- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Tetangga Kurang Akhlak


TS
robbola
Tetangga Kurang Akhlak
Tetangga Kurang Akhlak
Pukul 08.00 WITA.
Waktunya ibu-ibu rumah tangga bertempur dengan piring kotor bekas sarapan seluruh anggota keluarga. Belum lagi setumpuk pakaian kotor di keranjang sedang menunggu belaian tanganku.
Tetangga kamar sebelah kanan pun sepertinya melakukan aktivitas yang sama. Bisa kudengar dari suara denting sendok entah beradu dengan piring, mangkok, atau gelas.
Kami yang sama-sama perantau, biasanya terkumpul dalam satu atap rumah panjang, dengan sekat teratur membentuk ruangan yang sama besar, sama panjang, dan sama bentuknya untuk dihuni oleh setiap keluarga.
Tetangga kamar sebelah kiriku, pasangan pengantin baru. Mereka pindah seminggu yang lalu. Konon ingin belajar mandiri dari awal menikah. Sebuah prinsip yang bagus menurutku.
Di masa pandemi ini, aku memiliki peran ganda, sebagai IRT juga sebagai guru-guruan dari anakku yang baru masuk SMP. Sesekali aku menengok dirinya yang sedang mengikuti pembelajaran online.
"Sudah Bang, makanya jangan sering-sering!"
"Abis enak, Dek! Bikin ketagihan."
"Sehari cukup sekali, Bang!"
"Enggak bisa Dek, tiga kali baru puas rasanya! Namanya juga sudah ketagihan!"
Astagah!
Kupingku mulai melebar dan memanas. Pasangan pengantin baru di sebelah, benar-benar ya! Mentang-mentang lagi libur kerja. Ngomongnya enggak pelan-pelan lagi. Siang bolong pula. Aku mengeleng-gelengkan kepala risih.
Di rumah sewaan dengan sekat dinding kayu seperti ini, bicara harus pelan-pelan. Aku dan suami saja bertengkar sambil bisik-bisik. Lah, mereka kok ... ngomong yang model begitu kencang-kencang.
"Bang! Udah ... cabut dulu, Bang! Jangan lama-lama!"
"Bentar lagi, Dek! Lagi enak-enaknya, nih!"
"Iih ... kubilang cabut sekarang, Bang!" Kudengar suara istrinya merajuk-rajuk manja.
"Bantar lagi, Dek!"
Ya Tuhan!
Aku langsung meraih remote dan menyalakan televisi, menyambungkan suaranya ke salon, kemudian memutar tombol volume salon nyaris sampai di batas akhir. Sengaja aku memilih chanel yang biasanya menyajikan lagu-lagu dangdut nonstop. Itu lebih baik daripada anakku yang masih usia remaja, mendengar pembicaraan sepasang suami istri yang aku yakin sedang melakukan seperti yang ada di pikiranku. Itu tidak baik untuk kesehatan telinga Zidan, anakku.
"Maaa! Apaan sih! Nyaring amat! Aku lagi ngerjakan tugas!"
Anakku beranjak mendekat ke salon, ingin mengecilkan volumenya.
"Ssttt, Zidan! Biar aja. Mama lagi pengen masak sambil dengar lagu dangdut." Kilahku.
"Biasanya Mama enggak suka lagu dangdut?"
"Ini mulai suka!" jawabku sebal, karena memang aku tak suka mendengarnya. Tapi, malah lagu itu yang sedang di putar. Tapi tak apalah! Demi kebaikan Zidan.
"Tapi enggak senyaring itu juga, Ma! Aku lagi mikir. Pusing!" protesnya lagi. Aku mendelik dan menatapnya dengan sorot tajam. Zidan langsung mundur teratur dan duduk kembali menghadap buku-buku pelajaran.
"Jangan diapa-apain!" titahku sambil meletakkan remote di atas salon. Bisa kulihat melalui ekor mata, tatapan heran Zidan mengiringi langkahku menuju dapur kembali.
Aku meraih headset di capstok dapur. Kemudian mencolok ujung kabelnya ke ponsel. Lalu aku memilih lagu-lagu kesukaan, sebelum melanjutkan rutinitas yang tertunda gara-gara tetangga baru yang menurutku kurang akhlak tadi. Setelah ponsel kumasukkan di saku daster, tanganku mulai menyambung pekerjaan.
Satu jam kemudian, cucianku sudah selesai. Rutinitas tetangga kanan-kiri kurasa juga sudah selesai. Aku mematikan lagu di ponsel, dan menggantung headset kembali ke kapstok.
Setelah itu, aku mengangkat pakaian yang telah di keringkan keluar, untuk di jemur. Ya! Salah satu ciri khas tinggal di rumah sewaan kami adalah jemuran yang bergantungan di depan rumah masing-masing. Tak lupa aku mematikan musik yang Cumiak telinga, sambil memsang indra pendengaran baik-baik. Sudah sunyi. Tak ada suara-suara aneh lagi. Mungkin mereka sedang tertidur kelelahan.
Mau mencibir dengan kata hiiih!
Tapi batal, mengingat mereka masih pasangan baru. Semua pasti tahu kan, gimana rasanya kalau bertemu hal yang baru-baru?
Aku menengok sebentar, pada Zidan yang berpindah posisi di kamar sejak musik kunyalakan tadi. Dia baik-baik saja, masih memegang ponsel dan buku. Aku beranjak keluar, membuka pintu pelan. Menggeser keranjang pakaianku melewati pintu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri.
Sepi!
"Hey, Mama Zidan! Tadi dipanggil sampe di gedor-gedor pintunya gak dengar. Lagi cucian toh?"
Aku nyaris terlonjak, saat tetangga sebelah kanan menyapa dengan kepala menyembul sampai leher di balik pintu rumahnya yang terbuka setengah.
"Emang ada apa, Mama Runi?" tanyaku heran mendengar ada yang manggil pakai acara gedor-menggedor. Bukannya suasana hening-hening saja saat aku keluar.
"Itu ... tadi istrinya Umar panik, kapas cotton buds, ketinggalan di dalam kuping suaminya pas lagi ngorek-ngorek. Motornya entah kenapa gak mau hidup. Mau pinjam motor Mama Zidan buat ke Puskesmas biar cepat. Motorku kan gak ada."
"Laah? Jadi?" Aku langsung melongo mendengar ucapan tetanggaku.
"Ya ... jadi, tadi terpaksa numpang mobil orang lewat yang ke arah puskesmas. Nunggu angkot kan, lama," jelas Mama Runi sambil menutup pintu kembali.
"Laaah? Jadi? Tadi itu adegan ngorek-ngorek kuping? Astagfirullah! Dasar aku!"
"Oh, ya ... Mama Zidan! Kalau nyetel musik jangan nyaring kaya tadi dulu ya. Runi baru bisa tidur, nih! Dari tadi rewel mau tidur, gak bisa-bisa. Aku mau masak soalnya."
Tiba-tiba kepala Mamanya Runi nongol lagi mengagetkanku.
"Oh, iya .. maaf, ya?" sahutku lemas. Mama Runi tak menjawab langsung menutup pintu kembali.
"Dasar aku ... tetangga yang kurang akhlak!' rutukku pada diri sendiri merasa tak enak hati pada tetangga kanan-kiri, sambil lanjut menggantung jemuran di depan rumah.
*
Pukul 08.00 WITA.
Waktunya ibu-ibu rumah tangga bertempur dengan piring kotor bekas sarapan seluruh anggota keluarga. Belum lagi setumpuk pakaian kotor di keranjang sedang menunggu belaian tanganku.
Tetangga kamar sebelah kanan pun sepertinya melakukan aktivitas yang sama. Bisa kudengar dari suara denting sendok entah beradu dengan piring, mangkok, atau gelas.
Kami yang sama-sama perantau, biasanya terkumpul dalam satu atap rumah panjang, dengan sekat teratur membentuk ruangan yang sama besar, sama panjang, dan sama bentuknya untuk dihuni oleh setiap keluarga.
Tetangga kamar sebelah kiriku, pasangan pengantin baru. Mereka pindah seminggu yang lalu. Konon ingin belajar mandiri dari awal menikah. Sebuah prinsip yang bagus menurutku.
Di masa pandemi ini, aku memiliki peran ganda, sebagai IRT juga sebagai guru-guruan dari anakku yang baru masuk SMP. Sesekali aku menengok dirinya yang sedang mengikuti pembelajaran online.
"Sudah Bang, makanya jangan sering-sering!"
"Abis enak, Dek! Bikin ketagihan."
"Sehari cukup sekali, Bang!"
"Enggak bisa Dek, tiga kali baru puas rasanya! Namanya juga sudah ketagihan!"
Astagah!
Kupingku mulai melebar dan memanas. Pasangan pengantin baru di sebelah, benar-benar ya! Mentang-mentang lagi libur kerja. Ngomongnya enggak pelan-pelan lagi. Siang bolong pula. Aku mengeleng-gelengkan kepala risih.
Di rumah sewaan dengan sekat dinding kayu seperti ini, bicara harus pelan-pelan. Aku dan suami saja bertengkar sambil bisik-bisik. Lah, mereka kok ... ngomong yang model begitu kencang-kencang.
"Bang! Udah ... cabut dulu, Bang! Jangan lama-lama!"
"Bentar lagi, Dek! Lagi enak-enaknya, nih!"
"Iih ... kubilang cabut sekarang, Bang!" Kudengar suara istrinya merajuk-rajuk manja.
"Bantar lagi, Dek!"
Ya Tuhan!
Aku langsung meraih remote dan menyalakan televisi, menyambungkan suaranya ke salon, kemudian memutar tombol volume salon nyaris sampai di batas akhir. Sengaja aku memilih chanel yang biasanya menyajikan lagu-lagu dangdut nonstop. Itu lebih baik daripada anakku yang masih usia remaja, mendengar pembicaraan sepasang suami istri yang aku yakin sedang melakukan seperti yang ada di pikiranku. Itu tidak baik untuk kesehatan telinga Zidan, anakku.
"Maaa! Apaan sih! Nyaring amat! Aku lagi ngerjakan tugas!"
Anakku beranjak mendekat ke salon, ingin mengecilkan volumenya.
"Ssttt, Zidan! Biar aja. Mama lagi pengen masak sambil dengar lagu dangdut." Kilahku.
"Biasanya Mama enggak suka lagu dangdut?"
"Ini mulai suka!" jawabku sebal, karena memang aku tak suka mendengarnya. Tapi, malah lagu itu yang sedang di putar. Tapi tak apalah! Demi kebaikan Zidan.
"Tapi enggak senyaring itu juga, Ma! Aku lagi mikir. Pusing!" protesnya lagi. Aku mendelik dan menatapnya dengan sorot tajam. Zidan langsung mundur teratur dan duduk kembali menghadap buku-buku pelajaran.
"Jangan diapa-apain!" titahku sambil meletakkan remote di atas salon. Bisa kulihat melalui ekor mata, tatapan heran Zidan mengiringi langkahku menuju dapur kembali.
Aku meraih headset di capstok dapur. Kemudian mencolok ujung kabelnya ke ponsel. Lalu aku memilih lagu-lagu kesukaan, sebelum melanjutkan rutinitas yang tertunda gara-gara tetangga baru yang menurutku kurang akhlak tadi. Setelah ponsel kumasukkan di saku daster, tanganku mulai menyambung pekerjaan.
Satu jam kemudian, cucianku sudah selesai. Rutinitas tetangga kanan-kiri kurasa juga sudah selesai. Aku mematikan lagu di ponsel, dan menggantung headset kembali ke kapstok.
Setelah itu, aku mengangkat pakaian yang telah di keringkan keluar, untuk di jemur. Ya! Salah satu ciri khas tinggal di rumah sewaan kami adalah jemuran yang bergantungan di depan rumah masing-masing. Tak lupa aku mematikan musik yang Cumiak telinga, sambil memsang indra pendengaran baik-baik. Sudah sunyi. Tak ada suara-suara aneh lagi. Mungkin mereka sedang tertidur kelelahan.
Mau mencibir dengan kata hiiih!
Tapi batal, mengingat mereka masih pasangan baru. Semua pasti tahu kan, gimana rasanya kalau bertemu hal yang baru-baru?
Aku menengok sebentar, pada Zidan yang berpindah posisi di kamar sejak musik kunyalakan tadi. Dia baik-baik saja, masih memegang ponsel dan buku. Aku beranjak keluar, membuka pintu pelan. Menggeser keranjang pakaianku melewati pintu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri.
Sepi!
"Hey, Mama Zidan! Tadi dipanggil sampe di gedor-gedor pintunya gak dengar. Lagi cucian toh?"
Aku nyaris terlonjak, saat tetangga sebelah kanan menyapa dengan kepala menyembul sampai leher di balik pintu rumahnya yang terbuka setengah.
"Emang ada apa, Mama Runi?" tanyaku heran mendengar ada yang manggil pakai acara gedor-menggedor. Bukannya suasana hening-hening saja saat aku keluar.
"Itu ... tadi istrinya Umar panik, kapas cotton buds, ketinggalan di dalam kuping suaminya pas lagi ngorek-ngorek. Motornya entah kenapa gak mau hidup. Mau pinjam motor Mama Zidan buat ke Puskesmas biar cepat. Motorku kan gak ada."
"Laah? Jadi?" Aku langsung melongo mendengar ucapan tetanggaku.
"Ya ... jadi, tadi terpaksa numpang mobil orang lewat yang ke arah puskesmas. Nunggu angkot kan, lama," jelas Mama Runi sambil menutup pintu kembali.
"Laaah? Jadi? Tadi itu adegan ngorek-ngorek kuping? Astagfirullah! Dasar aku!"
"Oh, ya ... Mama Zidan! Kalau nyetel musik jangan nyaring kaya tadi dulu ya. Runi baru bisa tidur, nih! Dari tadi rewel mau tidur, gak bisa-bisa. Aku mau masak soalnya."
Tiba-tiba kepala Mamanya Runi nongol lagi mengagetkanku.
"Oh, iya .. maaf, ya?" sahutku lemas. Mama Runi tak menjawab langsung menutup pintu kembali.
"Dasar aku ... tetangga yang kurang akhlak!' rutukku pada diri sendiri merasa tak enak hati pada tetangga kanan-kiri, sambil lanjut menggantung jemuran di depan rumah.
*






banditos69 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
640
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan