fee.fukushiAvatar border
TS
fee.fukushi
Am I Dreaming Alone?
Spoiler for Assalamu'alaikum:





Quote:




Prolog

Di depan selasar Gedung A aku duduk. Sesekali kulirik jam di lengan kiri lalu kembali larut dalam bacaanku. Selama musim ujian, kegiatan klub diliburkan. Jika tidak, setiap selepas kuliah aku akan ke ruang himpunan.

Di kampus, aku cukup aktif berkegiatan di himpunan. Selain itu, aku juga tergabung di klub musik dan merupakan vokalis utama band fakultas.
 
“Sekar! Lagi nungguin Bayu ya?” Nadia melambai, menghampiriku dengan langkah cepat.

“Iya Nad. Kamu udah mau pulang?”

“Hu um, Akbar udah nungguin di kantin. Emm… aku duluan ya… gapapa kan?”

“Gapapa. Bentar lagi Bayu dateng kok. Thanks! Salam buat Akbar ya.”

“Okay! Bye Sekar! Nanti malem aku telpon ya!”

Nadia melambai dengan riang lalu berbalik meninggalkanku. Teman baikku itu memang selalu ceria dan penuh energi. Nadia dan aku mengambil jurusan yang sama, sedangkan Akbar dan Bayu di jurusan yang berbeda.
 
Tak lama setelah Nadia berlalu, suara knalpot modifikasi mobil Bayu terdengar dari kejauhan. Sedan berwarna kuning itu terlihat mencolok saat memasuki halaman kampus.

“Lama ya Beb? Sorry, mampir ke bengkel bentar tadi.” sapanya saat kubuka pintu.

“Enggak kok, ga lama.” begitu duduk, kukecup singkat pipinya.

“Mau makan di mana Beb?”

“Katanya mau cobain café baru yang itu.” sahutku sambil memasang seatbelt.

Aku mengenal Bayu dari Akbar, kekasih Nadia. Aku tentu bangga punya pacar ganteng, bertubuh atletis, dan seorang kapten klub basket ini.
 
Sekar dan Bayu, orang melihat kami sebagai pasangan yang serasi. Berprestasi di dalam dan luar kelas, cantik dan ganteng, dikelilingi banyak teman, dan punya banyak penggemar. Bahkan beberapa adik tingkat menjadikan kami idola, relationship goal katanya. 
 
Tiba di café yang di maksud, kami memilih duduk di lantai dua, di area non-smoking. Bayu yang rajin olahraga dan sangat peduli dengan kesehatan ini tidak merokok. Hal ini adalah salah satu yang kusuka darinya. Hal lain yang kusuka adalah, Bayu yang pembersih dan rapi. Bayu juga pacar yang perhatian dan romantis. Kejutan-kejutan darinya selalu berhasil membuatku berlinang air mata.

Selesai makan dan mengobrol, kami kembali ke mobil. Bayu berniat akan hangout dengan klub mobil modifikasinya setelah selesai mengantarku pulang. Namun saat ini, aku belum mau pulang. 
 
“Beb, aku didrop ke halte busway depan situ aja ya.”

“Kamu mau ke rumah singgah itu lagi? Bukannya kamu udah janji ga bakal ke sana lagi? Lingkungan di sana itu ga baik buat kamu Beb.”

“Aku ga bisa Beb. Dan aku ga pernah janji apa-apa ke kamu, aku suka ngajar di sana.”

“Kamu ga inget mobilku lecet-lecet waktu anter kamu ke sana? Ga sedikit itu ongkos buat benerinnya.”

“Iya aku tau. Makanya drop aku ke halte busway aja. Kan sekali doang naik busway, terus nanti tinggal jalan sebentar.”

“Enggak! Aku ga ijinin kamu ke sana!”

“Beb! Kok gitu sih?”

“Ini demi keselamatan kamu juga Beb. Please kamu ngerti dong!”

“Please kamu juga ngerti dong! Aku ngajar di sana udah lama, sebelum aku kenal kamu. Dan ga pernah tuh kejadian apa-apa. Aku ga bisa ninggalin mereka gitu aja. Mereka itu anak-anak pinter, hanya nasibnya aja kurang beruntung.”

“Pokoknya aku anterin kamu pulang. Titik!” Bayu menyalakan mesin dan memasukkan gigi.

Tanpa menjawab, kuraih tas, kubuka pintu, lalu pergi meninggalkannya.
 
“Beb! Tunggu Beb!” Bayu berlari mengejarku.

Kuacuhkan teriakannya, aku berjalan cepat ke jalan raya. Aku tak habis pikir apa karena rasa sayangnya terlampau besar, Bayu jadi berlebihan mengaturku begini?

Lebih dari dua tahun aku bergabung sebagai relawan untuk mengajar anak jalanan dan pemulung di salah satu perkampungan kumuh di Jakarta. Semasa SMA, aku mendapat tugas untuk survey tempat bakti sosial, saat itulah aku menemukan rumah singgah itu.
 
Selama ini, rumah singgah itu dikelola secara mandiri oleh sekelompok kecil relawan. Terjun dan berinteraksi dengan mereka memberiku banyak pelajaran dan membuatku semakin pandai bersyukur. Ikatan batin yang terbentuk antara aku dan murid-muridku juga tidak main-main. Bisa dibilang aku jatuh cinta dengan mereka.

Aktifitasku yang satu ini memang tidak disukai oleh Bayu. Teman-teman kuliahku yang lain pun tak tahu akan hal ini. Aku sengaja merahasiakannya karena aku paham, mereka yang dari kalangan menengah ke atas pasti tidak nyaman berinteraksi dengan orang-orang kurang beruntung seperti itu.

“Beb! Sekar! Please… dengerin aku dulu!” Bayu berhasil menyusul, lenganku diraih olehnya.

“Alasan kamu ga masuk akal Bay! Selama ini aku bolak-balik ke sana ga pernah tuh ada kejadian buruk. Udah deh ga usah parno gitu!” suaraku semakin tinggi!

“Beb… Sekar… kita tuh beda sama mereka. Kita ga seharusnya ada di tempat seperti itu!”

“Cukup Bay! Lepasin!” emosiku semakin tinggi hingga tak sanggup membalas kata-katanya.

“Sekar… aku sayang banget sama kamu, kamu tau itu kan.” Bayu menarikku mendekat, lalu memelukku erat.

“Aku juga sayang sama kamu. Tapi kamu ga bisa dikte aku kaya gini Bay!” jika sedang emosi aku tak mau memanggilnya dengan panggilan sayang.

“Oke. Aku anter kamu ke sana! Tapi sekali ini aja ya. Sekali ini aja sekalian kamu pamitan sama mereka.”

Bayu melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.

“Aku ga janji Bay!” kulepaskan diri lalu berbalik meninggalkannya.

“Sekar! Sekaaaaar… Sayaaaaang….!”

Teriakan Bayu tak kuhiraukan, semakin cepat kulangkahkan kaki menyusuri trotoar, menjauh darinya.

>bersambung 

*raw image was taken from here
Diubah oleh fee.fukushi 10-05-2020 12:38
chamelemon
nona212
pavidean
pavidean dan 41 lainnya memberi reputasi
40
4K
60
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
fee.fukushiAvatar border
TS
fee.fukushi
#33
Part 2 - Peculiar Guy

Minggu ujian telah berakhir. Kampus akan mengadakan pesta kecil dengan panggung musik dan bazaar. Kami menyebutnya pesta kecil karena memang semuanya dari mahasiswa tanpa ada sponsor dari luar. Agar acaranya meriah, masing-masing klub harus menyumbang sesuatu, entah itu stand bazaar, kompetisi, maupun performance.

Meskipun aku semakin sibuk terlibat di persiapan festival ini, rutinitas mengajar di rumah singgah tetap tak kutinggalkan.

“Hari ini kita selesai lebih cepet ya! Karena habis dari sini Kakak harus ke kampus lagi.” seruku sambil mengawasi anak-anak mengerjakan soal matematika.

“Kakak mau nyanyi ya? Di atas panggung?” sahut Indah, salah satu anak pemulung. “Aku boleh ikut Kak? Aku pingin lihat Kakak nyanyi.”

“Aku juga mau ikut ke kampus Kak”, “Aku juga!”, “Aku juga mau Kak!” anak-anak lain saling bersahutan..

“Eeeh... kok malah pada ribut sih? Kalian kan udah sering denger kakak nyanyi di sini. Lagian… kampus itu tempat buat belajar, bukannya untuk anak kecil main.”

“Kampus bukannya hanya untuk orang-orang kaya ya Kak? Orang miskin seperti kami ga mungkin bisa belajar di sana.” ujar Rudi.

Hatiku ngilu mendengar ungkapan jujur seorang anak polos seperti ini. Aku mau anak-anak ini tetap semangat meraih mimpi yang tinggi, namun juga tak ingin memberi iming-iming yang tak masuk akal. Kuhela napas sesaat sebelum merespon pernyataan Rudi yang rumit ini.

“Kalau menurut Kakak, kampus itu tempatnya orang-orang pintar. Kalau mau belajar di sana, ya kaliannya harus pintar juga dong! Beasiswa untuk orang-orang pintar itu banyak. Jika kalian rajin berdoa dan belajar, insyaallah akan ada jalan.”

“Bener begitu Kak?”

Aku mengangguk untuk menjawabnya.

“Yaudah yuk, lanjut kerjain soal matematikanya! Biar makin semangat, kakak nyanyi deh. Mau lagu apa nih?” kuraih sebuah gitar yang memang sengaja ditinggalkan oleh Fendi, ketua kami.

Tempat belajar kami ini cukup nyaman walau dikelilingi oleh timbunan sampah daur ulang. Gubuk ini dulunya adalah tempat pengepulan barang bekas. Pemiliknya mengijinkan kami memakainya karena telah membangun tempat pengepulan baru yang lebih besar tak jauh dari sini. Untungnya sampah daur ulang yang masuk kesini sudah terpilah dengan baik, sehingga bau busuk sama sekali tidak tercium.

Relawan yang aktif di rumah singgah ini semua sudah bekerja, hanya aku sendiri yang masih duduk di bangku kuliah. Oleh karena itu, aku selalu datang lebih awal dibanding yang lain. Tapi aku tak pernah merasa takut atau khawatir, aku yakin orang di kampung ini semuanya baik.

“Rudi! Pulang kamu!” tiba-tiba terdengar teriakan.

Kuhentikan petikan gitar, berusaha mencari sumber suara itu. Laki-laki paruh baya berbadan gempal menghampiri kami, sepertinya sedang sangat marah. Lokasi kami ini seperti kantong, cukup terisolasi dari pemukiman setempat. Tidak banyak orang lalu lalang, kecuali memang yang berniat mendatangi tempat ini.

“Nanti Pak! Aku masih belajar.” sahut Rudi.

“Belajar! Belajar! Buang-buang waktu aja kamu di sini!” meskipun sudah dekat, Ayah Rudi tetap bersuara kencang.

“Maaf Pak…” aku mencoba menengahi.

“Ga usah ikut campur! Gara-gara orang-orang macam kamu ini, anak saya jadi malas! Rudi perlu mulung! Dia perlu makan! Bukannya sekolah-sekolahan seperti ini!” hardiknya.

Deg! Selama ini aku tak pernah diperlakukan kasar seperti ini. Tentu saja aku takut, tapi emosi lebih menguasai diriku saat ini. Rudi mengkerut di belakangku. Anak-anak lain pun hanya diam tercengang.

“Maafkan Rudi Pak, jika karena belajar di sini jadi jarang mulung. Tapi Rudi benar-benar sedang belajar di sini Pak. Untuk meraih masa depan yang lebih baik.” mengesampingkan rasa takut, aku berusaha tegar.

“OMONG KOSONG!!! Tidak ada masa depan bagi kami orang miskin! Pemulung selamanya hanya jadi pemulung!”

“…” membayangkan betapa peliknya kondisi sosial ekonomi di negara ini, aku tak sanggup menjawab.

“Awas kalau sampai saya lihat Rudi di sini lagi! Ayo Rud, kamu pulang!” Ayah Rudi menarik lengan anaknya dengan kasar.

Bukannya menurut, Rudi malah meraih tanganku. Sekuat tenaga dia berteriak berurai air mata “Kakak… aku mau belajar di sini. Tolong Kak…!”

Melihat itu anak-anak lain turut histeris. Tanpa berpikir panjang, kugenggam tangan kecilnya, kutarik sekuat tenaga lalu kupeluk tubuh mungilnya erat. Aku sadar ini bukan hakku, Rudi bukan anakku. Tapi aku tak sanggup melihat ketidak adilan ini.

Plak! Tamparan keras seketika mendarat di wajahku. Aku terhuyung hingga nyaris tersungkur, Rudi terlepas dari genggaman. Merasa di atas angin, Ayah Rudi terus melontarkan cacian yang malah membuatku semakin geram. Pulih dari shock sesaat, aku kembali berdiri tegak. Niatku untuk merebut Rudi kembali.

Berbekal belajar dari film action yang sering kutonton, aku percaya diri akan mampu mengatasi ini. Sesaat sebelum tanganku terjulur sempurna, seseorang tiba-tiba mendekapku dari belakang. Tenaganya membuatku tak berkutik. Dengan mudah orang itu menarik tubuhku mundur, menjauh dari Ayah Rudi yang terlihat siap akan melayangkan bogem mentah.

Setelah aku cukup tenang, orang itu melepaskanku. Tanpa bicara dia mendorongku agar berada di belakangnya, lalu sedikit membungkuk untuk meminta maaf ke Ayah Rudi. Entah karena takut atau telah menerima permintaan maafnya, Ayah Rudi menatapnya tajam lalu pergi. Rudi ditariknya kasar. Masih dengan terisak, anak itu mengikuti langkah ayahnya.

“Kakak…”, “Kak Sekar gapapa Kak?” “Aku takut Kak…”

Begitu Rudi dan ayahnya tak terlihat lagi, anak-anak mengerumuniku.

“Gapapa kok. Kakak gapapa. Hari ini belajarnya cukup dulu ya. Sekarang kalian boleh pulang, istirahat di rumah yah!”

Kuusap satu-satu kepala anak-anak malang itu sekedar untuk sedikit meredakan ketakutannya. Mereka membereskan barangnya, mencium tanganku untuk berpamitan, lalu pulang.

Perasaanku kini campur aduk. Aku kecewa dengan diriku yang tak sanggup menolong Rudi. Marah melihat kenyataan tak terbantahkan ini. Dan heran dengan lelaki misterius yang masih juga tidak beranjak dari sini ini.

Siapa sebenarnya lelaki ini? Mengapa dia ikut campur? Apakah untuk membantuku? Untuk melindungiku? Atau hanya bertingkah sok pahlawan untuk mencari perhatianku?

Anehnya, dari tadi dia tidak menegurku sama sekali. Setelah Rudi dan ayahnya pergi, lelaki itu berdiri agak menjauh lalu menyulut sebatang rokok. Tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Ah terserahlah!

Aku harus bergegas ke kampus untuk festival bazaar dan musik, tak ada waktu untuk teka-teki seperti ini.

Selesai kurapihkan barang-barang rumah singgah, aku meraih tas dan memakai sepatu. Kuurungkan niat untuk segera pergi meninggalkan lelaki itu. Terlepas dari apa pun motifnya, lelaki itu telah menolongku. Entah apa yang terjadi padaku tadi jika Ayah Rudi hilang kendali karena terlampau emosi.

Aku pun berjalan mendekat kepadanya.

“Makasih tadi udah ditolongin.” kataku setelah cukup dekat.

“Gua temenin jalan ke depan.” dia menoleh lalu mematikan rokoknya.

Kami berjalan menyusuri gang tanpa bicara. Setelah keluar dari gang, dia kembali meraih sebatang rokok, menyalakannya, lalu pergi begitu saja.

“Makasih!” teriakku, berharap dia masih dapat mendengarnya.

---

Tiba di kampus, turun dari ojek aku langsung menuju toilet. Kuperhatikan wajahku di pantulan cermin, rupanya aku masih geram.

Jelas saja. Pengalaman seperti itu baru pertama kali kualami. Tidak mudah rasanya untuk melupakannya begitu saja. Bukannya takut, aku justru ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong anak-anak seperti Rudi.

“Aduh!” rintihku saat meraupi wajah dengan air dingin dari keran.

Rupanya ujung bibir kiriku robek karena tamparan keras tadi. Pantas saja terasa sangat perih. Sebisa mungkin kututup bekas lukaku dengan make up. Aku tak mau Bayu tahu dan jadi punya alasan kuat untuk melarangku datang ke rumah singgah itu lagi.

“Hai Beb, kamu dimana? Ini check sound udah mau beres, kok kamunya belum dateng?” suara Bayu terdengar dari ujung telepon.

“Lagi di toilet Beb. Bentar lagi aku ke sana.”

“Aldi panik tuh. Jam segini kok vokalisnya belum keliatan. Katanya tadi nelponin, tapi kamu ga angkat.”

“Masa sih? Oh, tadi waktu aku naik ojek kalik, makanya ga denger. Btw Nadia udah dateng?”

“Udah. Ada nih di sini sama Akbar.”

“Oke. Bentar lagi aku selesai kok. Daaah...”

Seberapa pun tebal bedak dan lipstick yang kupakai, robekan di bibirku masih jelas terlihat. Hmph sudahlah… mau bagaimana lagi. Sepertinya aku harus mulai mempersiapkan jawaban jika Bayu bertanya nanti.

Aku pergi ke samping panggung untuk menemui Aldi, gitarist, dan rekan bandku yang lain. Vokalis yang notabene tidak memegang instrument musik tidak perlu melakukan check sound. Maka dari itu rekan-rekanku tidak keberatan aku datang terlambat. Setelah formasi lengkap, Aldi mulai memimpin briefing singkat.

“Bibir lo kenapa Sekar? Kegigit Bayu?”

Padahal pencahayaan di tepi panggung tidak begitu terang, ternyata lukaku terlihat oleh Aldi.

“Kegigit aku sendiri. Tadi… uhm... pas jatuh.” jawabku berbohong.

“Ah ga percaya gue. Bayu pasti main kasar nih ha ha ha… Parah lo Bay!” canda Regi sang bassist.

“Enggak kok enggak. Beneran ini tadi… Aduh!” luka yang cukup mengering kembali berdarah saat kubuka mulut terlalu lebar.

“Bisa nyanyi ga lo nanti?” Lisa pemain keyboard mengulurkan selembar tissue.

“Bisa bisa. Tenang aja.” kuseka darah segar di ujung bibirku dengan tissue pemberian Lisa.

“Yakin?” Aldi memastikan, aku mengagguk mantap.

“Ga usah dipaksain lah, kalo emang lo ga bisa mangap lebar. Regi aja nanti yang back up-in vokal lo. 86 Bro?!” timpal Edo sang drummer.

“86!” sahut Regi.

“Oke! Satu jam lagi kita kumpul di sini ya!” Aldi menutup briefing, kami pun bubar.

Waktu bebas kugunakan untuk melihat-lihat bazaar bersama Nadia. Setelah cukup puas berkeliling, kami mencari Bayu dan Akbar di lapangan basket. Pada festival ini, klub basket mengadakan kompetisi street basket 3 on 3. Non anggota klub pun boleh ikut bertanding.

Bayu sebagai ketua klub dan konon merupakan pemain terbaik, tidak diperbolehkan berpartisipasi. Kuperhatikan kekasihku itu sedang duduk memperhatikan pertandingan yang tengah berlangsung. Sengaja ingin kukejutkan dirinya dengan mendekatinya dari belakang, lalu mengecup pipinya mesra.

Bayu pun refleks meraih lalu mendekapku erat, sebelum membiarkan aku duduk di sebelahnya. Kami memang tak ragu memamerkan kemesraan seperti ini. Tapi kemesraan kami ya hanya sebatas ini, kecup dan peluk, tidak pernah lebih dari itu. Keluargaku memiliki latar belakang kisah yang membekas di diriku, membuatku sangat menjaga norma ketimuran.

“Aku udah kangen banget tau Beb! Kemana aja sih?” satu lengannya dilingkarkannya ke pinggangku, menarikku supaya lebih merapat.

“Ih, ga malu apa kamu manja manjaan begini? Tuh Akbar sama Nadia liat tuh.” godaku.

“Dari tadi malah mereka berdua yang mesra-mesraan terus. Kamu ga kasian aku jadi obat nyamuk Beb?”

“He he... iya maaf. Aku juga kangen kamu kok, banget!”

“Bibir kamu kenapa Beb?” seketika nada suara Bayu berubah serius.

“Eh, ini tadi… kegigit waktu jatuh.” sekali lagi aku berbohong.

“Sini dulu!” Bayu menarik lenganku, membawaku menjauh dari keramaian.

Kami berdua memang sepakat untuk merahasiakan perihal aku sering ke rumah singgah. Alasanku, karena tak mau membuat teman-temanku merasa tak nyaman. Sedangkan Bayu, menganggap ini adalah sebuah aib.

Di parkiran belakang kami berhenti, sepi dan cukup gelap. Hanya cahaya lampu dari jalan kecil di belakang kampus yang sedikit menerangi. Yakin tidak ada yang mendengar, Bayu mulai pembicaraan.

“Ini pasti gara-gara rumah singgah itu ya?” tuduhnya yang memang benar. “Aku kan udah bilang, tempat itu ga aman buat kamu Beb! Sekarang terbukti kan. Pokoknya kamu ga boleh ke sana lagi!”

“Bukan Beb. Ini tadi aku yang salah karena ga hati-hati, terus jatuh. Bibirku ga sengaja kegigit pas jatuh tadi. Itu aja kok.”

“Lalu di mana kamu jatuh? Di tempat kumuh itu juga kan? Gimana caranya bikin kamu ngerti sih? Please Beb! Lingkungan di sana itu BURUK! Dan ngapain juga kamu buang-buang waktu buat mereka? GA ADA GUNANYA! Mereka itu HELPLESS!”

Aku tahu Bayu tidak suka dengan kegiatanku ini. Sebenci-bencinya, dia tidak berhak menghakimi orang-orang kurang beruntung itu. Tidak seharusnya dia mengatakan hal merendahkan seperti itu. Hal yang sama dengan yang Ayahnya Rudi katakan. Kenyataan yang membuatku semakin geram.

Saking geramnya, aku tak sanggup membalas kata-katanya. Air mataku nyaris menitik, aku hanya berdiri mematung.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki. Bayu menghela napas untuk menstabilkan emosi lalu menoleh untuk mencari sumber suara itu, aku pun mengikutinya. Langkah kaki yang semakin mendekat itu tampaknya dari arah jalan belakang kampus.

Pencahayaan yang sangat kurang membuat kami sulit mencari tau siapa orang itu. Tapi dari siluetnya, aku yakin dia ini seorang laki-laki. Dia berjalan semakin dekat, sepertinya tidak mempedulikan keberadaan kami. Ternyata tebakanku salah, lelaki itu sengaja berhenti tepat saat melewati kami.

Hah?! Apa ini tidak salah? Lelaki yang tadi? Apa yang dilakukannya di sini? Apa dia mengikutiku hingga kemari? Sial! Jika tadi dia mendengar keributan kami lalu menceritakan yang sebenarnya kepada Bayu, habislah aku.

Beberapa detik berlalu, lelaki itu masih diam. Dengan sorot mata yang seperti ikan mati, dia hanya mengamati kami. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya.

“Ck!” Bayu berdecak, jelas saja dia merasa terganggu. “Ada masalah apa lo?”

Tanpa menghiraukan teguran Bayu, lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya.


>>bersambung
Diubah oleh fee.fukushi 04-07-2020 09:54
Nuziichan
actandprove
pavidean
pavidean dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup