Kaskus

Entertainment

Ajie6969Avatar border
TS
Ajie6969
Cerita Horor: Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 [Part 1]
Aku, sebut saja Jen. Aku masih ingat betul kala pertama ayah dan ibu membeli rumah di salah satu komplek di Bekasi ini. Terletak di antara Pondok Gede Jatiasih, perumahan ini kerap dilanda banjir. Herannya, ayah dan ibu betah banget lantaran hanya rumah ini yang terjangkau dengan keuangan mereka. Dan itu tahun 1996. Aku masih duduk di bangku 2 SMP, sekarang dibilangnya kelas 8, dan harus meninggalkan sekolahku di Jakarta untuk pindah ke Kota Patriot ini.

Komplek yang menurutku menyebalkan. Gak punya tetangga, dong! Ada sih tapi hanya beberapa rumah saja. Namanya komplek, perumahannya saling senderan kayak remaja baru-baru banget jadian. Ada pula yang di bagian depan. Maklum, perumahan bank negara itu, lho. Ngeliat bangunannya, lebih banyak yang dikorupsi ketimbang digunakan. Dinding rumahku bisa dipretelin dengan amat mudahnya kalau kita punya kuku panjang. Ah elah, Bu, kenapa harus di sini sih? Aku protes.

Tapi itu awalnya. Sampai akhirnya aku yang doyan eksplorasi tempat menemukan lapangan yang asyik banget untuk beraktivitas aIa-ala mountain bike. Tanahnya merah dan ada bebatuannya. Wuih, pokoknya asyik deh. Jadi, komplek perumahan ini memiliki tetangga kampung yang letaknya menanjak. Sumpah enak banget ke sana, hanya sekitar 15 menit dari rumahku dengan bersepeda. Auto habis sekolah bakalan betah banget di tempat itu.

Dan, kerjaanku tiap hari memang bersepeda keliling komplek juga, lalu ke tanah lapang, lalu komplek perumahan lagi. Begitu terus sampai tukang bubur selesai naik haji. Senyum-senyum tipis sama tetangga. Aku dikenal banyak 'bacod' alias sering banget basa-basi dengan mereka. Calon emak-emak ye, kan. Tapi hanya ada satu tetangga yang tak pernah kulihat. Tetangga di rumah nomor 13, yang letaknya persis di belakang rumahku.

Yang kudengar rumah itu dihuni seorang wanita yang memang tak pernah keluar rumah. Cuekin saja lah. Namun beberapa peristiwa penting maha dahsyat yang akhirnya membuat aku selalu trauma bila mengingatnya. Mengingat wanita itu dengan segala keanehan yang menancap di benakku hingga sekarang usiaku hampir kepala 4. Tak bisa semudah itu kulupakan Peristiwa pertama, tepat dua bulan aku dan keluarga tinggal di rumah itu, ayah dan ibu sempat meninggalkan aku, kakakku, dan adikku yang masih TK di rumah sendirian. Mereka pergi reunian berdua saja di malam minggu, aku lupa tanggalnya. Aku dianggapnya sudah gede sehingga adik diikhlaskan dalam penjagaanku.

Kakakku bukan orang yang pedulian sama adik. Dengan santainya dia hanya mengunci diri di kamar, gak peduli adikku sudah makan atau belum. Kalau aku saja sih gampang. Masak mie instant juga jadi. Lah, adikku yang kecil? Heilow apa kabar, kak? Ah, daripada gak waras mikirin dia, lebih baik aku membuat makanan untuk adikku. Mie instant dulu ya, dek. Maaf kalau di masa depan kamu akan dikenal sebagai generasi micin.

Aku beranjak ke dapur yang memiliki sekitar 4 atap bukaan dan hanya dilapisi plastik tebal bening. Jadi langsung menatap langit. Terkadang aku suka ngayal, ada yang mengintip dari sana. Entah orang, binatang, atau bukan keduanya. Kok agak merinding? Ah, buru-buru kulenyapkan pikiran aneh tersebut. Fokus masak mie instant.

Kelar memasak mie, kumatikan kompor. DUG! Mendengar tembok belakang rumahku yang menempel dengan dinding wanita nomor 13 berbunyi keras sekali. Seperti dihantam benda tumpul. Kenapa gak roboh? Karena dua lapis. Dinding rumahku dan rumahnya. Jantungku berdetak kencang. DUG! Terdengar Iagi suara yang sama, sampai 3 kali. Aku tak bergerak. Mau pingsan malu sama adik. Tapi itu suara apa, ya? Suaranya berhenti. Pelan-pelan kulangkahkan kaki dekat tembok dan mencoba menempelkan telingaku ke dinding belakang. Lalu Mbak, mienya dah jadi? adikku mengagetkanku! Sial, lah. Segera kubereskan membuat makanan untuk adikku. Lalu kami duduk-duduk manja di depan televisi.

Adek, kamu denger gak suara tadi? Bug, gitu. Kayak badan kita kalau digebukin pakai guling, dan jangan nanya, karena aku gak ada perumpamaan lain.

Engga tuh, jawab adikku singkat. What the hell. Pasti dia bohong. Suara sekeras itu harusnya terdengar paling tidak jarak 10 meter. Nah, panjang rumahku ada sekitar segitu. Auto adikku pasti denger, kan.

Adek kamu jangan bohong nanti dosa tau. Denger apa engga?

Ih, dibilangin engga, katanya. Suara televisi kamu gak kegedean, kan?

Lah, ini TV baru dinyalain, katanya dengan logat agak cadel.

Dia benar. TV baru dinyalakan. Baru ini. Artinya memang cuma aku yang mendengar. Sambil menemani adikku makan. Bulu kudukku merinding. Semoga ayah dan ibu cepat pulang.

Bangun-bangun aku sudah di atas kasurku sendiri. WTF! Aku segera bergegas keluar sambil deg-degan. Sudah pagi rupanya, matahari meninggi.

Aku kok di dalam kamar? Harusnya depan TV! tanyaku nge-gas kepada ayah dan ibu yang lagi sarapan.

Lah iya, memang depan TV sama adek, ketiduran. Makanya ayah angkat ke kamar. Histeris gitu? ucap beliau.

Aku cuma 0000, panjang. Ingin kembali rebahan. Tapi kuurungkan karena ibu masak nasi goreng yang kayaknya enak. Tak perlu cuci gigi, langsung kusikat nasi goreng buatan ibu yang lezatnya bisa umroh 7 kali. Enak banget, bu, kataku. Ibu cuma senyum.

Nah, kita skip dulu sampai sini. Lagi enakenaknya menyantap masakan ibu, ibu cerita pada ayah dalam bahasa Jawa. Mungkin berharap aku tidak ngerti. Tapi percayalah bu, walau dibesarkan di Jakarta, adat Yogyakarta terutama memahami bahasa Jawa kupegang teguh. Langsung aja ke artinya, ya.

Semalam waktu kita sampai, trus kamu mandi, aku mendengar ada orang menangis dari arah rumah belakang, kata ibu ke ayah.

Ayah gak denger apa-apa, kata ayahku.

Ya jelas, keran kamar mandi kamu nyalain. Tangisannya cukup kencang. Kayak habis

dianiaya, ujar ibu lagi.

Ayah menangkap kegelisahan ibu. Aku purapura cuek sambil melanjutkan baca novel Goosebumps. Anak era 90-an pasti tau banget novel ini. Ceritanya soal hantu-hantuan yang lumayan mengejutkan. Sambil buka-buka Goosebumps, kudengar cerita-cerita ayah dan ibuku lagi

Nanti coba ayah sama aku bertamu ke sana. Takut ada apa-apa. Kalau memang ada penganiayaan, kita panggil polisi, tutur ibuku.

Ya sudah, nanti kita kesana.

Ayah dan ibuku hendak ke sana sekitar pukul 14.00 WIB berkunjung ke rumah belakang sekaligus membawakan kue-kue. Bagi warga Jogja, bertamu dengan membawa buah tangan itu wajib hukumnya. Kami tak biasa melenggang begitu saja tanpa oleh-oleh, walau itu hanya roti 4 biji sekalipun.

Kulirik jam, masih jam 09.00 WIB. Masih lama. Aku membayangkan ayah dan ibuku berkunjung ke sana dan akhirnya bisa cari tahu mengenai wanita misterius di belakang rumah kami. Penasaran.

Akhirnya jam 14.00 WIB tiba. Aku ingin sekali mengingatkan ayah dan ibu akan janjinya pergi ke rumah tetangga belakang. Tapi stay cool aja, lah. Bisa-bisa disemprot beliau kenapa curi dengar percakapan orangtua. Ya sudah, aku pura-pura main PS dan berusaha gak ngerti apa pun.

Ke luar sebentar, ya Jen, kata ibuku. Aku cuma menjawab he eh, padahal keponya setengah mampus.

Baru pergi sekitar 10 menit, ayah ibu sudah balik ke rumah. Orangnya gak ada, kata ibu. Diteriakin sampai pegel, gak keluar. Tapi lampu teras depannya hidup. Mungkin lagi pergi, kata ibuku lagi. Kok aku curiga, ya? Sepertinya dia gak pergi tapi memang mengurung diri. Eh, suuzon banget, tali namanya anak kecil, lagi hobi-hobinya kepo. Gimana caranya untuk investigasi sebenarnya wanita itu di rumah atau tidak. Pura-pura ambil sepeda, ah.

Jen, mau kemana kamu? kata Ayah. Main, jawabku singkat.

Mandi belum, apa belum, sikat gigi belum, main saja anak satu ini. Mandi dulu, ibuku menyahut

Hih elah, aku beringsut manyun ke dalam rumah. Kuteruskan saja nonton TV lah. Lagian panas matahari lagi nyengat-nyengatnya. Nanti saja mandi sekalian sore, hehehe. Begitulah aku, waktu kecil malas mandi banget.

Sore menjelang, pukul 16.35 WIB aku masih ingat sekali jamnya. Lantaran itu jam berbentuk kotak yang bisa disetting ulang. Pasti kamu tahu, deh. Jam lama klasik dan dia berhenti tepat saat aku melihatnya. Nanti saja kusetting, sekarang mau mandi dulu. Mau main sepeda,

yippie.

Kelar mandi, segar, wangi, aku langsung bergegas ambil sepedaku. Kali ini agak malas ke lapangan, nanti kotor lagi, kan aku udah mandi. Aku niatkan saja keliling komplek perumahan. Oia, nama-nama jalan di perumahanku ini diambil dari nama gunung. Ada Merapi (jalan rumahku), Ada Malabar, Pangrango, Gede, Tinombala, Rinjani, banyak lagi. Satu RT biasanya terdiri dari 4 baris rumah yang berhadapan dan membelakangi. Jalan rumah wanita itu bernama Gunung Kawi. Aku melewatinya nanti, kalau sudah mau pulang, biasanya deket-deket maghrib.

Ditunggu kelanjutannya gan
aladeenictivityAvatar border
minakjinggo007Avatar border
minakjinggo007 dan aladeenictivity memberi reputasi
2
1.1K
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan