Kaskus

Story

diarymasifanAvatar border
TS
diarymasifan
Ada Punya Pacar GINI NGGAK?, Ceritaku Menghadapi Dia Hingga Nyaris Bunuh Diri!
Ada Punya Pacar GINI NGGAK?, Ceritaku Menghadapi Dia Hingga Nyaris Bunuh Diri!
Belajar memahami adalah sebuah hal yang sering banget di bicarakan, Maksud saya itu memahami yang seperti apa dan bagaimana cobak?.!!!!!

"Isi dalam hatiku saat itu adalah coba saja kalau kamu punya pasangan seperti pasanganku, memiliki cinta yang sudah terlanjur jatuh kepada orang yang benar-benar menjengkelkan dan membuat segala sesuatu dihidupku berantakan. Sebelum saya curhat panjang kali lebar, mungkin hal ini bisa menjadi solusi untuk temen-temen yang punya pasangan yang mirip-mirip dengan pasanganku".

emoticon-Travelleremoticon-Travelleremoticon-Traveller
Sebelum membaca penuh seperti biasa ya gaes, saya doakan temen-temen yang membaca semoga selalu mendapatkan hal terbaik dalam hidupnya, yang belum memiliki jodoh segera mendapatkan jodoh, yang punya hutang segera lunas dan yang belum bekerja semoga segera mendapatkan pekerjaan sesuai seperti yang di inginkan.
emoticon-Ngaciremoticon-22 Tahunemoticon-Sundul Up

"Jujur Diawal begitu indah dan menyenangkan memiliki dia, namun semakin kesini semakin benar-benar menyebalkan dan pernah membuat aku berniat untuk bunuh diri."


Bukan sebuah hal yang lumrah bunuh diri adalah sebuah pilihan yang waktu itu aku pilih, mengingat aku sekolah di jurusan Psikolog. Tapi entah kenapa CINTA membuat aku bodoh banget.

"Mengalahkan Bayang-Bayang Cinta yang Merusak"

Aku ingin berbagi cerita. Mungkin ada yang akan mengerti, atau mungkin ada yang juga merasa seperti aku pernah merasa. Cerita tentang cinta yang pada awalnya terasa indah, namun akhirnya menjadi seperti neraka yang perlahan menghabiskan diriku. Cinta yang semestinya membangun, malah membuatku kehilangan diriku sendiri.

Konten Sensitif
Ada Punya Pacar GINI NGGAK?, Ceritaku Menghadapi Dia Hingga Nyaris Bunuh Diri!


Aku pertama kali bertemu dengannya saat aku mulai kuliah. Dia tampak berbeda dari yang lain. Penuh percaya diri, dengan cara bicara yang meyakinkan, dan cara dia memandang dunia seolah-olah dunia ini memang layak diperjuangkan hanya untuk dirinya. Semua orang tampak terpesona dengan pesonanya—dan aku, yang tak punya banyak pengalaman dalam hal ini, merasa seolah-olah aku akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar memahami aku.

Kami mulai dekat, lalu menjalani hubungan. Awalnya, semua terasa sangat manis. Dia penuh perhatian, selalu mengirim pesan atau menelepon untuk menanyakan kabarku. Aku merasa seperti seseorang yang sangat spesial dalam hidupnya. Dia bisa membuat aku merasa seperti aku adalah pusat dunia, seolah-olah aku satu-satunya yang dia butuhkan. Setiap kata pujian yang dia berikan terasa seperti hadiah terbesar dalam hidupku. Aku merasa diterima, dihargai, dicintai.

Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa ada yang aneh. Cinta itu ternyata tidak semanis yang aku kira. Semakin lama, dia mulai menunjukkan sisi dirinya yang lebih dominan, yang selalu ingin menjadi pusat perhatian. Aku mulai menyadari bahwa perasaanku sering kali tidak dianggap penting. Setiap kali aku ingin bercerita tentang hari-hariku, dia akan membalikkan percakapan dengan menceritakan dirinya. Seolah-olah hidupku hanyalah latar belakang untuk kisah hidupnya yang lebih besar. Dia selalu bercerita tentang pencapaian-pencapaian luar biasa yang seolah-olah tanpa cela, menganggap semua orang di sekitarnya sebagai pengagumnya. Sementara itu, aku merasa semakin kecil.

Aku mencoba untuk bersabar, berharap itu hanya fase sementara, bahwa suatu saat dia akan berubah. Tapi kenyataannya, hubungan kami semakin terasa berat. Setiap kali aku mengungkapkan ketidaksepakatan atau ketidaknyamanan, dia akan merespons dengan cara yang sangat merendahkan. “Kamu terlalu sensitif,” katanya. “Kenapa sih kamu nggak bisa lebih seperti orang lain yang nggak perlu drama?” Atau kadang dia hanya akan diam, mengabaikan aku, dan membuatku merasa seperti aku tidak ada.

Tapi aku terus bertahan. Aku merasa jika aku bisa lebih mengerti, lebih sabar, mungkin dia akan berubah. Mungkin jika aku cukup baik, cukup sempurna, dia akan mulai melihatku. Namun kenyataannya, semakin aku berusaha, semakin aku merasa semakin terperangkap. Hubungan ini terasa semakin tak seimbang, dan aku merasa tak lagi menjadi diriku sendiri. Aku mulai mengabaikan kebutuhanku sendiri hanya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan emosionalnya.

Dan akhirnya, semuanya mulai hancur. Aku mulai merasa seperti aku bukan siapa-siapa, bukan pribadi yang berarti. Aku mulai merasa bahwa aku hanya ada di sana untuk memenuhi kebutuhannya, memberi pujian, memberi perhatian, memberi kasih sayang yang selalu diharapkan dariku. Aku tidak pernah merasa cukup. Tidak pernah cukup penting, tidak pernah cukup dihargai. Dan setiap kali aku merasa kesulitan, dia akan mengabaikan, menertawakan, atau bahkan menyalahkanku atas perasaan yang aku alami. Dia tak pernah benar-benar melihatku.

Puncaknya adalah ketika dia benar-benar menghina perasaanku, saat aku mencoba untuk jujur tentang betapa hancurnya aku. Aku berusaha mengatakan bahwa aku merasa tidak dihargai, bahwa aku ingin dia lebih peduli. Dan jawabannya? “Kamu nggak bisa ngertiin aku. Kamu nggak akan pernah bisa ngerti betapa beratnya jadi seperti aku.” Kata-kata itu menghancurkan semua yang tersisa dalam diriku. Aku merasa kosong, seperti aku tak punya tempat di dunia ini. Tidak ada yang peduli dengan aku—hanya ada dia yang merasa dirinya lebih penting dari siapa pun.

Dan di situlah titik terendahku. Aku mulai berpikir, mungkin ini lebih baik. Mungkin jika aku mematikan rasa ini, rasa sakit ini, semuanya akan berhenti. Mungkin jika aku tidak merasakan apa-apa lagi, dunia ini akan terasa lebih ringan. Aku merasa sendirian, tak ada yang mengerti, tak ada yang peduli. Aku merasa seperti aku tak layak hidup dalam dunia ini, dunia yang begitu penuh dengan orang-orang yang lebih penting dari aku. Aku mulai merencanakan bagaimana mengakhiri semua rasa sakit ini, bagaimana mematikan perasaan yang terus menghantui.

Aku duduk di kamar, dalam gelap, berpikir tentang apa yang harus dilakukan. Aku merasa kosong, seperti tak ada harapan lagi. Tapi dalam kegelapan itu, tiba-tiba ada suara kecil di dalam diriku yang berkata, “Jangan. Kamu lebih dari ini. Kamu pantas bahagia.” Aku terdiam, merenung. Aku mulai menangis. Bukan karena aku merasa lemah, tapi karena aku menyadari bahwa aku masih punya kesempatan untuk memilih.

Aku berpikir tentang orangtuaku, teman-temanku, mereka yang selalu ada meskipun aku merasa jauh dari mereka. Aku teringat masa kecilku, saat aku dulu begitu penuh dengan mimpi dan harapan. Aku tahu kalau aku melanjutkan hidup seperti ini, aku akan kehilangan diriku selamanya. Aku tidak bisa terus-terusan membiarkan seseorang mengontrol perasaanku seperti itu. Aku tidak bisa terus-terusan merasa seperti aku tidak berharga hanya karena satu orang yang tak bisa menghargai diriku.

Akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Aku tahu itu bukan keputusan yang mudah. Aku tahu dia akan marah, dia akan menyalahkanku, bahkan mungkin mencoba memanipulasi perasaanku lagi. Tapi kali ini, aku sudah cukup. Aku mengatakan padanya bahwa aku ingin berpisah, bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam hubungan yang hanya membuatku merasa lebih buruk. Reaksinya seperti yang aku duga—dia marah, dia menyalahkan aku, dia mencoba memutarbalikkan semuanya dan mengatakan bahwa aku yang salah. Tapi kali ini, aku tak terpengaruh. Aku sudah selesai.

Aku merasa sangat lega setelahnya, meskipun masih ada luka yang harus aku sembuhkan. Hari-hari setelah perpisahan itu tidak mudah. Ada banyak rasa sakit, banyak momen aku merasa kehilangan. Tapi aku mulai perlahan kembali menemukan diriku. Aku mulai mencari kembali hal-hal yang membuatku bahagia, tanpa rasa takut atau rasa bersalah. Aku kembali berhubungan dengan teman-temanku, keluarga, dan hal-hal yang benar-benar penting.

Ada Punya Pacar GINI NGGAK?, Ceritaku Menghadapi Dia Hingga Nyaris Bunuh Diri!

Aku mulai belajar untuk mencintai diriku sendiri. Aku belajar bahwa aku berharga, bahwa aku pantas mendapatkan cinta yang sehat dan tulus—bukan cinta yang datang dengan pengorbanan yang merusak. Aku belajar bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada orang lain, tetapi ada dalam diriku sendiri. Aku berhak untuk merasa utuh, berhak untuk merasa dicintai tanpa syarat.

Sekarang, aku bisa tersenyum lagi. Aku tahu perjalanan ini belum selesai, tapi aku sudah memilih untuk bangkit. Aku memilih untuk bahagia, untuk hidup dengan penuh harapan, untuk mencintai diriku sendiri, dan untuk melangkah maju tanpa rasa takut. Karena aku tahu, aku tidak perlu lagi membiarkan seseorang mengendalikan hidupku. Aku berhak untuk hidup dengan damai, berhak untuk menjadi diriku yang sejati.

emoticon-Toast MINTA CENDOLNYA YA GANKU emoticon-Toast
pulaukapokAvatar border
sennaaviaAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 23 lainnya memberi reputasi
24
2.2K
63
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan