- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
satu lagi kasus terkait dengan ARB, yang mungkin tidak anda ketahui.........


TS
numbermaster
satu lagi kasus terkait dengan ARB, yang mungkin tidak anda ketahui.........
KASUS TANAH Desa Sukarame
SENGKETA TANAH DI LABUHAN BATU UTARA
Studi Kasus Di PT GDLP/SLJ
(PT.Grahadura Ledong Prima/Sawita Ledong Jaya)

SENGKETA TANAH DI LABUHAN BATU UTARA
Studi Kasus Di PT GDLP/SLJ
(PT.Grahadura Ledong Prima/Sawita Ledong Jaya)

Spoiler for pendahuluan:
Pendahuluan.
Bakri Group mengikuti perjanjian PT Graha Duta Ledong Prima & PT Sawita Ledong Jaya pada masyarakat Desa Sukarame,Sonomartini,Sukaramai Baru Kec.Kualu Hulu dan Desa Air Hitam Kabupaten Labuhan Batu sesuai keputusan Mentri Kehutan dan Perkebunan NO.107/Kpts-II/1999 tanggal 19 Agustus 1999 tentang izin pembukaan hutan menjadi perkebunan seluas16.000 Ha .
Bakri Group mengikuti perjanjian PT Graha Duta Ledong Prima & PT Sawita Ledong Jaya pada masyarakat Desa Sukarame,Sonomartini,Sukaramai Baru Kec.Kualu Hulu dan Desa Air Hitam Kabupaten Labuhan Batu sesuai keputusan Mentri Kehutan dan Perkebunan NO.107/Kpts-II/1999 tanggal 19 Agustus 1999 tentang izin pembukaan hutan menjadi perkebunan seluas16.000 Ha .
Spoiler for kronologi:
Kronologis :
Pada tahun 1996 PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya membuka hutan jadi perkebun an 18.000 Ha di Desa Sukaramai,Solomartini,Sukarame Baru Kec.Kualuh Hulu dan Desa Air Hitam Kec Kualuh Leididong Labuhan Batu. Dalam
Permohonan Sumardi Syarif Se tahun 1995 sebagai meneger ketika itu Pada Bupati H.Benua Ismansyah Rambe S.sos untuk membuka hutan menjadi perkebunan .Bupati memberi izin dengan syarat :
1.Membuat jalan yang dapat dilalui kendaraan roda enam sampai ke Tanjung Leidong dan merawatnya terus sepanjang areal perkebunan .
2.Membangun perkebunan plasma 20% dari 16.000 Ha (2.800 Ha) untuk masyarakat sekitar lahan.
3.Jangan merampas tanah penduduk ,malah harus membinanya.
4.Menjaga kelestarian lingkungan hidup yakni terusan sunggai .Menjaga kelestarian hutan lindung seluas 630 Ha dan mengamankan jalur hijau DAS sunggai Leidong.
Bupati Ismansyah Rambe S.sos mengeluarkan izin prinsip 8000 Ha untuk PT Graha Duta Leidong Prima & 6500 Ha Kepada PT Sawita Leidong Jaya. Kemudian Menteri Kehutanan Dan Perkebunan mengeluarkan perizinan usaha perkebunan pada PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya .No.107/Kprs-II/1996 tanggal 19 Agustus 1999. Pada rapat DPRD yang di Fasilitasi Bupati Labuhan Batu MT Milwan rakyat empat desa mendapat kebun plasma 2.800 Ha sudah diplot BPN ,DPRD ,Pemkab Labuhan Batu serta PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya pada rapar 29 Maret 2001 di gedung DPRD Labuhan batu.Berlanjut rapat pada 12 September 2001 yang dituangkan surat Ketua DPRD Labuhan batu No.678/DPRD/ 2001 tertanggal 27 September 2001 .Artinya rakyat keempat desa memiliki hak kebun plasma seluas 2.800 Ha dilokasi kebun PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya Milik Saudara Johan.
Tapi semua kesepakatan itu hanya bohong belaka Johan melakukan tindakan semena mena apalagi setela PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya dinyatakan pailit dan diambil alih oleg Group Bakri tahun 2010 dan menempatkan Johan tetap sebagai manager di kedua kebun tersebut Tapi sebelum kedua perusaan ini pailit pihak perusaan pun tidak pernah menepati janji malah mengusir mereka dari lahan Plasma dengan kekerasan makanya para petani membentuk Gabungan Kelompok Tani -KSU Sri Sahabat dengan badan hukum No 23 Tanggal 29 Januari 2004 Akte Notaris Haji Jatim Solin Spn Rantau Perapat yang dipimpin Ketuanya Aslan Nur Sitompul yang berpusat di Desa Sukaramai Kualuh Hulu.
Johan pun semangkin berutal dengan mengunakan premanisme mengusir para petani di plasma 2.800 Ha dengan cara menganiaya dan membakar rumah parta petani plasma. Menghancurkan mesjid ,mengikat petani pria dan melecehkan para perempuan tanpa takut ditangkap aparat. Mereka membunuh warga petani Resman Sianipar (17) rabu 15 Agustus 2010 pukul 15.00.wib .Pelakunya diciduk polisi tapi Tuan Johan tak tersentuh hukum bak seperti malaikat pencabut nyawa .
Para petani di kebun Plasma PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya sudah tak mengerti kemana lagi harus mengadu .Dan ke partai mana harus meminta pertolongan.Karena setelah kedua kebun itu menjadi Group Bakri Johan tidak lagi takut pada siapaun bahkan pada tuhan karena dia udah berani membakar Mesjid.
Pada tahun 1996 PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya membuka hutan jadi perkebun an 18.000 Ha di Desa Sukaramai,Solomartini,Sukarame Baru Kec.Kualuh Hulu dan Desa Air Hitam Kec Kualuh Leididong Labuhan Batu. Dalam
Permohonan Sumardi Syarif Se tahun 1995 sebagai meneger ketika itu Pada Bupati H.Benua Ismansyah Rambe S.sos untuk membuka hutan menjadi perkebunan .Bupati memberi izin dengan syarat :
1.Membuat jalan yang dapat dilalui kendaraan roda enam sampai ke Tanjung Leidong dan merawatnya terus sepanjang areal perkebunan .
2.Membangun perkebunan plasma 20% dari 16.000 Ha (2.800 Ha) untuk masyarakat sekitar lahan.
3.Jangan merampas tanah penduduk ,malah harus membinanya.
4.Menjaga kelestarian lingkungan hidup yakni terusan sunggai .Menjaga kelestarian hutan lindung seluas 630 Ha dan mengamankan jalur hijau DAS sunggai Leidong.
Bupati Ismansyah Rambe S.sos mengeluarkan izin prinsip 8000 Ha untuk PT Graha Duta Leidong Prima & 6500 Ha Kepada PT Sawita Leidong Jaya. Kemudian Menteri Kehutanan Dan Perkebunan mengeluarkan perizinan usaha perkebunan pada PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya .No.107/Kprs-II/1996 tanggal 19 Agustus 1999. Pada rapat DPRD yang di Fasilitasi Bupati Labuhan Batu MT Milwan rakyat empat desa mendapat kebun plasma 2.800 Ha sudah diplot BPN ,DPRD ,Pemkab Labuhan Batu serta PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya pada rapar 29 Maret 2001 di gedung DPRD Labuhan batu.Berlanjut rapat pada 12 September 2001 yang dituangkan surat Ketua DPRD Labuhan batu No.678/DPRD/ 2001 tertanggal 27 September 2001 .Artinya rakyat keempat desa memiliki hak kebun plasma seluas 2.800 Ha dilokasi kebun PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya Milik Saudara Johan.
Tapi semua kesepakatan itu hanya bohong belaka Johan melakukan tindakan semena mena apalagi setela PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya dinyatakan pailit dan diambil alih oleg Group Bakri tahun 2010 dan menempatkan Johan tetap sebagai manager di kedua kebun tersebut Tapi sebelum kedua perusaan ini pailit pihak perusaan pun tidak pernah menepati janji malah mengusir mereka dari lahan Plasma dengan kekerasan makanya para petani membentuk Gabungan Kelompok Tani -KSU Sri Sahabat dengan badan hukum No 23 Tanggal 29 Januari 2004 Akte Notaris Haji Jatim Solin Spn Rantau Perapat yang dipimpin Ketuanya Aslan Nur Sitompul yang berpusat di Desa Sukaramai Kualuh Hulu.
Johan pun semangkin berutal dengan mengunakan premanisme mengusir para petani di plasma 2.800 Ha dengan cara menganiaya dan membakar rumah parta petani plasma. Menghancurkan mesjid ,mengikat petani pria dan melecehkan para perempuan tanpa takut ditangkap aparat. Mereka membunuh warga petani Resman Sianipar (17) rabu 15 Agustus 2010 pukul 15.00.wib .Pelakunya diciduk polisi tapi Tuan Johan tak tersentuh hukum bak seperti malaikat pencabut nyawa .
Para petani di kebun Plasma PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya sudah tak mengerti kemana lagi harus mengadu .Dan ke partai mana harus meminta pertolongan.Karena setelah kedua kebun itu menjadi Group Bakri Johan tidak lagi takut pada siapaun bahkan pada tuhan karena dia udah berani membakar Mesjid.
Spoiler for pembahasan:
Pembahasan.
PT. Graha Dura Leidong Prima (GDLP) dan Sawita Leidong Jaya (SLJ) adalah perusahaan dibidang perkebunan kelapa sawit dan produksi CPO berlokasi di kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhan Batu Utara. GDLP dibawah payung PT Johan Sentosa (JS), pemilik terbesar saham kedua perusahaan perkebunan itu. PT SLJ adalah anak perusahaan GDLP. Tercatat saham PT GDLP juga dimiliki oleh PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP).
Diatas kertas, PT GDLP ini tercatat memiliki lahan HGU seluas 8.323 HA . Tahun 1996, PT SLJ memperoleh ijin lokasi seluas 16.000 HA di Kawasan berdampingan dengan lahan GDLP, kecamatan Kualuh Hulu. Namun mendapat tantangan dari Menteri Kehutanan tahun 2005 melalui Badan Planologi Kehutanan (Surat No S.293/VII-PW/2005), karena menganggap lokasi itu sebagai hutan lindung dan lahan gambut. Ironisnya, pembukaan lahan tetap berjalan dan lokasi itu telah menjadi perkebunan sawit hingga saat ini.
Sejak tahun 1993, perusahaan ini melakukan pembukaan hutan rawa-rawa dan gambut di dusun Tapian Nauli dan membeli lahan petani di dusun yang sama dengan harga satu juta rupiah per hektar. Ijin administratif perusahaan dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman tahun 1996. Selanjutnya PT GDLP memperoleh HGU tahun 2002 sesuai dengan surat BPN no.26/HGU/BPN/2002.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap perkebunan ini, terdapat tiga bagian pokok kesimpulan yakni Konflik dengan Masyarakat Lokal, Situasi marginal buruh PT GDLP, dan kondisi lingkungan hidup di sekitar PT GDLP/SLJ Labuhan Batu Utara.
A. Konflik dengan Masyarakat Lokal
Sekitar 2017 kepala keluarga (kk) petani di kabupaten Labuhanbatu utara (Labura ) selama 8 tahun gigit jari akibat ulah Ching Kun alias Johan Pemilik PT Graha Duta Ledong Prima & PT Sawita Leidong Jaya berlokasi di Desa Sukarame Baru Kec,Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.
PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya malang melintang di tiga kec. yakni Kualuh Hulu,Kualuh Hilir dan Kualuh Leidong.Dengan janji muluk pada masyarakat asal kedua perusahanya bisa beroperasi membuka lahan perkebunan dan pabrik kelapa sawit
katanya masyarakat akan diberikan 20 % dari luas lahan kelapa sawit yang akan dijadikan plasma .
Berbekal surat izin prinsip H.Benua Ismansyah Rambe S.sos bupati Labuhan batu ketika itu ,di bantu Sidar Kepala Desa Sukarame, Sutardi kepala desa Sukarame Baru dan Sumardi anak mainya Ching kun alias Jo han berhasil menguasai 16.000 Ha lahan rakyat dengan cara ganti rugi /jual beli fiktif.
Untuk mempertahankan usahanya Ching Kun alias Johan mengorder oknum berseragam coklat dari salah satu kesatuan di Tanjung Balai dan juga preman. Ching Kun alias Johan juga telah berbohong kepada masyarakat tani tradisional dengan tidak kooperatif dalam penyelesaian sengketa tanah ini , kemudian ribuan petani yang sudah puluhan tahun mengarap disana sepakat membentuk kelompok-kelompok tani guna mengantisipasi sepak terjang Ching Kun alias Johan dibawah panji-panji Koperasi Unit Desa Sumber Rejeki Di Komandoi Aslan Nur Sitompul membuat laporan tertulis kepada Pemkab Labuhan Batu dan kepada Ketua DPRD Kab.Labuhan Batu selaku penyalur aspirasi rakyat dan tidak membawa perubahan apa-apa bagi rakyat di Sukarame.
Aslan Nur Sitompul dan Ramio SH sudah bekerja sekuat tenaga dan Bupati Labuhan Batu MT Milwan sebelum pemekaran Labura sudah menandatangani serta seluruh instansi terkaitnya turut pula menandatangani surat keputusan pembagian lahan kok setelah undang undang pemekaran No.23 tahun 2008 tanggal 21 Juli 2008 berdirinya Kabupaten Labuhan Batu Utara tanah yang ditandatangani Muspida Kabupaten Labuhan Batu tidak dilanjutkan sama muspida Kabupaten Labuhan Batu Utara. Selain itu Ching Kun semangkin biadab pondok petani dibakar tanaman dirusak dan tidak sedikit petani yang dianiaya. Namun langkah hukum di Labuhanbatu utara tidak menjangkau Ching Kun alias Johan praktek suap menyuap di kalangan aparat.
Ada beberapa surat keputusan yang di buat untuk pembagian tanah plasma petani 20 % dari 16.000.Ha Lahan PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya yang tidak dapat memaksa Ching kun untuk merealisasikan plasma untuk Rakyat Sukarame, seperti :
- Surat pembantu gubernur wilayah IV tanggal 8 Agustus 1998 no.593/183/1998.
- Surat pernyataaan Sumardi Syarif SE Menejer PT Graha Duta Leidong Jaya & PT Sawita Leidong Jaya tanggal 15 September 2000.
- Surat BPN Kanwil -SU Tanggal 12 Oktober 2001 No 610.2-22/1442/10/2001.
- Surat Ketua DPRD Kab.Labuhan Batu tanggal 26 Februari 2004 . No315./DPRD/2004.
- Surat Bupati Labuhan Batu Tertanggal 12 Agustus 2003 No.593/233/TST/2003.
- Surat Bupati Labuhan Batu tertanggal 15 juli 2004 No.593/1713/TST/2004.
- Surat Bupati Labuhan Batu Tertanggal 10 september 2004. No.593/2220/TST/2004.
kendati petani memiliki surat-surat yang menguatkan mereka secara hukum, namun dalam pendudukan lahan petani masih dihalangi oleh PT.GDLP/SLJ dan secara otomatis semua surat ini tidak ada artinya bagi Ching Kun alias Johan . selain itu PT.GDLP/SLJ juga bersengketa dengan kelompok petani lainnya.. Proses pelepasan 20% dari 14.000 Ha dalam bentuk plasma, mengalami proses yang terkesan sangat diulur-ulur. Akibatnya, anggota kelompok tani kemudian komplin, mereka bukan hanya membuat "gerakan lapangan", bahkan telah berulang kali mengadukan nasib mereka melalui wakil rakyat di lembaga legislatif, DPRD Labuhanbatu. Dan akhirnya, Kamis (5/7/2003) beberapa tahun lalu, di Balai Diklat Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Labuhanbatu, tuntutan petani diakomodir. Dimana masing-masing KK dari petani mendapat 1,3 hektare. Yakni setelah antara petani yang waktu itu dihadiri ratusan petani dipimpin oleh Aslan Nur Sitompul dan Ramio SH bertemu dengan pihak perusahaan diwakili Sumardi Syarif SE, dan berlangsung dihadapan anggota DPRD Labuhan Batu.
Terinci dari pertemuan itu, KUD Sumber Rezeki pimpinan Aslan Nur Sitompul (1.218 anggota), Kelompok Harapan Tani pimpinan Basirun (301 anggota), Kelompok Tani Air Hitam (432 anggota) dan KUD Bina Sawita (60 anggota). Meskipun kesepakatan sudah ditandatangani, namun hingga sekarang, Ching Kun masih belum merealisasikan lahan plasma dengan 1001 macam dalih. Ching Kun melalui orang-orang kepercayaannya terus mengulur-ulur waktu. Sekarang muncul pertanyaan, mengapa Bupati Labuhanbatu, H. Tengku Milwan seolah tak berdaya menghadapi keangkuhan Ching Kun. Bupati yang seyogianya "wasit" dalam pertarungan Ching Kun versus masyarakat, malah terkesan ikut jadi "penonton" dan bahkan ditenggarai berpihak kepada pengusaha.
Konflik PT GLDP dengan masyarakat local sudah sejak terjadi 1997 hingga kini. Permasalahan ini berawal dari upaya PT GDLP ingin menguasai lahan di Sukaramai kecamatan Kualuh Hulu, Labuhan Batu Utara,. Dimana Lahan milik masyarakat desa Sukaramai yang telah dikuasai sejak tahun 1970 an. Namun pihak pemerintah mengeluarkan izin penguasaan lahan kepada perusahaan tahun 1996. akibat konflik itu, Kedua belah pihak sepakat masuk ke meja perundingan dengan kesepakatan sebagai berikut 301 KK yang telah menguasai tanah Sukaramai, yang dianggap tidak memiliki surat tanah, bersedia menyerahkan lahan kepada PT GDLP, dengan konsekuensi, PT GDLP memberikan lahan ditempat lain seluas 602 HA kepada warga.
Hingga tahun 1999, ternyata PT GDLP tidak merealisasikan janjinya untuk memberikan lahan seluas 602 HA. Akibatnya, warga desa Sukaramai, termasuk desa Sonomartani, Desa Air Hitam, dan desa Teluk Pule, kembali menduduki lahan yang dulunya sempat diberikan kepada PT GDLP. Konflik tidak terelakkan dilapangan dan menimbulkan korban berupa perlakuan kekerasan terhadap petani oleh aparat kepolisian dan satuan pengaman PT GDLP.
Petani menjadi korban kekerasan dan penangkapan ketika mempertahankan haknya atas tanah. Sebanyak 5 orang Petani yang merupakan pengurus Kelompok Tani Penghijauan dijadikan sebagai tersangka karena dianggap memasuki areal perkebunan milik PT SLJ dan GDLP yaitu Basirun Parapat (ketua), Muslimin (wakil ketua), Bahman Marpaung (wakil sekretaris), Najar Marpaung (wakil ketua), dan Valentin Nainggolan (anggota Kelompok). Mereka ditangkap bulan Juni 2007, dan kemudian divonis antara 3,6 tahun hingga 9 bulan, kecuali Basirun Parapat yang tidak berhasil ditemukan oleh pihak Kepolisian dan menjadi DPO. Juli 2007, Nurhaidah Sitorus, istri Basirun Parapat, ditangkap, diadili, dan kemudian divonis selama 7 bulan. Penangkapan dan penahanan terhadap perempuan yang memiliki anak 6 orang yang masih kecil-kecil inilah yang kemudian dikenal sebagai drama ‘penyanderaan’. Nurhaidah Sitorus dijadikan korban karena suaminya, Basirun Parapat, tidak mau menyerahkan diri kepada Polisi.
Hingga saat ini(2009), masyarakat lokal tidak memperoleh tanah pengganti yang dijanjikan oleh pihak PT GDLP dan SLJ seluas 602 HA sesuai dengan kesepakatan awal dengan masyarakat. Bahkan, jalan kekerasan telah dipilih oleh perusahaan untuk mengeluarkan petani dari lahan yang sejatinya milik petani puluhan tahun di Kualuh Hulu.
B. Situasi marginal buruh PT GDLP
Terdapat tiga jenis status buruh di PT GDLP, yakni Buruh Borongan, Buruh Harian Lepas, dan buruh harian tetap atau buruh Bulanan. Praktis, belum ada buruh tetap, atau buruh Syarat Kerja Umum (SKU), di lingkungan PT GDLP. Perjanjian lisan menjadi model perikatan yang melemahkan posisi buruh dan bisa diberhentikan setiap saat. Model ini, bahkan lebih rendah dari pola outsourching, dimana buruh masih punya perikatan yang jelas dengan perusahaan agen yang merekrut buruh sebagai tenaga kerja.
Sistim pengupahan di PT.GDLP didasarkan pada status buruh. Upah buruh harian tetap sebesar Rp 37.000;/hari, jika seorang buruh berhasil mendapati basis borong sebanyak 90 janjang. Jika buruh tidak berhasil mendapatkan basis borong, upah per harinya dihitung Rp 285/janjang. Jatah beras 100 kg/bulan dikonversi ke uang sebesar Rp 75.000. Untuk buruh harian lepas, upah perharinya sama, Rp 37.000. Yang membedakan adalah fasilitas, seperti tidak mendapatkan jatah beras. Upah buruh borongan tidak ditetapkan, tetapi sesuai kesepakatan dengan agen pemborongnya.
Upah buruh borongan tergantung pada luas lahan yang dapat mereka kerjakan setiap hari. Biasanya perkebunan memberikan harga Rp 30.000 untuk membabat 1 HA lahan sawit. Kemudian pemborong akan memberikan harga Rp. 20.000 kepada buruh atau diberikannya harga per jalur sawit, satu jalur diberikan seharga Rp 5.000.
Sistem pengupahan PT GDLP ini bertentangan dengan UU No 13 tahun 2003, pasal 57 ayat 1 tentang perjanjian kerja, pasal 65 ayat 2 tentang syarat outsourching, dan pasal 66 ayat 1 jenis pekerjaan yang diperbolehkan memakai tenaga outsourching.
C. Fasilitas Perkebunan
PT GDLP memiliki perumahan buruh di Divisi I. Bentuk perumahan adalah rumah panggung-memanjang yang dibagi/disekat menjadi beberapa rumah. Hampir 90 % bahan material yang digunakan terbuat dari papan yang kondisi sudah mulai lapuk. Hanya fundasi rumah yang terbuat dari semen, yang tingginya ± 30-40 cm. Kondisi sekeliling perumahan pun tidak terawat, dengan adanya genangan lumpur, apalagi ketika turun hujan, dan sampah plastik yang banyak berserakan.
Perumahan buruh dilengkapi dengan aliran listrik dan air. Pendistribusiannya dibatasi per harinya. Secara sentral, aliran listrik kerumah-rumah dimatikan ketika jam kerja kebun, demikian juga air. Buruh dapat mengambil air dari lokasi PKS. Meskipun telah melalui proses penyaringan, tidak bisa dipastikan kualitas air bersih, mengingat daerah ini merupakan daerah gambut/rawa. Dampaknya kualitas kesehatan buruh dan keluarganya pun tidak terjamin penuh.
Fasilitas umum kepada buruh antara lain Puskesmas dan Sekolah Dasar (SD). Di puskesmas tersedia dokter praktek hari Senin dan Jumat, mulai pukul 13.00 wib s/d 15.00 wib. Bangunan sekolah dasar (SD) berlokasi di Divisi 5. Karena ketiadaan biaya, banyak anak buruh yang putus sekolah. Kalaupun ada yang sekolah, umumnya tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Kebanyakan anak buruh harus membantu kedua orang tuanya bekerja di perkebunan. Terutama untuk mengejar basis borong.
D. Dampak Kehadiran PT GDLP/SLJ Terhadap Lingkungan Hidup di Kecamatan Kualuh Hulu
Secara hukum, lahan yang dibuka dan saat ini dikelola oleh PT GDLP dan SLJ telah bermasalah, setelah menteri kehutanan menolak memberikan lahan seluas 16.000 HA di Kualuh Hulu, karena berada di hutan lindung dan merupakan lahan gambut. Daerah yang menurut jaman Kolonial disebut sebagai kawasan hutan register 4 KL ini, dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Menteri Kehutanan melalui suratnya kepada bupati Labuhan Batu, Badan Planologi Kehutanan (Surat No S.293/VII-PW/2005). Menteri Kehutanan, MS Kaban, tahun 2007, mengaku kembali menyurati Bupati untuk menyampaikan bahwa lahan yang sama berada dikawasan hutan lindung dan menjadi areal konservasi register 4 KL.
Lahan yang sebelumnya hutan alam ini adalah tempat warga Sukaramai, Sonomartani dan Airhitam untuk mencari nafkah seperti mencari ikan dan mencari kayu bakar, tetapi setelah dikonversi PT SLJ menjadi perkebunan sawit, warga kehilangan mata pencahariannya.
PT GDLP juga telah membangun tembok yang membatasi lahan milik masyarakat dengan lahan milik mereka, yang menimbulkan banjir setiap kali hujan datang, karena tidak ada jalan keluar genangan air yang ada di perkampungan dan kebun milik masyarakat desa Sukaramai. Tembok ini sering disebut masyarakat desa sebagai ‘tembok berlin’, yang tinggi dan lebarnya mencapai 1 meter. Tembok ini telah menyebabkan air tergenang dalam waktu yang lama dan menimbulkan berkembang biaknya jentik nyamuk yang luar biasa besar di perkampungan Sukaramai dan sekitarnya sejak tahun 2002.
PT. Graha Dura Leidong Prima (GDLP) dan Sawita Leidong Jaya (SLJ) adalah perusahaan dibidang perkebunan kelapa sawit dan produksi CPO berlokasi di kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhan Batu Utara. GDLP dibawah payung PT Johan Sentosa (JS), pemilik terbesar saham kedua perusahaan perkebunan itu. PT SLJ adalah anak perusahaan GDLP. Tercatat saham PT GDLP juga dimiliki oleh PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP).
Diatas kertas, PT GDLP ini tercatat memiliki lahan HGU seluas 8.323 HA . Tahun 1996, PT SLJ memperoleh ijin lokasi seluas 16.000 HA di Kawasan berdampingan dengan lahan GDLP, kecamatan Kualuh Hulu. Namun mendapat tantangan dari Menteri Kehutanan tahun 2005 melalui Badan Planologi Kehutanan (Surat No S.293/VII-PW/2005), karena menganggap lokasi itu sebagai hutan lindung dan lahan gambut. Ironisnya, pembukaan lahan tetap berjalan dan lokasi itu telah menjadi perkebunan sawit hingga saat ini.
Sejak tahun 1993, perusahaan ini melakukan pembukaan hutan rawa-rawa dan gambut di dusun Tapian Nauli dan membeli lahan petani di dusun yang sama dengan harga satu juta rupiah per hektar. Ijin administratif perusahaan dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman tahun 1996. Selanjutnya PT GDLP memperoleh HGU tahun 2002 sesuai dengan surat BPN no.26/HGU/BPN/2002.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap perkebunan ini, terdapat tiga bagian pokok kesimpulan yakni Konflik dengan Masyarakat Lokal, Situasi marginal buruh PT GDLP, dan kondisi lingkungan hidup di sekitar PT GDLP/SLJ Labuhan Batu Utara.
A. Konflik dengan Masyarakat Lokal
Sekitar 2017 kepala keluarga (kk) petani di kabupaten Labuhanbatu utara (Labura ) selama 8 tahun gigit jari akibat ulah Ching Kun alias Johan Pemilik PT Graha Duta Ledong Prima & PT Sawita Leidong Jaya berlokasi di Desa Sukarame Baru Kec,Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.
PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya malang melintang di tiga kec. yakni Kualuh Hulu,Kualuh Hilir dan Kualuh Leidong.Dengan janji muluk pada masyarakat asal kedua perusahanya bisa beroperasi membuka lahan perkebunan dan pabrik kelapa sawit
katanya masyarakat akan diberikan 20 % dari luas lahan kelapa sawit yang akan dijadikan plasma .
Berbekal surat izin prinsip H.Benua Ismansyah Rambe S.sos bupati Labuhan batu ketika itu ,di bantu Sidar Kepala Desa Sukarame, Sutardi kepala desa Sukarame Baru dan Sumardi anak mainya Ching kun alias Jo han berhasil menguasai 16.000 Ha lahan rakyat dengan cara ganti rugi /jual beli fiktif.
Untuk mempertahankan usahanya Ching Kun alias Johan mengorder oknum berseragam coklat dari salah satu kesatuan di Tanjung Balai dan juga preman. Ching Kun alias Johan juga telah berbohong kepada masyarakat tani tradisional dengan tidak kooperatif dalam penyelesaian sengketa tanah ini , kemudian ribuan petani yang sudah puluhan tahun mengarap disana sepakat membentuk kelompok-kelompok tani guna mengantisipasi sepak terjang Ching Kun alias Johan dibawah panji-panji Koperasi Unit Desa Sumber Rejeki Di Komandoi Aslan Nur Sitompul membuat laporan tertulis kepada Pemkab Labuhan Batu dan kepada Ketua DPRD Kab.Labuhan Batu selaku penyalur aspirasi rakyat dan tidak membawa perubahan apa-apa bagi rakyat di Sukarame.
Aslan Nur Sitompul dan Ramio SH sudah bekerja sekuat tenaga dan Bupati Labuhan Batu MT Milwan sebelum pemekaran Labura sudah menandatangani serta seluruh instansi terkaitnya turut pula menandatangani surat keputusan pembagian lahan kok setelah undang undang pemekaran No.23 tahun 2008 tanggal 21 Juli 2008 berdirinya Kabupaten Labuhan Batu Utara tanah yang ditandatangani Muspida Kabupaten Labuhan Batu tidak dilanjutkan sama muspida Kabupaten Labuhan Batu Utara. Selain itu Ching Kun semangkin biadab pondok petani dibakar tanaman dirusak dan tidak sedikit petani yang dianiaya. Namun langkah hukum di Labuhanbatu utara tidak menjangkau Ching Kun alias Johan praktek suap menyuap di kalangan aparat.
Ada beberapa surat keputusan yang di buat untuk pembagian tanah plasma petani 20 % dari 16.000.Ha Lahan PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong Jaya yang tidak dapat memaksa Ching kun untuk merealisasikan plasma untuk Rakyat Sukarame, seperti :
- Surat pembantu gubernur wilayah IV tanggal 8 Agustus 1998 no.593/183/1998.
- Surat pernyataaan Sumardi Syarif SE Menejer PT Graha Duta Leidong Jaya & PT Sawita Leidong Jaya tanggal 15 September 2000.
- Surat BPN Kanwil -SU Tanggal 12 Oktober 2001 No 610.2-22/1442/10/2001.
- Surat Ketua DPRD Kab.Labuhan Batu tanggal 26 Februari 2004 . No315./DPRD/2004.
- Surat Bupati Labuhan Batu Tertanggal 12 Agustus 2003 No.593/233/TST/2003.
- Surat Bupati Labuhan Batu tertanggal 15 juli 2004 No.593/1713/TST/2004.
- Surat Bupati Labuhan Batu Tertanggal 10 september 2004. No.593/2220/TST/2004.
kendati petani memiliki surat-surat yang menguatkan mereka secara hukum, namun dalam pendudukan lahan petani masih dihalangi oleh PT.GDLP/SLJ dan secara otomatis semua surat ini tidak ada artinya bagi Ching Kun alias Johan . selain itu PT.GDLP/SLJ juga bersengketa dengan kelompok petani lainnya.. Proses pelepasan 20% dari 14.000 Ha dalam bentuk plasma, mengalami proses yang terkesan sangat diulur-ulur. Akibatnya, anggota kelompok tani kemudian komplin, mereka bukan hanya membuat "gerakan lapangan", bahkan telah berulang kali mengadukan nasib mereka melalui wakil rakyat di lembaga legislatif, DPRD Labuhanbatu. Dan akhirnya, Kamis (5/7/2003) beberapa tahun lalu, di Balai Diklat Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Labuhanbatu, tuntutan petani diakomodir. Dimana masing-masing KK dari petani mendapat 1,3 hektare. Yakni setelah antara petani yang waktu itu dihadiri ratusan petani dipimpin oleh Aslan Nur Sitompul dan Ramio SH bertemu dengan pihak perusahaan diwakili Sumardi Syarif SE, dan berlangsung dihadapan anggota DPRD Labuhan Batu.
Terinci dari pertemuan itu, KUD Sumber Rezeki pimpinan Aslan Nur Sitompul (1.218 anggota), Kelompok Harapan Tani pimpinan Basirun (301 anggota), Kelompok Tani Air Hitam (432 anggota) dan KUD Bina Sawita (60 anggota). Meskipun kesepakatan sudah ditandatangani, namun hingga sekarang, Ching Kun masih belum merealisasikan lahan plasma dengan 1001 macam dalih. Ching Kun melalui orang-orang kepercayaannya terus mengulur-ulur waktu. Sekarang muncul pertanyaan, mengapa Bupati Labuhanbatu, H. Tengku Milwan seolah tak berdaya menghadapi keangkuhan Ching Kun. Bupati yang seyogianya "wasit" dalam pertarungan Ching Kun versus masyarakat, malah terkesan ikut jadi "penonton" dan bahkan ditenggarai berpihak kepada pengusaha.
Konflik PT GLDP dengan masyarakat local sudah sejak terjadi 1997 hingga kini. Permasalahan ini berawal dari upaya PT GDLP ingin menguasai lahan di Sukaramai kecamatan Kualuh Hulu, Labuhan Batu Utara,. Dimana Lahan milik masyarakat desa Sukaramai yang telah dikuasai sejak tahun 1970 an. Namun pihak pemerintah mengeluarkan izin penguasaan lahan kepada perusahaan tahun 1996. akibat konflik itu, Kedua belah pihak sepakat masuk ke meja perundingan dengan kesepakatan sebagai berikut 301 KK yang telah menguasai tanah Sukaramai, yang dianggap tidak memiliki surat tanah, bersedia menyerahkan lahan kepada PT GDLP, dengan konsekuensi, PT GDLP memberikan lahan ditempat lain seluas 602 HA kepada warga.
Hingga tahun 1999, ternyata PT GDLP tidak merealisasikan janjinya untuk memberikan lahan seluas 602 HA. Akibatnya, warga desa Sukaramai, termasuk desa Sonomartani, Desa Air Hitam, dan desa Teluk Pule, kembali menduduki lahan yang dulunya sempat diberikan kepada PT GDLP. Konflik tidak terelakkan dilapangan dan menimbulkan korban berupa perlakuan kekerasan terhadap petani oleh aparat kepolisian dan satuan pengaman PT GDLP.
Petani menjadi korban kekerasan dan penangkapan ketika mempertahankan haknya atas tanah. Sebanyak 5 orang Petani yang merupakan pengurus Kelompok Tani Penghijauan dijadikan sebagai tersangka karena dianggap memasuki areal perkebunan milik PT SLJ dan GDLP yaitu Basirun Parapat (ketua), Muslimin (wakil ketua), Bahman Marpaung (wakil sekretaris), Najar Marpaung (wakil ketua), dan Valentin Nainggolan (anggota Kelompok). Mereka ditangkap bulan Juni 2007, dan kemudian divonis antara 3,6 tahun hingga 9 bulan, kecuali Basirun Parapat yang tidak berhasil ditemukan oleh pihak Kepolisian dan menjadi DPO. Juli 2007, Nurhaidah Sitorus, istri Basirun Parapat, ditangkap, diadili, dan kemudian divonis selama 7 bulan. Penangkapan dan penahanan terhadap perempuan yang memiliki anak 6 orang yang masih kecil-kecil inilah yang kemudian dikenal sebagai drama ‘penyanderaan’. Nurhaidah Sitorus dijadikan korban karena suaminya, Basirun Parapat, tidak mau menyerahkan diri kepada Polisi.
Hingga saat ini(2009), masyarakat lokal tidak memperoleh tanah pengganti yang dijanjikan oleh pihak PT GDLP dan SLJ seluas 602 HA sesuai dengan kesepakatan awal dengan masyarakat. Bahkan, jalan kekerasan telah dipilih oleh perusahaan untuk mengeluarkan petani dari lahan yang sejatinya milik petani puluhan tahun di Kualuh Hulu.
B. Situasi marginal buruh PT GDLP
Terdapat tiga jenis status buruh di PT GDLP, yakni Buruh Borongan, Buruh Harian Lepas, dan buruh harian tetap atau buruh Bulanan. Praktis, belum ada buruh tetap, atau buruh Syarat Kerja Umum (SKU), di lingkungan PT GDLP. Perjanjian lisan menjadi model perikatan yang melemahkan posisi buruh dan bisa diberhentikan setiap saat. Model ini, bahkan lebih rendah dari pola outsourching, dimana buruh masih punya perikatan yang jelas dengan perusahaan agen yang merekrut buruh sebagai tenaga kerja.
Sistim pengupahan di PT.GDLP didasarkan pada status buruh. Upah buruh harian tetap sebesar Rp 37.000;/hari, jika seorang buruh berhasil mendapati basis borong sebanyak 90 janjang. Jika buruh tidak berhasil mendapatkan basis borong, upah per harinya dihitung Rp 285/janjang. Jatah beras 100 kg/bulan dikonversi ke uang sebesar Rp 75.000. Untuk buruh harian lepas, upah perharinya sama, Rp 37.000. Yang membedakan adalah fasilitas, seperti tidak mendapatkan jatah beras. Upah buruh borongan tidak ditetapkan, tetapi sesuai kesepakatan dengan agen pemborongnya.
Upah buruh borongan tergantung pada luas lahan yang dapat mereka kerjakan setiap hari. Biasanya perkebunan memberikan harga Rp 30.000 untuk membabat 1 HA lahan sawit. Kemudian pemborong akan memberikan harga Rp. 20.000 kepada buruh atau diberikannya harga per jalur sawit, satu jalur diberikan seharga Rp 5.000.
Sistem pengupahan PT GDLP ini bertentangan dengan UU No 13 tahun 2003, pasal 57 ayat 1 tentang perjanjian kerja, pasal 65 ayat 2 tentang syarat outsourching, dan pasal 66 ayat 1 jenis pekerjaan yang diperbolehkan memakai tenaga outsourching.
C. Fasilitas Perkebunan
PT GDLP memiliki perumahan buruh di Divisi I. Bentuk perumahan adalah rumah panggung-memanjang yang dibagi/disekat menjadi beberapa rumah. Hampir 90 % bahan material yang digunakan terbuat dari papan yang kondisi sudah mulai lapuk. Hanya fundasi rumah yang terbuat dari semen, yang tingginya ± 30-40 cm. Kondisi sekeliling perumahan pun tidak terawat, dengan adanya genangan lumpur, apalagi ketika turun hujan, dan sampah plastik yang banyak berserakan.
Perumahan buruh dilengkapi dengan aliran listrik dan air. Pendistribusiannya dibatasi per harinya. Secara sentral, aliran listrik kerumah-rumah dimatikan ketika jam kerja kebun, demikian juga air. Buruh dapat mengambil air dari lokasi PKS. Meskipun telah melalui proses penyaringan, tidak bisa dipastikan kualitas air bersih, mengingat daerah ini merupakan daerah gambut/rawa. Dampaknya kualitas kesehatan buruh dan keluarganya pun tidak terjamin penuh.
Fasilitas umum kepada buruh antara lain Puskesmas dan Sekolah Dasar (SD). Di puskesmas tersedia dokter praktek hari Senin dan Jumat, mulai pukul 13.00 wib s/d 15.00 wib. Bangunan sekolah dasar (SD) berlokasi di Divisi 5. Karena ketiadaan biaya, banyak anak buruh yang putus sekolah. Kalaupun ada yang sekolah, umumnya tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Kebanyakan anak buruh harus membantu kedua orang tuanya bekerja di perkebunan. Terutama untuk mengejar basis borong.
D. Dampak Kehadiran PT GDLP/SLJ Terhadap Lingkungan Hidup di Kecamatan Kualuh Hulu
Secara hukum, lahan yang dibuka dan saat ini dikelola oleh PT GDLP dan SLJ telah bermasalah, setelah menteri kehutanan menolak memberikan lahan seluas 16.000 HA di Kualuh Hulu, karena berada di hutan lindung dan merupakan lahan gambut. Daerah yang menurut jaman Kolonial disebut sebagai kawasan hutan register 4 KL ini, dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Menteri Kehutanan melalui suratnya kepada bupati Labuhan Batu, Badan Planologi Kehutanan (Surat No S.293/VII-PW/2005). Menteri Kehutanan, MS Kaban, tahun 2007, mengaku kembali menyurati Bupati untuk menyampaikan bahwa lahan yang sama berada dikawasan hutan lindung dan menjadi areal konservasi register 4 KL.
Lahan yang sebelumnya hutan alam ini adalah tempat warga Sukaramai, Sonomartani dan Airhitam untuk mencari nafkah seperti mencari ikan dan mencari kayu bakar, tetapi setelah dikonversi PT SLJ menjadi perkebunan sawit, warga kehilangan mata pencahariannya.
PT GDLP juga telah membangun tembok yang membatasi lahan milik masyarakat dengan lahan milik mereka, yang menimbulkan banjir setiap kali hujan datang, karena tidak ada jalan keluar genangan air yang ada di perkampungan dan kebun milik masyarakat desa Sukaramai. Tembok ini sering disebut masyarakat desa sebagai ‘tembok berlin’, yang tinggi dan lebarnya mencapai 1 meter. Tembok ini telah menyebabkan air tergenang dalam waktu yang lama dan menimbulkan berkembang biaknya jentik nyamuk yang luar biasa besar di perkampungan Sukaramai dan sekitarnya sejak tahun 2002.
Spoiler for penutup:
Penutup.
Sengketa petani dengan rakyat di Desa Sukarame Kecamatan Kualuh hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara ini berawal ketika kabupaten ini belum dimekarkan pada tahun 2008, sengketa ini sudah ada sejak tahun 1996 dimana PT.GDLP yang mulai membuka lahan Gambut di desa ini. Yang mana pada awalnya PT.GDLP/SLJ yang di miliki oleh Ching Kun Alias Johan, tidak kunjung menyelesaikan masalah pemberian Lahan Plasma yang telah dijanjikan perkebunan ini sejak awal yang diwakilkan oleh Manager nya yaitu Saudara Sumardi Syarif.SE dan sesuai rapat DPR yang difasilitasi Bupati Labuhan Batu rakyat yang berdiam di empat desa tersebut mereka mendapat kebun plasma seluas 2.800 Ha. Hal ini terus di tuntut oleh masyarakat karena pada awalnya sebelum datangnya perkebunan ini, lahan ini adalah lahan gambut yang luas dan kaya akan sumber daya alam yang pada dasarnya dapat memenuhi kesejahteraan masyarakat secara mendasar.
Kemudia sikap dari pengelola perkebunan dalam hal ini Ching Kun (Johan) bertindak sewenang-wenang akan rakyat sukarame, dan ditambah lagi ketidakpedulian pejabat di kabupaten ini terhadap masyarakat. Tapi Ahklak pengelola Bakri Group tidak jauh berbeda dengan PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong jaya hanya bisa menipu rakyat miskin.
Sengketa petani dengan rakyat di Desa Sukarame Kecamatan Kualuh hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara ini berawal ketika kabupaten ini belum dimekarkan pada tahun 2008, sengketa ini sudah ada sejak tahun 1996 dimana PT.GDLP yang mulai membuka lahan Gambut di desa ini. Yang mana pada awalnya PT.GDLP/SLJ yang di miliki oleh Ching Kun Alias Johan, tidak kunjung menyelesaikan masalah pemberian Lahan Plasma yang telah dijanjikan perkebunan ini sejak awal yang diwakilkan oleh Manager nya yaitu Saudara Sumardi Syarif.SE dan sesuai rapat DPR yang difasilitasi Bupati Labuhan Batu rakyat yang berdiam di empat desa tersebut mereka mendapat kebun plasma seluas 2.800 Ha. Hal ini terus di tuntut oleh masyarakat karena pada awalnya sebelum datangnya perkebunan ini, lahan ini adalah lahan gambut yang luas dan kaya akan sumber daya alam yang pada dasarnya dapat memenuhi kesejahteraan masyarakat secara mendasar.
Kemudia sikap dari pengelola perkebunan dalam hal ini Ching Kun (Johan) bertindak sewenang-wenang akan rakyat sukarame, dan ditambah lagi ketidakpedulian pejabat di kabupaten ini terhadap masyarakat. Tapi Ahklak pengelola Bakri Group tidak jauh berbeda dengan PT Graha Duta Leidong Prima & PT Sawita Leidong jaya hanya bisa menipu rakyat miskin.
Spoiler for daftar pustaka:
Diubah oleh numbermaster 09-02-2014 17:34
0
3.8K
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan