wiwinindah10Avatar border
TS
wiwinindah10
Bakso Ular #8


Masih POV Bang Kumis

Sepuluh tahun kemudian. Aku hidup bak raja, harta melimpah dan menjadi orang terhormat telah kucapai. Semua orang tunduk padaku, menggantikan posisi Juragan Bakri—yang tak lain seharusnya menjadi ayah mertuaku.
Juragan Bakri telah kujadikan tumbal sepuluh tahun yang lalu, untuk mendapatkan putri semata wayangnya. Ya, manusia kejam itu sudah ‘Mati!’.

Beberapa anak buahnya pun satu persatu menyusulnya. Sungguh tak pernah terbayangkan, jika kematiannya berada di bawah kendaliku. Masih sangat jelas dalam ingatan, saat tubuh Juragan Bakri dililit ular besar mengerikan itu. Bahkan aku sangat puas melihatnya, bisa kurasakan kesakitan dan ketakutannya saat menghadapi ajalnya sendiri.

Tubuh kekar yang biasa ia gunakan untuk menghakimi seseorang yang lemah, tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Mulut yang biasa ia gunakan untuk menyakiti orang lain dengan kata-kata kotor, hanya bisa memuntahkan cairan putih. Betapa aku sangat bahagia menyaksikan semua itu. Rasakan kau, Bakri!

Terlebih saat tuanku sudah menghisap semua darahnya, aku tak membiarkan semua berakhir seperti itu saja. Kupenggal kepalanya, kucincang semua bagian tubuhnya hingga hancur tak tersisa. Sungguh mengenaskan!

Setelah itu justru aku menikmati semua milik Juragan Bakri, semua harta dan posisinya aku yang menguasai. Aku juga mendapatkan anak gadisnya. Ningsih Ayu sang Bunga Desa. Kecantikannya bak bidadari kahyangan, membuat para kaum adam tergila-gila padanya. Tak terkecuali aku.

Namun, keangkuhan wanita itu tak jauh berbeda dengan sang ayah. Hingga terpaksa mendapatkannya dengan cara menumbalkan ayahnya sendiri, ibarat kata ; “Satu tepukan dua lalat kudapatkan.”

Aku dan Ningsih menjadi suami istri yang sangat harmonis, serba kecukupan dan mempunyai dua orang anak. Laki-laki dan perempuan. Kecantikannya sungguh tak membuatku bosan, meski sudah mempunyai dua anak. Tak mengurangi keelokannya.

Sampai suatu hari. Di sebuah ruangan tertutup dan gelap yang ada di dalam rumah, harum aroma kemenyan dan beberapa sajen yang terletak di atas nampan, menambah kesan mistik. Sengaja kupilih ruangan paling belakang supaya tak mudah dicurigai, di situ tempat aku memuja dan meminta apa pun pada tuanku.

“Marijan, sudah saatnya kau memberiku darah dari orang terkasihmu! Sekarang berikan salah satu keluargamu!” ucap tuanku penuh penekanan. Bau aroma kemenyan menguar di rongga hidung.

Namun, tuanku sangat menyukai itu.
Aku terhenyak mendengar penuturannya, dulu aku sudah kehilangan Mak Asih. Orang yang paling berjasa untukku, tapi tanpa sengaja aku sudah menumbalkannya untuk sebuah ambisi. Sekarang ketakutan itu terjadi juga, bagaimana mungkin aku akan menumbalkan salah satu keluargaku?

“Ma-af, Tuan. Bisakah kau meminta tumbal yang lain saja? Aku pasti akan mencarikannya,” jawabku hati-hati. Sungguh, aku belum siap jika harus menyerahkan salah satu dari keluargaku.

“Tidak bisa, aku ingin orang terkasihmu! Apa kau lupa perjanjian kita, Marijan?” ucapnya dengan mata yang menyala-nyala dan terus menjulurkan lidahnya. Nyalang mataku menatap ular itu, meski sebenarnya aku ngeri berhadapan dengannya. Akan tetapi, aku tak bisa menghindarinya.

Selain karena ular itulah yang telah membuatku menjadi orang yang berkuasa, juga karena aku telah membuat perjanjian. Dengan semua keinginanku, aku harus menukarnya dengan sesuatu yang berharga. Apalagi jika bukan nyawa orang terkasih, selain orang lain. Karena hal itulah yang akan membuatku bisa lupa dengan perjanjian yang sudah disepakati. Aku termenung, merasakan dilema yang amat besar.

“Bagaimana, Marijan?” tanyanya, membuyarkan lamunanku.

“Ba-baik, Tuan. Tapi tolong, jangan istriku Ningsih. Ambil saja Dewi, anak sulungku.” Tanpa pikir panjang, kuputuskan Dewi lah yang aku kuberikan pada ular itu. Biarlah, aku bisa punya anak lagi nanti, batinku.

Tawa tuanku menggema mengisi ruangan yang hampa. “Baiklah! Kau memang pengikutku yang setia, akan kukabulkan semua keinginanmu! Tapi ingat, hati-hati dengan perutmu itu.

Jangan sampai kau terkena air garam, jika sampai itu terjadi, kau akan mati!” jelasnya. Tubuh besarnya bergerak-gerak, melikuk-likuk seperti orang yang sedang kegirangan saat mendapatkan sesuatu yang dia inginkan.

Aku hanya mengangguk seraya menelungkupkan kedua tangan, seperti seorang pelayan memberi hormat pada tuannya. Lalu kepulan asap membumbung tinggi bersama hilangnya sosok ular itu.

Praaakk!

Tiba-tiba suara benda terjatuh membuatku terlonjak. Kulihat pintu sedikit terbuka, apa ada yang mengupingku sedari tadi? Aku segera keluar dan mengeceknya.

Saat keluar, tidak ada siapa pun. Namun, kulihat serpihan vas bunga yang sudah pecah berserakan di lantai. Mungkin tikus atau kucing, pikirku.
Segera menutup dan mengunci ruangan ini. Kemudian aku pergi mencari Ningsih ke kamar.

“Ningsih ....” Aku memanggilnya. Kulihat Ningsih terkesiap saat aku datang, wajahnya pias. Seperti orang ketakutan.

“Kamu kenapa, Ning?” tanyaku pelan, seraya mendekati wanita yang sangat aku cintai itu.

“Jangan mendekat! Jadi selama ini kamu bersekutu dengan iblis berbentuk ular itu, Bang!? Bapakku ternyata meninggal karena dijadikan tumbal? Dan sekarang anak sendiri mau dijadikan tumbal? Jahat kamu, Bang. Jahat!” Dia memberondong pertanyaan sembari menunjuk-nunjuk wajahku. Ternyata Ningsih sudah tahu semuanya, aku mengusap wajah kasar.

“Jawab, Bang!” bentaknya. Mata indah istriku kini membulat sempurna seperti mau keluar.

“Iya! Aku sudah menumbalkan bapakmu! Orang kejam seperti bapakmu memang pantas dilenyapkan, aku sangat membencinya! Asal kamu tahu, Ning.

Jasad yang kamu temui di lahan bapakmu itu adalah orang lain, yang sebenarnya jasad bapakmu sudah hancur kucincang dan dilahap habis oleh pasukan ular itu! Kamu puas!?” jawabku tersulut emosi.

“Dasar, Gila! Pembunuh! Aku mau pergi dan bawa anak-anak sebelum ular itu membunuh anakku!”

Belum sempat Ningsih beranjak, aku menarik tangannya kasar dan memukul kepalanya hingga tak sadarkan diri. Kemudian kubopong tubuh idealnya ke tempat tidur.

Maaf, Ning. Aku terpaksa, jika saja sikapmu tak seperti ini. Aku tak akan kasar padamu, batinku.

Sudah pukul sembilan malam, Ningsih belum sadarkan diri. Mungkin efek pukulan yang terlalu keras di kepalanya, tapi baguslah, ia tak akan merepotkanku, tak akan mengganggu tuanku yang sebentar lagi akan menyantap hidangannya. Meski hati ini sedih dan tak rela, tapi semua sudah risiko yang harus aku hadapi.

Kuputuskan tidur di samping istriku, baru saja mata ini terpejam, tiba-tiba Ningsih terbangun sembari berteriak, memanggil si sulung.

“Dewiii ....!” Seketika aku terlonjak. Belum sempat bertanya, istriku sudah beranjak dan pergi keluar. Buru-buru aku mengejarnya.

Ternyata ia pergi ke kamar Dewi, gawat!
“Aarrgh!” Suara Ningsih berteriak. Aku menghampirinya.

“Keparat! Lepaskan anakku! Iblis kau, jangan ambil anakku!” Ningsih terus meracau, ia kesetanan melihat Dewi tengah dililit ular besar.

Ningsih berusaha melepaskan jeratan ular itu tanpa rasa takut, tetapi percuma. Tubuh anakku sudah membiru, itu artinya tuanku sudah berhasil menghisap darahnya. Aku hanya terpaku menyaksikan ini, sungguh menyakitkan!
Kini, Ningsih terkulai lemas. Ia tak lagi berbuat apa-apa, Dewi sudah meninggal.
Sudah seminggu Ningsih hanya berdiam diri, terkadang ia menangis dan tertawa sendiri. Bahkan anak keduaku—Bagus—entah ke mana. Sejak kematian Dewi, ia tak ada di rumah. Sampai sekarang ia belum pulang, orang-orang pun tidak ada yang melihatnya. Aku tak tega melihat Ningsih seperti orang tidak waras.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang-orang ramai memanggilku di depan rumah. Aku segera keluar.

“Ada apa ramai-ramai di rumahku!? Mengganggu saja!” ucapku kesal. Beberapa warga sudah berkumpul di depan pintu.

“Hey, Marijan! Dasar manusia gak tahu diri! Kami semua sudah tahu kalau kamu pakai pesugihan ular, ‘kan?” Bagai disambar petir di siang bolong, aku terkejut mendengar salah seorang laki-laki bertubuh ceking itu, aku menelan Saliva berat.

“Jangan diem aja, Jan! Iya, kan, kamu pakai pesugihan?” tanya warga lain.

“Jangan asal bicara kalian! Apa buktinya kalau saya pakai pesugihan!?” jawabku mencoba berdalih, meski tengkuk terasa lemas.

“Halah, gak usah ngelak kamu, Jan. Aku pernah liat ular besar masuk ke rumahmu, tapi tiba-tiba ular itu hilang dalam sekejap. Apa namanya kalau bukan ular siluman? Bahkan sudah banyak yang meninggal secara tiba-tiba, termasuk Juragan Bakri. Dan seminggu yang lalu anakmu juga meninggal, pasti mereka sudah dijadikan tumbal! ucap Mang Karjo, tetangga di belakang rumah.

“Iya, benar!” Semua warga serempak meng-iyakan ucapan Mang Karjo. Membuatku semakin mati kutu.

“Pantas saja kau disebut anak kutukan!” ucap Bu Ratmi, istri Mang Karjo.

“Sudahlah, gak perlu basa-basi. Kita bakar saja rumah sekalian orangnya, biar mampus! Sebelum kita juga yang jadi korbannya!” Mendengar ucapannya aku terkesiap, buru-buru masuk dan mengunci pintu. Terdengar mereka terus berteriak, mengancam akan membakar kami. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke kamar.

“Ningsih, ayo kita pergi! Warga akan membakar rumah kita! Ayo, Ningsih, cepat!” ajakku pada istriku yang tengah murung.

“Pergi saja sendiri! Aku lebih baik mati dibakar mereka, daripa jadi tumbal kamu, Bang!” jawabnya ketus. Lalu beralih membelakangiku.

Aku tak menghiraukan ucapannya, kemudian menarik tubuhnya paksa, berlari ke luar rumah lewat pintu belakang.

Kulihat asap mulai mengepul, ternyata mereka tak main-main. Rumahku sudah dibakar, untung saja kami berhasil kabur, meski sempat dikejar-kejar para warga.

Sudah sepuluh tahun lebih aku dan Ningsih hidup di tengah hutan mengasingkan diri. Melakukan semedi untuk kehidupan yang lebih sakti dan abadi, tentu saja masih menjadi pengikut setia tuanku Raja Ular, dengan cara memberikan tubuh Ningsih menjadi penyalur hasratnya.

Sudah lama aku tak lagi berinteraksi dengan orang-orang. Bahkan, Ningsih jarang berbicara. Dia sudah tak waras, kami seperti dua orang yang hidup sendiri-sendiri.

Hidup di tengah hutan membuatku tak lagi mengenal rasa takut, semua binatang menjadi teman sekaligus makananku sehari-hari.

Kini, aku kembali setelah menyelesaikan ritualku. Hidup berlaga seperti manusia normal pada umumnya, dengan memiliki rumah sederhana dan mempunyai warung bakso di tengah kota. Mereka mengenalku Bang Kumis.

Ningsih masih ikut bersamaku, tuanku masih menginginkannya. Biarlah, toh, dia sudah tidak waras. Aku tak berselera.
Sudah lebih dari sebulan aku hidup di lingkungan manusia setelah sekian lama. Membuatku menjadi orang yang tertutup, bahkan aku tak suka jika orang lain ikut campur urusanku.

Warung yang kujalani berjalan lancar, meski beberapa orang mengetahui jika aku menggunakan bahan yang tak lazim. Ya, aku menggunakan daging ular untuk campuran bakso.

Namun, sebelum mereka bertindak lebih jauh dan mengganggu urusanku, aku tak segan menjadikan mereka persembahan untuk tuanku, lalu tubuh mereka kucincang untuk santapan ular-ular peliharaanku. Aku tak perlu repot mencari tumbal. Hahaha ....

“Tapi kau sungguh beruntung, Anak Muda. Tubuhmu masih utuh, meski sukmamu berada di alam tuanku Raja Ular.” Aku berbicara pada gadis yang tengah tertidur setengah mati di dalam peti.

“Namun, waktumu hanya empat belas hari bisa hidup lagi. Jika melewati itu, kau benar-benar akan hidup di alam tuanku Raja Ular. Menjadi istrinya.” Aku terkekeh, merasa bahagia dengan apa yang aku dapatkan.

Kita lihat saja nanti, apa temanmu yang sok berani itu bisa menyelamatkanmu atau malah dia juga akan menyusulmu? Hahaha ....

Bersambung...
Diubah oleh wiwinindah10 23-06-2020 10:17
silvershark008
nitajung
tien212700
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
930
5
Thread Digembok
Tampilkan semua post
wiwinindah10Avatar border
TS
wiwinindah10
#3
Masih POV Bang Kumis 😆
0
Tutup