- Beranda
- Komunitas
- News
- Melek Hukum
Kalau Ngajak Jalan Pacar, Perlu Izin Orang Tuanya Ga Sih?


TS
hukumonline.com
Kalau Ngajak Jalan Pacar, Perlu Izin Orang Tuanya Ga Sih?
Agan-agan ada ga yang pernah ngajak jalan pacarnya tapi ga minta izin dulu sama orangtuanya?? 
Kalau ada, agan-agan harus hati-hati nih karena ada kemungkinan agan-agan bisa dijerat sama Pasal 332 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana("KUHP").
Berikut penjelasannya gan:
Pertanyaan:
Jawaban:
Nah agan-agan, jadi untuk menghindari jerat pidana dalam KUHP tersebut, lebih baik kalau mau ngajak jalan pacar, izin dulu sama orang tuanya.
Gimana menurut agan dan aganwati? Kalau punya pendapat, silahkan di share di sini.
(lsc)

Kalau ada, agan-agan harus hati-hati nih karena ada kemungkinan agan-agan bisa dijerat sama Pasal 332 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana("KUHP").

Berikut penjelasannya gan:
Pertanyaan:
Quote:
Saya adalah seorang pria berusia 26 tahun dan saya mempunyai pacar yang berumur 20 tahun. Masalah yang saya hadapi adalah saya dan pasangan saya diharuskan untuk menikah karena beberapa kesalahan. Dan sebenarnya saya dan pasangan saya belum siap untuk menikah. Saya adalah orang awam yang belum benar-benar paham tentang hukum. Di sini saya dijatuhi kesalahan dari pihak pacar saya bahwa saya penyebab putus kuliahnya pacar saya. Yang ingin saya tanyakan, 1. Apakah benar sesuai jalur hukum harus dinikahkan? 2. Apakah saya bersalah jika jalan dengan pacar saya selama 24 jam tanpa sepengetahuan orang tua wanita yang mana itu berdasarkan suka sama suka antara saya dan pacar saya? Atas jawabannya saya limpahkan terima kasih.
Jawaban:
Quote:
1. Pada dasarnya, tidak ada pengaturan dalam hukum tertulis di Indonesia yang mengharuskan seseorang menikahi orang lain karena dianggap menyebabkan putus kuliahnya pacarnya. Perlu diketahui bahwa pacaran itu bukanlah hukum sehingga tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya.
Bahkan janji untuk menikahi pasangan Anda pun tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi hukum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 58 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPer”).
Walaupun atas pasal tersebut terdapat pengecualian sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Langkah Hukum Jika Calon Suami Membatalkan Perkimpoian Secara Sepihak dan Tidak Menepati Janji Menikah Adalah PMH.
Selain itu, pada dasarnya perkimpoian harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian (“UU Perkimpoian”)). Dimana mengenai persetujuan ini, kita dapat merujuk kepada ketentuan dalam KUHPer, yaitu Pasal 1321 KUHPer, yang mengatakan bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Bahkan janji untuk menikahi pasangan Anda pun tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi hukum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 58 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPer”).
Spoiler for Pasal 58 KUHPer:
“Janji kimpoi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka Hakim berlangsungnya perkimpoian, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu, semua persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.
Akan tetapi, jika pemberitahuan kimpoi ini telah diikuti oleh suatu pengumuman,, maka ha! itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak yang lain; dalam pada itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan keuntungan. Tuntutan ini lewat waktu dengan lampaunya waktu delapan belas bulan, terhitung dari pengumuman perkimpoian itu.”
Akan tetapi, jika pemberitahuan kimpoi ini telah diikuti oleh suatu pengumuman,, maka ha! itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak yang lain; dalam pada itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan keuntungan. Tuntutan ini lewat waktu dengan lampaunya waktu delapan belas bulan, terhitung dari pengumuman perkimpoian itu.”
Walaupun atas pasal tersebut terdapat pengecualian sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Langkah Hukum Jika Calon Suami Membatalkan Perkimpoian Secara Sepihak dan Tidak Menepati Janji Menikah Adalah PMH.
Selain itu, pada dasarnya perkimpoian harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian (“UU Perkimpoian”)). Dimana mengenai persetujuan ini, kita dapat merujuk kepada ketentuan dalam KUHPer, yaitu Pasal 1321 KUHPer, yang mengatakan bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Quote:
2. Mengenai perbuatan Anda membawa pacar Anda pergi (jalan) selama 24 jam tanpa sepengetahuan orang tua wanita, perlu Anda ketahui bahwa ada pengaturan dalam KUHPmengenai hal tersebut, yaitu Pasal 332 KUHPtentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Seseorang:
(1) Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara:
1. paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkimpoian;
2. paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkimpoian.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan.
(3) Pengaduan dilakukan:
a. jika wanita ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri, atau orang lain yang harus memberi izin bila dia kimpoi;
b. jika wanita ketika dibawa pergi sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
(4) Jika yang membawa pergi lalu kimpoi dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap perkimpoian itu berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetboek, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkimpoian itu dinyatakan batal.
Mengenai jangka waktu berapa lama yang dimaksud dengan “penguasaan terhadap wanita itu”, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Bahasa Hukum: "Melarikan Perempuan Di Bawah Umur", Putusan Hoge Raad 3 Desember 1888 (Soenarto Soerodibroto, 2011: 205) menegaskan ‘untuk penguasaan atas wanita itu tidak diperlukan adanya penguasaan kekuasaan secara lama’. Namun, tidak disebutkan secara tegas berapa lama waktu yang diperlukan agar memenuhi unsur membawa lari.
Berdasarkan pada uraian di atas, kami berpendapat, untuk dapat dituntut berdasarkan Pasal 332 ayat (2) KUHP, perbuatan Anda harus memenuhi unsur-unsur pasal tersebut, yaitu; melarikan wanita dewasa, dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dan dengan maksud untuk menguasai wanita tersebut baik di dalam perkimpoian maupun di luar perkimpoian. Kejahatan ini merupakan delik aduan, yang penuntutannya dilakukan atas dasar pengaduan oleh si wanita itu sendiri, atau oleh suaminya. Karena pacar Anda belum bersuami, maka hanya dia yang berhak melakukan pengaduan.
Sebagai kesimpulan, kami berpandangan bahwa kasus yang Anda alami sering terjadi di masyarakat di mana seorang pria diharuskan atau dituntut menikahi seorang wanita. Tuntutan untuk menikahi itu lazimnya karena adanya kekhawatiran orang tua atas masa depan anak wanitanya. Dipandang dari norma sosial sebagian masyarakat, tuntutan untuk menikahi itu tentu dapat dipahami. Namun, dipandang dari kacamata hukum nasional, tuntutan untuk menikahi tersebut tidak mempunyai pijakan hukum yang kuat.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian.
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
Penjawab: Letezia Tobing
Sumber: Salahkah Mengajak Jalan Pacar Tanpa Sepengetahuan Orang Tuanya?
(1) Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara:
1. paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkimpoian;
2. paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkimpoian.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan.
(3) Pengaduan dilakukan:
a. jika wanita ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri, atau orang lain yang harus memberi izin bila dia kimpoi;
b. jika wanita ketika dibawa pergi sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
(4) Jika yang membawa pergi lalu kimpoi dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap perkimpoian itu berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetboek, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkimpoian itu dinyatakan batal.
Spoiler for Penjelasan Mengenai "Melarikan Wanita":
Mengenai pasal ini, S.R. Sianturi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “melarikan wanita” dengan singkat dapat dikatakan “membawa pergi seseorang wanita dalam suatu keadaan tertentu dan dengan suatu maksud tertentu pula”. Maksud tertentu ini harus tercakup/tersirat kehendak melakukan persetubuhan dengan wanita yang dilarikan tersebut dan kehendak untuk menguasai wanita tersebut baik di dalam perkimpoian maupun di luar perkimpoian.
Selain itu, S.R. Sianturi juga memberikan penjelasan mengenai “membawa pergi” adalah suatu tindakan aktif (perbuatan) dari si pelaku membawa wanita tersebut dari tempat wanita itu ke suatu tempat lain. Dalam penerapan pasal ini harus terbukti tindakan aktif atau usaha si pelaku. Jika tindakan aktif itu tidak ada dan keikutsertaan wanita itu yang paling menonjol, apalagi jika peran aktif itu justru ada pada wanita itu, maka penerapan pasal ini tidak tepat.
Selain itu, S.R. Sianturi juga memberikan penjelasan mengenai “membawa pergi” adalah suatu tindakan aktif (perbuatan) dari si pelaku membawa wanita tersebut dari tempat wanita itu ke suatu tempat lain. Dalam penerapan pasal ini harus terbukti tindakan aktif atau usaha si pelaku. Jika tindakan aktif itu tidak ada dan keikutsertaan wanita itu yang paling menonjol, apalagi jika peran aktif itu justru ada pada wanita itu, maka penerapan pasal ini tidak tepat.
Spoiler for Penjelasan Mengenai Batasan Usia Dewasa:
Mengenai batasan usia dewasa, S.R. Sianturi merujuk kepada UU Perkimpoianyang menentukan: “Perkimpoian hanya diijinkan jika ………………. pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.” S.R. Sianturi berpendapat bahwa yang belum dewasa adalah di bawah umur 16 tahun.
Akan tetapi mengenai batasan usia dewasa ini, R. Soesilo mempunyai pendapat yang berbeda, yang merujuk kepada ketentuan dalam KUHPer. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa Pasal 330 KUHP mengancam hukuman orang yang “melarikan” anak belum dewasa (laki-laki atau perempuan) dari kekuasaan orang yang berwajib, sedangkan Pasal 332 sub 1 menghukum orang yang “melarikan” perempuan belum dewasa, tidak dengan izin orang tua atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri, dengan maksud akan memiliki perempuan itu baik akan dinikah maupun tidak. R. Soesilo mengatakan bahwa yang dimaksud belum dewasa adalah belum umur 21 tahun atau belum pernah kimpoi.
Mengenai batasan usia dewasa dalam konteks ini, kami cenderung merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Menurut Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi, yang dikategorikan belum dewasa adalah mereka yang belum berusia 18 tahun.
Akan tetapi mengenai batasan usia dewasa ini, R. Soesilo mempunyai pendapat yang berbeda, yang merujuk kepada ketentuan dalam KUHPer. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa Pasal 330 KUHP mengancam hukuman orang yang “melarikan” anak belum dewasa (laki-laki atau perempuan) dari kekuasaan orang yang berwajib, sedangkan Pasal 332 sub 1 menghukum orang yang “melarikan” perempuan belum dewasa, tidak dengan izin orang tua atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri, dengan maksud akan memiliki perempuan itu baik akan dinikah maupun tidak. R. Soesilo mengatakan bahwa yang dimaksud belum dewasa adalah belum umur 21 tahun atau belum pernah kimpoi.
Mengenai batasan usia dewasa dalam konteks ini, kami cenderung merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Menurut Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi, yang dikategorikan belum dewasa adalah mereka yang belum berusia 18 tahun.
Mengenai jangka waktu berapa lama yang dimaksud dengan “penguasaan terhadap wanita itu”, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Bahasa Hukum: "Melarikan Perempuan Di Bawah Umur", Putusan Hoge Raad 3 Desember 1888 (Soenarto Soerodibroto, 2011: 205) menegaskan ‘untuk penguasaan atas wanita itu tidak diperlukan adanya penguasaan kekuasaan secara lama’. Namun, tidak disebutkan secara tegas berapa lama waktu yang diperlukan agar memenuhi unsur membawa lari.
Berdasarkan pada uraian di atas, kami berpendapat, untuk dapat dituntut berdasarkan Pasal 332 ayat (2) KUHP, perbuatan Anda harus memenuhi unsur-unsur pasal tersebut, yaitu; melarikan wanita dewasa, dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dan dengan maksud untuk menguasai wanita tersebut baik di dalam perkimpoian maupun di luar perkimpoian. Kejahatan ini merupakan delik aduan, yang penuntutannya dilakukan atas dasar pengaduan oleh si wanita itu sendiri, atau oleh suaminya. Karena pacar Anda belum bersuami, maka hanya dia yang berhak melakukan pengaduan.
Sebagai kesimpulan, kami berpandangan bahwa kasus yang Anda alami sering terjadi di masyarakat di mana seorang pria diharuskan atau dituntut menikahi seorang wanita. Tuntutan untuk menikahi itu lazimnya karena adanya kekhawatiran orang tua atas masa depan anak wanitanya. Dipandang dari norma sosial sebagian masyarakat, tuntutan untuk menikahi itu tentu dapat dipahami. Namun, dipandang dari kacamata hukum nasional, tuntutan untuk menikahi tersebut tidak mempunyai pijakan hukum yang kuat.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian.
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
Penjawab: Letezia Tobing
Sumber: Salahkah Mengajak Jalan Pacar Tanpa Sepengetahuan Orang Tuanya?
Nah agan-agan, jadi untuk menghindari jerat pidana dalam KUHP tersebut, lebih baik kalau mau ngajak jalan pacar, izin dulu sama orang tuanya.

Gimana menurut agan dan aganwati? Kalau punya pendapat, silahkan di share di sini.

Spoiler for disclaimer:
Seluruh informasi yang disediakan oleh tim hukumonline.com dan diposting di Forum Melek Hukum pada website KASKUS adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pengetahuan saja dan tidak dianggap sebagai suatu nasihat hukum. Pada dasarnya tim hukumonline.com tidak menyediakan informasi yang bersifat rahasia, sehingga hubungan klien-advokat tidak terjadi. Untuk suatu nasihat hukum yang dapat diterapkan pada kasus yang sedang Anda hadapi, Anda dapat menghubungi seorang advokat yang berpotensi.
(lsc)
0
17K
Kutip
37
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan