kelompok Warsidi yang memberikan perlawanan sengit dan brutal terhadap aparat pemerintah yang sah.
Oleh karena itu merupakan konsekuensi logis bila kelompok Warsidi dikenai tindakan tegas dan dari situ kemudian jatuh sejumlah korban, akibat bentrok dengan aparat yang dibantu penduduk setempat. Jadi, istilah “pembantaian” pada Peristiwa Talangsari 1989 sama sekali tidak benar, karena sejak dari Jakarta “para aktivis dari Jakarta” sudah merancang sebuah pemberontakan bersenjata dalam rangka mendirikan sebuah daulah di tengah-tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jakarta, 16 Oktober 2012.
Sumur Bor
sedia payung sebelum Hujan. Antisipasi Sebelum Bencana

Diubah oleh nuclearkids 12-08-2014 16:34


anasabila memberi reputasi
1
1.8K
Kutip
9
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan