istijabahAvatar border
TS
istijabah
Senja Terakhir Kita
Takdir Cinta


Oktober 2009

Dok.Pri


Hari itu matahari sangat terik, aku berjalan gontai menuju asrama yang kutinggali selama berada di kota. Sebotol air mineral tak sanggup mendinginkan pikiranku. Berbagai pertanyaan berputar dalam otakku, kenapa gak bilang dulu? Kenapa terburu-buru, padahal masih banyak waktu? Dia anggap aku apa?


Rifky, dia lelaki yang berhasil membuatku kalah dengan prinsip yang selama ini kupegang. Datang ke rumahku di desa, melamar langsung pada Ibu dan Kakak. Seharusnya ini adalah kabar bahagia, tapi tidak denganku, ini adalah kabar terburuk yang selama ini kuterima.

Bagaimana tidak, dia datang ke rumah tanpa memberi kabar terlebih dahulu padaku. Sedangkan keluarga tak pernah mengizinkanku berteman dengan lelaki, apalagi sampai punya pacar. Lalu, Rifky datang sebagai kekasih yang meminta restu untuk menikahiku.

Jelas keluargaku kaget dan marah karena aku tak pernah bercerita bahwa tengah menjalin hubungan dengan seorang lelaki.


"Kamu di Surabaya cari ilmu apa cari suami?!" Bentak Kakak saat menelpon. "Dengar! Keluarga di sini tidak menerima lamaran dia. Jadi, putuskan juga hubungan kalian," ucapnya kemudian.


"Kenapa?" tanyaku. Entah dapat keberanian dari mana aku masih bertanya begitu, padahal selama ini aku selalu menuruti semua ucapan keluarga tanpa bertanya atau membantah. Karena takut juga malas mendengarkan sesuatu yang ujung-ujungnya pasti menjurus ke hal dunia, tapi sekarang aku butuh alasan, karena tak mungkin aku memutuskan sebuah hubungan tanpa alasan apa-apa.


"Ya Allah, Dek! Kamu bertanya kenapa? Masih ingat tidak darah yang mengalir dalam diri kita, masa mau nerima lamaran dari orang biasa seperti dia, lagian, apa kamu sudah tidak bisa membedakan antara tampan dan jelek, sih. Cowok gak ada manis-manisnya gitu kamu jadikan pacar," jawabannya panjang lebar penuh hinaan.


"Jangan menghinanya, Kak. Dia juga ciptaan Allah," ucapku penuh kecewa sebelum menutup telepon, tak ingin mendengar kalimat hinaan selanjutnya.


Kadang aku tak mengerti dengan keluargaku yang selalu mengagung-agungkan darah biru yang mengalir dalam tubuh kami. Padahal, surga dan kebahagiaan tidak didapatkan dari itu semua.


Lelaki yang kucintai memang hanya orang biasa, tidak tampan dan juga tidak kaya, tapi aku menilai ketampanan lelaki itu dari kepintaran dan kecerdasan otaknya. Rifky lelaki yang mempunyai pengalaman luas dan sangat cerdas. Meski kami seumuran, tapi dia sangat dewasa dan satu tahun bersamanya aku merasa sangat nyaman.


***


Seminggu setelahnya, Rifky mengajak bertemu. Ya, ada banyak yang harus kami bicarakan.

Rifky menjemput ke tempat aku mengajar. Di Surabaya aku dititipkan ke keluarga yang mempunyai yayasan yang cukup terkenal. Sembari menekuni pelajaran yang ada di sana, aku juga ditugaskan mengajar di sebuah TK yang tempatnya lumayan jauh dari asrama. Aku mengenal Rifky dari salah satu guru yang mengajar di TK.

Masih sangat jelas dalam ingatan, hari pertama aku berkencan dengannya berakhir dengan ban bocor setelah keluar dari bioskop. Saat itu hari pertama pemutaran film Laskar Pelangi.

Satu tahun ini berjalan sangat indah, aku merasa sangat dicintai, meski kadang sifat kekanak-kanakanku membuatnya jengkel, tapi dia tak pernah betah melihatku ngambek.


Rifky melajukan motornya ke arah pantai Kenjeran, tempat biasa kami bertemu, di antara kami tak ada yang bersuara, aku hanya mampu memeluknya dari belakang. Rifky seolah tenggelam dengan dunianya sendiri, sedang aku berpikir bagaimana cara agar tak menyakitinya. 


Sumber: Pinterest



Sampai di Kenjeran, setelah memarkirkan motor, Rifky menuntunku turun ke pantai, duduk lesehan di atas pasir, menikmati setiap deburan ombak yang silih berganti, menikmati senja yang elok di langit yang mulai menguning.


"Kenapa pean gak bilang dulu kalau mau ke rumahku?" Tak tahan dengan kebisuan di antara kita, aku berinisiatif memulai pembicaraan.


"Aku ingin membuat kejutan untukmu," jawabnya tanpa melihat ke arahku. Pandangannya lurus ke lautan luas di depan sana.


"Aku tak butuh kejutan. Pean gak tahu bagaimana keluargaku dan langsung main datang-datang saja. Kalau sudah seperti ini aku gak tahu harus ngapain," ucapku dengan suara mulai parau.


Tak perlu ada yang menjelaskan soal penolakan lamarannya, karena dia ditolak saat itu juga tanpa meminta waktu untuk berpikir terlebih dulu.


Rifky membawa tanganku dalam genggamannya, sedikit meremas, "siapa sebenarnya yang tidak setuju sama hubungan kita?" tanya Rifky sembari berbalik menghadapku. "Kalau hanya saudaramu yang tidak setuju, aku akan terus berjuang, tapi bila ibumu juga tidak setuju, aku ... menyerah."


Aku hanya bisa menangis tanpa memberi jawaban, Rifky merengkuhku membawanya bersandar di dadanya. Tak ada lagi kata yang keluar, kami hanya saling menikmati sakit yang semakin menjalar.


Saat petang sudah menggantikan tugas senja, Rifky mengajakku pulang, tapi kutahan tangannya ketika dia hendak melangkah.


"Tak adakah jalan untuk kita bersama lagi?" tanyaku penuh keputusasaan.


"Kamu tahu, aku kehilangan ibuku karena keegoisan dan kekeras kepalaanku. Aku tak ingin kamu mengalami hal yang sama, karena aku gak mau kamu merasakan betapa sakitnya sebuah penyesalan." Rifky kembali memelukku erat, menciumi puncak kepalaku, lama.


"Kalau Allah mentakdirkan kita berjodoh, hambatan sebesar apapun pasti tetap akan menyatukan kita, berjanjilah untuk tidak menangis lagi. Kita harus bahagia, oke," ucapnya sembari menangkup kedua pipiku, matanya memerah menahan sebuah kesakitan yang sama denganku.


Hari itu hari terakhir kami bertemu, tempat terakhir kami saling bertatap muka, karena setelahnya aku memilih jalanku sendiri. Meski Rifky ingin mengantarkan pulang, tapi aku menolak, karena aku tak yakin logikaku akan tetap waras bila detik itu aku masih bersamanya.


"Selamat tinggal kasih, biarkan ini menjadi senja terakhir untuk kita."
Diubah oleh istijabah 27-04-2020 22:25
bekticahyopurno
nona212
riwidy
riwidy dan 47 lainnya memberi reputasi
48
1.4K
38
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan