- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kisah Tan Malaka sekolah guru di Belanda hasil utang sekampung


TS
BOBY.
Kisah Tan Malaka sekolah guru di Belanda hasil utang sekampung


Spoiler for Bukti No Repost:
Quote:

Spoiler for ILUSTRASI:

Kisah Tan Malaka sekolah guru di Belanda hasil utang sekampung
Quote:
Sejak kecil, Tan Malaka sudah disukai guru-gurunya karena kecerdasan yang dimilikinya. Di sekolah pemerintah kelas satu di Kweekschool (Sekolah Guru Negeri) di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), Minang Kabau, Tan Malaka bahkan diangkat sebagai anak oleh seorang guru Belanda yang menjabat sebagai Direktur II, GH Horensma dan istrinya.
Horensma sangat menyayangi Tan Malaka . Dia tak mau kecerdasan Tan Malaka sia-sia karenanya Horensma menginginkan Tan Malaka melanjutkan sekolahnya di Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru negeri) yang berada di Belanda. Pada 1913, Horensma dan istri berencana liburan ke Belanda.
Horensma ingin membawa Tan Malaka . Apalagi di tahun itu Tan Malaka akan mengikuti ujian akhir. Jika lulus tentu saja tak ada halangan untuk Tan Malaka ikut bersamanya ke negeri kicir angin. Sesuai harapan, Tan Malaka berhasil lulus ujian akhir dengan memuaskan.
Namun ternyata ada sebuah kendala besar yang menjadi hambatan agar Tan Malaka bisa ikut ke Belanda. Kendala itu adalah dana. Diperlukan uang yang tak sedikit untuk pergi dan bersekolah di Belanda. Sementara, orang tua Tan Malaka tak mungkin membiayai sendiri.
Namun Horensma tak putus asa. Dia memiliki ide sebagai jalan keluar. Dia mengajak Tan Malaka pergi menuju Suliki yang tak lain merupakan tempat kelahiran Tan Malaka . Di Suliki keduanya menemui seorang yang bekerja sebagai kontrolir bernama W Dominicus yang tak lain adalah teman baik Horensma.
"Setelah melakukan urun rembuk akhirnya semua sepakat untuk mendirikan sebuah yayasan yang bergerak mengumpulkan dana pinjaman sebesar 50 rupiah setiap bulan," demikian ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa.
Dana pinjaman itu dikumpulkan untuk membiayai Tan Malaka selama melanjutkan studi di Belanda, yang diprediksi antara dua hingga tiga tahun. Untuk jadi jaminan, orang tua Tan Malaka rela menjaminkan harta benda miliknya. Nama yayasan itu sendiri adalah 'Engkufonds'. Anggotanya terdiri dari para engku di Suliki, para guru di sekolah guru dan para pegawai negeri.
Tan Malaka berjanji akan mengembalikan utang tersebut setelah selesai studi di Belanda dan kembali di Tanah Air. Setelah semuanya beres, Tan Malaka pun berangkat ke Belanda bersama Horensma dengan menumpang kapal Wilis pada Oktober 1913 dan tiba di negeri kicir angin pada 10 Januari 1914, dan diterima sebagai mahasiswa di Rijksweekschool, yang berlokasi di Haarlem, Belanda.
Tan Malaka pun menjalani studinya di sekolah itu. Meski awalnya mengalami kesulitan, Tan Malaka akhirnya dapat beradaptasi dengan lingkungan dan pelajaran yang ditempuhnya. Kelak, seluruh utang-utangnya berhasil dilunasinya dari hasil kerja kerasnya.
Horensma sangat menyayangi Tan Malaka . Dia tak mau kecerdasan Tan Malaka sia-sia karenanya Horensma menginginkan Tan Malaka melanjutkan sekolahnya di Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru negeri) yang berada di Belanda. Pada 1913, Horensma dan istri berencana liburan ke Belanda.
Horensma ingin membawa Tan Malaka . Apalagi di tahun itu Tan Malaka akan mengikuti ujian akhir. Jika lulus tentu saja tak ada halangan untuk Tan Malaka ikut bersamanya ke negeri kicir angin. Sesuai harapan, Tan Malaka berhasil lulus ujian akhir dengan memuaskan.
Namun ternyata ada sebuah kendala besar yang menjadi hambatan agar Tan Malaka bisa ikut ke Belanda. Kendala itu adalah dana. Diperlukan uang yang tak sedikit untuk pergi dan bersekolah di Belanda. Sementara, orang tua Tan Malaka tak mungkin membiayai sendiri.
Namun Horensma tak putus asa. Dia memiliki ide sebagai jalan keluar. Dia mengajak Tan Malaka pergi menuju Suliki yang tak lain merupakan tempat kelahiran Tan Malaka . Di Suliki keduanya menemui seorang yang bekerja sebagai kontrolir bernama W Dominicus yang tak lain adalah teman baik Horensma.
"Setelah melakukan urun rembuk akhirnya semua sepakat untuk mendirikan sebuah yayasan yang bergerak mengumpulkan dana pinjaman sebesar 50 rupiah setiap bulan," demikian ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa.
Dana pinjaman itu dikumpulkan untuk membiayai Tan Malaka selama melanjutkan studi di Belanda, yang diprediksi antara dua hingga tiga tahun. Untuk jadi jaminan, orang tua Tan Malaka rela menjaminkan harta benda miliknya. Nama yayasan itu sendiri adalah 'Engkufonds'. Anggotanya terdiri dari para engku di Suliki, para guru di sekolah guru dan para pegawai negeri.
Tan Malaka berjanji akan mengembalikan utang tersebut setelah selesai studi di Belanda dan kembali di Tanah Air. Setelah semuanya beres, Tan Malaka pun berangkat ke Belanda bersama Horensma dengan menumpang kapal Wilis pada Oktober 1913 dan tiba di negeri kicir angin pada 10 Januari 1914, dan diterima sebagai mahasiswa di Rijksweekschool, yang berlokasi di Haarlem, Belanda.
Tan Malaka pun menjalani studinya di sekolah itu. Meski awalnya mengalami kesulitan, Tan Malaka akhirnya dapat beradaptasi dengan lingkungan dan pelajaran yang ditempuhnya. Kelak, seluruh utang-utangnya berhasil dilunasinya dari hasil kerja kerasnya.
Spoiler for ILUSTRASI:

Tan Malaka cerdas tapi 2 kali tak lulus ujian akhir di Belanda
Quote:
Tan Malaka berhasil diterima menjadi mahasiswa Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru negeri), Haarlem, Belanda, setelah lulus serangkaian tes dan mendapat izin dari Kementerian Negeri Belanda pada 1914. Pada waktu awal, Tan Malaka mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat, iklim, dan makanan di Belanda.
Namun berkat bantuan Horensma, Tan Malaka akhirnya berhasil menyesuaikan diri dan melewati semua itu. Selama studi di sekolah itu, Tan Malaka tidak menyukai pelajaran yang berbasis pada hafalan. Biasanya materi itu berada pada pelajaran yang membahas soal tumbuh-tumbuhan.
"Kebencian kepada dunia yang berupa kaji-hafalan yang dipaksakan karena tidak menarik hati, lebih hebat daripada kebencian menghadapi roti keju dan roti keju zonder variasi dari hari ke hari di asrama dulu. Kebencian terhadap roti ini hanya timbul di waktu menghadapinya saja, tetapi kebencian terhadap kaji-hafalan yang dipaksakan adalah terus menerus," kata Tan Malaka dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa.
Di Belanda, Tan Malaka tak mau diremehkan oleh orang-orang yang menjajah bangsanya. Dalam setiap kesempatan, Tan Malaka kerap menunjukkan bahwa dirinya lebih baik daripada bangsa Belanda. Salah satunya adalah di bidang sepak bola. Dia selalu berada di garis depan sebagai penyerang saat tengah bermain. Namun sayang Tan Malaka tak pandai menjaga kesehatannya. Jika sudah asyik bermain bola, dia enggan menggunakan jaket tebal saat beristirahat dan kerap telat makan. Alhasil pada Juli 1915, Tan Malaka jatuh sakit dan divonis dokter sakit radang paru-paru.
Di Belanda, Tan Malaka beberapa kali pindah indekos demi mengirit Rp 50 yang dikirim orang kampungnya. Singkat cerita, Tan Malaka akhirnya lulus ujian akhir sekolah secara tertulis pada 1916. Namun, dia harus mengikuti satu studi lagi untuk mendapat akta guru kepala. Pemilik akta itu akan langsung diangkat resmi menjadi guru oleh pemerintah.
Namun kondisi kesehatan Tan Malaka saat itu kian memburuk. Dia pun disarankan dokter untuk pulang ke tanah air agar mendapat pengobatan secara intensif. Sebab, dengan Rp 50 sebulan yang digunakan untuk mencukupi semua keperluannya, Tan Malaka tidak dapat maksimal mengecek dan mengobati kesehatannya di Belanda.
Tan Malaka pun menolak saran dokter. Dia tak mau pulang tanpa hasil. Sebab, dia harus membayar utang-utang yang dimilikinya. Tan Malaka mencari tambahan penghasilan dengan mengajar kursus bahasa melayu kepada warga Belanda. Pada 28 Juni 1918, Tan Malaka mengikuti ujian tertulis untuk akta guru kepala dan mendapat hasil yang menggembirakan. Namun dia gagal mengikuti ujian lisan. Tan Malaka sedih atas kegagalannya itu.
"Pada 27 Juni 1919, ia kembali menempuh ujian tertulis. Di akhir Juli, ia mengikuti ujian lisan tetapi lagi-lagi ia tidak lulus."
Ada beberapa versi penyebab kegagalan Tan Malaka dalam ujian itu. Versi pertama, kegagalan itu disebabkan karena nilai pengetahuan alam, berhitung dan bahasa Tan Malaka kurang baik. Namun, versi kedua menyatakan kegagalan Tan Malaka dalam ujian itu bukan karena nilai yang kurang baik, melainkan akibat politik imperialisme Belanda saat itu.
Saat itu, pemerintah Belanda mengeluarkan aturan setiap tahun hanya satu calon saja dari daerah jajahan yang lulus akta kepala. Bayangkan saja begitu banyak orang yang bangsanya dijajah sekolah di Belanda tapi satu tahun hanya dijatah satu orang saja yang lulus.
Waktu terus berjalan, Tan Malaka yang awalnya ditargetkan oleh orang tua hanya dua hingga tiga tahun lulus sekolah di Belanda dan kembali ke tanah air nyatanya hingga 1919 belum juga kembali. Orangtuanya lantas memberinya ultimatum agar Tan Malaka segera pulang.
Akhirnya, setelah dua kali gagal, pada November 1919, Tan Malaka berhasil lulus dan mendapatkan ijazahnya yang disebut Hulpactie. Belanda menjadi negeri yang membentuk Tan Malaka . Di negeri ini, Tan Malaka mengenal sosialisme. Dia kerap membaca koran, artikel dan segala macam buku aliran kiri. Belanda menjadi titik awal perjuangan Tan Malaka yang bercita-cita memerdekakan Indonesia dari penjajahan dan menerapkan keadilan bagi semua kelas sesuai sosialisme.
Kelak, Tan Malaka menjadi pencetus pertama berdirinya Republik Indonesia. Hal itu bahkan dibukukan dalam bukunya yang berjudul 'Naar de Republiek Indonesia' (menuju Republik Indonesia) pada 1925, beberapa tahun sebelum Bung Hatta dan Bung Karno menulis buku soal konsep kemerdekaan Indonesia.
Pemikiran Tan Malaka kemudian banyak dijadikan acuan Bung Karno dan tokoh pergerakan lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno bahkan memberi gelar Tan Malaka sebagai 'orang yang ahli dalam revolusi', sementara Moh Yamin dalam tulisannya di sebuah artikel koran menyebut Tan Malaka sebagai 'Bapak Republik Indonesia.'
Namun berkat bantuan Horensma, Tan Malaka akhirnya berhasil menyesuaikan diri dan melewati semua itu. Selama studi di sekolah itu, Tan Malaka tidak menyukai pelajaran yang berbasis pada hafalan. Biasanya materi itu berada pada pelajaran yang membahas soal tumbuh-tumbuhan.
"Kebencian kepada dunia yang berupa kaji-hafalan yang dipaksakan karena tidak menarik hati, lebih hebat daripada kebencian menghadapi roti keju dan roti keju zonder variasi dari hari ke hari di asrama dulu. Kebencian terhadap roti ini hanya timbul di waktu menghadapinya saja, tetapi kebencian terhadap kaji-hafalan yang dipaksakan adalah terus menerus," kata Tan Malaka dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa.
Di Belanda, Tan Malaka tak mau diremehkan oleh orang-orang yang menjajah bangsanya. Dalam setiap kesempatan, Tan Malaka kerap menunjukkan bahwa dirinya lebih baik daripada bangsa Belanda. Salah satunya adalah di bidang sepak bola. Dia selalu berada di garis depan sebagai penyerang saat tengah bermain. Namun sayang Tan Malaka tak pandai menjaga kesehatannya. Jika sudah asyik bermain bola, dia enggan menggunakan jaket tebal saat beristirahat dan kerap telat makan. Alhasil pada Juli 1915, Tan Malaka jatuh sakit dan divonis dokter sakit radang paru-paru.
Di Belanda, Tan Malaka beberapa kali pindah indekos demi mengirit Rp 50 yang dikirim orang kampungnya. Singkat cerita, Tan Malaka akhirnya lulus ujian akhir sekolah secara tertulis pada 1916. Namun, dia harus mengikuti satu studi lagi untuk mendapat akta guru kepala. Pemilik akta itu akan langsung diangkat resmi menjadi guru oleh pemerintah.
Namun kondisi kesehatan Tan Malaka saat itu kian memburuk. Dia pun disarankan dokter untuk pulang ke tanah air agar mendapat pengobatan secara intensif. Sebab, dengan Rp 50 sebulan yang digunakan untuk mencukupi semua keperluannya, Tan Malaka tidak dapat maksimal mengecek dan mengobati kesehatannya di Belanda.
Tan Malaka pun menolak saran dokter. Dia tak mau pulang tanpa hasil. Sebab, dia harus membayar utang-utang yang dimilikinya. Tan Malaka mencari tambahan penghasilan dengan mengajar kursus bahasa melayu kepada warga Belanda. Pada 28 Juni 1918, Tan Malaka mengikuti ujian tertulis untuk akta guru kepala dan mendapat hasil yang menggembirakan. Namun dia gagal mengikuti ujian lisan. Tan Malaka sedih atas kegagalannya itu.
"Pada 27 Juni 1919, ia kembali menempuh ujian tertulis. Di akhir Juli, ia mengikuti ujian lisan tetapi lagi-lagi ia tidak lulus."
Ada beberapa versi penyebab kegagalan Tan Malaka dalam ujian itu. Versi pertama, kegagalan itu disebabkan karena nilai pengetahuan alam, berhitung dan bahasa Tan Malaka kurang baik. Namun, versi kedua menyatakan kegagalan Tan Malaka dalam ujian itu bukan karena nilai yang kurang baik, melainkan akibat politik imperialisme Belanda saat itu.
Saat itu, pemerintah Belanda mengeluarkan aturan setiap tahun hanya satu calon saja dari daerah jajahan yang lulus akta kepala. Bayangkan saja begitu banyak orang yang bangsanya dijajah sekolah di Belanda tapi satu tahun hanya dijatah satu orang saja yang lulus.
Waktu terus berjalan, Tan Malaka yang awalnya ditargetkan oleh orang tua hanya dua hingga tiga tahun lulus sekolah di Belanda dan kembali ke tanah air nyatanya hingga 1919 belum juga kembali. Orangtuanya lantas memberinya ultimatum agar Tan Malaka segera pulang.
Akhirnya, setelah dua kali gagal, pada November 1919, Tan Malaka berhasil lulus dan mendapatkan ijazahnya yang disebut Hulpactie. Belanda menjadi negeri yang membentuk Tan Malaka . Di negeri ini, Tan Malaka mengenal sosialisme. Dia kerap membaca koran, artikel dan segala macam buku aliran kiri. Belanda menjadi titik awal perjuangan Tan Malaka yang bercita-cita memerdekakan Indonesia dari penjajahan dan menerapkan keadilan bagi semua kelas sesuai sosialisme.
Kelak, Tan Malaka menjadi pencetus pertama berdirinya Republik Indonesia. Hal itu bahkan dibukukan dalam bukunya yang berjudul 'Naar de Republiek Indonesia' (menuju Republik Indonesia) pada 1925, beberapa tahun sebelum Bung Hatta dan Bung Karno menulis buku soal konsep kemerdekaan Indonesia.
Pemikiran Tan Malaka kemudian banyak dijadikan acuan Bung Karno dan tokoh pergerakan lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno bahkan memberi gelar Tan Malaka sebagai 'orang yang ahli dalam revolusi', sementara Moh Yamin dalam tulisannya di sebuah artikel koran menyebut Tan Malaka sebagai 'Bapak Republik Indonesia.'
Spoiler for ILUSTRASI:

Tan Malaka pernah ingin satukan Indonesia-Australia dalam Aslia
Quote:
Isu penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah pejabat negara lainnya belakangan membuat hubungan kedua negara memanas. Sebagai negeri tetangga yang kerap menjalin kerja sama dengan Indonesia, Australia dinilai tak tahu diri atas penyadapan yang dilakukannya.
Indonesia dengan Australia memang dua negara yang memiliki kedekatan dari segi letak geografis. Dulu Ibrahim Datuk Tan Malaka , sang Bapak Republik Indonesia, bahkan sempat memiliki konsep penyatuan Australia, Indonesia dan sejumlah negara Asia lainnya dalam Aslia yang merupakan singkatan dari Asia-Australia.
Ceritanya, pada Juni 1927 Tan Malaka berada di Bangkok dan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) bersama Subakat dan Jamaludin Tamim. Namun, selang berapa tahun kemudian sesuai dengan suasana dan kondisi dunia yang berubah, PARI lantas menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional.
"Jadi wataknya PARI tetap Proletaris seperti sedia kala dan daerahnya tetap pula internasional seperti dulu, tetapi daerahnya sudah bertambah luas, daerahnya sekarang adalah daerah yang cocok dengan penyelidikan para ahli yang bersandarkan atas ilmu bumi ilmu bangsa serta akhirnya cocok pula dengan perekonomian," kata Tan Malaka dalam 'Manifesto Jakarta' 1945.
Menurut Tan Malaka , Aslia meliputi wilayah Birma (sekarang Myanmar), Thailand, Annam, Philipina, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Sunda kecil dan Australia Panas. Wilayah Australia Panas yang dimaksud luasnya sekitar 1/3 dari keseluruhan wilayah Australia.
Tan Malaka yakin di zaman kuno, wilayah Indonesia menyatu dengan Australia. Hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan ilmu pasti Asia. Saat itu, manusia di tanah Indonesia juga berada di tanah Australia hingga proses alam akhirnya memisahkan tanah kedua wilayah itu.
Meski demikian, Tan Malaka sadar penduduk Australia di eranya mayoritas bukan warga pribumi. Di wilayah Australia bagian selatan yang berudara sejuk, didiami oleh bangsa Eropa yang merupakan keturunan dari orang-orang hukuman Kerajaan Inggris di masa lampau. Tan Malaka menyebut wilayah itu sebagai Australia Putih. Mereka tak bisa hidup di wilayah Australia Panas.
"Bangsa pindahan ini seperti juga di Amerika membinasakan lebih kurang memusnahkan bangsa Australia Asli dan peperangan lahir dan batin yang tiada henti-hentinya, di seluruh Australia Putih yang luasnya lebih kurang 1/3 pula dari seluruh dataran Australia yang luasnya 3 juta miles persegi itu," kata Tan Malaka .
Menurut Tan Malaka , seluruh wilayah Aslia memiliki berbagai kesamaan, dua di antaranya adalah kondisi iklim dan musim. Selain itu, alat perkakas, kehidupan ekonomi, sosial, politik, jiwa, perasaan, hasrat serta impian masyarakatnya juga tidak berbeda satu sama lain.
"Pendek kata seluruh Aslia kini dalam segala cara penghidupan berada dalam keadaan yang bersamaan dan suasana serta keadaan dunia setelah Perang Dunia II ini membutuhkan pergabungan dan kerja sama," kata Bapak Republik Indonesia itu.
Tan Malaka bercita-cita mewujudkan masyarakat yang tolong menolong dan sama rata dalam semua segi kehidupan di Aslia. Selain itu, Tan Malaka berpandangan, dengan terwujudnya Aslia, akan tercipta kesimbangan di dunia internasional. Hal itu berdasarkan pembagian negara-negara raksasa yang dilakukannya. Dia membagi negara-negara di dunia ini menjadi delapan hingga 10 kelompok raksasa.
"Amerika Serikat dan Kanada kira-kira mempunyai wilayah 8 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk kira-kira 160 juta jiwa. Tiongkok dengan luas wilayah 4,5 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 400 juta jiwa, Soviet Rusia mempunyai wilayah lebih kurang 9 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa, penduduk Eropa Barat dengan luas wilayah 3,75 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 350 juta jiwa, dan selanjutnya Hindustan dan Iran (Indo-Iran), Afrika dalam satu atau dua gabungan, Amerika Selatan jika ingin berdiri sendiri," katanya.
Tan Malaka meyakini dengan adanya delapan hingga 10 gabungan raksasa dunia yang masing-masing dapat berdiri sendiri dalam hal ekonomi itu, satu sama lainnya akan saling menghormati. Sebab, kekuatan besar tidak akan melawan kekuatan besar. Mereka justru akan saling menjaga kedamaian dan saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan terciptanya kondisi tersebut, Tan Malaka percaya keamanan, kemakmuran dan persatuan dunia akan tercipta. Sebab, perdamaian dunia tidak akan bisa kekal jika hanya ada tiga atau empat negara besar saja. Karena, penjajahan secara langsung maupun tidak langsung (ekonomi) akan terus terjadi terhadap negara kecil. Tentunya, negara kecil terjajah itu tidak akan terima dan mencoba mencari koloni dengan negara besar lainnya yang dapat berujung pada terciptanya permusuhan hingga dapat menimbulkan perang dunia.
Karena itu, menurut Tan Malaka cuma konsep 'gabungan kelompok raksasa' yang dapat menjamin terciptanya perdamaian di muka bumi.
"Perhubungan yang semakin hari akan semakin rapat antara manusia dan manusia, bangsa dan bangsa juga dalam politik, ekonomi dan kebudayaan kelak selangkah demi selangkah akan mengadakan Internasionalisme yang berdasarkan keanekaragaman yang bersatu padu (homogen )," katanya.
Andai konsep tersebut saat itu dapat terealisasi tentunya kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia tak akan terjadi dan kehidupan dunia internasional akan lebih adil.
Indonesia dengan Australia memang dua negara yang memiliki kedekatan dari segi letak geografis. Dulu Ibrahim Datuk Tan Malaka , sang Bapak Republik Indonesia, bahkan sempat memiliki konsep penyatuan Australia, Indonesia dan sejumlah negara Asia lainnya dalam Aslia yang merupakan singkatan dari Asia-Australia.
Ceritanya, pada Juni 1927 Tan Malaka berada di Bangkok dan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) bersama Subakat dan Jamaludin Tamim. Namun, selang berapa tahun kemudian sesuai dengan suasana dan kondisi dunia yang berubah, PARI lantas menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional.
"Jadi wataknya PARI tetap Proletaris seperti sedia kala dan daerahnya tetap pula internasional seperti dulu, tetapi daerahnya sudah bertambah luas, daerahnya sekarang adalah daerah yang cocok dengan penyelidikan para ahli yang bersandarkan atas ilmu bumi ilmu bangsa serta akhirnya cocok pula dengan perekonomian," kata Tan Malaka dalam 'Manifesto Jakarta' 1945.
Menurut Tan Malaka , Aslia meliputi wilayah Birma (sekarang Myanmar), Thailand, Annam, Philipina, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Sunda kecil dan Australia Panas. Wilayah Australia Panas yang dimaksud luasnya sekitar 1/3 dari keseluruhan wilayah Australia.
Tan Malaka yakin di zaman kuno, wilayah Indonesia menyatu dengan Australia. Hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan ilmu pasti Asia. Saat itu, manusia di tanah Indonesia juga berada di tanah Australia hingga proses alam akhirnya memisahkan tanah kedua wilayah itu.
Meski demikian, Tan Malaka sadar penduduk Australia di eranya mayoritas bukan warga pribumi. Di wilayah Australia bagian selatan yang berudara sejuk, didiami oleh bangsa Eropa yang merupakan keturunan dari orang-orang hukuman Kerajaan Inggris di masa lampau. Tan Malaka menyebut wilayah itu sebagai Australia Putih. Mereka tak bisa hidup di wilayah Australia Panas.
"Bangsa pindahan ini seperti juga di Amerika membinasakan lebih kurang memusnahkan bangsa Australia Asli dan peperangan lahir dan batin yang tiada henti-hentinya, di seluruh Australia Putih yang luasnya lebih kurang 1/3 pula dari seluruh dataran Australia yang luasnya 3 juta miles persegi itu," kata Tan Malaka .
Menurut Tan Malaka , seluruh wilayah Aslia memiliki berbagai kesamaan, dua di antaranya adalah kondisi iklim dan musim. Selain itu, alat perkakas, kehidupan ekonomi, sosial, politik, jiwa, perasaan, hasrat serta impian masyarakatnya juga tidak berbeda satu sama lain.
"Pendek kata seluruh Aslia kini dalam segala cara penghidupan berada dalam keadaan yang bersamaan dan suasana serta keadaan dunia setelah Perang Dunia II ini membutuhkan pergabungan dan kerja sama," kata Bapak Republik Indonesia itu.
Tan Malaka bercita-cita mewujudkan masyarakat yang tolong menolong dan sama rata dalam semua segi kehidupan di Aslia. Selain itu, Tan Malaka berpandangan, dengan terwujudnya Aslia, akan tercipta kesimbangan di dunia internasional. Hal itu berdasarkan pembagian negara-negara raksasa yang dilakukannya. Dia membagi negara-negara di dunia ini menjadi delapan hingga 10 kelompok raksasa.
"Amerika Serikat dan Kanada kira-kira mempunyai wilayah 8 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk kira-kira 160 juta jiwa. Tiongkok dengan luas wilayah 4,5 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 400 juta jiwa, Soviet Rusia mempunyai wilayah lebih kurang 9 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa, penduduk Eropa Barat dengan luas wilayah 3,75 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 350 juta jiwa, dan selanjutnya Hindustan dan Iran (Indo-Iran), Afrika dalam satu atau dua gabungan, Amerika Selatan jika ingin berdiri sendiri," katanya.
Tan Malaka meyakini dengan adanya delapan hingga 10 gabungan raksasa dunia yang masing-masing dapat berdiri sendiri dalam hal ekonomi itu, satu sama lainnya akan saling menghormati. Sebab, kekuatan besar tidak akan melawan kekuatan besar. Mereka justru akan saling menjaga kedamaian dan saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan terciptanya kondisi tersebut, Tan Malaka percaya keamanan, kemakmuran dan persatuan dunia akan tercipta. Sebab, perdamaian dunia tidak akan bisa kekal jika hanya ada tiga atau empat negara besar saja. Karena, penjajahan secara langsung maupun tidak langsung (ekonomi) akan terus terjadi terhadap negara kecil. Tentunya, negara kecil terjajah itu tidak akan terima dan mencoba mencari koloni dengan negara besar lainnya yang dapat berujung pada terciptanya permusuhan hingga dapat menimbulkan perang dunia.
Karena itu, menurut Tan Malaka cuma konsep 'gabungan kelompok raksasa' yang dapat menjamin terciptanya perdamaian di muka bumi.
"Perhubungan yang semakin hari akan semakin rapat antara manusia dan manusia, bangsa dan bangsa juga dalam politik, ekonomi dan kebudayaan kelak selangkah demi selangkah akan mengadakan Internasionalisme yang berdasarkan keanekaragaman yang bersatu padu (homogen )," katanya.
Andai konsep tersebut saat itu dapat terealisasi tentunya kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia tak akan terjadi dan kehidupan dunia internasional akan lebih adil.
Spoiler for Sumber:

Monggi di 





Cendolnya Kalo Berkenan 






Diubah oleh BOBY. 26-11-2013 08:43
0
3.5K
Kutip
19
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan