Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #57 : Orangtua Durhaka
Short Story #57 : Orangtua Durhaka

“Baik anak-anak. Hari ini kita akan belajar kisah Malin Kundang si anak durhaka.”

Kurasa tak ada anak di negeri ini yang tak tahu kisah si Malin Kundang. Si anak yang tak mau mengakui ibunya dan kemudian dikutuk jadi batu. Cerita itu ada di buku cerita daerah, di buku bahasa Indonesia, dan tak jarang juga diangkat ke televisi.

Sayangnya itu cuma cerita. Tak ada orang yang berubah jadi batu di dunia nyata. Mungkin itu sebabnya jumlah anak durhaka di dunia ini masih sangat banyak. Lagian kenapa harus dikutuk jadi batu? Kenapa tidak kutuk saja jadi anak yang baik?

“Jadi intinya adalah, jangan sekali-kali kita durhaka pada orangtua, apalagi seorang ibu. Ingat, seorang ibu bertaruh nyawa untuk bisa melahirkan anaknya.”

Kira-kira mengapa mereka suka sekali mendoktrin anak-anak muda dengan kalimat-kalimat seperti itu? jika orangtua memang menyayangi anaknya maka sang anak akan balas menyayangi orangtuanya. Begitulah hukum dunia. Tak perlu doktrin yang malah terasa seperti cuci otak.

Kenapa aku bisa memikirkan hal semacam itu? Karena aku tahu ada beberapa orangtua yang tak pantas dipanggil dengan sebutan Ayah dan Ibu.

“Ganti baju terus langsung ke ladang. Makan di sana aja sama bapakmu.”

Aku bahkan belum melepas sepatu saat wanita itu memberikan ‘salam’nya yang biasa. Sebenarnya aku ada kerja kelompok di rumah teman, tapi untungnya aku sudah bilang kalau aku tak bisa hadir. Tak mungkin aku diijinkan jika sudah memasuki musim panen. Kalau aku tak membantu di ladang siapa lagi yang bisa membantu?

Aku masih ingat saat-saat di mana emosi untuk melawan masih ada. Perdebatan dengan wanita itu ujung-ujungnya selalu menjadi tekanan batin yang menumbuhkan rasa takut dalam diriku.

“Kau pikir uang sekolahmu dibayar pake apa? Mana yang lebih penting?!”

“Tapi kan aku udah janji, Buk.”

“Kau nggak ke sana juga tugasnya pasti selesai. Udah nggak usah banyak omong. Anak itu harus nurut sama orangtua!”

“Tapi, Bu—”

“Durhaka kamu ya? Mau mama kutuk jadi batu?!”

Mungkin itulah awalnya aku membenci kisah Malin Kundang. Tapi tak diragukan lagi aku memang takut. Rasanya seperti ada kawat besi yang menahanku untuk tidak melawan apa yang dia katakan. Akhirnya aku cuma bisa protes dalam diam di kepala.

Dengan perut yang meraung meminta jatah aku pun berjalan ke ladang yang cukup jauh. Butuh sekitar setengah jam untuk tiba di sana. Saat tiba di sana aku mendapati orang itu sudah menghabiskan semua ikan dan hanya menyisakan lalapan untukku.

Harusnya ikan itu cukup besar untuk dibagi dua, tetapi yang tersisa cuma duri dan kepalanya saja. Mata di kepala ikan itu seolah meledekku, seolah menantangku untuk protes, tapi aku cuma duduk diam dan makan apa yang tersisa. Nasi dan lalapan hambar itu terasa menyiksa. Hanya minyak sambal saja yang bisa memberi sedikit rasa.

Dan setelahnya, kerja. Aku dan pria itu tak banyak bicara. Aku melakukan apa yang harus dilakukan dan dia juga melakukan apa yang harus dia lakukan. Meski begitu dia adalah bos sementara aku cuma budak. Bos punya pekerjaan yang jauh lebih penting yang kepentingannyatak bisa dipahami oleh budak.

Dia tak pernah ragu untuk meninggalkan pekerjaan demi mengobrol dengan orang yang kebetulan lewat. Satu obrolan bisa berubah menjadi gosip panjang yang membakar kulitku. Ladang jagung yang harusnya diurus dua orang rasanya seperti kuurus sendiri dengan sesekali dibantu olehnya.

Dia bebas menggunakan orang lain sebagai alasan untuk bersantai, tapi dia akan selalu melotot jika aku berjongkok barang sebentar. Meski datang setelah pulang sekolah, tapi aku merasa memanen lebih dari setengah jagung di ladang sendirian. Aku mungkin tak jago matematika, tapi perhitungannya tidak terasa benar.

Untungnya hari ini adalah hari panen terakhir. Aku cuma bisa menyimpan semua kedongkolan itu dalam hati dan berharap semua menghilang dengan cepat. Kami mengangkat karung-karung jagung ke atas motor. Sialnya, tak ada ruang tersisa untuk penumpang. Akhirnya aku pun harus mengangkat sekarung jagung ke rumah dengan berjalan kaki.

Di perjalanan penuh nestapa inilah kadang aku berpikir untuk apa sebenarnya aku dilahirkan. Aku tak pernah serius mempertimbangkan apa yang akan kulakukan di masa depan. Memang benar aku masih Sd, tapi bukankah harusnya aku punya sesuatu yang benar-benar kusuka dan ingin kulakukan selamanya?

Bermain bola bersama teman-teman, mandi di sungai, atau mengejar layang-layang yang putus. Aku suka melakukan hal-hal konyol seperti itu, tetapi teriakan marah dari dua orang itu adalah ketakutan nyata yang tak pernah bisa kuhadapi.

Aku ada di dalam kontrol mereka. Aku melakukan apa yang mereka suruh, memakan apa yang disediakan, tidak membantah dan tidak bertanya. Itulah … diriku.

***


“Jadi, pesan moral dari kisah Malin Kundang adalah …. Oi Zaki! Kalau tidur itu di rumah!”

Aku tak yakin apakah aku benar-benar tertidur. Mungkin aku cuma melamun, tapi aku tak mendengar apa yang sedari tadi guru ajarkan.

“Malin Kundang? Aahh emm ….”

Malin Kundang merantau dan menjadi kaya lalu pulang ke kampung halamannya. Saat ibunya menjemputnya dia tidak mengakui ibunya sehingga ibunya mengutuknya jadi batu. Itulah inti dari cerita Malin Kundang. Pesan moralnya adalah ….

“Mungkin ibunya Malin Kundang yang salah.”

“Ha?!”

“Jadi gini, Malin pergi belasan tahun lamanya jadi wajar kalau dia lupa wajah seseorang. Sedangkan ibunya sudah tua dan miskin. Biasanya orang seperti itu tidak merawat diri dengan baik jadi wajar kalau wajah ibunya banyak berubah.”

“Kau ngomong apa sih?”

“Lagian Malin itu dari miskin mendadak kaya kan? Aku yakin banyak orang yang tiba-tiba mengaku jadi temannya. Dia pasti waspada kalau ada orang-orang yang mengincar kekayaan seperti itu. Makanya dia nggak percaya kalau yang dia lihat itu ibunya. Bisa aja memang itu penipu. Harusnya ibunya menunggu di rumah, biar Malin tahu pasti itu memang ibunya.”

“ZAKI! IKUT SAYA KE KANTOR GURU SEKARANG!”

Itulah pertama kalinya aku dimarahi di sekolah. Mendadak saja aku mengerti bahwa opini yang berbeda adalah sumber dari masalah. Sama seperti wanita itu yang tak mau menerima pendapatku dan memaksakan pendapatnya, sekolah juga tak peduli dengan pendapat murid dan memaksakan pendapat umum yang sudah bertahun sejak puluhan tahun yang lalu.

Apakah aku memang salah? Atau aku yang terlalu tidak berharga untuk ditanggapi dengan serius? Sebenarnya apa dan untuk apa aku hidup jika seluruh hidupku hanya menuruti perintah?

Malin pergi dari rumah karena dia menginginkan kekayaan. Meski dia menyayangi ibunya dia tetap pergi demi uang meski tahu betul ibunya akan kesulitan hidup sendirian. Mungkin itulah alasan sebenarnya Malin disebut anak durhaka. Dan kenapa ibunya mengijinkan? Mungkin ibunya diam-diam juga menginginkan kekayaan itu.

Entah mengapa kebencianku pada Malin semakin berkurang setiap kali aku memikirkan kisah hidupnya. Dia lahir dan besar dalam kemiskinan. Dia pasti bertanya-tanya kenapa dia hidup miskin. Satu-satunya jawaban adalah karena orangtuanya tidak bekerja keras. Malin bekerja keras untuk menjadi kaya dan kemudian ibunya datang. Melihat ibunya setelah sekian lama pasti mengingatkan Malin pada masa-masa yang tak menyenangkan.

Mungkin Malin memang salah karena tak mengakui ibunya, tapi apakah ibunya punya hak untuk mengutuk Malin? Apakah jasanya memang sebesar itu sampai-sampai Malin pantas menjadi batu karena berkhianat?
Itu memang cuma cerita anak-anak, tapi ternyata ada banyak hal yang bisa diperdebatkan.

***


“Pak, Buk, aku dapat beasiswa ke luar kota.”

Tatapan mereka seperti setan melihat surga. Ada tawaran yang sangat bagus dari Smp unggulan di kota sebelah, kenapa mereka malah melihatku seperti itu?

“Ngapain kau jauh-jauh sekolah ke sana. Di sini kan ada sekolah yang dekat!”

“Tapi kan sekolah di sana lebih bagus, Buk. Kesempatan belajarnya lebih banyak.”

“Ngapain belajar banyak-banyak? Nggak guna! Mending kau ikut bapakmu ke ladang. Ngapain sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya jadi pengangguran.”

Wanita itu memang cuma lulusan Sd jadi aku tak mengharapkan banyak darinya. Karena itulah aku melirik orang yang mengajariku cara menanam benih jagung. Sayangnya dia lebih sibuk merokok dengan kedua mata fokus pada pertandingan bola di tv.

Tidak berguna.

Akhirnya aku pun kembali ke kamar dengan lebih banyak hal untuk direnungkan. Aku mengira tawaran beasiswa ini adalah kesempatan untuk melihat dunia lebih luas, kesempatan untuk mencari tahu hal-hal yang ingin kulakukan, tapi ternyata takdirku memang di sini, di kampung yang bahkan tak pernah dikunjungi presiden.

Aku akan tumbuh besar di sini, melanjutkan ladang milik pria itu, menikah, punya anak, mengurus mereka berdua yang sudah tua, lalu aku akan melakukan hal yang sama pada anakku kelak. Mungkin di masa depan anakku juga akan mendapat tawaran beasiswa, tapi aku akan terus memaksanya memanen jagung.

Tanpa sadar air mata jatuh hingga membasahi selimut. Perasaan macam apa ini? Kenapa aku menangis hanya dengan membayangkan hal seperti itu? Apa aku memang selemah ini?

Aku sama sekali tidak mengerti. Mengapa membayangkan masa depan seperti itu membuatku takut? Mengapa bayangan diriku menjadi seperti mereka berdua membuat tubuhku gemetar? Kehidupanku … apakah kehidupan yang kujalani memang semengerikan itu?

***


Kira-kira kenapa manusia melahirkan anak? Untuk apa menambah beban hidup jika hidup itu sendiri sudah sulit? Kurasa aku tahu jawabannya. Dua orang yang telah membawaku ke dunia, mereka membesarkanku agar aku bisa mengurus mereka saat sudah tua.

Aku ragu ada kata cinta di rumah ini. Mereka melahirkanku, memberiku makan, lalu menyuruhku bekerja. Saat mereka sudah tua dan tak bisa mengurus diri sendiri akulah yang harus mengurus mereka. Persis seperti mereka mengurus kakek dan nenekku.

Apakah itu yang namanya hidup? Apakah ini yang dirasakan Malin Kundang saat menyadari dirinya harus hidup miskin sembari mengurus ibunya yang sudah tua?
Apa benar begitu, Malin? Bisakah aku jadi sepertimu juga?

Aku tak tahu dari mana sensasi panas itu berasal. Yang kutahu hanyalah aku mulai mengemasi pakaianku dan sedikit barang pribadi yang bisa kubawa. Tak ada masa depan di rumah ini, di kampung ini. Jika hanya penderitaan yang menanti aku lebih memilih lari dan mati. Setidaknya itu akan mengakhiri penderitaanku dengan cepat.

“Mau ke mana kau malam-malam?!”

“Bukan urusanmu. Aku mau pergi!”

“Hah? Ngomong apa kau barusan?!”

Dengan cepat aku memakai sepatu, tapi wanita itu dengan cepat mencengkram tanganku kuat-kuat hingga kukunya menusuk kulit.

“Berani kau ngomong gitu ke ibumu? Siapa yang ngajarin kau ngomong gitu?! Ini akibatnya kalau kau berkawan sama orang-orang nggak benar!”

“MANA ADA WAKTUKU BERKAWAN! HABIS WAKTUKU DI LADANG!”

Tanpa sadar aku sudah berteriak dan menghempaskan tangannya hingga lepas. Rasanya panas. Mungkin ini adalah seluruh perasaan terpendam yang akhirnya terbakar.

“Aku nggak peduli lagi. Aku mau pergi dari rumah ini.”

Aku membuat niatku jelas dan tamparan keras di pipi adalah apa yang kudapatkan.

“BERANI KAU SAMAKU?! UDAH JADI ANAK DURHAKA KAU YA?! MAU KUKUTUK JADI BATU?!”

Namun aku tidak peduli. Sakit ini cuma sementara dibandingkan lingkaran setan yang tak akan berakhir jika aku tetap memilih di sini.

“KUTUK AJA! KUKUTUK JUGA KALIAN BIAR JADI BATU!”

Dan kemudian aku berlari. Menembus malam yang gelap dan dingin aku berlari. Aku tak tahu ke mana, tapi aku tahu aku harus meninggalkan kehidupanku di sini. Tak ada perasaan berat. Langkahku malah terasa ringan. Dalam hati aku bersyukur. Aku sudah mengambil pilihan yang benar.

***


20 tahun kemudian ….

Hidup memang tak pernah ada yang tahu. Dulu aku bersumpah tak akan kembali kemari, tapi sekarang aku malah ditugaskan untuk mengawasi pembangunan jalan di kampung ini. Sumpah yang kubuat beralaskan benci ternyata sudah terkikis habis seiring waktu. Setelah 20 tahun aku merasa penasaran apa yang terjadi setelah aku pergi.

Kampung ini sudah banyak berubah. Bangunan beton bertingkat sudah semakin umum, jalanan pun sudah terhubung dengan jalan besar dan tol. Rumah yang dulu kukira akan menjadi tempat tinggalku seumur hidup juga sudah menjadi toko kelontong tiga lantai.

Tampaknya mereka sudah tidak tinggal di sini lagi. Aku bertanya ke orang-orang di sekitar. Untungnya aku bertemu seorang kenalan lama dan dengan keragu-raguan dia menceritakan semuanya padaku.

Ternyata mereka menjual rumah dan juga ladang jagung untuk membangun rumah baru di kampung sebelah. Mereka tak tahan dengan gunjingan tetangga akibat kepergianku sehingga mereka memilih pindah. Namun sebuah malapetaka terjadi.

Tak ada yang tahu bagaimana ceritanya, tapi mereka berdua terjatuh ke coran beton dan mati begitu saja. Tubuh keduanya baru ditemukan saat adonan sudah mengeras sehingga tubuh keduanya keras seperti batu.

Seperti batu, dua kata itulah yang terus bergema di pikiranku. Mungkin batu Malin Kundang sebenarnya cuma adonan semen yang salah bentuk. Aku tak tahu apakah pantas untuk menyamakan keduanya, tapi yang terjadi tak akan bisa berubah. Tanpa diduga ada sedikit perasan sedih saat aku mengetahui itu.

Aku penasaran apa yang terjadi setelah Malin berubah jadi batu. Apa yang terjadi pada ibunya? Apa yang ibunya rasakan saat melihat patung anaknya meminta ampun? Apakah kebenciannya terus berkobar tak peduli berapa kali dia melihatnya? Atau apakah ibunya akhirnya menyesal dengan apa yang dia lakukan?

Aku tidak menyesali apa yang aku lakukan. Jika aku memang anak durhaka maka biarlah begitu. Setidaknya aku akan memastikan anakku tidak akan punya pemikiran untuk mengutuk ayahnya menjadi batu.

***TAMAT***
ceuhetty
rinandya
jembloengjava
jembloengjava dan 12 lainnya memberi reputasi
13
1.5K
24
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan