senja.idAvatar border
TS
senja.id
(HOROR STORY) Kiriman santet Dukun (Alim)

image by Senja.id

"Jaga sikap, jaga ucapan. Karena julukan "membunuh tanpa menyentuh" masih orang Jawa yang punya."


Sudah tidak asing, istilah "membunuh tanpa menyentuh" memang sudah melekat dipulau Jawa sejak dulu. Itu terbukti dengan adanya orang luar atau pribuminya sendiri yang sering berdatangan untuk mengobati penyakit diluar ilmu kedokteran, atau sebatas persatetan dan pernak pernik perjimatan.
Dipulau Jawa sendiri, ada satu daerah diwilayah Sukabumi-Jawa Barat bernama "Jampang". Daerah tersebut cukup terkenal di Sukabumi, bukan hanya karena keindahan wisatanya atau bahkan keramah tamahnya pribumimnya. Melainkan dari imej kemistisannya. Mereka menjulukinya sebagai "Teluh Jampang."
Meskipun pada faktanya, "Teluh-nya orang Jampang bukanlah Santet yang dikenal banyak orang pada umumnya, melainkan "sènè". Meski sama, namun ada beberapa detail yang berbeda." (Sukabumi Update.com)

Seiring berjalannya waktu, sènè sudah jarang terdengar meski penggunanya masih banyak. Bahkan "Teluh" Jampang kini berubah menjadi nama sebuah komunitas Pajampangan yang kepanjangan dari "Tetekon luhur" bahkan kaosnya pun sudah beredar diSukabumi maupun luar Sukabumi.

Terlepas ada atau tidaknya. Pengguna Ilmu hitam memanglah ada, hal tersebut karena beberapa fakta yang terjadi didaerah tempat tinggal saya.

***

"Assalamu'alaikum, Teh." ucap seorang gadis kecil berhijab merah muda diambang pintu kamar "Khadijah" ---salah satu nama kamar dari 5 kamar dipondok santri putri--- Mata bulatnya melirik kanan kiri seperti mencari seseorang.

"Wa'alaikumussalam, Ning Isah. Ada apa atuh? Nyari siapa?" tanya teteh santri bergantian. Saat ini mereka sedang free time karena hari jum'at.

"Ada Teh Alifah? Ada kakaknya katanya mau jemput pulang." ucapnya lagi yang dipanggil "Ening" itu.

"Lho, kenaap.." baru ajah Alifah bertanya, kakak---yang sebetulnya kakak sepupunya--- datang dibalik pintu. lalu menghampiri dan mengelus lembut surai dibalik hijab adik sepupunya itu dengan lembut.

"Gih, cepat bebenah. Kita pulang." ucapnya singkat, namun mengisyaratan sebuah arti yang entah apa itu.

"Ada apa, Teh? Kok nyuruh pulang. Padahal Alifah baru aja bulan lalu pulang." Meski heran, Alifah tetap bergegas membuka lemari baju untuk mengambil beberapa helai baju, kitab dan buku yang mungkin akan diperlukan.

Santi, Kakak sepupunya itu membantu memasukan barang-barang Alifah ketas punggung berwarna ungu abu dengan hiasan motif bunga didepannya. "Teteh nggak mungkin tiba-tiba jemput kalau nggak hal penting, dek."
Mendengar hal tersebut Alifa mengangguk tanpa banyak tanya lagi. Semua sudah siap. Ia pun berpamitan dengan teman-temannya, lalu bergegas kerumah Pak Yai dan Ibu Nyai untuk salaman.

"Semoga Allah memberi kita semua kemudahan," Do'a Bu Nyai ketika Alifa mencium telapak punggung tangannya.

"Aamiin ... Terima kasih, Bu."

**

Disebuah rumah panggung khas sunda, seorang lelaki dengan berpakaian kaos partai (hadiah dari caleg waktu kampanye ) dengan setelan celana hitam standar. Ia nampak bergerutu kesal dengan orang yang saat ini jadi lawan bicaranya. Dilihat dari cara ia bicaranya sambil selonjoran kaki, sepertinya mereka cukup akrab.

"Masih ada jalan lain, kamu tenang ajah."

"Lama-lama kita nunggu, eh taunya nggak berhasil. Kalau tau ginimah kenapa nggak akhiri ajah langsung."

"Kamu pikir segampang itu, hah! Orang-orang pasti pada curiga. Kamu juga tahu sendiri Si kampret itu, dia pasti akan jadi penghalang."

Silaki-laki yang berselonjoran itu kini mengubah posisinya duduk bersila, lalu sebuah senyum tersinggung dibibirnya. Ia mendekat lalu membisikan sesuatu.

Pria yang mendengar bisikinya itu lalu tertawa, entah apa yang sedang mereka rencanakan.

**
"A-ayah!" Alifah menerbos kerumunan orang dirumahnya seusai ia mendapar kabar dari seorang tetangga yang baru keluar habis menjenguk ayahnya.

"Ayah?" panggil Alifah lirih tatkala melihat kondisi ayahnya. Pak Firman --- Ayah Alifah--- terbaring lemas ditengah rumah dengan kasur busa sebagai alasnya. Ditangan kirinya terpasang jarum impus yang Alifah tahu itu rasanya sakit. Diraihnya tangan sang ayah, ingin rasanya ia memeluknya lalu menangis sejadi-jadinya. Namun seakan ada dinding penghalang, alifah hanya dapat menggenggam tangan kekar yang kini berubah keriput karena efek dari penyakit.

"Ayah ..." panggilnya lagi. Sang ayang yang tadinya terpejam membuka matanya perlahan.

"Hm. Kamu udah bilang, Fah." ucapnya pelan. Alifah mengangguk lalu mencium telapak tangan ayahnya.

"Ayah kenapa?"

"Yah gini. Seperti yang kamu lihat." jawabnya sambil sedikit tersenyum. Namun matanya semu.

"Sejak kapan ayah sakit, Bu? Kenapa nggak ngasih tahu."Alifah berbalik memandangi sang Ibu yang tengah mengelus rambut sibungsu dipangkuannya.

"Baru seminggu. Ibu nggak ngasih tahu kamu karena awalnya biasa ajah, Teh. Tapi 3 hari yang lalu bapak kamu tiba-tiba muntah terus sampai sekarang kondisinya kian memburuk." jawabnya lirih.

"Udah berobatkan, Bu? Sakit apa katanya?" tanyanya lagi, membuat sang ibu memandang wajah putri pertamanya sekilas.
"Kamu kekamar dulu, gih. Beresihin baju kamu. Nanti Ibu titip si Adek." Titah ibunya, Alifah langsung bergegas kekamar tanpa banyak tanya. Terlebih ada beberapa tamu yang datang.
**

Malam harinya..
Dirumah Alifah diadakan pengajian kecil-kecilan atas saran dari Ustadz Hasan ---Kerabat jauh Pak Firman tapi sudah sudah dianggap seperti adiknya sendiri". Awalnya hanya mengundang kerabat dan sodara saja. Namun siapa sangka warga dari kampung sebelahpun ikut menghadiri. Bu Dania sebagai istri dari Pak Firman cukup terharu. Ini semua karena kebaikan yang selalu suaminya lakukan pada orang-orang.

Lantunan ayat suci Al-qur'an menggema dirumah sederhana milik Pak Firman tersebut. Semua warga antutias membantu dalam segala hal. Tak selang beberapa lama pengajianpun selesai digelar.

Didapur, Alifah membantu ibunya memberseskan perabotan, sementara sibungsu sudah tidur dikamar karena cape seharian aktip bermain. ada beberapa kue ringan dan makanan lainnya tersisa, itu semua bantuan dari beberapa warga.

"Ibu, sebenarnya ayah tuh sakit apa?" tanya Alifah kembali berharap ibunya kali ini menjawab.

"Paru-paru. Dokter bilang sih gitu."

"Ibu kok jawabnya kayak gak yakin?" tatap Alifah yang merasa Ibunya itu menyembunyikan sesuatu.

"Entahlah, Ibu ngerasa tiba-tiba ajah gitu. Ayahmu tidak pernah merokok dan jika harus sakit parah kaya gini biasanya ada gejala-gejala tertentu."
Suasana didapurpun hening, hanya terdengar gletakan dari perabotan dan nyanyian jangkrik diluar.

"BLETAKK!" tiba-tiba ada suara hantaman keras diatas genting hingga tiga kali.
Alifah dan Bu Dania menghentikan aktifitasnya seketika.

"Dug! Dug! Sreeeeekt!" Suara seperti gedoran dipintu dapur lalu cakaran.

"Kita keruangan tengah, ayuk!" Bu Dania menarik lengan Alifah tergesa-gesa.
Sesampainya, mereka dikagetkan dengan kondisi pak Firman yang tiba-tiba sekujur badannya bergetar dengan keringat yang membanjiri.

"Telpon Ustadz Hasan, Cepat!" perintah Ibunya dengan wajah sedikit tegang.
Alifah segera menelpon ustadz Hasan, sedangkan Ibunya menggendong Sibungsu yang tengah Tidur.

Tak selang beberap lama Ustad Hasan datang bersama dua temannya. Kebetulan beliau ternyata memang sudah dalam perjalanannya menuju rumah Pak Firman.

"Astaghfirullah" Ustadz Hasan memegangi tangan serta kaki Pak Firman, lalu meminta segelas air putih. Bu Daniapun segera bergegas menyiapkannya.
Ia memberikan air putih itu kepada salah satu temannya.

"Punteun," katanya menyodorkan gelas itu agar diminum Pak Firman.
Lalu menuangakn sedikit airnya ketelapak tangan untuk diusapkan ke tangan dan kakinya Pak Firman.

Atas ijin dari Allah, kini badan Pak Firman berhenti bergetar. Napasnya pun terdengar lembut dan teratur.
"Bu ... Bu ..." panggilnya. Bu Dania langsung mengahampiri suaminya itu.
"Alhamdulillah. Sepertinya setelah pengajian tadi dia ngirim lagi deh, Teh." Ucap Ustadz Hasan.

Alifah yang sedari tadi duduk dibelakang Ibunya hanya diam menyimak.
Hingga suara ketukan terdengar didepan pintu rumahnya, ternyata Teh Santi, adiknya dan Ibu ayahnya. Mereka emang sudah bilang mau nginap tadi, tapi pulang dulu untuk bebenah.
Mereka lalu ikut nimbrung.

"Besok kita adain pengajian lagi. In Sya Allah, Allah membukakan jalannya. Mereka juga (dua temannya) akan ikut, mereka cukup paham dengan yang beginian. Begitu juga dengan anak-anak santri akan saya ajak kesini."tungkas Ustadz yang membuat Alifah semakin paham dengan kondisi Ayahnya.

"Tapi, Jang (Ujang adalah panggilan disunda untuk adik laki-laki/anak laki-laki yang usianya dibawah kita). Teteh nggak punya uangnya, atuh. Ini oge sebagian dikasih sama bibinya siNyai (yang dimaksud adalah adik bungsu Pak Firman)."

"Teh, In Sya Allah. Kalau kita niatnya Lillahi taala semuanya lancar. Orang-orangpun gak akan menuntut lebih jika memang mereka niatnya membantu. Untuk teman saya itu in Sya Allah saya ada sedikit rezeqi."

"Ma Sya Allah. Hatur nuhun pisan, atuh. Teteh banyak repotin kamu."

"Ibu sebenarnya apa?" tanya Alifah menautkan kedua alisnya. Ustadz Hasan dan kedua temannya baru saja pulang beberapa menit yang lalu.

Bu Dania memeluk putrinya itu."In Sya Allah semua pasti baik-baik saja." hanya itu jawabnya yang membuat hati alifah tiba-tiba sesak dan terisak dipelukan ibunya.

"Si-- si-- siapa pelakunya, Bu?" tanya Alifah terjeda-jeda.

"Dia orang dekat. Tadi juga ikut pengajian." Jawab Bi Meli, Ibunya Teh Siska terus terang
Alifah melepas pelukannya, lalu memandang bibinya meminta kejelasan.

"Dengar, Nyi. Bapakmu itu bukan sakit biasa. Dia kena sene. Ada yang iri karena bapak kamu sudah lama jadi kuwu. Dia pengen gantiin posisi bapakmu. " Bi Meli mengehntikan ceritanya, menarik napas dalam-dalam seakan cerita itu terlalu berat untuk disampaikan. Terlebih kini Alifah sudah siap dengan segumpal airmatanya.

"Bukan hanya itu. Dia juga marah karena Sapi Bapakmu sempat makan Sayurannya. Nggak seberapa. Bahkan A Firman sudah minta maap. Tapi sepertinya dia nggak terima." Pungkasnya lagi.

"Siapa orangnya, Bi?" Tangan Alifah terkepal menahan gejolak marah serta sedihnya.

"Kyai Judin." ucapnya singkat.

DuaaarRrrrrrrr!! Seperti disambar kilat. Mata Alifah membulat tak percaya. Kyai yang suka Ia segani waktu kecil ternyata ...
Ah, itu mustahil.

"Nggak mungkin, Bi." Alifah nampak tak percaya.

"Kamu nggak percaya? Kamu kira banyaknya kasus mati mengenaskan karena ulah siapa?" tuturnya yang mendapat polototan dari Bu Dania.

"Masih ingat dulu Bibi sempat nginap di Bojong Haur selama 2 bulan?" tanyanya kemudian, Alifah mengangguk.

"Besok Bibi akan bercerita. Sekarang ayok kita tidur."

Malam ini malam yang cukup panjang bagi keluar Pak Firman. Sepanjang malam pak Firman minta dipijitin kakinya karena merasa pegal. Mereka saling bergantian bangun untuk memijatnya sambil terus membaca istighfar. Terlebih sibungsu terus mengingau sambil menangis.
"Jangan! Jangan masuk. Om-om jelek." teriak dan rengeknya sambil memeluk erat Bu Dania.

***

04:37, dini hari.
Adzan Subuh berkumandang. Semua umat manusia diserukan untuk bangun dan ibadah untuk mengingat keagungan Dzat penguasa Alam.
Pak Firman sudah bangun. Ia membangunkan istri serta yang lainnya dengan cara menggapai dinding tembok.
"Lho, pak. Kok bangun? Kaki bapak nggak kenapa-kenapa?" Tanya Bu Dania yang langsung memapah suaminya.
Pak Firman terlihat sedikit pulih meski wajahnya masih pucat.
Merekapun sholat Subuh bergantian. Sedangkan Pak Firman sholat sambil baringan. Ia belum kuat berdiri lama-lama.

Seusai Sholat, Alifah ngaji surah yaa siin seperti yang dipinta Ibunya.
Waktu berjalan cepat, dari beres-beres hingga masak. Kini jam menunjukan pukul 09:25.
Pak Firmanpun sudah sarapan.

"Bi..." panggil Alifah. Bi Meli yang sedang sisir rambut dikamar Alifah menengok.

"Bibi jadi apa yang terjadi? Apa yang selama ini tidak aku ketahui?" Alifah menagih janji Bibinya tadi malam.

"Begini ..." Bi Meli mulai bercerita

[Flasback On]
Bi Astrid, Anaknya Kyai Judin ingin memesan minyak 5 liter yang eceran ½. Dia ingin beli dengan harga murah. Berhubung minyak sedang langka Bi Meli hanya memberinya 3 liter saja. Dan kata Bi Astrid harganya itu kemahalan. Padahal sudah Bi Meli kurangin.

Keesokan harinya datanglah Ibu-ibu lain. Ia juga ingin beli minyak, kali ini 15 liter.
Bi Meli memberikannya karena dia sebetulnya sudah pesan dhari-hari sebelumnya.
Bi Astrid yang melihat itu langsung mengehampiri sambil menyindir Bi Meli.
"He'eleh, katanya ge minyak langka. Eh, itu masih banyak geunging." katanya sambil memilih beberapa jajanan. Lalu pergi begitu ajah.
"Ini bayarnya besok ajah, yah. Nunggu suami pulang."
Keesokan harinya, Bi Astrid datang lagi untuk bayar utang. Lalu ia pamit pulang.

Di saat bersih-bersih warung (grosiran) Bi Meli menemukan buntelan nasi putih yang dibungkus plastik merah, terselip dibawah kaki stanles. Mengingat yang terkahir datang Bi Astrid, Bi Meli langsung membuangnya kepembakaran sampah.

Selang beberapa lama, Bi Astrid sakit parah. Ia bahkan sempat muntah-muntah darah. Begitu teh Siska, tubuhnya tiba-tiba pucat biru. Atas bantuan dari kenalan suami Bi Meli. Merekapun sembuh dengan diminta mengungsi beberapa bulan ketempat yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.

[Flashback Off]

"Ya Allah, ngeri kali. Tapi bibi tau dari mana kalau itu sene dari Kyai Judin?" tanya Alifah masih tak menduga.


"Bibi sempat diruqyah. Dan Jinnya ngaku kalau dia kirimannya."

"Naudzubillah..." Alifah terus mengucap istifghar berkali-kali.

"Bi, apa jangan-jangan Ibunya Mira matinya ada kaitannya dengan Kyia ..." Alifah sedikit ragu-ragu mengatakan namanya, takut yang punya empu mendengarnya. "Soalnya matinya juga tidak wajar, dengar-dengar tiga hari sebelum meninggal mulutnya menganga terus nggak bisa nelan apa-apa. Airpun nggak masuk, ya kan Bi?" lanjutnya. Ia pernah mendengar ceritanya dari Emak-emak yang sedang kuli tandur diladangnya.

"Iya. Intinya siapapun yang bermasalah sama keluarganya pasti kena imbasnya. Kamu harus hati-hati. Dalam bicara maupun bertindak!" Bi Meli memperingati dengan jari telunjuknya.
Alifah mengangguk paham.
Sesuai rencana malam, pengajian pun digelar. Kali ini yang ikut tak kalah ramai. Namun, kali ini Kyai Judin tidak kelihatan batang hidungnya. Apa ia sedang merencanakn sesuatu?
"Ya Siin ... Wal qur'an nilhakim" semua serempak mengikuti Ustad Hasan sebagai peminpin.
Selang beberapa jam, pengajianpun usai. Ustadz Hasan meminta Alifah membawa adiknya kekamar ditemani Siska dan Halwa. Kata Bibinya, Pak Firman akan dibersihkan. Mungkin semacam ruqyah.
Dibalik ruang kamar terdengar pak Firman yang meringis kesakitan. Mang Komar, Suaminya Bi Meli sekali kali menenangkan. Sedangkan Bu Dania terdengar terisak sambil berkali-kali mengucap istighfar.

Arghhh!! Suara geraman cukup jelas terdengar ditelinga Alifah, bukan dari luar melainkan dbelakangnya. Itu Siska. Ia melotot kearah Alifah seakan akan siap melahapnya mentah-mentah.
Alifah cepat-cepat keluar menggendong adiknya serta menarik lengan Halwa, beruntung pintu kamar tidak dikunci.
Namun, belum juga kagetnya hilang. Ia ditambah kagetkan dengan keadaan ayahnya, darah terciprat dimana-mana apa mungkin senenya separah itu.
Tanpa Alifah sadar adiknya hampir jatuh dari pangkuannya. Beruntung Bi Meli sigap.

"Kamu siapa suruh kesini, Alifah!!" Dahi Bi Meli berkerut karena Alifah tak mematuhi perkataannya.

"Anu, bi.. Anu. Teh Siska ... Dia kesurupan." ucap Alifah tersenggal-senggal.

"Siska?" Bi Meli langsung lari didampingi Ustadz Malik, temannya Ustadz Hasan.

Huarghhhhh! Siska mulai berteriak tak karuan. Ia menarik rambutnya hingga rontok sebagian.
Bi Meli menutup mulutnya. Ia terjerit-jerit melihat kondisi putri sulungnya itu. Baru saja ia akan menghampirinya, namun langsung dicegat Ustadz Malik.
Dengan sigap ustadz Malik memegangi kedua lengan Siska dengan kain hijab sebagai perantara, lalu meminta Bi Meli mengambil alih, sedangkan Ustadz Malik memegang kepalanya sambil membacakan surah Al-baqarah ayat 255-257.
Siska mulai mengerang, Bi Meli dengan sekuat tenaga terus memegangi tangannya sambil berderai air mata.

"HUARRGHGGG!!! SIRIT SARIAAA!! ARGH..."
"SARIA NGAGARANGGU AING. INGKAH SIA..."
(Tai kalian!! Argh...
Kalian mengganggu saya. Pergi kalian..."

"MANEH NU INGKAH, HEH JIN KAFIR! YEUH JELEMA TEU BOGA SALAH!!! Ustadz Malik lanjut membacakan surah Al Baqarah ayat 284-286. (kamu yang pergi, heh Jin kafir! Mereka nggak salah!!!)
"Lahaula Wala quata Illah billah. Allahu Akbar!"
Dalam sekejap Siska terjungkal. Ia tak sadarkan diri. Bi Meli langsung memeluknya, dan beberapa kali menciumi keningnya.

"Dek, tolong ambilkan air." perintahnya pada Salwa yang langsung menuangkan air yang memang sudah tersedia dikamar Alifah.

"Ini, kalau sadar tolong diminumkan pada Teh Siska." ucap Ustadz Malik setelah membacakan do'a dan mencipratkan sebagian airnya kewajah dan kepala Siska.

Alifah dan Halwa diminta baca surah Yaa siin selama siska belum sadarkan diri begitula dengan Bi Meli yang tak henti mengelus dahi anaknya itu. Sedangkan Ustadz Malik kembali membantu Ustadz Hasan.

Selama proses menyembuhkan Pak Firman, Alifah memang dilarang untuk tidak melihatnya, takutnya ia akan terbayang-bayang. Terlebih sibungsu masih kecil jaga-jaga kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan.

Jam sudah menunjukan pukul 23:45, belum ada tanda-tanda dari Ibu Alifah maupun Ustadz Hasan, sedangkan Siska sudah sadarkan diri dari tadi bahkan ia ikut mengaji.
Beberapa menit kemudian Bu Dania datang, ia memeluk Alifah seraya berkata,"Alhamdulillah, Alhamdulillah ... gih temui Ayah."

"Ayah sudah sembuh, Bu?" Tanya Alifah yang langsung diangguki Ibunya.
Alifah langsung lari, sedangkan sibungsu sudah diambil alih oleh Bu Dania
Terlihat Pak Firman yang sedang mengatur napas diatas kasur, darah yang bercipratan tadi sudah tidak ada, sepertinya Bu Dania sudah membersihkannya sebelum memberi tahu Alifah.

"Sini, Fah.. Sini!" lirih Pak Firman, Alifah langsung memeluknya lalu menumpahkan cairan hangat yang sedari tadi dibendungnya.

"Alhamdulillah, Allah masih memberi Ayah kesempatan. Ini teguran, Fah. Kita harus perbanyak mengingat Allah agar kejadian ini tidak terulang." tutur Ayahnya kembali.

Alifah melepas pelukannya, bola matanya memerhatikan tubuh pak Firman dan sekelilingnya. Apa ini mimpi? Mengapa ini terasa terjadi begitu saja.

"Ayah sudah nggak kerasa apa-apa?" tanya Alifah memastikan.

"Cuman sakit bagian dada, Fah. Mungkin bekas tadi."

"Apa ini tandanya Ayah nggak akan sakit lagi?" nada bicara Alifah sedikit merendah, ia khawatir jika sènè itu kembali menyerang.

"Ayah kurang tau, Fah." Pak Firman menghela napas berat, ia pun sedikit mengkhawatirkan hal itu.

"Kita banyak-banyak istighfar, Alifah juga jangan lupa selalu ngaji Al-qur'an, yah. Biar Jin itu tidak bisa kembali lagi kesini," ujar Ustadz Hasan yang diangguki kedua temannya.

"In Sya Allah, Ustadz. In Sya Allah."
sukhhoi
similikiti975
terbitcomyt
terbitcomyt dan 28 lainnya memberi reputasi
29
9.2K
100
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan