Pelemahan rupiah yang terjadi beberapa waktu yang lalu juga pernah terjadi sebelumnya yakni di tahun 1998. Pada saat itu bangsa ini benar benar merasakan labil ekonomi, termasuk saya juga yang merasakan pengaruhnya. Hal ini mungkin yang memicu para mahasiswa pada saat untuk turun ke jalan guna mengungkapkan aspirasi dan mengajukan tuntutan, bahkan sampai berhari-hari menduduki gedung wakil rakyat. Saya juga tak mau ketinggalan, ikut juga saya turun ke jalan. Tapi bukan untuk ikut (ikutan) demo, melainkan saya turun kejalan cuma menjajakan suara yang pas-pasan sebagai musisi jalanan. 



Kondisi yang seperti itu yang memaksa saya melakukan apa saja untuk mendapatkan sesuap nasi, istilahnya survive barangkali, dan saya cuma bisa ngamen karena tak punya skill yang mumpuni. Dari situlah kenangan bermula, khususnya perihal makanan favorit ini. 

Jadwal saya ngamen waktu itu malam hari, karena kalau pagi hari mesti kuliah walau kadang jarang ke kampus. Pulang ngamen larut malam dan sudah pasti perut keroncongan. Tak banyak tempat-tempat makanan yang masih buka jika malam sudah larut apalagi di kampung saya di zaman old begitu, sunyi syahdu. Mungkin masih ada Rumah Makan Padang, ada juga warung tenda atau tempat makan di emperan toko yang masih membuka lapaknya. Salah satu tempat makan yang sering saya singgahi adalah lapak mie goreng tepatnya di jalan Gajah Mada Pontianak. 

Mie goreng yang dijajakan oleh Bapak Tua keturunan Tionghoa ini menurut saya sangat unik. Kenapa? Bukan karena tidak ditambahkannya daging sapi atau daging ayam yang biasa ditawarkan pedagang mie lainnya, tapi unik dikarenakan ini mie goreng dimasak tanpa garam. Itupun saya ketahui setelah beberapa kali mie gorengnya saya konsumsi dan saya buktikan pada saat proses pembuatannya. Selain itu ada keunikan lainnya lagi. Untuk sesama orang yang mengadu nasib di jalan, malam hari pulak, setelah saya habiskan ludes itu mie tanpa sisa, bayar malah seikhlasnya. Saya juga kurang tau apakah perlakuan itu untuk member khusus, atau apakah karena sudah banyak porsi terjual, atau Bapak penjual mie kasihan lihat penampilan saya yang dekil memprihatinkan seperti kondisi ekonomi kita saat itu. Entahlah. Namun satu hal yang membuat makanan ini menjadi favorit bagi saya, bahkan begitu spesial, dan tidak mungkin bisa saya lupakan karena mie goreng ini selalu mengingatkan saya akan beberapa hal, yaitu :

mengingatkan akan hidup tak selamanya indah. Seperti lagu Padi yang sering saya bawakan saat ngamen dan seperti hidup kita serta seperti kondisi ekonomi negara kita juga. Ada naik dan ada turun, ada pasang ada surut, ada suka maupun duka, kadang di atas dan sering juga di bawah.

mengingatkan saya bahwa kita makan untuk hidup dan bukan hidup untuk makan. Tetap bergerak seperti pergerakan demonstran menyuarakan aspirasi, baik yang ada di akal pikiran maupun memenuhi tuntutan caca dan cici di dalam perut yang menyenandungkan keroncongan.

mengingatkan saya akan ada makanan yang dimasak tanpa garam. Mie yang kebanyakan orang bilang dengan sebutan "mie goreng bodo" namun menurut saya ini mie antimainstream. Dan mengingatkan saya akan kata kata Pak Polisi Hoegeng yang melegenda untuk senantiasa bekerja dengan jujur karena kita bisa masih bisa makan nasi dengan garam. Mungkin itu sebabnya ya, mie nya di goreng tanpa garam karena garamnya digunakan sebagai lauk temannya nasi. Sekali lagi entahlah, yang pasti ini makanan tetap favorit dan spesial di hati. 


catatan : 
Untuk resepnya sama kok dengan mie goreng lainnya, seperti bumbu dapur (bawang merah bawang putih, cabe dll), mie dan minyak goreng jangan lupa. Tak ada perlakuan khusus dalam proses pembuatannya, hanya saja sebagai pengganti garam kita menggunakan kecap asin. Agar lebih terasa nikmat, tambahkan telur atau daging agar lebih nendang rasanya.