Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

inginmenghilangAvatar border
TS
inginmenghilang
Girl, I'm Your Future



Girl, I'm Your Future









Quote:














Quote:




Polling
Poll ini sudah ditutup. - 231 suara
Siapakah Wanita Yang Akhirnya Menjadi Pendamping Hidup Prima?
CItra
61%
Veren
20%
Cindy
5%
Noura
4%
Syamira
10%
Diubah oleh inginmenghilang 28-07-2020 11:04
sargopip
xue.shan
kedubes
kedubes dan 197 lainnya memberi reputasi
182
1.5M
7.1K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
inginmenghilangAvatar border
TS
inginmenghilang
#6227
PART 68 : Menentukan Pilihan


"Setelah kami menimbang dan memperhatikan permasalahan ini, pada akhirnya kami harus memberi kesimpulan serta mengambil keputusan." Ucap Mr. Smith sambil menatap gw. Tatapannya begitu tajam tapi raut wajahnya datar. Gw sama sekali ga bisa membaca perasaan apa yang dia rasakan.

Gw bergeming sambil terus menunggu hasil akhir dari semua ini.

"Ini keputusan sulit bagi kami karena anda salah satu karyawan yang jauh dari catatan negatif di perusahaan ini. Tapi semua tindakan yang diambil selalu ada konsekuensinya, oleh karena itu kami memutuskan untuk merumahkan anda sampai waktu yang belum bisa ditentukan." Ucap Mr. Smith. Kedua tangannya terkepal di atas meja.

Gw terus memperhatikan kedua jempol tangan Mr. Smith yang bergerak mengusap telunjuknya. Dan gw cukup terkejut mendengar keputusan mereka. Tadinya gw berpikir hanya mendapatkan sanksi dan masih dibolehkan tetap bekerja tapi ternyata salah.

Dalam diam gw masih berusaha memikirkan tanggapan apa yang harus gw berikan pada mereka. Sekilas gw berpikir ini hanya akal-akalan mereka agar perusahaan ga perlu mengeluarkan pesangon bila harus langsung mem-PHK gw.

Cukup lama gw memperhatikan rambut coklatnya yang dipotong pendek, sebagian sudah memutih dipenuhi uban. Tampak kerutan di kedua ujung matanya. Usianya hampir setengah abad tapi tubuhnya masih terlihat tegap dan perkasa.

Bagaimanapun gw merasa terhormat karena masalah ini langsung ditanganinya sebagai PM. Lumrahnya ketika seorang karyawan akan diputus hubungan kerja, mereka hanya berurusan dengan HRD. Namun keputusannya belum bisa gw terima sepenuh hati. Masih ada beberapa hal yang mengganjal tapi gw memilih untuk menyudahinya.

Teringat kembali saat gw baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Entah kenapa kenangan tentang semua orang yang gw kenal di perusahaan ini tiba-tiba saja muncul. Apa ini suatu pertanda bahwa gw harus mengakhiri cerita gw di tempat ini? Dalam hati gw berkecamuk.

"Terima kasih karena perusahaan sudah memberi saya kesempatan bergabung di sini. Saya mendapat bayak pengalaman yang luar biasa di tempat ini. Tapi saya memilih untuk resign saja."

Gw berdiri lalu melepaskan ID card dari saku seragam dan meletakkannya di atas meja. Ga ketinggalan radio HT yang terselip di pinggang gw.

Mereka bertiga menatap gw dengan tetap mempertahankan ekspresi datarnya masing-masing. Gw berusaha untuk tersenyum meskipun berat. Sekedar untuk menghargai mereka.

"Kalau itu keputusan yang anda ambil, kami menghargainya." Ucap Mr. Smith.

Tatapan gw alihkan pada manajer produksi bertubuh tambun dan berkulit gelap tersebut. Wajahnya tertunduk, mungkin sedang menghayati perasaan puas yang dirasakannya.

Lain halnya dengan manajer HSE, pria berkacamata itu tampak memikirkan sesuatu, tatapannya kosong kearah meja. Kedua tangannya masih tersandar pada sandaran tangan di kursi.

Setelah dirasa cukup, gw pun pamit untuk keluar ruangan meninggalkan mereka yang masih bergeming di kursi masing-masing.

Terlihat beberapa orang keluar masuk melalui pintu utama office. Gw berbaur dengan mereka menuju pintu keluar. Setelah memakai sepatu, gw berjalan menuju pos security yang jaraknya sekira 70 meter dari office. Pos jaga tersebut merupakan salah satu akses keluar masuk berbagai sarana baik dari maupun menuju office.

Langkah kaki gw meninggalkan jejak sepatu yang membekas di tanah. Sambil menoleh ke belakang, sejenak gw mengamati sebuah bangunan gedung di sana. Mungkin ini kali terakhir gw melihatnya. Tempat itu bukan sekedar bangunan biasa bagi gw. Banyak kenangan yang terselip di sana. Di bawah panas terik sinar matahari, gw terus berjalan diselimuti rasa kecewa namun gw berusaha untuk berlapang dada.

Gw duduk di pos bermaksud ingin menumpang ke sarana yang akan keluar site. Terdapat dua orang security yang gw kenal sedang berjaga. Tapi gw menghindari untuk mengobrol dengan mereka, kami hanya saling sapa lewat senyuman. Beberapa menit waktu berlalu sampai akhirnya ada sebuah LV mendekat lalu berhenti di portal. Seseorang yang mengemudikannya memberi gestur kearah gw agar segera masuk ke dalam LV.

Pak Helmi mengemudikan LV dengan kecepatan sedang di hauling. Tangannya menepuk bahu gw pelan. Mungkin hal itu dilakukannya untuk menenangkan gw setelah melewati masa yang sulit.

"Amarah itu membutakan hati. Meskipun kita ga mendapatkan keadilan, cobalah untuk bijaksana, Prim." Ucap Pak Helmi tanpa menatap gw. Matanya tetap mengawasi jalan di depan.

Cara itu lumayan berhasil. Gw cukup merasakan ketenangan saat mendengar ucapannya. Tapi masalahnya ga sesederhana itu. Gw disingkirkan dengan alasan yang terlalu dangkal, menurut gw. Dedikasi yang gw berikan untuk perusahaan serasa ga berarti.

"Dulu Bernard pernah bilang kalau rambu itu harusnya diganti, bukan 'dilarang parkir' tapi 'dilarang stop'." Ucap gw sambil tersenyum getir.

Pak Helmi bergeming seperti enggan mengomentari. Tapi gw yakin dia mendengar gurauan gw.

Beberapa saat kami berdua diam. Gw memilih menikmati pemandangan pepohonan di pinggir hauling.

"Mereka orang-orang terbaik yang pernah ada di HSE, Prim. Tapi yang namanya dunia kerja itu sifatnya dinamis. Seorang karyawan tambang harus siap menghadapi perubahan yang ga bisa diprediksi."

"Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Prim?" Lanjut Pak Helmi.

"Belum ada, Pak. Liat situasi dulu." Jawab gw.

Kami berdua terlibat dalam banyak obrolan selama di perjalanan, sampai akhirnya kami tiba di jalan raya. Pak Helmi mengantar gw sampai depan rumah kontrakan. Gw mengajaknya untuk mampir tapi sepertinya dia masih ada pekerjaan dan memilih langsung kembali ke site.

Gw sangat bersyukur selama bekerja di perusahaan itu memiliki atasan yang baik, meskipun pada akhirnya kita harus berpisah juga. Banyak pelajaran dan ilmu yang bisa gw petik darinya. Meskipun gw harus mengalami hal yang kurang mengenakan, namun gw mencoba untuk mengambil hikmahnya saja.


Pukul 19.00 WITA

Hari sudah gelap. Pintu depan terbuka dan Riki berjalan ke dalam rumah sambil menenteng tas nya. Dia duduk di samping gw dan meraih bungkus rokok yang tergeletak di karpet.

"Kosong, cuk!" Ucapnya sambil mengamati bungkus rokok tersebut.

"Lupa beli gw." Saut gw masih dalam posisi rebahan.

Riki membuka resleting tas lalu merogoh ke dalam tas nya. Dia meletakkan dua bungkus rokok di karpet namun gw mengabaikannya.

"Tumben, biasanya tangan lu gesit?"

Gw tetap diam karena memang posisi gw lagi males ngobrol dan males ngapa-ngapain.

"Lu sakit, Prim?" Tanya Riki.

"Kaga, lagi cape aja."

"Kirain,"

Riki beranjak untuk menuju kamarnya. Ga berselang lama dengan masih memakai seragam kerjanya, dia membawa sesuatu di tangannya.

"Nih, gw bawa jamu impor, cocok buat lu yang lagi mager." Ucap Riki sambil meletakkan begitu saja botol bertuliskan "Tanduay" di atas karpet. Hanya beberapa senti dari pinggang gw.

Mata gw sempat melirik botol minuman tersebut namun gw belum sepenuhnya tergiur. Tapi mungkin minuman keras itu yang paling sangat gw butuhkan saat ini.

Gw meraba botol tersebut sambil menghayati tiap lekuk bentuk botolnya. Begitu indah tiada lawan. Riki kembali beranjak tapi kali ini ke dapur. Dia kembali membawa dua gelas sloki. Tanpa basa-basi dia merampas botol minumannya dari tangan gw lalu membuka tutupnya. Bak bartender profesional, dia menuangkan isi minuman ke dalam gelas secara perlahan sampai terisi penuh.

Kami berdua duduk bersila sembari menikmati minuman yang entah dari mana dia dapatkan. Minuman ini mengingatkan gw dengan Bernard dan Mandagi, karena gw sering minum bareng mereka.

Beberapa batang rokok kami habiskan dan gelas terisi ulang berkali-kali. Hanya obrolan receh tentang kerjaan yang kami berdua bicarakan. Sampai akhirnya mungkin Riki mulai menyadari ada yang beda dengan gw.

"Dari tadi gw perhatiin, lu banyak ngelamun, Prim?"

Gw kembali menyeruput isi sloki berukuran 40ml itu. Rokok gw hisap dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara. Tampak gumpalan asap memenuhi sebagian ruangan dimana kami berada.

"Ga apa-apa, nyantai aja..." jawab gw.

"Kenapa, lu kepikiran lagi sama Citra? Atau... Veren?" Tanya Riki.

"Rik, gw lagi males bahas yang udah-udah."

"Sorry, bro...gw ga ada maksud."

Gw menimpalinya dengan senyuman.

"Tapi makasih lu udah care ke gw."

Riki kembali menuangkan isi botol ke dalam sloki.

"Seengganya lu cerita ke gw kalo ada masalah. Gw hargain ketertutupan lu tapi ga baik juga kita terlalu banyak nahan beban pikiran."

Ada rasa bimbang tapi akhirnya gw ceritain juga ke dia. Toh, ujung-ujungnya dia akan tau kalo gw udah keluar dari perusahaan.

"Gw udah resign, Rik."

"Ah! Ga usah becanda, lu?" Ucap Riki menatap gw dengan mimik ga percaya.

"Serius, tadi siang gw putusin buat keluar dari perusahaan." Ucap gw sambil kembali menghisap rokok lalu mematikannya ke dalam asbak.

Riki masih diam mematung seakan masih belum percaya dengan apa yang gw ucapkan. Alih-alih dirinya menyayangkan...

"Kebeneran, bro... gw juga ada rencana mau resign. Suasananya udah ga mendukung, banyak operator yang mau cabut dari perusahaan." Ucap Riki.

"Ayo bersulang, kita masih muda, perjuangan masih panjang!" Lanjut Riki penuh semangat.

Udah mabok ni anak pikir gw dalam hati.

Malam semakin larut. Sampah - sampah bekas cemilan dan bungkus rokok berserakan di karpet. Karena bosan, kami pun memutuskan untuk keluar mencari angin segar meskipun tubuh mulai lunglai. Nyatanya dengan bermabuk-mabukan bisa membantu gw untuk melepaskan beban kehidupan. Gw merasa beba, meskipun hanya sesaat.

Kami berdua berjalan kaki menuju alun-alun kota. Orang-orang tampak kurang peduli melihat kami berjalan sempoyongan. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melihat orang mabuk di jalanan. Meskipun dalam keadaan minim kesadaran, tapi gw masih bisa mendengar ocehan Riki di sepanjang jalan. Dirinya sibuk mengumpat nama seseorang yang ga gw kenal.

Setelah lama berjalan kaki, kami berdua memutuskan untuk duduk di trotoar jalan. Alun-alun sudah dekat, tapi rasanya masih butuh perjuangan keras untuk mencapai kesana dengan kondisi kami seperti ini. Tepat di seberang jalan ada sebuah warung pecel lele yang baru saja ditutup oleh pemiliknya. Sedangkan di belakang kami ada pagar tembok setinggi dada orang dewasa bercat putih. Juga terdapat plang bertuliskan Sekolah Menengah Kejuruan.

Saat gw akan duduk tiba-tiba Riki mencegah.

"Bentar, bro! Kotor." Riki meniup dan mengusap trotoar dari kotoran debu yang akan gw duduki.

"Ah elah, duduk aja udah. Kita ini manusia kotor, ngapain takut sama kotoran?" Sergah gw sambil menarik tubuh Riki untuk duduk.

Setelah menyalakan rokok, gw terdiam sejenak sambil memandang ke tengah jalan. Kepala gw masih kleyengan dan serasa berputar-putar akibat racun alkohol yang menyebar di pembuluh darah.

"Sepi banget ya jalannya, persis kaya hati gw, Prim." Ucap Riki tiba-tiba.

"Santai, ntar gw bantu ramein." Gw berusaha menghiburnya.

"Asli, kadang gw putus asa sama kehidupan cinta gw, Prim. Pengen jadi gay tapi ga ada bakat."

"Anying, nyebut lu. Masa cita-cita jadi hombreng?" Ucap gw cukup terhenyak.

Riki terdiam sambil menghisap rokoknya.

"Tapi sekarang lu masih normal, kan?" Canda gw.

"Eh, gw masih nafsu sama cewe!" Saut Riki rada ngegas.

"Bagus kalo gitu, gw jadi tenang dengernya."

"Bangke, udah jangan bahas lagi."

Beberapa saat hening. Kami berdua sibuk menikmati suasana malam bertemankan rokok yang terselip di tangan. Sesekali sepeda motor dan mobil lewat di depan kami.

Tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti setelah melewati kami. Mobil berwarna putih itu mundur perlahan. Setelah cukup dekat, mobil tersebut berhenti berbarengan dengan lampu rem menyala merah.

Jendela kaca mobil terbuka dan kepala seseorang muncul lalu memandang ke arah kami berdua. Mata gw yang siwer ga begitu jelas memperhatikan orang tersebut.




Bersambung, tjuy...
Diubah oleh inginmenghilang 24-04-2021 08:25
yuaufchauza
khodzimzz
JabLai cOY
JabLai cOY dan 55 lainnya memberi reputasi
56
Tutup