j.16Avatar border
TS
j.16
[SingkatCerita] FIRASAT
Quote:


FIRASAT





'Sesungguhnya ridho orang yang kita sayang adalah ridhoNya.'

Bahri adalah seorang guru disalah satu MI yang letaknya jauh dari rumah yang dia tempati. Ia mempunyai satu anak perempuan yang kini naik kelas 4 disekolah yang dia ajar. Istrinya, Aida tengah mengandung 6 bulan anak kedua mereka yang kemungkinan laki-laki, anak yang memang sangat ditunggu - tunggu.

Bahri memanggil anaknya untuk duduk diruang tamu, ada hal yang ingin ia sampai pada sang anak.

"Nana, kamu mau kan pindah ke sekolah SD yang ada didekat rumah kita?"

"Emang kenapa pindah Pah, Nana kan udah nyaman sekolah disana Pah..."

"Kalo kamu sekolah disini kan lebih deket dengan rumah, lagian kan banyak temen main kamu yang sekolah di SD ini."

"Tapi kan temen sekolah Nana disana juga banyak, lagian Papah kan juga ngajar disekolah Nana. Nana bisa berangkat dan pulang sama Papah." Nana masih menolak Papahnya yang ingin memindahkan sekolahnya.

Bahri menyuruh anaknya mendekat, dia mengelus kepala putrinya penuh sayang. "Kamu yang nurut ya, kan mau punya adik. Gak selamanya Papah bisa berangkat sekolah bareng kamu. Nanti kalo mamah repot ngurus adik kamu, siapa yang mau nganterin kamu sekolah coba kalo sekolahnya jauh? Kalo deket kan bisa berangkat sendiri."

"Kan ada Papah," Nana mencebikan bibir, tapi dia juga tidak bisa membantah Papahnya. "Ya udah deh terserah Papah." katanya sambil berlari ke kamar.

Aida yang tau jika anak perempuannya ngambek mendekati suaminya. "Kamu kenapa sih Mas ngotot banget mindahin Nana sekolah di SD sini, dulu kan kamu yang mau Nana sekolah bareng kamu di MI. Kasian Nana kalo harus adaptasi lagi."

Bahri mendesah, entahlah dia merasa lebih baik memindahkan Nana ke sekolah yang lebih dekat dengan rumahnya. "Aku rasa Nana lebih baik sekolah disini." katanya sambil berdiri. "Sudahlah besok aku mau menemui Pak Kamsir untuk mendaftarkan Nana."

Aida tidak menanggapinya lagi, dia memandangi punggung suaminya yang menjauh. Dia merasa akhir - akhir ini suaminya agak aneh tak seperti biasanya. Meski memang wataknya keras kepalanya sejak dulu masih saja. Sebagai istri dia hanya bisa menuruti apa kata suaminya.

Keesokan harinya Bahri mendaftarkan Nana di SD 05, Pak Kamsir sang Kepala Sekolah yang memang sudah mengenalnya menyambut baik.

"Saya titip anak saya ya Pak. Saya merasa kasihan jika sekolah Nana terlalu jauh."

Pak Kamsir tertawa maklum, "Baik Pak Bahri, Nana akan diajar dengan baik oleh guru - guru disini." jawab Pak Kamsir.

"Saya benar - benar titip Nana ya Pak..." kata Bahri lagi, nadanya sedikit pilu namun Pak Kamsir mengabaikan itu dan merekapun berbincang - bincang lagi untuk membahas kepindahan Nana dan syarat apa saja yang diperlukan.

Sudah dua minggu Nana pindah ke  sekolah barunya dan Bahri mengajar di MI seperti biasa. Nana tidak kesulitan beradaptasi karena sudah banyak teman sekelasnya yang dikenal karena rumahnya masih satu kompleks dan mereka sering main bersama.

Hari ini hujan begitu deras sejak duhur, disertai juga dengan petir dan angin kencang. Aida memandang suaminya yang sedang sibuk mencari jas hujan.

"Jas hujan buat apa Pah? Hujannya deres banget loh, Papah beneran mau pergi?"

Setelah menemukan yang dicari Bahri memakai jas hujan tersebut. "Iya, Papah harus tetep pergi, Papah kan udah janji sama temen."

"Tapi hujannya deres banget loh, emang gak bisa besok aja? Udah sore juga pasti sekarang jalanan gelap terus licin." Aida menahan tangan suaminya.

Keadaan diluar sangat tidak memungkinkan untuk bepergian. Dia khawatir jika akan terjadi apa - apa pada suaminya nanti.

"Nggak bisa Mah, Papah udah janji dan harus kesana." Bahri melepaskan tangan istrinya.

"Besok aja Pah, atau nunggu hujannya reda dulu." Aida masih berusaha menahan suaminya yang hendak pergi.

"Udahlah Mah, Aku harus pergi! Nanti malah keburu makin gelap dan hujannya makin deras." kata Bahri sedikit membentak istrinya.

Di bentak seperti itu Aida sedikit kaget, dengan tak rela Ia membiarkan suaminya tetap pergi. Ia menatap khawatir suaminya yang kini berjalan keluar pintu dan mulai menghidupkan motornya diteras.

"Hati - hati Pah!" teriaknya ketika motor Bahri menembus air yang jatuh dari langit. "Ya Allah, lindungi lah suami hamba ya Allah." doanya sambil mengusap perutnya yang semakin membesar. Petir yang menyambar membuat Aida langsung masuk kedalam rumah.



Jam menunjukkan pukul 8 malam dan suaminya belum juga kembali. Aida mengintip ke jendela berharap ada tanda jika suaminya akan segera pulang. Sayangnya 10 menit menunggu tidak ada tanda - tanda suara motor.

"Mah.. Mamah...." Aida mendengar suara Nana dari dalam kamar, dia pun segera menuju kamar anaknya.

Aida melihat anaknya tengah menangis, Nana langsung memeluk mamahnya. "Huh...hu... Mamahhhh..."

"Kamu kenapa Na?"

Nana tak menjawab tangisannya malah semakin kencang. "Kenapa sih Na? Ngomong dong, Mamah kan gak tahu."

Nana tidak juga mengatakan kenapa dia menangis. "Kamu mimpi buruk?" tebak Aida.

Nana mengangguk dalam pelukannya. "Makannya kalo tidur jangan lupa berdoa, ya udah tidur lagi yuk..."

Akhirnya Aida menemani Nana berbaring di kasur. Hingga tak terasa dia pun ikut terlelap.

Aida terbangun ketika mendengar suara ketokan pintu kamarnya, sepertinya itu Bahri yang sudah pulang. Aida memang selalu mengunci pintu depan dan diletakan diatas angin - angin jendela agar Bahri bisa membuka pintu tanpa membangunkannya.

"Iya sebentar..." Aida bangun dan berjalan membuka pintu. Namun bukan Bahri yang dia temui.

"Loh kok Mas Aryo sama Mba Yayu..." Aida kaget melihat kedua Kakak iparnya ada disini. Kakak kandung Bahri dan istrinya itu memang tinggal di dekat rumahnya.

"Da..." Yayu tiba-tiba memeluk Aida sambil terisak. Aida yang masih merasa kebingungan menatap Aryo yang juga terlihat habis menangis.

"Ini kenapa ya Mba.." tanya Aida, perasaannya mendadak tak enak.

"Bahri kecelakaan Da.." kata Aryo. "Motornya nabrak truk dan suamimu meninggal ditempat..."

Mendengar perkataan Aryo, Aida langsung syok dan menangis histeris. "Papah..."

Yayu mengusap punggung Aida dan menabahkannya. "Kamu yang sabar ya..."

Badan Aida terasa sangat lemas dan nyaris pingsan. Aryo dan istrinya segera memapah Aida ke tempat tidur. Aryo mendengar kabar adiknya kecelakaan dari Faton, teman Bahri yang baru saja ditemui. Kecelakaan terjadi tak lama setelah Bahri pamit pulang dan belum terlalu jauh rumahnya. Menurut saksi mata motor yang dikendarai Bahri berniat menghindari lubang dijalan, naasnya jalanan yang licin membuat motor itu tergelincir saat ada truk bermuatan batu dari arah berlawanan. Kecelakaan maut itu tidak bisa dihindari, dan tubuh Bahri terlindas oleh truk tersebut sebelum terguling. Bagian tubuhnya remuk dengan sangat mengenaskan. Supir truk itu juga meninggal ditempat sementara si kenek mengalami luka yang cukup berat.

Para pelayat, dan sanak saudara mulai berdatangan sejak semalam. Aida, dan Nana masih saja menangis histeris. Aida bersimpuh didekat jenazah Bahri yang sudah dikafani. "Coba Papah turutin omongan Mamah, nggak bakal kayak gini Pah..." katanya dengan air mata yang terus mengalir.

Rencananya Jenazah akan dimakamkan pada pukul 10 siang nanti. Aida sudah pingsan 2 kali dan tidak ikut ke pemakaman karena kondisinya yang hamil besar juga tidak memungkinkan.

"Ikhlaskan suamimu Da, kamu lebih baik berdoa agar Almarhum tenang dan ditempatkan disisi Allah.." para sanak saudara terus menguatkan Aida.

"Istighfar ya..."

Setelah tiga hari kematian Bahri, Aida dan Nana sudah mencoba mengikhlaskannya meski kerap menangis saat acara Yasinan yang akan dilakukan selama 7 hari kedepan.

Mungkin, Bahri yang tiba-tiba memindahkan Nana ke sekolah yang lebih dekat dan sederet kelakuan serta perkataan yang akhir - akhir ini aneh adalah sebuah firasat jika dia akan meninggal dunia. Aida ingat saat seminggu lalu, Bahri yang telah selesai shalat Tahajud mengelus perut besarnya dan membisikkan sesuatu yang Aida tidak pahami maksudnya saat itu.

"Nak, jadilah kamu laki - laki yang shaleh, bertanggung jawab, dan bisa melindungi ibu dan kakakmu jika ayah sudah pergi."

Hari berganti hari dan tiba waktunya Aida melahirkan dengan normal anak laki-laki yang alhamdulillah sehat dan tidak kurang suatu apapun. Aryo ditugaskan mengadzani keponakannya tersebut yang diberinama Rizal Akhmad Bahri.


'Kelahiran dan Kematian adalah takdir yang tidak bisa diubah dari yang maha Kuasa. Sebagai umat, kita hanya bisa menerima dan mengikhlaskan semuanya.

TAMAT



anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.4K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan