NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Minyak Minus 37 Dolar, Saudi Menuju Republik, Indonesia?
Spoiler for Minyak:


Spoiler for Video part 1:


Spoiler for Video part 2:


Harga minyak dunia jatuh. Jatuhnya pun tak kira-kira. Bahkan harga minyak yang diperdagangkan di West Texas Intermediete (WTI) telah menjadi negatif 37,63 dollar AS per barel. Hal yang baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah. Harga minyak yang negatif menandakan seandainya produsen ingin menjual minyak, maka ia harus membayar 37,63 dollar AS per barel ke pembeli. Sebab, tidak ada yang mau membeli dan tidak ada tempat untuk menyimpannya.

Permintaan akan minyak tidak ada karena memang kondisi perekonomian saat ini sangat parah, imbas dari pandemi Covid-19. Tempat pengilangan minyak tidak akan mau memproses minyak mentah menjadi bensin, solar, ataupun bentuk lainnya karena tidak ada permintaan. Alhasil perusahaan-perusahaan produsen minyak saat ini menyimpan minyak mentah di kapal tanker atau tempat-tempat lainnya. Kombinasi dari biaya penyimpanan, biaya produksi, dan nihilnya permintaan ini lah yang menyebabkan harga minyak dunia mejadi minus.

Sumber : NY Times[U.S. Oil Prices Plunge Into Negative Territory: Live Markets Updates]

Anjloknya harga minyak ini tak seketika. Ia telah jatuh sejak awal Maret 2020 lalu bersamaan dengan merebaknya virus corona. OPEC+ bahkan telah mengantisipasinya dengan membuat kesepakatan bersama untuk memangkas produksi minyak menjadi hanya 9,7 juta barel per hari untuk bulan Mei dan Juni 2020. Akan tetapi kesepakatan tersebut tak mampu mendongkrak harga minyak karena pandemi corona telah menyebabkan banyak negara memberlakukan karantina alias lockdown.

Pada 21 April 2020, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan pemerintah masih mencermati dan mengevaluasi perkembangan harga minyak.


Turunnya harga minyak global hingga mencapai negatif membuat publik bertanya-tanya. Apa lagi yang harus dievaluasi? Bagi rakyat tentu hal ini kabar yang baik. Sebab, masyarakat akan menilai jatuhnya harga minyak menjadi pertanda turunnya harga BBM. Lantas mengapa harga BBM di Indonesia belum juga turun?

Sumber :  Detik [Harga Minyak Mentah Anjlok Gila-gilaan, BBM Kapan Turun?]

Guna memahaminya, mari kita simak penjelasan berikut.

Telah dijelaskan sedikit di awal bahwa negatifnya harga minyak disebabkan tidak ada yang mau membeli karena perekonomian tengah anjlok akibat pandemi. Di sistem jual beli minyak biasanya ada istilah future, contract dan contango.

Kita anggap produsen telah menjajakan minyak di pasaran untuk dijual. Future contract yang dibutuhkan pembeli untuk membeli minyak ke produsen ternyata tidak ada yang mengambil karena pembeli tidak memiliki tempat untuk menyimpan minyak tersebut yang disebabkan pula karena tak adanya permintaan. Akibatnya, future contract untuk bulan Mei menjadi kadaluarsa dan harga minyak menjadi negatif. Ketika future contract kadaluarsa, sering kali para trader akan membeli kontrak baru, sehingga meningkatkan harga jual minyak di masa mendatang.

Pada Bulan Juni WTI menggunakan future price sebesar 22 US Dollar per barel. Artinya harga minyak di masa depan lebih tinggi dibandingkan harga saat ini. Kondisi ini disebut dengan contango yang menandakan adanya oversupply dan lemahnya permintaan. Perbedaan antara harga saat ini dengan di masa depan sangat drastis dan baru pertama kali terjadi dalam sejarah. Kondisi ini tak akan berubah selama proyeksi akan demand minyak tidak membaik.

Sumber : Business Insider [Oil is experiencing rare oversupply that's threatening to further whipsaw the market and drive prices even lower]

Harga minyak yang negatif saat ini tidak akan bisa diubah lagi. Storage tidak mencukupi, demand melempem, dan oversupply.

Negara yang akan sangat terkena dampak dari harga minyak negatif tentu saja adalah negara-negara produsen minyak. Mereka tidak akan mendapatkan pemasukan, apalagi jika minyak merupakan sumber utama pendapatan negara. Seperti eksportir minyak bumi terbesar di dunia, Arab Saudi.

Penemuan berbagai ladang minyak baru telah menyebabkan harga minyak dunia jatuh dari awalnya 100 US Dollar per barel (2014) menjadi sekitar 27 US Dollar per barel (2016). Demi menjaga harga minyak tetap stabil, maka Arab Saudi dan Rusia mengurangi produksi minyak per hari sehingga menciptakan aliansi informal antara negara-negara OPEC dengan non-OPEC yang disebut OPEC+. Kesepakatan ini menyebabkan Arab Saudi sebagai pengekspor minyak terbesar di dunia, mengalami pengurangan produksi minyak terbesar dibandingkan negara-negara lainnya.

Pandemi corona menyebabkan turunnya permintaan akan minyak. Oleh karena itu, terjadilah Konferensi OPEC tingkat tinggi di Vienna pada 5 maret 2020. Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebesar 1,5 juta barel per hari. OPEC meminta agar Rusia dan negara non-OPEC lainnya mematuhi aturan baru tersebut. Namun pada 6 Maret 2020, Rusia tidak menyetujui kesepatakan itu dan memilih untuk menambah produksi minyaknya.

Ketika Rusia menolak perjanjian itu, Arab Saudi melawan. Mereka turut menaikkan produksi minyak per hari. Bahkan perusahaan minyak negara Arab Saudi, yakni Aramco diminta Pemerintah Arab Saudi untuk memproduksi 13 juta barel minyak per hari. Di sini Arab Saudi merasa kuat karena biaya penambahan 1 barel per hari bagi negeri minyak itu hanyalah 3 US Dolar per barel, bandingkan dengan Rusia yang harus merogoh kocek 138 US Dolar per barel. Dengan biaya produksi yang rendah, kebijakan Arab Saudi tentu tidak disukai oleh negara-negara anggota OPEC lainnya karena mereka pun harus turut bersaing untuk mengimbanginya.

Sumber : The Guardian [Saudi Arabia steps up oil price war with big production increase]

Sumber : Knoema [Cost of Oil Production by Country]

Perang harga minyak di tengah pandemi corona justru merugikan Arab Saudi. Sebab meski biaya produksi minyak di sana termasuk yang terendah dibandingkan negara lainnya, akan tetapi perekonomian Saudi sangat bergantung pada minyak. Kondisi harga minyak yang anjlok bahkan minus akan memaksa Saudi dan negara-negara OPEC lainnya untuk menyerahkan persediaan minyak hasil produksi ke tangan trader. Tujuannya untuk didiamkan hingga stok minyak di tangan trader berimbang dengan stok minyak di tangan Saudi. Baru setelah itu dilepas ke market dengan harga yang tinggi.

Artinya sepanjang bulan Mei, dunia akan terguncang oleh krisis ekonomi dari perang minyak.

Apakah Saudi tidak khawatir dengan hancurnya perekonomian mereka akibat harga minyak yang minus? Di sinilah pada mulanya Arab Saudi ingin bertumpu pada sumber perekonomiannya yang lain, yaitu Haji dan Umrah. Namun telah  kita ketahui pandemi Covid-19 menyebabkan Pemerintah Saudi membatalkan umrah dan kemungkinan besar akan membatasi atau bahkan meniadakan ibadah Haji 2020 apabila kasus Covid-19 meledak di sana.

Ternyata ledakan kasus virus corona benar terjadi. Kasus Covid-19 di Saudi mencapai 518 kasus dalam sehari. Sehingga per 16 April 2020, kasus Corona di Saudi menjadi 6.380 orang. Menteri Kesehatan Arab Saudi, Dr Tawfiq al-Rabiyah memperingatkan jumlah kasus Covid-19 di negara itu dapat mencapai 200.000 dalam beberapa minggu ke depan.

Sumber :  Inews [Bertambah 518, Pasien Corona di Arab Saudi Jadi 6.380 Orang]

Peningkatan kasus yang sangat signifikan menyebabkan Saudi terpaksa menutup Umrah dengan masih berharap haji dapat dilakukan meski dalam skala kecil.

Saudi pun berjaga-jaga ketika Umrah dan Haji tak dapat dilaksanakan lagi. Maka Negara Kerajaan itu menerbitkan surat utang dengan tenor hingga 40 tahun. Mereka menawarkan obligasi dollar AS tiga bagian dengan tenor masing-masing 5,5 tahun, 10,5 tahun, dan 40 tahun. Obligasi tersebut diluncurkan pada 15 April 2020 dengan nilai pemesanan telah menembus lebih dari 42 miliar US Dolar. Sayangnya dengan tren harga minyak yang rendah serta tanpa adanya ibadah Haji dan Umrah, mereka akan kesulitan membayar utang dalam tenor 5,5 tahun dan 10,5 tahun.

Sumber : Kompas [Resmi, Arab Saudi Terbitkan Surat Utang Tenor hingga 40 Tahun]

Oleh karena itu, pilar finansial Saudi bergantung pada perolehan 42 miliar US Dolar dari surat utang bertenor 40 tahun agar tetap mampu memproduksi minyak sekaligus mempertahankan harganya tetap rendah. Surat utang Saudi senilai 42 miliar US Dollar tersebut didasari Underlying Stok Minyak Saudi di gudang yang masih menggunakan harga Positif 10-20 US Dollar per barel.

Sepertinya OPEC turut mendorong terjadinya harga minus minyak dunia. Agar Underlying stok minyak Saudi untuk rencana surat utangnya bisa digagalkan dengan menekan harga minyak hingga ke angka negatif. Lewat cara ini, kemungkinan besar Saudi akan gagal mendapatkan dana sebesar 42 Miliar US Dollar karena underlyingnya tidak bernilai segitu. Angka minus minyak menandakan OPEC dan Saudi dipaksa untuk menyerahkan stok minyak dalam Gudang mereka ke tangan trader. Maka perdagangan minyak dunia sepanjang bulan Mei (untuk kontrak Juli – Agustus) akan sepenuhnya dalam kendali trader.

Trader manapun tidak akan mampu mengeksekusi skema pembelian dibayari oleh penjual seperti ini dan harus siap perang harga minyak secara terbuka dengan Saudi selama Mei 2020 (untuk kontrak Juli – Agustus). Kecuali mereka di back up oleh kekuatan Uni Emirates, NATO – Uni Eropa dan dua kubu Pilpres AS.

Apakah sangkut paut perang harga minyak seperti ini dengan Indonesia?

Dengan adanya perang harga minyak yang menghasilkan harga minyak minus, maka broker migas RI dapat memanfaatkannya untuk memborong stok minyak. Namun harus diingat, trader minyak yang bermain melawan Saudi adalah kartel yang berpihak pada kepentingan Eropa dan Pilpres AS untuk melawan China. Arah para broker migas RI seperti Rizal Chalid dan Ari Soemarno dalam geopolitik Eropa dan Pilpres AS, akan menjadi faktor kunci boleh tidaknya mereka bermain dalam skema yang tengah berjalan.

Seandainya para broker Migas tersebut dapat masuk namun tetap menjual BBM dengan harga tinggi selama Mei 2020, maka rakyat Indonesia yang mengetahui turunnya harga minyak dunia bahkan sampai minus akan menuntut penggratisan BBM. Apabila tidak terpenuhi, rakyat yang tengah mengalami kondisi perekonomian sulit seperti saat ini dapat berontak dan melakukan huru-hara pada SPBU dan kilang-kilang milik Pertamina.

Hal yang sangat sulit dilakukan. Apabila BBM digratiskan, otomatis meniadakan pemasukan negara. Padahal pandemi corona telah menyebabkan hilangnya pendapatan pajak APBN sebanyak 2 bulan. Apabila ditambah faktor harga minyak untuk kontrak Mei di angka minus, maka dapat dikatakan APBN 2020 hanya akan ditopang pemasukan setara 8-9 bulan pajak.

Market merespon situasi harga minyak di level negatif dengan cara memasok atau mengimpor minyak dengan harga murah. Maka perkiraan harga minyak beberapa waktu ke depan (hingga akhir Mei) akan berpotensi bergerak di kisaran -15 US Dollar per barel hingga 5 US Dollar per barel untuk rentang harian. Sementara harga penutupan akan berkisar di angka -5 US Dollar per barel hingga 1 US Dollar per barel.

OPEC lewat trader akan membiarkan impor minyak yang dilakukan sejumlah negara yang memanfaatkan situasi ini untuk angkat harga, tapi mungkin tidak akan biarkan harga ditutup di atas Production Cost Saudi di angka USD 3/Barrel.

Dengan skema ini, perlahan-lahan stok minyak dalam gudang Saudi maupun OPEC akan pindah tangan ke para trader, dengan tetap tidak memberi ruang keuntungan pada Saudi, demi menggagalkan Penerbitan Surat Utang Saudi USD 42 Miliar (dengan menghancurkan nilai underlyingnya).

Oleh karena itu Indonesia harus bersiap jika British Petroleum (BP) dan Royal Dutch Shell memutuskan untuk menjual BBM di harga 0,1 US Dollar per liter secara global, yang berarti harga BBM BP dan Shell yang dijual di Indonesia menjadi Rp 1500 per liter. Mampukah SPBU ikut menjual BBM sekelas Pertamax seharga Rp 1500 per liter?

Sumber : Bloomberg [Indonesia Hires Tankers to Store Fuel While Seeking Bargains]

Salah satu kunci dari Pemerintah untuk menyelamatkan Indonesia dari kekacauan akibat minyak ini adalah mendamaikan Rizal Chalid dengan Ari Soemarno untuk berjalan bersama pemerintah mengubah angka minus dari harga minyak bulan Mei, agar dapat menutup harga minyak di APBN 2020 yang dipatok 63 US Dollar per barel. Dengan catatan, harga minyak yang dibeli masyarakat harus gratis. Tetapi BBM gratis menimbulkan buah simalakama karena akan menyebabkan APBN 2020 hanya akan ditopang dengan pemasukan setara 8-9 bulan pajak. Berapa lama RI dapat bertahan?

Belum lagi jika Saudi kalah dalam perang harga minyak serta Haji 2020 dibatalkan. Mampukah biro haji dan umrah mengembalikan dana 221 ribu calon haji dan 200 ribu jamaah umrah yang telah membayarkannya? Padahal uang jamaah sebagian besar tertahan di maskapai dan hotel di mana menjadi sektor yang paling parah terkena efek dari Covid-19.

Sumber : Pikiran Rakyat [Uang Calon Jemaah Umrah Sebagian Besar Tertahan di Maskapai dan Hotel]

Kondisi ini sangat tidak menguntungkan pemerintah. Ketika dana haji dan umrah gagal dikembalikan Pemerintah RI, maka dapat menyulut peleburan revolusi buruh (terkait Omnibus Law Ciptaker) dan massa Islam. Ketika itu terjadi, maka terjadilah darurat sipil dan yang kemungkinan akan menjadi pucuk pimpinan bukanlah Wakil Presiden, melainkan pihak militer. Serupa dengan yang terjadi ketika Morsi dijatuhkan Ikhwanul Muslimin pada 2013, yang naik bukan Wakilnya melainkan Menhan Al Sisi yang seorang tentara.
Diubah oleh NegaraTerbaru 23-04-2020 03:32
boelnauri
infinitesoul
sebelahblog
sebelahblog dan 46 lainnya memberi reputasi
47
1.4K
41
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan