dzaki999925Avatar border
TS
dzaki999925
Lahirnya Sang Hamba Iblis Part 1




*LAHIRNYA SANG HAMBA IBLIS.*

Part 1. Kekeringan





Jawa timur 1948.

Suara hiruk pikuk terdengar nyaring di telingaku.
Seperti paduan suara yang saling sahut menyahut.

Decitan suara kerekan timba karat yang bergesekan dengan tali tambang ikut menambah riuh suasana pagi itu.

Ember demi ember naik dari dasar sumur, mengais sisa-sisa air yang mulai kering ditengah kemarau panjang.

Aku masih tertegun menunggu giliran untuk mendapatkan beberapa ember air.

Aku hanya diam termenung, ditengah bising nya suara emak-emak yang terus berbicara tanpa henti, layaknya desingan peluru yang keluar masuk telingaku.

Dua ember kosong yang nampak bernoda lumut kering, masih kutenteng di kedua ditangan ku.

Lama sekali aku menunggu, dengan sebagian dari perasaan ku sudah sangat jengah.

“Akhirnya tiba giliranku” gumamku dalam hati.

“Ndang cepet Sri , ojo suwi-suwi (cepetan Sri, jangan terlalu lama)” ucap emak-emak dibelakangku, yang aku sendiri malas untuk menatapnya.

“Biyuh, urung ge njupuk banyu, wes diabani wae (Yaelah, belum juga ambil air, udah diingatkan suruh cepat-cepat)” gerutuku.

“Ngaaakkk, ngiikk, ngaaakk, ngikkk, suara timba itu, seperti protes kepada para manusia yang sedari tadi memperkerjakan nya tanpa henti.

Aku masih terus menarik timba itu keatas, diiringi suara kerekan timba yang masih berdecitan.

Lega rasanya ketika ember mulai naik keatas dengan berisi air yang lumayan banyak.

Sekilas aku melihat senyumku sendiri yang ter refleksi dari air di dalam ember tua itu.

Lalu, dengan segera kutuang air yang jernih itu ke emberku.
Air yang sangat berharga di saat kemarau melanda.
Dikala sang surya tak henti-hentinya menyengat bumi dan dengan angkuhnya memanggang semua makhluk dibawahnya.

Namaku Sri wahyuni. Aku gadis desa biasa yang mungkin tak penting dimata banyak orang.

Aku anak buruh tani. Buruh tani itu adalah seorang petani namun tidak mempunyai lahan. Atau orang-orang yang menunggu untuk diperkerjakan di lahan orang lain.

Kala paceklik melanda, buruh tani hanya meringkuk pasrah dirumah.
Sedangkan banyak perut-perut harus tetap di isi makanan.
Itulah yang terjadi di keluarga ku saat ini.
Bapak ku merantau entah kemana dan tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi di rumah kami.

Dan ketika kutanyakan pada ibuku, dia selalu menjawab.

“Bapak mu wes mati, rasah digoleki (bapakmu sudah meninggal, tak usah dicari)”

Sedangkan ibu ku harus berjibaku untuk menghidupi tiga anak dengan penghasilan seadanya dari menjadi buruh tani.

Ibuku hanya dibayar dengan beberapa kantong gabah untuk setiap pekerjaan nya.
Sebagian dia sisihkan untuk ditukar dengan beberapa keping rupiah.

Kadang, aku sampai menangis terisak, ketika aku memijat telapak tangan ibuku yang hitam keriput dan penuh luka.

Telapak tangan nya sangat kasar, kurasakan kapalan-kapalan sekeras batu memenuhi telapak tangan nya. Dan itu, berbanding terbalik dengan hatinya yang lembut. Karena bagiku, Ibuku adalah manusia paling berhati lembut di dunia ini.

Kulihat dari gurat-gurat dikeningnya, dia nampak sangat kelelahan.
Pijatan ku mungkin tak bisa menghilangkan rasa lelahnya, tapi aku yakin sentuhan ku dapat memberikan nya semangat untuk hidup, untuk tetap berjuang menghidupi anak-anaknya yang tercinta.

Aku yakin ibuku bukan lah orang yang mudah menyerah dan kalah oleh keadaan, dia akan terus berjuang dan berjuang selama hayat masih dikandung badan.


Aku sebagai anak tertua, mau tak mau harus membantu ibuku.

Dan harus mengorbankan masa bermain ku untuk bekerja membantu ibuku.

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, untuk mencuci baju, menyapu, dan mengambil air untuk persedian minum kami.

Sekolah?? Apa itu sekolah?? Sekolah hanya untuk mereka para anak orang kaya atau anak pejabat.
Kami tak mengenal pendidikan, terutama bagi kami para perempuan.

Kami para perempuan seperti hanya menjalani takdir yaitu, memasak, mengurus rumah, dan melahirkan anak.

Di umurku yang sudah menginjak 17 tahun, banyak sekali lelaki yang mendekatiku. Beberapa diantaranya terang terangan melamarku,
Tapi aku selalu menolak.
Aku masih ingin membantu ibuku.
Aku tak ingin hidup nyaman sendiri, tapi ibu dan adik-adikku masih hidup kekurangan.

Meskipun, beberapa kali ibuku menyuruhku untuk menerima salah satu lamaran itu, karena tak baik sering menolak lamaran, katanya kepadaku.

Tapi aku tak peduli, aku masih ingin tetap tinggal dengan ibu dan adik-adikku. Aku juga ingin bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri untuk membantu ibuku.

Saat ini kemarau panjang melanda desa kami.
Desa Sido Mulyo.
Banyak petani yang mengeluh karena mereka tak bisa menanami lahan mereka.

Sawah-sawah mengering, membentuk retakan retakan di sepanjang permukaan tanah.
Dedaunan layu kecoklatan, dan sebagian bertumbangan.

Sumur-sumur juga banyak yang mulai kehabisan air.

Beberapa orang termasuk kami, memakan nasi dicampur jagung atau singkong, agar tetap kenyang. Karena harga beras sangat mahal.

Malam itu ibuku baru pulang dari bekerja. Karena tak ada pekerjaan di sawah atau ladang, maka ibuku berkeliling dari desa ke desa menjual sabut kelapa untuk dijadikan bahan bakar, dan tikar pandan yang dia anyam sendiri.

Gurat-gurat kelelahan sangat nampak dari wajah ibuku. Aku langsung bergegas membantunya.
Aku membantu mengangkat barang bawaan ibu.
Dan kulihat, dagangan ibuku masih utuh, tak ada yang laku hari ini.

Aku pun sedih dan ingin menangis. Aku sedih membayangkan ibuku berjalan dari kampung ke kampung, berpeluh-peluh dibawah terik matahari kemarau yang panas, namun tak ada satupun orang yang membeli dagangan nya.

Aku memijit pundaknya. Ibuku nampak menikmati pijitan ku.

“Yuh… Penak pijetan mu sri (enak sekali pijatan mu Sri)” puji ibuku sembari tersenyum kepadaku. Aku senang dengan pujian ibuku, namun beberapa kali pijatan ku terhenti karena aku menyeka air mataku yang tanpa kusadari telah meleleh di pipiku.

Ibuku menyuruh ku untuk mengambil bungkusan di dalam barang bawaan nya.
Ketika kulihat, ternyata ada seikat ketela pohon

Aku kegirangan, karena dari siang aku dan adik-adik ku belum makan.

Aku langsung bergegas ke dapur, kunyalakan kompor dari tanah liat dengan meniup bara api yang kemerahan dan mulai membakar sebagian kayu bakar.
Tak lama kemudian si Sarmun adik pertama ku, ikut membantu dengan memasukkan sabut kelapa agar api cepat membesar.

Sedangkan si Sarmito adik kedua ku, masih terlalu kecil untuk membantu, dia hanya memandangi kami dengan wajah yang tak sabar dan sesekali dia terlihat menaikkan celana pendeknya yang berkali-kali melorot karena badan nya begitu kurus.

Kulihat Sarmun sedikit tertawa, disusul kemudian sarmito juga ikut tertawa karena mereka melihat wajahku yang menghitam terkena arang.
Aku pun segera membersihkan wajahku, namun yang terjadi noda itu malah semakin merata dan membuat seluruh pipiku menghitam. Hal itu membuat kedua adikku tertawa lepas.

Akupun ikut tersenyum, aku senang melihat adik-adikku tertawa bahagia ditengah kehidupan kami yang susah.

Tanpa membuang waktu lagi, dengan segera aku merebus ketela itu dengan ditambah beberapa butir beras yang masih tersisa.

Aku juga membuat sayur, dari sedikit daun melinjo, ditambah garam dan bumbu lain nya dengan ku perbanyak air nya.

Singkatnya, malam itu kami makan bersama ditengah gubuk yang kami yang sederhana.

Ya… rumah kami lebih pantas disebut gubuk dibanding sebuah rumah. Karena dindingnya hanya dari anyaman bambu, sedangkan lantainya masih tanah.

Aku, ibuku dan adik-adikku berkumpul dan bersiap memakan makanan yang kumasak ditengah-tengah rumah, dengan diterangi cahaya lampu teplok, sehingga nampak dari bias cahaya itu senyum-senyum bahagia dari ibu dan adik-adikku.

Terkadang aku ingin protes kepada Tuhan, namun selalu ku urungkan, sebab Tuhan begitu adil, Tuhan selalu memberikan kebahagiaan kepada setiap manusia, meskipun dengan cara yang berbeda. Dan malam itu kami sangat bahagia meskipun hanya dengan makan bersama.

Hari-hari pun berlalu, langit sepertinya masih enggan menurunkan hujan di kampung ku.
Beberapa orang mulai mengaitkan hal ini dengan mitos-mitos dan kepercayaan kuno yang masih mereka percayai.

Mereka meyakini kemarau panjang ini karena sajen dan ritual yang mereka persembahkan ke leluhur masih kurang, sehingga membuat arwah leluhur dan danyang desa marah.

Di kampung kami ada sebuah punden keramat yang dipercayai bisa mendatangkan rezeki, keamanan, dan kesejahteraan bila kita meminta dan memberi sesaji di tempat itu.

Sebaliknya punden itu juga dipercaya bisa mendatangkan bala, atau kemalangan jika tidak diberi sesaji secara rutin tiap hari Jumat legi di bulan suro.

Bahkan banyak yang bilang punden dikampung kami juga sebagai tempat untuk mendapatkan pesugihan. Sehingga banyak sekali warga dari kampung dan luar kampung kami yang melakukan ritual pesugihan di punden tersebut.

Punden itu berupa bangunan kecil dari batu tua yang disusun rapi. Punden itu terletak dibawah pohon beringin besar yang tampak menyeramkan.

Rantingnya besar-besar dan merambat kesegala arah, seperti tangan-tangan raksasa yang keriput dan mengerikan. Lebatnya dedaunan di pohon itu layaknya atap alami yang menutupi langit.
Pohon itu sudah berusia ratusan tahun. Mungkin, jika pohon itu bisa berbicara, maka banyak sekali kejadian yang dia lihat dan ceritakan.


Hari itu, hari Jumat legi yang jatuh dibulan suro.
Tiap tahun, kampung kami selalu mengadakan acara adat dan ritual yang sudah turun temurun yang digelar di punden tersebut.

Semua orang kampung berkumpul di punden keramat yang konon disitulah terletak makam leluhur desa kami.

Punden itu terletak di ujung desa. Aku harus melewati banyak area persawahan, yang tiap sisi jalan nya ditumbuhi pohon turi yang rindang. Jalan menuju punden sangat sejuk dan menyenangkan untuk dilewati ketika hari masih terang,
Namun, ketika malam tiba, tempat ini sangat mencekam dan hampir tak ada satupun warga yang berani lewat sini sendirian.

Para penduduk melakukan upacara mulai dari pemberian sesaji, membakar kemenyan, slametan hingga melakukan tarian-tarian yang di iringi gamelan.

Aku sangat senang mengikuti acara itu. Bukan karena ritual nya tapi karena, setelah acara ritual selesai, makanan-makanan disitu akan diberikan kepada warga untuk dimakan bersama. Dan aku jelas tak ingin melewatkan kesempatan itu. Aku ingin makan sekenyang-kenyangnya, dan membungkus sebagian nya untuk adik-adikku dan ibuku dirumah

Aku segera mendekat ke arah kerumunan warga, beberapa kali aku sampai terjepit dan terdorong karena aku ingin sedekat mungkin dengan makanan yang sudah tersaji di tempat itu.

Belum sempat tiba ke acara terakhir yaitu makan bersama. Tiba-tiba keramaian itu dikejutkan dengan suara teriakan.

“Grrrrgggg….grrrrrggg” suara dari seorang pria layaknya erangan seekor harimau.
Air liurnya tampak bercucuran dari mulutnya, matanya memutih, dan dia berposisi merangkak dengan tatapan mata yang mengerikan.

Sang dukun yang ada disitu langsung bertindak dan mengambil posisi siap, entah apa yang dia lakukan dan tak berselang lama kemudian, mulutnya terlihat komat-kamit, Sedangakan tangannya dia angkat tinggi-tinggi sambil dia arahkan ke orang yang kesurupan itu.

Kemudian si dukun seperti menyadari sesuatu dan kini dia mengambil posisi hormat, dengan kedua telapak tangan nya dia rekatkan di depan dadanya, dia seperti menghormati sosok yang merasuki pria tersebut.

“Mohon maaf mbah, kami sudah lancang menggangu anda, kalau saya boleh tau njenengan siapa ya?” Ucap dukun itu dengan sangat hormat dan menggunakan bahasa Jawa halus.


Si pria yang kesurupan itu tak langsung menjawab. Matanya masih berkeliling melihat satu persatu orang yang hadir ditempat itu.
Sorot matanya tajam mengerikan, layaknya hewan buas yang siap menerkam mangsa.

Kepala nya berputar pelan kekanan dan kiri, seperti dia sedang memilih yang mana yang akan dia mangsa terlebih dahulu.

Dari mulutnya masih mengalir air liur yang deras, dan entah aku sendiri tak mengerti, bisa-bisanya seorang manusia bisa mengeluarkan air liur sebanyak itu.

Suara kasak-kusuk terdengar dari para warga yang hadir di tempat itu saat mereka melihat pemandangan mengerikan itu didepan matanya.

“Yo to bener tebakan ku, itu pasti mbaurekso ne punden ini sedang marah” ucap seorang warga berbisik kepada teman nya.

“Pantes, kampung iki kayak dikutuk sehingga gak dikasih hujan” balas teman nya.

Pria yang kesurupan itu mulai sedikit tenang, kemudian dia mulai berbicara, dengan suara berat dan sedikit agak tak jelas.

“Aku darseno, aku njaluk endas, endas!!!!(aku darseno, aku minta kepala, kepala)”
Erangnya, sambil jari-jarinya mencengkram dan menggaruk-garuk tanah.

“Ennn…endas, endas nopo mbah, endas lembu, kebo nopo mendo?”(kee..kepala, kepala apa mbah, kepala sapi, kerbau atau kambing?”) jawab sang dukun dengan terbata-bata.

“Hahahahahaha…endas menungso!!”(kepala manusia!!) tegas pria yang kesurupan itu sambil tertawa terkekeh.

“Kalau kalian tak mau mempersembahkan kepala manusia, maka kepala-kepala kalian akan mengering karena hujan gak bakalan turun di kampung ini. Ha..ha..ha..”


Bersambung. ..

donif
raysinatria
motherparker699
motherparker699 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
786
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan