- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Short Story #61 : Mantanku Terlalu Sukses
TS
ih.sul
Short Story #61 : Mantanku Terlalu Sukses
Terkadang aku bertanya-tanya, apa cara terbaik untuk membalas dendam?
Membunuh orang yang menyakiti kita? Menyakiti orang itu dengan penderitaan yang serupa? Atau tidak melakukan apa-apa?
Sebenarnya tak ada jawaban terbaik. Kita sedang membahas balas dendam, sesuatu yang buruk, mana ada kata ‘baik’ yang pantas disematkan di sana.
Namun semakin aku dewasa, aku sadar kalau ada satu cara yang paling buruk. Cara itu melampaui semua kesakitan fisik yang bisa tubuh terima. Cara itu meninggalkan luka yang tak bisa sembuh, luka yang akan terus menghantui siapa pun dengan penyesalan.
Caranya adalah … hidup sebaik mungkin.
***
Saat aku masih Smp, aku punya seorang pacar. Aku tak bisa bilang dia pria paling tampan dan paling sempurna, tapi caranya menyatakan cinta padaku sepulang sekolah membuat hatiku bergetar. Aku yang sama sekali tak punya pengalaman cinta memilih memuaskan rasa penasaran dan menjadi pacarnya.
Saat itu aku cuma perempuan biasa, agak pemalu dan kutu buku. Meski demikian aku suka kisah romansa. Cinderella, Romeo dan Juliet, Putri Salju, siapa gadis yang tak suka bermimpi menjadi Putri? Karena itulah saat aku mulai berpacaran dengan Tio aku merasa bahagia. Dia pacar yang baik.
Menurutku dia romantis. Kami sama-sama memulai dari awal, belajar apa arti mencintai dan dicintai. Dia berusaha membuatku bahagia dan aku pun sama. Aku yang biasanya cuek dengan penampilan mulai menyisir rambut. Kacamata yang kuanggap culun pun kuganti dengan lensa kontak. Aku belajar untuk tersenyum lebar. Tentunya aku menyikat gigiku sampai putih.
Tak ada yang kukeluhkan dari Tio, tapi waktu berubah bersama dengan perasaan. Mungkin karena aku puber lebih cepat, aku mulai melihatnya seperti anak kecil. Perempuan memang dewasa lebih cepat dan wanita dewasa menginginkan pria yang dewasa pula.
Pubertas ternyata berefek baik bagiku. Aku tumbuh dengan sangat cantik dan menawan. Aku yang dulu cuma gadis cupu kini dilirik oleh pria-pria paling populer di sekolah. Aku tak bisa memungkiri perasaan bersalah dalam diriku yang semakin membesar. Bagaimanapun, aku dan Tio masih berpacaran.
Namun seiring dengan meningkatnya popularitasku, Tio malah semakin tidak percaya diri. Aku tak tahu apakah dia bangga padaku atau malu pada dirinya, yang jelas hubungan kami menjadi semakin renggang. Kami semakin jarang bertemu dan semakin jarang bertukar pesan. Mungkin … perasaan itu memang sudah habis.
Akhirnya aku pun mengambil keputusan yang akhirnya menjadi akar penyesalan seumur hidupku. Aku minta putus dengannya. Aku mengaku bahwa aku memang tak lagi punya rasa. Setelah mengatakan itu Tio hening cukup lama, tapi akhirnya dia mengangguk.
Begitulah akhir hubungan kami. Tak ada air mata dan drama yang tidak perlu. Kami putus baik-baik dan mulai menjalani hidup kami masing-masing. Saat itu aku merasa itulah keputusan terbaik. Aku tak tahu apa yang Tio pikirkan. Sejak saat itu kami sama sekali tak pernah bicara. Namun, aku bisa merasakan bahwa dia masih menyayangiku. Sayangnya, aku memilih mengabaikan perasaan itu.
Kami pun lulus Smp dan melanjut ke Sma yang berbeda. Hanya seminggu sejak debut Sma ku aku langsung jadian dengan anak kelas tiga. Di titik ini aku sudah tidak lagi memikirkan tentang Tio. Aku mencoba melupakannya dan menjalani hidup sebaik mungkin.
Namun ternyata berganti hubungan tidak semudah berganti sekolah. Tio itu tipe lelaki pasif jadi hubungan kami hanya mengalir seperti air sementara pacar baruku tipe yang agresif sehingga hubungan kami seperti air terjun. Deras dan memicu adrenalin.
Kencan yang dulunya cuma sekali seminggu kini jadi setiap hari. Kencan yang dulunya naik kendaraan umum kini naik motor. Tempat-tempat yang kudatangi pun semakin luas. Perubahan yang begitu mendadak membuatku sulit memproses, tapi aku mencoba bertahan karena merasa memang seperti itulah seharusnya.
Itu masa-masa yang mendebarkan. Aku tak malu mengakui kalau aku lebih menyukainya dibanding masa-masa pacaran dengan Tio. Kurasa aku memang punya sisi liar yang akhirnya keluar dan aku menikmatinya. Mungkin perasaan itulah yang membuatku tak keberatan kehilangan keperawanan.
Namun akhirnya kami memilih putus saat dia lulus Sma dan merantau ke pulau seberang. Di tahun kedua aku pacaran lagi dengan anak kelas tiga. Dia kapten klub basket jadi kami tak punya banyak waktu berdua. Sejujurnya waktu-waktu yang kami habiskan berdua tak pernah jauh dari kegiatan seksual.
Aku merasa dimanfaatkan.
Akhirnya kami pun putus saat aku tahu dia punya pacar lain dari Sma sebelah. Trauma itu membuatku tak ingin berhubungan dengan pria untuk beberapa waktu. Itu pertama kalinya aku benar-benar merasakan sakit hati. Ternyata hubungan itu memang tak selamanya indah. Tak semua orang memulai hubungan karena benar-benar merasakan cinta.
Selayaknya wanita yang patah hati, aku mulai mengenang kembali masa-masa indah dengan mantanku. Agak memalukan mengakuinya, tapi aku membuka laman sosial media dan mencari kabar tentang mereka. Bukannya aku berharap balikan, tapi … yah, begitulah.
Sayangnya pacarku sebelumnya sudah punya pacar baru di universitas dan pacar barunya lebih cantik dariku. Meski kami tak lagi punya hubungan tapi itu membuatku kesal.
Sedangkan Tio ….
Mungkin karena aku mencoba melupakannya aku tak pernah mencoba mencari kabar, tapi ternyata setelah dua tahun dia sudah membangun hidupnya dengan fondasi yang kokoh dan berkilau. Ternyata di sana dia bertemu beberapa teman dan mulai mengembangkan channel Youtube. Jumlah subscribernya tak terlalu banyak, tapi tumbuh dengan pasti.
Selain channel Youtube, Tio juga murid yang berprestasi. Dia sering mengikuti lomba debat dan gagasan-gagasannya menarik perhatian media. Bulan depan dia akan tampil di tv nasional. Tentunya itu adalah sebuah pencapaian yang hanya dimiliki segelintir orang.
Dia berprestasi, sedangkan aku? Apa prestasiku?
Meski kami memutuskan memulai jalan kami masing-masing, tampaknya aku cuma jalan di tempat. Itulah pertama kalinya perasaan menyesal itu muncul dan bertanam di dalam hatiku.
Hari-hari yang kuhabiskan berpacaran membuatku mengesampingkan pelajaran. Tanpa sadar aku sudah kelas tiga dan semua orang mulai bersiap menghadapi ujian masuk universitas. Apa yang harus kulakukan? Ke mana aku akan pergi?
Mendadak saja, masa depan terasa gelap.
Singkat cerita aku tidak berhasil masuk universitas mana pun. Untungnya ibuku memperkenalkanku dengan temannya yang punya usaha baju. Meski tak terlalu ingin tapi aku mulai bekerja di sana. Gajinya tak besar, tapi karena aku masih tinggal dan hidup dalam tanggungan orangtua aku bisa menggunakan seluruh gajinya untuk jajan.
Kurasa hidupku mengalami penurunan signifikan, tapi yang membuatnya semakin buruk adalah sosok Tio yang kini muncul di mana-mana di sosial media. Dia terkenal, tak ada bedanya dengan artis-artis. Hampir semua channel Youtube pernah dia datangi dan dia juga menjadi tamu tetap di banyak acara TV. Bagaimana caranya aku tidak menyesal jika melihat dia sesukses itu?
Namun aku masih punya harga diri. Tidak seperti cewek lain yang minta balikan setelah melihat mantannya sukses, aku benar-benar berusaha melupakan Tio. Pandangan matanya saat aku memberitahunya untuk mengakhiri hubungan kami masih tercetak jelas di memoriku. Itu pemandangan yang tidak menyenangkan untuk diungkit kembali.
Aku merasa memulai hubungan baru adalah kunci untuk melupakan yang lama. Sadar atau tidak, aku malah menjadikan Tio sebagai patokan dalam memilih pacar setelahnya. Seorang pria yang tidak agresif, lumayan culun, tapi tau cara menghargai wanita.
Namanya Gideon. Dia dua tahun lebih muda dariku dan sama sekali tidak punya pengalaman cinta. Satu bulan berpacaran kami nyaris tidak melakukan apa-apa sampai akhirnya aku yang mengambil alih.
Memang kebiasaan sulit dirubah, aku malah menariknya mengikuti gayaku yang agresif dan serba cepat. Dia tidak mengeluh, tapi aku tak yakin apakah dia menyukainya. Aku benar-benar lelah jika harus memulai hubungan baru dan karena itulah aku melakukan segala cara untuk mempertahankan hubungan kami.
Namun pada akhirnya itu gagal. Aku menyadari bahwa aku sudah berubah menjadi seperti mantanku. Memaksa seorang anak polos menjadi liar tanpa menanyakan apakah dia menyukainya atau tidak. Aku tak terlalu mengenal Gideon, aku tak yakin pernah bertanya tentang pendapatnya, tapi aku memaksakan semua yang kuanggap ideal kepadanya.
Aku pun mengakhiri hubungan toxic itu. Melanjutkannya hanya membuatku merasa takut. Entah mengapa semua tidak menjadi seperti yang kuharapkan. Semua tidak terasa seperti yang seharusnya.
Kenapa? Apa sebenarnya yang salah? Apakah ….
Di saat-saat terpuruk seperti inilah aku mulai stalking Tio lagi. Karirnya terus saja melejit sejak dia mulai mencoba main film. Kecerdasan yang tinggi, follower yang banyak, harta yang melimpah, kok bisa sih aku melepas pria seperti ini?
Satu hal yang selalu membuatku kembali dan kembali lagi adalah fakta bahwa Tio tak pernah terlihat punya hubungan dengan seorang wanita. Mengapa aku sangat penasaran dengan hal itu? Apakah jangan-jangan aku berharap bisa balikan dengannya?
Imajinasi bahwa dia akan datang dan memintaku kembali padanya benar-benar memakan separuh fungsi otakku. Yang seperti itu memang sering terjadi di film-film, tapi apakah itu bisa terjadi di dunia nyata? Apakah … apakah Tio masih mengingatku?
Apakah ini cinta atau cuma sekedar penyesalan yang ingin dilenyapkan, aku tak tahu. Satu hal yang kutahu adalah aku ingin bertemu dengannya lagi. Setelah bertahun-tahun kami tak bertukar kata, aku ingin mendengar suaranya lagi.
Kebetulan dia mengadakan book fair di sebuah mall tak jauh dari Smp kami dulu. Mencoba untuk tak mengharapkan apa-apa aku datang ke sana dan melihat dari kejauhan. Sungguh, betapa banyak waktu telah merubahnya. Anak kecil yang dulu gugup saat bicara denganku sudah tak lagi bisa terlihat.
Aku tak mendekat menemuinya, aku merasa itu bukanlah tindakan yang tepat. Aku hanya melihat dan membayangkan dunia alternatif di mana kami tak pernah putus. Sungguh dunia yang memabukkan.
Dan tanpa sengaja mata kami bertemu. Bagiku itu adalah sebuah peringatan yang langsung membuatku berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Meski ingin bertemu dengannya, tapi ada juga rasa takut yang tak bisa kujelaskan. Menemui mantan setelah hidupku jadi begitu terpuruk? Perempuan macam apa aku ini?
“Tia … TIA!"
Saat berbalik aku mendapatinya mengejarku. Rasanya ada yang membuncah di dalam dada ini. Aku tahu ini tak pantas, tapi aku tak bisa memungkiri semua perasaan yang telah pria ini tumbuhkan dalam diriku.
“Betul Tia rupanya. Kamu apa kabar?”
“Aku … baik.”
“Ohh ….”
Akward. Cuma itu kata yang pas untuk menjelaskan reuni setelah sekian lama ini.
“Kau sendiri … gimana?”
“Oh, baik kok.”
Aku tak yakin jawaban apa yang kuharapkan, tapi jelas bukan sependek itu.
“Kau udah terkenal ya sekarang. Pasti banyak yang deketin.”
“Ahh, mmm …”
“Udah punya pacar belum?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja. Sungguh tak tahu diri, tapi aku benar-benar ingin tahu. Masih ada harapan besar yang tak bisa kusingkirkan meskipun kutahu itu tak layak kuterima.
Aku ingin dia mengatakannya. Aku ingin dia berkata bahwa selama ini dia selalu mencintaiku.
“Sebetulnya … minggu depan aku bakal nikah.”
Itu bukanlah jawaban yang aku inginkan. Aku menunduk, menangis dalam hati. Bagaimana mungkin orang yang tak mengharapkan apa-apa bisa kecewa sedemikian besar?
“Oh, selamat ya!”
“Iya, sama-sama.”
“Kalau gitu aku balik dulu. Sekali lagi selamat ya!”
Aku berbalik dan berjalan cepat. Ingin rasanya aku masuk ke toilet dan meraung sejadi-jadinya. Rasanya tak akan sesakit ini jika aku tak pernah tahu, tapi di sinilah aku sekarang.
“Tia!”
Aku berhenti, rasa sakit itu sedikit berkurang. Jangan-jangan … ah tidak, jangan berharap lagi.
“Makasih ya buat semuanya. Aku bisa di sini semua berkatmu juga.”
Aku tidak berbalik. Tanpa menoleh aku mengangguk lalu berjalan meninggalkan mall. Dia tidak memanggilku lagi dan aku pun memblokir semua hal yang berhubungan dengannya dari sosial media.
Rasanya sakit. Tak mungkin skenario ala film dan sinetron bisa semudah itu terjadi di dunia nyata. Aku menangis sepanjang malam. Kubiarkan semua harapan dan perasaan yang tersisa keluar tanpa ada yang ditahan-tahan.
Pagi harinya aku sudah merasa jauh lebih baik. Tak ada lagi harapan. Tak ada lagi hal bodoh yang perlu dipikirkan. Semua sudah selesai dan jadi masa lalu sementara masa depan masih terbentang lebar.
Tampaknya rasa sakit itu memang jauh lebih bermanfaat dari yang kuduga. Segala hal rasanya menjadi lebih cerah. Gideon datang dan meminta balikan, aku pun menerimanya. Aku belajar untuk lebih menerima dan tidak memaksa. Membiarkan hubungan berjalan sepert air, tapi menghantamnya seperti air terjun saat diperlukan. Hubungan kami pun berjalan dengan mulus.
Terkadang aku masih melihat Tio di televisi, tapi kali ini aku bisa tersenyum dan langsung mengganti channel. Kurasa perasaan menyesal itu masih ada, tapi aku sudah jauh lebih kuat untuk tidak membayangkan dimensi alternatif tempat kami bahagia bersama.
Hidup memang disusun oleh tumpukan penyesalan, tapi ada lebih banyak pilihan di masa depan yang jauh lebih penting untuk dipikirkan. Menyesal tak akan merubah apa-apa, hanya menambah derita. Biarlah itu jadi masa lalu dan teruslah melangkah maju.
***TAMAT***
kubelti3 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.7K
18
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan