Gerindra Legawa Lepas Kursi Ketua MPR Usai Pertemuan Prabowo-Megawati!

Jakarta - Gerindra legawa melepas kursi Ketua MPR dan sepakat Bambang Soesatyo dari Golkar memimpin lembaga itu. Keputusan tersebut diambil setelah Ketum Gerindra Prabowo Subianto bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Awalnya, Gerindra memang mengusulkan Ahmad Muzani untuk menjadi Ketua MPR. Namun 8 fraksi dan DPD memberikan suara kepada Bambang Soesatyo.

Sidang paripurna pemilihan Ketua MPR sempat diskors karena Fraksi Gerindra lebih dulu bicara dengan Prabowo. Ternyata, Prabowo sudah lebih dulu bertemu dengan Megawati.

"Untuk kepentingan lebih besar kepentingan persatuan kesatuan kami mengedepankan musyawarah mufakat dan hasil konsultasi Prabowo dengan Megawati," kata Ketua Fraksi Gerindra di MPR Riza Patria saat sidang paripurna di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/10/2019).

"Maka Prabowo dan Megawati sepakat untuk kepentingan lebih besar, kami sepakat menjaga MPR dalam forum musyawarah dalam memutuskan kebijakan penting," sambungnya.

Ketua MPR sementara Abdul Wahab lalu memastikan apakah itu berarti Gerindra mendukung Bamsoet jadi Ketua MPR. Riza lalu memberi penegasan.

"Kami, Gerindra, sudah sepakat mengusung Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR 2019-2024," tegas Riza.
sumber

☆☆☆☆☆☆
Pada dasarnya, seluruh anggota dewan yang terhormat, baik itu MPR, DPR, DPD, semua adalah petugas partai. Siapa yang mau membantah?
Bahkan untuk memilih Ketua MPR yang mempunya i wewenang lebih tinggi dari presiden dalam bidang ketatanegaraanpun harus dikomunikasikan dan harus persetujuan 2 orang petinggi partai. Bahkan DPD yang tidak bersinggungan langsung dengan partaipun harus meminta persetujuan dari petinggi partai.

Melihat kenyataan ini, lantas masihkah kita berharap bahwa semua yang berseberangan saat pileg dan pilpres akan tetap berseberangan? Jangan bodoh. Meskipun akar rumput sampai berdarah-darah membela kelompoknya, calon idamannya, maka ketika semuanya telah bermuara di MPR dan DPR, semua yang berseberangan itu akan lunak setelah terjadi deal-deal politik. Peduli setan suara rakyat. Peduli setan rakyat berharap.

Selama iklim politik kita seperti ini, suara rakyat hanyalah penggembira dalam event 5 tahunan saja. Tak akan pernah beda dengan masa Orde Baru yang hanya bisa bersuara dengan koor yang kompak : "Setujuuuuuuu....!" Jika kita melihat perdebatan-perdebatan didalam ruang komisi, ruang dewan, itu hanya sandiwara. Hanya lip service semata. Ketika ada suatu nilai yang harus dibagi rata, maka semuanya akan melupakan perbedaan.

Nanti diawal perjalanan berfungsinya dewan, akan ada drama-drama pencitraan dari sebagian fraksi. Percayalah. Itu lumrah, untuk mengesankan bahwa sebuah fraksi yang jadi pengejewantahan lembaga partai mewakili suara dan aspirasi rakyat. Apa saja drama-drama tersebut? Biasanya berupa pengembalian uang perjalanan dinas secara kolektif, uang kehadiran saat ada rapat penting, sampai uang pansus. Drama perseteruan sampai drama pertemanan.

Lalu, penyakit akut apa saja yang biasanya menghinggapi anggota dewan? Banyak. Dari tertidur dalam rapat, bermain games online, tidak hadir saat rapat, atau titip absen.

Berharap banyak? Jangan. Lihat komposisi MPR/DPR yang dipenuhi oleh pengusaha dan artis. Apa yang terbayang dari para wakil rakyat seperti ini?

Dan kembali lagi ke awal, mereka hanyalah petugas partai. Mereka, bukan hanya 1 atau 2 orang. Mereka tak punya kuasa untuk menentukan, biarpun mulutnya sampai berbusa kala berbicara soal rakyat, meskipun mereka menitikan air mata kala bicara rakyat.

Mereka hanyalah boneka.
Dan semuanya pinokio.
Pinokio bertopeng pantomim.