Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Melepas Masa Depan | Short Story [Kompetisi KGPT]
Quote:




Quote:


Sebenarnya, kapan saat kita merasa bahagia? Saat mencintai atau dicintai? Sampai di detik ini-pun aku masih belum memahami semua hal itu.

Detik bergulir kala sanubari menembus jendela. Aku masih terduduk bersama kopi dengan segala kenangannya. Di kamar ini, puluhan bingkai cerita kami menggantung merdu. Aku bukanlah pujangga, namun kuhanya ingin bercerita. Ini tentang dia.

Putri, sebuah bahasa cintaku yang sederhana.

Hari ini adalah hari yang istimewa untuk kami berdua. Sudah aku nantikan sejak lama. Hari dimana aku bisa melihatnya tersenyum bahagia. Mungkin sekarang dirinya sedang bersolek demikian cantik. Mengenakan gaun putih bermotif bunga Tulip atau mungkin bunga Lily. Bunga-bunga dengan bahasa cinta yang tulus. Bunga-bunga yang setia dalam ikatan pernikahan.

Beberapa kali aku terpejam membayangkan saat dirinya berjalan menuju altar. Ia berkata semua orang harus tersenyum mekar selayaknya bunga putih yang bertaburan di karpet merah.

"Datanglah tepat waktu, aku tak ingin menunggu," begitu kata Putri.

Pagi ini aku mengenakan Jas hitam dengan saku depan di dada kiri yang masih terpampang kosong. Kata orang bagian saku itu harus diisi kelopak bunga. Aku tak tahu bagaimana semestinya para pria berdandan. Mungkin aku akan memasukan bunga kesukaannya. Apa tidak berlebihan? Aku takut jika ia tak menyukai penampilanku.

Sejak kami bersekolah dulu, penampilan Putri selalu rapih. Ia begitu anggun dan pintar. Berbeda halnya dengan diriku yang selalu tampil urak berantakan. Belajar tak menentu, sering bolos, melawan guru sampai merokok di kelas. Parah. Seolah-seolah aku enggan memikirkan masa depan. Saat itu, penampilanku kacau balau.

Sedangkan Putri, ia gemar sekali membaca di pojokan kelas. Para guru menyukainya. Terlebih ia berasal dari keluarga terpandang. Semua orang memahami jika perempuan cantik tak perlu membuktikan jika dirinya cantik. Cahaya seolah mengikuti keberadaannya. Berbinar temaram.

Banyak pria ingin mendekati Putri, ia tak bergeming seolah-olah itu hanyalah angin lalu. Kerap kali aku mengganggunya. Aku yakin setiap pria di dunia ini akan berbuat iseng pada perempuan cantik. Seperti menyembunyikan kacamatanya, menarik kerudungnya, atau sekedar menyapu debu di bawah mejanya. Aku ingat saat ia terbatuk dan hanya memasang wajah biasa. Tak berkata apapun saat teman-temannya justru mebentakku. Dalam pertumbuhan menuju dewasa, perempuan selalu lebih dewasa dibanding lelaki seumurnya.

Dari sanalah aku bisa merasakan sesuatu. Putri, Saat mataku melihatmu, diriku yakin jika engkau adalah rumah dimana tempatku pulang.

Nekat, diriku seperti halnya pemberontak yang menerobos ke istana. Mencurinya dari singgasana megah. Kalian tahu, para pria akan bertindak sebodoh mungkin untuk menarik perhatian perempuan. Seperti berpura-pura kesurupan di kelas, atau mungkin memakan makanan pedas sampai seisi kelas ricuh, sampai keliling lapangan dengan bertelanjang dada. Beruntung, akhirnya Putri tertawa melihatku.

Ternyata, mengejar perempuan cantik tak perlu unggul. Cukup tampil beda demi perhatiannya. Menunjukkan sisi terbodoh dalam diri kita, merupakan salah satu cara mengejar wanita.

Sejak saat itu, aku kerap kali mengajaknya ke luar. Menikmati kehidupan sebagaimana mestinya. Kami jatuh cinta satu sama lain. Menulis kisah yang sama dengan dua senyawa yang beda.

Setelah lulus sekolah, aku selalu mengantarnya menemukan universitas yang ia mau. Sejak dulu, Putri selalu memberi segala perhatian untukku. Iya, hanya untukku. Beberapa kali orang tuanya melarang ku pergi bersamanya. Namun ia kukuh dengan segala perasaan yang ia punya. Ia selalu datang dengan segala ketulusan untukku.

Di hari spesial ini, aku hanya ingin berkata "maaf", sesederhana itu aku mengungkapkan rasa sayangku padanya. Putri, Aku begitu bahagia bertemu seseorang sepertimu. Maaf. Maafkan aku jika dirimu bertemu seseorang sepertiku.

Jam berdenting, sudah saatnya aku berangkat menuju resepsi pernikahan. Aku ingin melihatnya bahagia. Setidaknya melihatnya tersenyum dalam pandanganku.

Aku mengenakan jas yang sejak tadi menunggu. Sejenak melihat foto Putri yang menyungging senyum. Merapihkan kado pernikahan lalu mengambil kunci lalu menutup pintu.

Mereka semua menungguku.


***



Parkiran sudah berjejal ramai, mobil saling berhimpitan. Aku tak tahu pasti jumlah tamu yang datang. Dari kejauhan aku bisa melihat semua orang memandangku kagum. Beberapa kali aku mendengar klakson mobil dan sahutan orang-orang yang menyapaku. Senang sekali rasanya. Aku mengangkat pandangan, berharap ada celah kosong untuk berhenti.

Gedung ini megah dengan riasan serba putih. Mewah menawan. Entah berapa uang yang dikeluarkan keluarga Putri. Ah, saat diriku mempunyai anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, tanpa perhitungan sedikitpun aku akan memberi hal yang sama.

"Woi Han sebelah sini...!" Aku menoleh pada Pria di muka gedung. Ternyata itu Dian kakak sepupu Putri, kami sudah akrab sekali.

Mobil terhenti, dentuman melodi Celo tersuar dari dalam. Aku tak sabar melihat bagaimana Putri menyihir para tamu dengan parasnya. Mungkin, aku sendiri tak sanggup. Kututup pintu menuju Dian. Ia melambai dengan tawa khasnya, mengejek sambil memberi semangat.

Namun aku tahu, ia mendukung langkahku sekarang.

"Orang-orang pada nungguin Lo Farhan, cepet ke dalem," ia menepuk pundakku lalu membalasnya dengan senyum.

Di teras gedung bunga-bunga terjuntai rapih di dalam guci, berbaris lurus menuju altar. Benar saja, ini bunga-bunga kesukaan Putri. Di sepanjang lorong itu, aku bertemu dengan teman dan kerabat Putri. Mereka hanya menganggukkan kepala.

Suasana pernikahan selalu menjadi momen yang penuh suka dan kebahagiaan. Acara resepsi ini terlihat begitu intim dan penuh dengan nuansa tradisional Jawa berpadu dengan aksen modern.

"Ayah...!"

"Aji...?!"

Ia memelukku dengan erat. Haru rasanya. Sudah lama sekali aku tak bertemu dengan anak semata wayangku.

"Terimakasih sudah datang, Ibu pasti bahagia dengan kehadiran Ayah,"

"Ayah juga akan bahagia melihat Ibumu menikah," ucapku mengusap kepalanya. Walau kumis tipis telah tumbuh di wajahnya, aku selalu memperlakukan Aji saat dirinya masih kecil.

Beberapa hal memang tak berubah. Seperti halnya kenangan.

"Tinggal beberapa menit lagi pengantinnya masuk, biar aku bawa Ayah ke meja tamu. Tenang aja aku bakal temenin Ayah,"

"Nak..."

"Kenapa?"

"Maafin Ayah ya?"

Kamu hening di atas karpet.

"...Kehidupan akan selalu berjalan seperti seharusnya," ia mengusap punggungku. Ternyata di usia tua ini, aku masih kekanakan.

Sesaat kemudian MC memberi kabar jika pengantin akan masuk ke gedung resepsi. Lampu-lampu akhirnya meredup dan hanya menyisakan lampu utama yang menyorot pengantin berjalan menuju singgasana. Suasana begitu temaram dengan lantunan piano. Bunga-bunga berjatuhan dari atas, ditabur oleh dayang-dayang pengiring pengantin.

Putri, ia masuk dengan gaunnya yang memikat. Ia tersenyum lebar, sambil melambaikan tangan pada tamu yang hadir. Suaminya terlihat tampan sekali dengan setelan jas yang senada dengan gaun Putri.

Aku tertegun membisu, pada detik yang seolah berhenti. Jujur, aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan sekarang. Namun aku tersadar akan satu hal, Ia cantik seperti biasanya. Seperti melihatnya kembali di masa sekolah dulu.

"..." Aku mematung, kontras dengan para tamu yang lain.

Perlahan riuh tepuk tangan memberi rasa bahagia padaku, pun halnya Aji yang ikut bersiul pada perempuan yang melahirkannya. Ia bahagia.

Putri, aku masih mencintainya. Namun, ketika dirimu sangat-sangat mencintai seorang wanita. Lalu ada seseorang yang mengasihinya juga sama-sama mencintainya, maka dari hati yang dalam dirimu akan mendoakan agar ia bahagia selamanya.

Sesaat Putri melihatku dengan Aji, ia terhenti dengan mata yang berair. Suaminya ikut menundukkan kepala. Aku tahu jika ia sudah menemukan kebahagiaannya sendiri.

"Terimakasih..." Ia berlalu menuju altar yang disambut dentuman selamat dari semua orang.

Aku tak berkata apapun, hanya mengikuti naluri pria pada umumnya. Melepas dengan tawa dan riuh tepuk tangan. Seperti suara kepakan merpati yang terbang ke langit.

Aji mengandeng diriku, kami berbahagia bersama melihat perempuan

"Nanti giliran Ayah," ia menyemangatiku

"...Entahlah, Ayah tak banyak memikirkannya soal itu," Ia hanya menepuk dadaku.

Putri, bunga-bunga itu berjatuhan. Maaf jika itu bukan berasal dariku.

Aku melepasmu. Masa depanku.


THE END



Quote:


Spoiler for image source:

krian8471070
eynymawar675644
anangabdulla192
anangabdulla192 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.2K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan