abbecedeAvatar border
TS
abbecede
Sayalah Bapak (yang) Keibuan. Stop Toxic Masculinity di Kalangan Bapack-Bapack!

Setiap manusia diciptakan berbeda-beda, termasuk menjadi seorang lelaki. Tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan seorang kembaran perempuan membuat gue menjadi seorang laki-laki yang berbeda. Apalagi, gue bukan tipe anak laki-laki yang dekat dengan sosok ayah. Gue lebih dekat ke ibu, dan itu membuat gue lebih memahami wanita. Karena hampir setiap hari, gue mendengar keluh kesah dan percakapan mereka.


Layaknya anak laki-laki pada umumnya, gue bermain bola dan aktivitas lainnya.Gue pun tumbuh sebagai seorang laki-laki yang butuh kasih sayang seorang wanita. Tak terhitung berapa kali gue jatuh cinta pada perempuan. Tapi ada satu yang gue sadarin selama ini? Saking seringnya gue berinteraksi sama mereka, gue tau “gaya” mereka berbicara, gue tau curhatan mereka, gue tau perasaan mereka, jadi gue bisa meng-copy mereka, mulai dari ngomong sampai bergaya.

Dan ini membuat gue makin mirip dengan mereka. Gue menjadi laki-laki yang nggak laki-laki banget!!! Gue menjadi laki-laki yang “perasa” seperti wanita dan banyak pekerjaan laki-laki yang nggak bisa gue kerjain. Kayak gue nggak ngerti soal per-mesin-an, per-tukang-an, gak nonton bola, tinju, suka motor gede, dan nggak sekeras laki-laki lainnya.




Makanya, pas gue nikah, temen-temen “jauh” gue (iya, yang gak tau gue dalem dan cuma liat dari luarnya aja) pada nggak percaya. “Emang lo normal?”, “Lo buat nutupin aja kan?” kurang lebih, itulah becandaan yang gue dapet dari mereka-mereka ini. Normal dan tidak normalnya seseorang, cuma diliat dari luarnya aja.

Menikah dan memiliki anak, gue menjuluki diri gue sendiri sebagai bapak yang keibuan. Karena gue nggak mau, menikah menjadikan gue sebagai lelaki yang gede gengsi. Contohnya, suami adalah tulang punggung keluarga, suami adalah pemimpin keluarga yang harus dijadikan raja, istri nggak perlu capek-capek kerja, istri harus kerja di rumah, istri harus masak, nyuci, nyetrika, kalo ada masalah rumah suami yang beresin, dan lain-lain, nggak ada di kamus rumah tangga gue. Semua sama rata dan sejajar. Suami dan istri sama, tapi tetap suami sebagai imamnya.

Jadi, gue dan istri sepakat mencari uang untuk kebutuhan bersama. Gue dan istri sepakat untuk berbagi tugas rumah tangga bersama. Misal, gue nyapu, ngepel dan cuci piring. Istri masak. Kalau istri lagi gak bisa masak, makanan beli aja. Istri lagi nggak mau berhubungan, ya gapapa. Gak memaksa atas nama agama. Ngurus anak, ganti-gantian.Kalau rumah ada yang bocor, pasang tv, benerin pipa bocor, tinggal panggil tukang. Kalo lagi ada masalah, kita saling curhat dan mendengarkan. Kadang karena pikiran kita sama, kita suka sharing-sharing gosip dan obrolan. Dan untuk mendidik anak pun, kita sama. Satu suara. Karena gue liat dari kacamata seorang ibu.


Untuk urusan anak, karena gue emang berbagi tugas ngurus mereka, anak pun jadi deket sama gue. Ditambah anak gue, anak perempuan. Jadi gue gak malu, temenin dia main make up-make up-an. Main jadi peri kupu-kupu. Ngedance bareng, dan lainnya. Gue gak gengsi melakukan itu, karena gue happy dan anak pun happy. Gue juga bukan tipe bapak yang gengsi bilang sayang sama anak. Dan gue bukan tipe bapak yang jaga “sikap” kebapakan di depan anak. Dan gue nggak gengsi buat bilang “i love you” ke anak. Bahkan kalau bisa, gue pengen lebih bounding ke anak daripada bounding seorang ibu ke anaknya.

Gue yakin, banyak lelaki di luaran sana seperti gue. Lemah lembut, perasa, dan nggak laki-laki banget. Itu bukan berarti kita nggak bisa menjadi seorang suami dan bapak. Kita harus buang stereotip soal laki-laki tuh harus begini, laki-laki tuh harus bisa itu, dan lain sebagainya. Nggak harus, menurut gue. Karena kita diciptakan dengan sempurna, sesuai dengan porsinya masing-masing.

Jadi, buat laki-laki yang masih menganggap, orang-orang kayak gue ini adalah gak laki, bencong, banci dan lain sebagainya, kalian toxic masculinity. Apa itu? Dari sebuah artikel yang gue baca di hipwee.com, toxic masculinityini adalah beberapa cara ekspresi maskulinitas yang sifatnya destruktif, karena menggunakan cara pandang terhadap makna gender laki-laki yang terlalu sempit.


Biasanya, cara pandang yang sempit ini menganggap bahwa laki-laki harus mengambil peran yang dominan (atau disebut juga “alpha male”), kuat secara fisik, tidak boleh mengekspresikan perasaan sedih secara terbuka, lihai dalam hal-hal seksual, dan seterusnya. Jadi mulai sekarang, cobalah berpikir terbuka, dan kalian (para lelaki dan bapak) bebas mengekspresikan diri tanpa harus berpatokan pada stereotip laki-laki yang beredar sekarang.

Makanya, gue nggak pernah malu untuk menyebut diri gue sebagai “bapak yang keibuan”. Bukan berarti, gue bapak-bapak suka pake daster dan berdandan. Bukan gitu, Syamsul. Tapi gue nggak malu untuk mengambil tugas-tugas ibu di rumah dan kasih sayang gue ke anak, seperti kasih sayang seorang ibu ke anak yang katanya sepanjang masa.



rinandya
bonbon71
disya1628
disya1628 dan 15 lainnya memberi reputasi
14
3.7K
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan